47
kewajiban untuk saling menjaga dan melindungi, meskipun nyatanya dalam lingkungan bangsa Jepang hal-hal seperti ini tidak mendapat kontrol dari
lingkungan, tapi hal ini diatur dan terlihat jelas dalam hukum. Ada juga hak dan kewajiban pasangan yang telah menikah tersebut dalam keluarga besarnya.
Pasangan tersebut mendapatkan peran baru dalam keluarga besarnya juga. Misalnya, sebagai wanita yang telah menikah tersebut, menikah dengan anak
pertama dalam suatu keluarga maka, ia akan menjadi menantu sulung yang berperan sebagai pengganti ibu mertuanya jika ibu mertuanya itu telah meninggal
atau tidak bisa melakukan tugasnya. Setelah menjalani banyak hal dalam perkembangan hidupnya, di masa
tua, orang Jepang pun masih tetap melakukan beberapa ritus. Ritus ini dapat dikatakan ritus ulang tahun. Namun, perayaan ulang tahun tersebut dirayakan
pada ulang tahun tertentu saja yang dianggap usia paling rawan dan usia yang sangat lanjut. Yaitu pada usia 61 tahun melakukan perayaan kanreki 還暦, usia
70 merayakan koreki 古希, usia 77 tahun disebut perayaan kiju 喜寿, usia 80 tahun merayakan sanju 傘寿, usia 88 tahun merayakan beiju iwai 米寿, usia
90 tahun merayakan sotsuju 卒儒, dan usia 99 tahun disebut dengan perayaan hakuju 白寿. Berikut ini penjelasan beberapa ritus di usia lanjut.
a. Kanreki Iwai
Toshi iwai pada usia 61 tahun dilakukan karena dipercaya usia 61 tahun adalah tahun kembali ke tahun kelahiran. Maksudnya orang tua itu kembali
kepada keadaan anak-anak, yaitu tidak sanggup melakukan pekerjaan, harus dirawat dan sudah pensiun dari pekerjaan. Maka anak melakukan ritus
48
kanrekibagi orang tuanya. Seluruh anak dan cucunya berkumpul kemudian orang tua tersebut memakai akai cancan ko.
Namun, sekarang ini meskipun telah berusia 60 tahun, orang tua Jepang masih melakukan pekerjaan. Jadi, sekarang orang Jepang lebih banyak merayakan
toshi iwai pada usia 70 tahun koki.
b.Beijuu Iwai
Di Jepang kalau telah berusia 88 tahun akan mengadakan perayaan beiju. Kata beiju dalam huruf kanji dituliskan dengan kata kome 米 atau beras, karena
kalau huruf kome 米 dalam huruf kanji dipisah-pisah, maka akan menjadi huruf 88 dalam huruf kanji 八+八 yang disebut beiju. Perayaan ini dihadiri keluarga
dan teman-teman dari yang berulang tahun.
c. Hakujuu Iwai
Hakujuu Iwai merupakan upacara syukuran atas kehidupan. Hakujuu Iwai dilaksanakan ketika orang tua berusia 99 tahun atau upacara ulang tahun ke-
99 tahun. Upacara ini dilakukan anak-anak kepada orang tuanya sebagai ucapan terima kasih. Dimana status orang tua yang sebelumnya merupakan kepala
keluarga berubah menjadi penasihat di dalam keluarga. Pada ritus ini anak yang mengadakan upacara selamatan kepada orang tuanya.
Upacara selamatan ulang tahun di usia lanjut ini dilakukan sebagai ucapan terimakasih kepada dewa atas umur yang panjang dan pertolongan dewa
sepanjang usianya. Pada ritual ini orang tua yang menjadi tuan, dan menjadi giliran anak untuk membahagiakan orang tuanya. Ini merupakan acara
penghormatan terima kasih kepada orang tua yang telah bekerja keras bagi
49
keluarga dan masyarakat selama bertahun-tahun dan merayakan panjangnya usia orang tua tersebut.
Di usia pensiun sejak usia 60 tahun, orang tua menyerahkan tugas sebagai pemimpin keluarga kepada anaknya dan beralih menjadi pembimbing
bagi anak-anaknya dan bergabung kepada kelompok orang yang dituakan. Orang tua tidak lagi memimpin keluarganya, tapi mengikuti segala keputusan anaknya
dan hanya bertindak sebagai pembimbing. Pada usia ini orang tua tidak lagi bekerja dan hanya bersenang-senang dengan cucunya.
