30 a
b cm
2
dan berlubang-lubang kecil sebagai tempat keluarnya whey pres. Tekanan penekan curd ditentukan sebesar 4.71gcm
2
selama 30 menit. Nilai ini ditentukan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan Fahmi 2010 pada tahun 2009 di pabrik tahu ‘Diazara Tresna’. Penekanan sebesar
4.71 gcm
2
selama 30 menit dipilih karena pertimbangan kesamaan desain alat penekan curd dengan penekan curd dimiliki oleh pabrik tahu ‘Diazara Tresna’ Fahmi, 2010. Alat pencetak tahu yang
digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13 . Alat pencetak tahu skala laboratorium a yang dibuat mirip alat pencetak tahu di
pabrik ‘Diazara Tresna’ b
4.2 TAHAP PENELITIAN UTAMA
4.2.1 Profil
Whey Pres dan Curd Hasil Koagulasi
Profil whey pres dan curd hasil koagulasi diamati dan diukur setelah koagulasi terjadi. Koagulasi protein kedelai diawali dengan pembuatan susu kedelai. Total penambahan air yang
digunakan untuk membuat susu kedelai dalam penelitian ini adalah 15 kali berat kedelai. Menurut Fahmi 2010, perbandingan berat kedelai dan air 1:15 menghasilkan padatan total susu kedelai
sebesar 5 Brix. Padatan ini diasumsikan mewakili konsentrasi protein yang terdapat dalam susu kedelai. Total padatan susu kedelai penting dalam tahap koagulasi, karena semakin banyak protein
yang terdapat dalam susu kedelai, koagulan yang dibutuhkan juga semakin banyak Blazek, 2008. Proses koagulasi susu kedelai memerlukan pemanasan sebagai prekursor terjadinya agregasi
protein Boye et al., 1997. Pada penelitian ini, dilakukan dua kali pemanasan, yaitu: 1 pemanasan pada suhu 100
o
C selama 3 menit saat pembuatan susu kedelai, dengan tujuan mengekstrak protein kedelai serta mendenaturasi struktur alami protein kedelai; dan 2 perlakuan pemanasan susu kedelai
pada suhu 83
o
C dan suhu 63
o
C pada tahap koagulasi dengan tujuan mempercepat proses koagulasi protein.
Koagulasi dengan koagulan whey biang tahu berumur 1, 2, dan 3 hari yang ditambahkan pada suhu 63
o
C dan 83
o
C menunjukkan bahwa proses koagulasi terjadi pada kondisi pH yang berbeda. Semakin tua umur koagulan whey yang digunakan, pH whey pres pH koagulasi yang dihasilkan
semakin tinggi. Hasil analisis ragam Lampiran 8 menunjukkan tidak adanya pengaruh yang nyata dalam hal penggunaan umur koagulan whey terhadap pH koagulasi atau pH whey pres yang
dihasilkan. Namun, perlakuan suhu awal proses koagulasi menunjukkan adanya pengaruh nyata terhadap pH whey pres yang dihasilkan. Berdasarkan hasil yang diperoleh, suhu awal proses koagulasi
83
o
C memberikan kondisi koagulasi pada pH yang lebih tinggi dibandingkan dengan suhu awal
31 1
2 3
4 5
6 7
Susu kedelai
1-63 C 2-63 C
3-63 C 1-83 C
2-83 C 3-83 C
p H
Perlakuan
proses koagulasi 63
o
C. Grafik pengaruh perlakuan umur koagulan whey dan suhu awal proses koagulasi terhadap pH whey pres dapat dilihat pada Gambar 14.
Koagulan whey atau biang tahu termasuk koagulan golongan asam. Oleh karena itu, mekanisme koagulasinya disebabkan oleh penurunan pH ke titik isoelektrik protein kedelai. Menurut
Berk 1992, protein kedelai memiliki kelarutan minimum pada pH 4.2-4.6, kisaran pH tersebut dikenal sebagai titik isoelektrik protein kedelai. Namun, kombinasi penambahan koagulan dan
pemanasan menyebabkan curd terbentuk pada pH antara 4 hingga 6 Hermansson, 1994. Nilai pH pada proses koagulasi akan berpengaruh terhadap banyaknya protein yang
terkoagulasikan menjadi curd dan kadar protein yang ada di dalam whey hasil pengepresan curd. Nilai pH koagulasi yang mendekati titik isoelektrik protein kedelai akan lebih efektif dalam
mengkoagulasikan protein kedelai dibandingkan nilai pH koagulasi yang jauh dari titik isoelektrik protein kedelai. Untuk mengetahui keefektifan proses koagulasi, dilakukan pengukuran terhadap kadar
protein Bradford dan transmitan whey hasil pengepresan curd. Selain itu, tujuan pengukuran tersebut adalah menduga banyaknya protein yang terkoagulasi oleh perlakuan umur koagulan whey dan suhu
awal proses koagulasi. Tabel 8 menunjukkan hasil pengukuran kadar protein Bradford whey dan transmitan whey.
