Okuizome ANALISIS PERBANDINGAN KONSEP DAUR HIDUP PADA

38

c. Okuizome

Ketika bayi berusia 100 hari, dilaksanakan ritus kuizome atau makan pertama. Dulunya perayaan ini dilaksanakan ketika bayi berumur 120 hari. Ketika bayi berumur 100 hari, bayi berhenti menggunakan kimono putih, dan selanjutnya dikenakan kimono berwarna. Baru pada usia 120 hari dilakukan ritual menyulang makanan ke mulut bayi untuk pertama kalinya. Pada umumnya ritual ini disebut kuizome, namun pada keluarga Bushi disebut hashizome. Maknanya bisa sebagai upacara memberi makan pertama kali atau upacara memperkenalkan sumpit pertama kali kepada bayi. Namun, sekarang ini kedua upacara itu disatukan, pada usia ke-100 hari atau ke-120 hari menjadi upacara okuizome. Pada upacara okuizome, meminta orang tertua di daerah itu untuk menerima kewajiban orang tua asuh. Kalau bayi itu laki-laki maka meminta orang tertua yang laki-laki, dan kalau bayi itu perempuan akan meminta orang tertua perempuan. Hal ini dilakukan dengan harapan bayi ini akan berumur panjang seperti orang tertua di daerahnya itu. Makanan yang akan diberikan kepada bayi disusun di meja sajian khusus ozen untuk satu orang. Makanan yang disusun adalah beras merah, sup bening, ikan bekukung, plum yang dilumuri garam, dan yang lainnya. Di sekeliling ozen itu diletakkan batu kerikil. Kerikil ini katanya adalah jimat untuk menguatkan gigi bayi. Kerikil ini diambil dari dekat sungai atau pantai. Ada satu ozen lain lagi, di atasnya diletakkan 5 kue mochi merah dan putih. Karena bayi belum bisa makan, orang tua memeluk bayi, menyulang makanan dengan sumpit, dan menirukannya pada bayi, seolah-olah dimasukkan 39 ke mulut bayi. Dengan melakukan ritus ini, mendoakan agar tidak ada kesulitan makanan seumur hidup bayi dan agar bayi itu panjang umur. Okuizome ini dilaksanakan untuk mendoakan agar pertumbuhan bayi dapat berjalan dengan baik sampai ia besar dan agar bayi panjang umur. Perayaan ini dilakukan orang tua dan bayi menjadi tuan dalam ritus ini. Orang tua memberi bayi makan makanan lezat dan mendoakannya kepada dewa. Dalam ritus ini anak yang menjadi tuan, dan orang tua melakukan setiap upacara dengan tujuan membahagiakan bayinya. Karena tujuannya agar bayi mendapat umur yang panjang dan hidup sejahtera, maka ritus ini merupakan ritus faktitif, yaitu ritus yang meningkatkan produktivitas atau kekuatan.

d. Hattanjou