Pelarutan Protein TAHAP PENELITIAN UTAMA

34 dengan kadar air tertinggi, 82.25, diperoleh dari koagulasi pada suhu awal 63 o C dengan koagulan whey berumur 3 hari. Sedangkan curd dengan kadar air terendah diperoleh dari koagulasi pada suhu awal 83 o C dengan koagulan whey berumur 2 hari. Perbedaan kandungan air pada curd ini disebabkan oleh kecepatan agregasi protein dalam membentuk matriks curd. Agregasi pada suhu awal proses koagulasi 63 o C berlangsung lebih lambat dibandingkan dengan agregasi pada suhu awal proses koagulasi 83 o C. Agregasi yang lambat memungkinkan untuk memerangkap air lebih banyak dibandingkan dengan proses agregasi yang cepat. Menurut Milewski 2001, pemanasan akan meningkatkan energi vibrasi dan rotasi protein terlarut. Semakin tinggi suhu pemanasan akan semakin tinggi pula energi vibrasi dan rotasi protein terlarut. Tingginya energi vibrasi dan rotasi ini menyebabkan peluang protein untuk bertabrakan dan menyatu menjadi lebih besar sehingga proses agregasi pun menjadi lebih cepat. Massa curd dipengaruhi oleh kandungan air dan protein di dalam curd serta komponen- komponen lain yang terperangkap dalam matriks curd. Analisis ragam Lampiran 19 menunjukkan bahwa perbedaan massa curd yang dihasilkan dipengaruhi suhu awal proses koagulasi. Melalui analisis korelasi Pearson Lampiran 22, kombinasi perlakuan suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey menghasilkan massa curd yang berbanding lurus dengan kandungan air dan total padatan curd serta berbanding terbalik dengan pH whey pres pH koagulasi dan kadar protein Kjeldahl curd. Massa curd tertinggi diperoleh dari koagulasi pada suhu awal 63 o C dengan koagulan whey berumur 3 hari, yaitu curd dengan kadar air dan total padatan tertinggi. Sedangkan massa curd terendah diperoleh dari koagulasi pada suhu awal 83 o C dengan koagulan whey berumur 2 hari, yaitu curd dengan kadar air dan total padatan terendah. Data ini didukung oleh pernyataan Obatulu 2007, semakin lambat kemampuan koagulan dalam mengkoagulasi susu akan memberikan rendemen massa curd yang lebih baik karena agregat protein akan memerangkap air lebih banyak di dalam curd. Sebaliknya, koagulan yang mengkoagulasikan protein lebih cepat kurang memerangkap air sehingga massa curd yang dihasilkan lebih sedikit. Total padatan curd merupakan selisih antara massa total curd dengan massa air di dalam curd. Data ini mencerminkan massa padatan yang ada dalam curd, baik protein maupun nonprotein yang terperangkap dalam matriks curd. Berdasarkan analisis korelasi Pearson Lampiran 22, total padatan yang ada dalam curd berbanding lurus dengan massa curd dan berbanding terbalik dengan pH whey pres pH koagulasi. Semakin tinggi massa curd yang terbentuk maka akan semakin tinggi pula total padatan di dalam curd dan semakin tinggi pH maka akan semakin rendah total padatan dalam curd. Hasil analisis ragam Lampiran 21 menunjukkan bahwa suhu awal proses koagulasi memberikan pengaruh yang signifikan terhadap total padatan curd. Total padatan curd tertinggi diperoleh dari koagulasi pada suhu awal 63 o C dengan koagulan whey berumur 3 hari, sedangkan total padatan terendah diperoleh dari koagulasi pada suhu awal 83 o C dengan koagulan whey berumur 2 hari.