Gambar 14. Grafik pengaruh umur koagulan whey tahu dan suhu awal proses koagulasi
terhadap pH whey pres
Tabel 8. Kadar protein whey dan transmitan whey hasil pengepresan curd
Suhu Awal Proses Koagulasi
o
C Umur Koagulan
Whey Hari Kadar Protein
mgml Transmitan
T
63 1
0.64891
a
1.02043
a
2 0.62829
a
1.49880
a
3 0.68272
a
1.27030
a
83 1
0.54110
a
8.93326
b
2 0.75646
a
6.07147
b
3 0.77422
a
11.90720
b
Nilai rataan dengan superskrip yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata p0.05
Diukur dengan metode Bradford
32 Berdasarkan hasil analisis ragam Lampiran 10, terlihat bahwa baik umur koagulan whey
maupun suhu awal proses koagulasi tidak berpengaruh nyata terhadap kadar protein whey pres, dengan kadar protein berkisar 0.541095 mgml hingga 0.774226 mgml. Umur koagulan whey tidak
berpengaruh nyata terhadap transmitan whey pres, sementara suhu awal proses koagulasi memberikan pengaruh nyata terhadap transmitan whey pres Lampiran 12. Suhu awal proses koagulasi 83
o
C cenderung menghasilkan nilai transmitan whey pres yang lebih tinggi dibandingkan dengan suhu awal
proses koagulasi 63
o
C. Rata-rata koagulasi pada suhu awal 83
o
C menghasilkan nilai transmitan sebesar 8.97064 T dan suhu awal proses koagulasi 63
o
C menghasilkan nilai transmitan 1.26318 T.
Data nilai transmitan whey pres di atas, mengindikasikan bahwa suhu awal proses koagulasi 83
o
C lebih efektif dalam mengkoagulasikan protein dibandingkan dengan suhu awal proses koagulasi 63
o
C. Hal ini dibuktikan dengan tingginya nilai transmitan whey pres yang diperoleh pada perlakuan suhu awal proses koagulasi 83
o
C, yang menunjukkan rendahnya kadar protein terlarut yang tersisa di dalam whey pres. Namun, indikasi ini tidak didukung oleh data kandungan protein whey pres yang
terukur dengan metode Bradford, yaitu suhu awal 83
o
C memberikan nilai rata-rata kadar protein whey pres yang sama dengan koagulasi pada suhu awal 63
o
C. Hal ini dikarenakan whey pres yang dihasilkan tidak homogen dan sulit dihomogenkan sehingga data yang dihasilkan tidak beraturan.
Selain itu, nilai transmitan tidak hanya ditentukan oleh protein terlarut dalam whey pres, tetapi juga ditentukan komponen terlarut lain seperti karbohidrat. Oleh karena itu, seharusnya perlu dilakukan
perlakuan untuk memisahkan padatan selain protein yang dapat mengganggu analisis transmitan. Namun perlakuan tersebut tidak dilakukan dalam penelitian ini. Nilai korelasi antara kadar protein
Bradford dan transmitan whey pres juga tidak signifikan Lampiran 13, atau dengan kata lain keduanya tidak memiliki korelasi. Seharusnya antara kadar protein Bradford dan transmitan whey pres
memiliki korelasi berbanding terbalik. Fahmi 2010 melaporkan semakin tinggi nilai transmitan whey akan semakin rendah kadar protein Bradford.