3.1.3 Ritus-Ritus Kematian
Inouguchi dalam Situmorang 2006:48 mengatakan, kematian diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak bernyawa dan rohnya pergi
meninggalkan tubuhnya untuk selamanya. Untuk memastikan apakah seseorang telah mati atau hanya pingsan hansi, masyarakat tradisional melakukan upacara
pemanggilan roh agar kembali lagi ke jasad tamayobai. Tamayobai disebut juga Mogari, yaitu suatu acara untuk menentukan seseorang tidak hidup lagi. Dasar
pemikiran mogari adalah manusia meninggal karena rohnya pergi meninggalkan badan kemudian pergi ke dunia sana, apabila belum terlalu jauh, maka masih
dapat dipanggil kembali. Situmorang 2006:77 menjelaskan bahwa setelah seseorang tidak
bernapas lagi, maka rohnya dianggap sudah keluar dari tubuhnya. Kemudian keluarga melakukan pemanggilan roh tamayobai agar rohnya kembali ke tubuh
lagi. Cara melakukan tamayobai berbeda-beda di tiap daerah, ada yang menghidangkan makanan di samping mayat kemudian memanggil roh orang
50
tersebut agar kembali ke jasadnya. Ada pula yang memanggil roh orang tersebut ke dalam sumur atau atap rumah. Kemudian setelah acara tamayobai dilakukan,
tetapi orang yang telah pergi rohnya itu tidak hidup lagi, maka orang tersebut dipastikan telah mati. Setelah dipastikan seseorang itu mati, maka diumumkan
kepada seluruh keluarga, kerabat dan tetangga bahwa orang tersebut telah meninggal. Pemberitahuan ini disebut shirase. Shirase biasanya dilakukan oleh 2
orang. Jika dilakukan sendiri, biasanya orang tersebut membawa boneka. Untuk orang yang mendengar pemberitahuan itu, jika usianya sama dengan yang
meninggal, maka orang tersebut membuat penutup telinga dari tutup periuk mimifutagi atau menutup telinga dengan ketan mochi yang disebut nejirimochi.
Ritus tamayobai atau mogari merupakan ritus yang dilakukan untuk menunjukkan status atau keberadaan seseorang telah meninggal kepada
lingkungan sosialnya. Orang yang mati merupakan orang yang mendapat status baru dalam lingkungan masyarakatnya. Secara langsung kewajiban dan haknya
pun berubah dalam perilaku sosial dengan lingkungannya. Yang melakukan perlakuan sosial dalam hal ini hanya satu pihak yaitu orang-orang di lingkungan
sekitarnya yang masih hidup. Melalui pemberitahuan itu masyarakat di sekitarnya langsung melakukan
penghormatan terakhir sebagai tindakan sosialnya. Bagi orang yang meninggal ritual ini menunjukkan perubahan situasi sosial. Pertama, pemisahan dari keadaan
hidup, kemudian suatu masa marginal peralihan dan akhirnya tahap penyatuan kepada kondisi yang baru yaitu situasi meninggal.
Ritus ini merupakan ritus konstitutif, karena mengungkapkan perubahan hubungan sosial dengan merujuk pengertian-pengertian mistis. Orang Jepang
51
dalam ritus kematian tidak hanya melakukan satu ritus saja, tetapi orang yang telah meninggal tersebut akan dilakukan ritusnya sesuai dengan usia kematiannya.
Perlakuan yang dilakukan dalam setiap ritus pun berbeda-beda sesuai dengan usia kematian dan tujuan ritus itu dilaksanakan. Pelaksanaan ritus kematian ini
berlangsung sampai roh orang meninggal tersebut diyakini telah menjadi dewa hotoke.
Pada saat jenazah ditangani, keluarga mengadakan tsuya 通夜, yaitu berjaga sepanjang malam atau berjaga setengah malam yang disebut dengan
hantsuya 半 通 夜 dengan menghabiskan waktu terakhir bersama almarhum sambil mendoakannya. Pada saat menghadiri tsuya 通 夜 , pakaian yang
digunakan oleh pihak keluarga merupakan pakaian berkabung, biasanya berwarna hitam.
Setelah seluruh upacara kematian selesai dilaksanakan, keluarga yang diitinggalkan melakukan ritus peringatan terhadap orang yang telah meninggal
yaitu pada hari ke-7 hatsunanoka, upacara hari ke-35 sanjugonichi, sampai upacara hari ke-49 shijukunichi.
Pada upacara ini, keluarga, kerabat, dan sahabat orang yang ditinggalkan berkumpul di depan altar dimana ihai dan kotsutsubo diletakkan. Pendeta akan
dipanggil untuk membacakan sutra, lalu dupa dinyalakan dan makanan akan disajikan kepada semua orang yang hadir. Upacara seperti ini disebut houji 法事.
Sebelum hari ke-49 berlalu, keluarga dari almarhum akan menyampaikan rasa terima kasih kepada yang hadir dengan memberikan kodengaeshi. Pada masa
berkabung itu pula kotsutsubo atau tempat abu jenazah dari orang yang telah mati
52
骨 壷 dikuburkan. Kadang-kadang houji dilakukan pada hari ke-100 hyakanichi, dan untuk jangka waktu tertentu akan dilakukan sho-tsuki-meinichi
yaitu houji yang dilakukan setiap bulan dan nenki yaitu houji yang dilakukan secara periodik Nasution,2005:29.
