56
tahap peralihan. Janin menjadi subjek dari prosedur perubahan, dari yang tidak ada menjadi ada.
b. Ulos Tondi
Pada saat usia kandungan sudah mencapai 7 bulan atau lebih, maka pihak keluarga perempuan hula-hula datang menyampaikan ulos yang dinamai ulos
tondi. Ulostondi ini dimaksudkan agar roh si calon ibu selamat dari gangguan roh jahat. Demikian juga agar si bayi dalam kandungan sehat-sehat. Pada upacara ini
hula-hula menyampaikan ikan yang diistilahkan sebagai dengke si mudur-udur dimasak dengan cara menguapkan airnya hingga kering. Dengke simudur-udur
dengan arti agar anak mereka banyak.
c. Esek-esek Mangan Haroan
Haroan dimaksudkan kedatangan tamu baru. Untuk manusia baru itu diadakan pesta makan bersama yang disebut mangan indahan haroan, disingkat
mangan haroan. Pesta untuk keselamatan bayi dan ibunya waktu anak lahir, sembilu telah dipersiapkan untuk memotong tali pusat si bayi. Placenta bayi yang
disebut anggi-anggi dimasukkan dalam bakul kecil lalu dikubur di kolong rumah. Maksudnya, agar jangan diambil orang untuk bahan guna-guna. Si ayah
membelah kayu mentah sebagai pertanda anak telah lahir dengan selamat. Kayu dibawa dan diletakkan di rumah. Kalau seiring dengan bunyi kayu yang
dijatuhkan itu, Sibaso menjawab dengan jelas : “si tatap bila perempuan atau si Bursok, bila laki-laki”. Kemudian ayah mempersiapkan tempat berdiang si ibu
yang melahirkan itu. Itulah sebabnya seorang ibu yang melahirkan disebut juga naitataring atau mansisulu. Makanan untuk pesta haroan ini bergantung pada
57
ramalan hari parhalaan. Yang disembelih bisa saja ayam atau babi. Sehabis makan bersama, seorang yang paling tua mengucapkan pepatah sebagai berkat
bagi si bayi. Kemudian yang hadir serentak mengucapkan “olop-olop”. Jika yang lahir itu perempuan olop-olopan tiga kali, kalau laki-laki maka olop-olopan tujuh
kali. Sejak saat itu keluarga yang baru kelahiran ini menjaga ketat si ibu dan si bayi siang dan malam sampai tujuh hari tujuh malam berturut-turut.
d. Robo-roboanmangharoani
Selama tujuh hari tujuh malam itu para tetangga dan keluarga beramai- ramai datang ke tempat si bayi. Mereka itu disebut paranggap dan pekerjaan itu
disebut manganggapi melek-melekan. Hal ini dimaksudkan agar segala hantu dan setan tidak berani lagi mengganggu. Sebelumnya, sehabis si bayi dimandikan,
bidan sibaso mengayunkan si bayi tujuh kali diatas unggun api. Kemudian sambil menghentakkan kaki kanan, dia berkata “buat begu molo so di ho di hami”
yang artinya kira-kira sebagai berikut “ambillah hai hantu kalau tidak, biar untuk kami”. Kemudian barulah si bayi dibaringkan dekat ibunya. Maksudnya, agar si
bayi jangan mudah terkejut sekaligus dilindungi oleh neneknya atau Tuhan, sehingga menjadi teman bagi manusia terutama keluarganya.
Setiap kali makan, lauk-pauk si ibu dicampur dengan sejenis sayuran yang disebut “bangun-bangun”. Biasanya sayur ini dicampur dengan daging ayam
yang paling gemuk, agar air susu si ibu itu segera keluar dan banyak untuk makanan dan minuman si bayi. Sehabis masa robo-roboan masa berjaga-jaga 7
hari itu, diundanglah sanak keluarga dan para pengunjung selama ini untuk makan bersama sebagai pertanda gembira. Makanan inilah yang disebut indahan
mangharoani.
58
e. MangahoniMamboan Aek Unte