Lampiran 13 juga menunjukkan korelasi positif yang kuat antara pH whey pres pH koagulasi dan transmitan whey pres. Pada kisaran pH 4.66 sampai 5.57, tingginya nilai pH koagulasi diikuti oleh
tingginya nilai transmitan whey pres. Korelasi positif ini berbeda dengan teori Berk 1992 yang menyebutkan kelarutan minimum protein kedelai berada pada pH 4.2-4.6. Selain pH koagulasi, suhu
awal proses koagulasi memegang peranan penting dalam menentukan nilai transmitan whey pres. Suhu awal proses koagulasi yang tinggi 83
o
C menyebabkan partikel protein bergerak lebih cepat dan intensitas untuk berinteraksi membentuk agregat juga semakin besar, atau dengan kata lain
agregasi protein pada suhu awal proses koagulasi 83
o
C berlangsung cepat. Suhu awal proses koagulasi yang lebih rendah, dalam hal ini 63
o
C, menyebabkan proses agregasi belangsung lambat sehingga dalam waktu yang ditentukan 10 menit masih banyak koagulat protein yang belum
teragregasi membentuk curd. Koagulat yang belum teragregasi ini tidak larut sempurna dalam whey pres sehingga mengganggu pengukuran transmitan dan menyebabkan nilai transmitan rendah. Dalam
waktu yang sama 10 menit proses agregasi protein kedelai pada suhu awal 83
o
C lebih cepat dibandingkan dengan agregasi pada suhu awal 63
o
C sehingga koagulasi pada suhu awal 83
o
C menghasilkan whey dengan nilai transmitan yang lebih tinggi dibandingkan dengan koagulasi pada
suhu awal 63
o
C. Menurut Milewski 2001, pemanasan akan meningkatkan energi vibrasi dan rotasi dari protein terlarut. Flokulasi pada pH yang mendekati titik isoelektrik protein akan dipercepat oleh
pemanasan sehingga mempercepat terjadinya proses koagulasi. Tabel 9 menunjukkan kadar protein, kadar air, massa, dan total padatan sampel curd yang
terbentuk melalui berbagai perlakuan suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey. Melalui analisis ragam Lampiran 15, terlihat bahwa interaksi suhu awal proses koagulasi dengan umur
33 koagulan whey berpengaruh nyata terhadap kadar protein Kjeldahl curd. Suhu awal proses koagulasi
83
o
C rata-rata menghasilkan curd dengan kadar protein Kjeldahl basis basah yang lebih tinggi, sekitar 12.14, dibandingkan dengan suhu awal proses koagulasi 63
o
C yang hanya 9.59. Curd dengan kadar protein Kjeldahl tertinggi diperoleh pada perlakuan suhu awal proses koagulasi 83
o
C dan koagulan whey berumur 1 hari, sementara curd dengan kadar protein Kjeldahl terendah diperoleh pada
perlakuan suhu awal proses koagulasi 63
o
C dan koagulan whey berumur 1 hari. Hasil analisis ragam Lampiran 17, 19, dan 21 menunjukkan bahwa hanya suhu awal proses koagulasi yang berpengaruh
nyata terhadap kadar air, massa, dan total padatan curd, sementara umur koagulan whey tidak memberikan pengaruh nyata terhadap ketiga parameter tersebut. Nilai rata-rata kadar air, massa, dan
total padata curd untuk perlakuan suhu awal proses koagulasi 63
o
C dan 83
o
C dalam basis basah masing-masing adalah 81.94 dan 79.96 untuk kadar air, 199.47 g dan 173.17 g untuk massa, serta
36.00 g dan 34.69 g untuk total padatan curd.
Tabel 9. Kadar protein, kadar air, massa, dan total padatan curd
Suhu Awal
o
C Umur Koagulan
Whey Hari Kadar
Protein g100g
Kadar Air g100g
Massa g Total
Padatan g
63 1
8.99
a
82.12
b
198.70
b
35.51
b
2 9.04
a
81.45
b
193.60
b
35.93
b
3 10.73
b
82.25
b
206.10
b
36.58
b
83 1
12.84
c
80.09
a
177.10
a
35.26
a
2 12.11
b,c
79.59
a
166.40
a
33.95
a
3 11.46
b,c
80.19
a
176.00
a
34.86
a
Nilai rataan dengan superskrip yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata p0.05
Diukur dengan metode Kjeldahl Diukur dalam basis basah
Pengaruh interaksi suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey terhadap kadar protein Kjeldahl curd memperlihatkan suatu pola, yaitu kadar protein Kjeldahl curd semakin tinggi dengan
semakin tuanya umur koagulan whey untuk suhu awal proses koagulasi 63
o
C dan berlaku sebaliknya untuk suhu awal proses koagulasi 83
o
C. Data tersebut juga menunjukkan bahwa kadar protein Kjeldahl curd tertinggi, 12.84 , dihasilkan pada perlakuan suhu awal proses koagulasi 83
o
C dan whey
berumur 1 hari. Jika dihubungkan dengan data pH koagulasi atau pH whey pres pada Gambar 14, kadar protein curd tertinggi diperoleh ketika pH koagulasi 5.42 dan turun dengan turunnaiknya