4.2.2 Pelarutan Protein

Pelarutan dilakukan untuk mengekstrak protein sampel tepung kedelai dan curd sehingga dapat dilakukan analisis proporsi protein dalam kedelai dan curd dengan SDS-PAGE. Pelarutan tepung kedelai dilakukan sebagai pembanding hasil yang diperoleh dari pelarutan curd, terutama komposisi polipeptida penyusunnya. Pelarut yang mengandung 2-merkaptoetanol, yaitu alkil tiol yang dapat menghasilkan tiol bebas berlebih, digunakan untuk melarutkan protein sampel tepung kedelai dan curd . Senyawa ini mampu melarutkan protein curd dengan memutus ikatan disulfida, interaksi hidrofobik, dan ikatan hidrogen yang terjadi bersamaan dengan terbentuknya curd. Menurut Rabilloud 1999, penambahan 2-merkaptoetanol dan pemanasan akan merusak struktur tiga dimensi protein. Senyawa 2-merkaptoetanol akan memutus ikatan disulfida dan mereduksinya menjadi gugus 35 sulfihidril. Adapun mekanisme pemutusan ikatan disulfida oleh 2-merkaptoetanol dapat dilihat pada Gambar 15. Pelarutan protein merupakan syarat agar protein sampel tepung kedelai dan curd dapat di- running dalam alat SDS-PAGE. Sampel yang akan dilarutkandiekstrak terlebih dahulu dihilangkan kandungan lemaknya agar tidak mengganggu pelarutan protein. Lemak dihilangkan dengan merendam sampel dalam larutan heksan selama 6 jam kemudian mensentrifusenya pada kecepatan 12500 rpm selama 5 menit. Supernatan yang diperoleh dari proses ekstraksi diukur kadar proteinnya dengan metode Bradford. Untuk mengetahui efektivitas proses pelarutan, hasil pengukuran kadar protein Bradford supernatan dibandingkan dengan kadar protein Kjeldahl sampel bebas lemak. Hasil pengukuran kadar protein Bradford dan perbandingannya dengan kadar protein Kjeldahl sampel bebas lemak untuk semua perlakuan dapat dilihat pada Tabel 10. Gambar 15 . Mekanisme pemutusan ikatan disulfida oleh 2-merkaptoetanol Rabilloud, 1996 Tabel 10. Perbandingan total protein terekstrak dengan total protein Kjeldahl sampel bebas lemak masing-masing perlakuan Sampel Total Protein Terekstrak Total Protein Kjeldahl Recovery Tepung Kedelai 13.38 39.85 33.56 63 o C Whey 1 Hari 4.84 a 11.16 a 43.36 a Whey 2 Hari 5.21 a 12.60 a 41.31 a Whey 3 Hari 5.68 a 13.29 a 42.71 a 83 o C Whey 1 Hari 5.57 a 13.51 a 41.25 a Whey 2 Hari 5.17 a 13.12 a 39.43 a Whey 3 Hari 5.06 a 12.63 a 40.05 a Nilai rataan dengan superskrip yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata p0.05 Diukur dalam satuan mg100mg berat sampel 36 Hasil analisis ragam Lampiran 26 menunjukkan bahwa baik perlakuan suhu awal proses koagulasi maupun umur koagulan whey tidak berpengaruh nyata terhadap total protein yang dapat terekstrak dengan metode pelarutan protein. Selain itu, analisis ragam Lampiran 24 juga menunjukkan bahwa perlakuan suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey juga tidak berpengaruh terhadap total protein Kjeldahl curd bebas lemak sehingga persen recovery yang diperoleh pun tidak berbeda nyata. Rata-rata persen recovery pelarutan protein hanya mencapai 41.35, lebih tinggi daripada persen recovery pelarutan tepung kedelai yang hanya 33.56. Persen recovery dari pelarutan protein tidak mencapai 100. Total protein yang diukur dengan metode Kjeldahl adalah total nitrogen N yang ada di dalam curd, baik N yang berasal dari protein maupun N yang berasal dari komponen nonprotein. Sementara Bradford hanya mengukur protein yang terlarut dalam supernatan hasil pelarutan protein. Jika dilihat dari akurasinya, metode Bradford memiliki akurasi yang lebih baik daripada metode Kjeldahl. Selain itu, pembuatan curd yang menggunakan pemanasan juga mengubah konformasi dan komposisi protein kedelai sehingga kemudahan protein untuk dilarutkan juga mengalami perubahan. Menurut Corredig 2006, pemanasan pada pembuatan curd mengubah konformasi protein kedelai dan ikatan disulfida serta menginisiasi terbentuknya interaksi hidrofobik dan ikatan hidrogen. Hasil penelitian Sulieman et al. 2008 menunjukkan perubahan proporsi globulin, albumin, prolamin, dan glutelin dalam protein empat kultivar lentil famili leguminosa akibat pemasakan. Pemasakan menyebabkan perubahan yang signifikan terhadap keempat protein tersebut. Globulin, albumin, dan prolamin mengalami penurunan yang signifikan, rata-rata sekitar 4 untuk globulin, 23 untuk albumin, dan 0.35 untuk prolamin. Sementara glutelin mengalami peningkatan rata-rata sekitar 22 sehingga protein tak terlarut meningkat sekitar 4.5. Fahmi 2010 juga melaporkan bahwa proporsi protein kedelai mengalami perubahan setelah pemasakan menjadi curd. Baik menggunakan koagulan CaSO 4 .2H 2 O maupun CH 3 COOH rata-rata protein globulin, albumin, dan prolamin mengalami penurunan masing-masing sekitar 3, 10, dan 0.03. Berbeda dengan ketiga protein tersebut, rata- rata glutelin mengalami peningkatan sebesar 3. Hasil kedua penelitian ini ikut memperjelas penyebab dari nilai protein recovery yang hanya mencapai 41.

4.2.3 Analisis Elektroforesis