Ritus ini dilakukan secara Budha dengan tujuan menenangkan roh orang yang telah meninggal. Ini merupakan ritus penghormatan terakhir bagi tubuh
orang yang telah meninggal. Karena abu dari jenazah orang yang telah meninggal itu baru dikuburkan pada upacara tersebut. Selanjutnya akan dilakukan ritus
peringatan dan penghormatan terhadap roh orang yang telah meninggal. Bagi masyarakat Jepang tubuh nikutai , dan roh reikon mrupakan
suatu hal yang berbeda. Nikutai dalam upacara kematian dibiarkan menghilang baik dengan cara dihanyutkan ke sungai maupun denan cara di kremasi sehingga
tersisa hanya abu. Berbeda dengan tubuh, roh diperlukan sebagai sesuatu yang penting dan berharga.
Bagi masyarakat Jepang reikon disebut juga tama. Dipercaya tama ada tiga jenis yaitu ikimitama, aramitama, dan mitama. Ikimitama adalah roh orang
yang masih hidup, mengacu pada roh kedua orang tua yang masih hidup. Mitama adalah roh orang mati dari leluhur yang baik sifatnya, yaitu roh leluhur,
sedamngkan aramitama adalah roh orang yang abru saja meninggal. Dan masih dalam keadaan tidak stabil dan dapat berpotensi untuk menjadi pengganggu.
Oleh karena itu, penting bagi masyarakat Jepang untuk melakukan pemujaan dan penyucian roh terhadap roh keluarga mereka yang telah meninggal.
Agar roh orang yang telah meninggal tersebut tidak menjadi hantu yurei atau
53
gaki secara agama budha. Agar roh-roh tersebut tidak mengganggu orang yang masih hidup.
Untuk itu dilakukan upacara penyucian roh setelah hari ke-49. Yaitu upacara peringatan kematian yang perlakuannya sama dengan upacara hari ke-49
dilakukan pada ulang tahun kematian yang pertama isshuki, acara 3 tahun sankaiki, acara 7 tahun nanakaiki, acara 13 tahun jusankaiki, acara 17 tahun
junanakaiki, kemudian 33 tahun sanjusaikaiki. Dalam upacara penyucian roh dilakukan pemberian kuyou kepada roh leluhur yang telah meninggal sampai roh
yang telah meninggal dipercaya telah menjadi sousen yaitu pada usia kematian 33 tahun dalam konsep budha atau 50 tahun pada konsep Shinto.
Dalam Situmorang 2006:52, pemberian kuyou untuk orang meninggal merupakan pertolongan supaya roh jangan terjatuh ke dunia yang buruk. Ini
merupakan pemikiran untuk kebaikan orang yang hidup di dunia. Jika roh nenek moyang di dunia sana mengalami kesusahan maka nasib keturunan di dunia sini
akan buruk. Pemberian kuyou ini dihentikan ketika roh telah menjadi sousen dan
tidak perlu lagi diadakan ritus khusus. Karena roh tersebut diyakini telah masuk ke dalam senzodaidi kelompok nenek moyang. Roh tersebut dianggap pergi ke
gunung mengawasi anak cucunya. Kemudian dalam waktu-waktu tertentu misalnya pada waktu obon, tahun baru, higan, roh tersebut dipercaya datang ke
rumah anak cucunya. Pelaksanaan ritus kematian sampai ritus penyucian roh bagi orang yang
telah meninggal merupakan tahapan untuk menjadi hotoke 仏 seibutsu dalam
54
agama budha dan kami 神 dalam agama Shinto. Ketika roh tersebut telah meninggal 33 tahun dipercaya akan lahir kembali sebagai roh cucunya. Sehingga
tidak perlu lagi dilakukan ritus khusus. Keseluruhan upacara penyucian roh tersebut merupakan ritus
pemakaman sougi yang ditujukan bagi orang yang telah meninggal. Upacara dilakukan oleh keluarga yang telah ditinggalkan untuk ketenangan roh dari orang
yang telah meninggal leluhur dan menunjukkan hubungan manusia dengan keluarga yang ditinggalkan Situmorang 2006.
Sanjusankaiki merupakan ritus terakhir dari ritus penghormatan terhadap roh leluhur, setelah sederetan ritus penghormatan leluhur pada tiap ulang tahun
kematian yang telah ditentukan. Orang yang telah dikubur, pada ulang tahun pertama telah dianggap telah masuk ke dalam kelompok leluhur. Oleh karena itu
untuk ketenangannya maka dilakukan ritus-ritus penyembahan terhadap roh leluhur. Setelah sanjusankaiki berakhir status roh yang awalnya tercemar telah
beralih menjadi suci dan tenang.Dalam meningkatkan status roh seseorang agar mencapai tingkat yang lebih tinggi, dilakukan upacara-upacara penyembahan
yang keseluruhannya dilakukan oleh keturunannya yang masih hidup. Upacara- upacara yang dilakukan adalah : Zotoumembuat stupa, Shakei penyembahan
gambar orang meninggal, Dokukei pembacaan kitab sutra bagi orang yang telah meninggal.
55
3.2 Ritus-Ritus Daur Hidup Pada Masyarakat Batak Toba 3.2.1 Ritus-Ritus Kelahiran-Pendewasaan