pH koagulasi. Dengan demikian, kondisi pH optimum untuk koagulasi protein kedelai KOPTI berada pada pH ± 5.42. Kondisi pH optimum tersebut diperoleh pada perlakuan suhu awal proses koagulasi
83
o
C dan penambahan koagulan whey berumur 1 hari pH 3.81 sebanyak 20 vv susu kedelai. Kadar protein curd erat kaitannya dengan kadar protein whey pres. Keduanya memiliki
hubungan berbanding terbalik. Semakin banyak persentase protein yang terkoagulasikan menjadi curd
, maka akan semakin sedikit protein yang tertinggal di dalam whey pres. Efektivitas proses koagulasi dapat dilihat dari nilai keduanya. Semakin banyak persentase protein yang terkoagulasikan
menjadi curd, semakin efektif proses koagulasi. Curd
yang dihasilkan melalui koagulasi pada suhu awal 63
o
C memiliki kandungan air yang lebih tinggi dibandingkan curd yang dihasilkan pada suhu awal 83
o
C. Berdasarkan analisis ragam Lampiran 17 perlakuan suhu awal proses koagulasi memberikan perbedaan yang signifikan terhadap
kadar air curd, sementara perbedaan umur whey tidak memberikan perbedaan yang signifikan. Curd
34 dengan kadar air tertinggi, 82.25, diperoleh dari koagulasi pada suhu awal 63
o
C dengan koagulan whey
berumur 3 hari. Sedangkan curd dengan kadar air terendah diperoleh dari koagulasi pada suhu awal 83
o
C dengan koagulan whey berumur 2 hari. Perbedaan kandungan air pada curd ini disebabkan oleh kecepatan agregasi protein dalam membentuk matriks curd. Agregasi pada suhu awal proses
koagulasi 63
o
C berlangsung lebih lambat dibandingkan dengan agregasi pada suhu awal proses koagulasi 83
o
C. Agregasi yang lambat memungkinkan untuk memerangkap air lebih banyak dibandingkan dengan proses agregasi yang cepat. Menurut Milewski 2001, pemanasan akan
meningkatkan energi vibrasi dan rotasi protein terlarut. Semakin tinggi suhu pemanasan akan semakin tinggi pula energi vibrasi dan rotasi protein terlarut. Tingginya energi vibrasi dan rotasi ini
menyebabkan peluang protein untuk bertabrakan dan menyatu menjadi lebih besar sehingga proses agregasi pun menjadi lebih cepat.
Massa curd dipengaruhi oleh kandungan air dan protein di dalam curd serta komponen- komponen lain yang terperangkap dalam matriks curd. Analisis ragam Lampiran 19 menunjukkan
bahwa perbedaan massa curd yang dihasilkan dipengaruhi suhu awal proses koagulasi. Melalui analisis korelasi Pearson Lampiran 22, kombinasi perlakuan suhu awal proses koagulasi dan umur
koagulan whey menghasilkan massa curd yang berbanding lurus dengan kandungan air dan total padatan curd serta berbanding terbalik dengan pH whey pres pH koagulasi dan kadar protein
Kjeldahl curd. Massa curd tertinggi diperoleh dari koagulasi pada suhu awal 63
o
C dengan koagulan whey
berumur 3 hari, yaitu curd dengan kadar air dan total padatan tertinggi. Sedangkan massa curd terendah diperoleh dari koagulasi pada suhu awal 83
o
C dengan koagulan whey berumur 2 hari, yaitu curd
dengan kadar air dan total padatan terendah. Data ini didukung oleh pernyataan Obatulu 2007, semakin lambat kemampuan koagulan dalam mengkoagulasi susu akan memberikan rendemen massa
curd yang lebih baik karena agregat protein akan memerangkap air lebih banyak di dalam curd.
Sebaliknya, koagulan yang mengkoagulasikan protein lebih cepat kurang memerangkap air sehingga massa curd yang dihasilkan lebih sedikit.
Total padatan curd merupakan selisih antara massa total curd dengan massa air di dalam curd. Data ini mencerminkan massa padatan yang ada dalam curd, baik protein maupun nonprotein yang
terperangkap dalam matriks curd. Berdasarkan analisis korelasi Pearson Lampiran 22, total padatan yang ada dalam curd berbanding lurus dengan massa curd dan berbanding terbalik dengan pH whey
pres pH koagulasi. Semakin tinggi massa curd yang terbentuk maka akan semakin tinggi pula total padatan di dalam curd dan semakin tinggi pH maka akan semakin rendah total padatan dalam curd.
Hasil analisis ragam Lampiran 21 menunjukkan bahwa suhu awal proses koagulasi memberikan pengaruh yang signifikan terhadap total padatan curd. Total padatan curd tertinggi diperoleh dari
koagulasi pada suhu awal 63
o
C dengan koagulan whey berumur 3 hari, sedangkan total padatan terendah diperoleh dari koagulasi pada suhu awal 83
o
C dengan koagulan whey berumur 2 hari.
4.2.2 Pelarutan Protein