Analisis Objek TAHAP PENELITIAN UTAMA

Polipeptida A 5 me polipeptida asam yang lai yang dihasilkan. Hasil ana koagulasi dan umur koagu A 5 . Proporsi polipeptida A penggunaan koagulan wh diperoleh pada perlakuan 2 hari, yaitu sebesar 6.38 polipeptida A 5 yang lebih A 5 yang dihasilkan pada s

4.2.4 Analisis Objek

Tekstur merupakan terkecuali untuk produk dengan metode TPA men penelitian ini meliputi ke karena mewakili karakter curd dapat dilihat pada G atas. Hasil pengukuran Gambar 19. Gambar 18 . Grafik TP dan pengg Curd dengan nila koagulasi 63 o C dan peng tinggi dihasilkan pada pe berumur 2 hari. Berdasark erupakan polipeptida asam penyusun glisinin 11S. M lain, polipeptida A 5 memiliki proporsi yang sukup besar analisis ragam Lampiran 30e menunjukkan bahwa inte agulan whey menghasilkan pengaruh yang nyata terhada a A 5 tertinggi diperoleh pada perlakuan suhu awal prose whey berumur 2 hari, yaitu sebesar 14.639, sedang an suhu awal proses koagulasi 63 o C dan penggunaan ko .384. Selain itu, suhu awal proses koagulasi 63 o C m bih kecil, sekitar 7.951, dibandingkan dengan rata-rat suhu awal proses koagulasi 80 o C 11.706. ektif Tekstur Curd kan salah satu atribut penting dalam menentukan pene k berbasis curd. Dalam penelitian ini, tekstur curd enggunakan Texture Analyzer TA-XT2i. Parameter teks kekerasan, kohesivitas, dan daya kunyah. Ketiga para teristik tekstur curd secara keseluruhan. Grafik TPA u Gambar 18. Dari grafik ini diperoleh nilai ketiga par n tekstur curd yang dihasilkan dari berbagai perlakua PA hasil pengukuran TPA curd perlakuan suhu awal p ggunaan koagulan whey tahu berumur 1 hari ilai kekerasan paling rendah dihasilkan pada perlaku enggunaan koagulan whey berumur 3 hari, sedangkan perlakuan suhu awal proses koagulasi 83 o C dan pengg arkan hasil analisis ragam Lampiran 32a, interaksi an 40 . Meskipun terpisah dari sar di dalam protein curd nteraksi suhu awal proses adap proporsi polipeptida oses koagulasi 83 o C dan ngkan proporsi terendah koagulan whey berumur C menghasilkan proporsi rata proporsi polipeptida nerimaan konsumen, tak diukur secara objektif ekstur yang diukur dalam arameter tersebut dipilih untuk pengukuran TPA arameter tekstur curd di kuan dapat dilihat pada l proses koagulasi 63 o C akuan suhu awal proses n nilai kekerasan paling nggunaan koagulan whey antara suhu awal proses 41 a,b b a c d c a a a a a a a a a a a a 0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50 3,00 1-63 C 2-63 C 3-63 C 1-83 C 2-83 C 3-83 C Perlakuan Kekerasan kg F Kohesivitas Daya kunyah kg F koagulasi dan umur koagulan whey memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai kekerasan curd pada tingkat signifikansi 5. Curd paling keras diperoleh pada perlakuan suhu awal proses koagulasi 83 o C dan penggunaan koagulan whey berumur 2 hari, sedangkan curd paling lunak diperoleh pada perlakuan suhu awal proses koagulasi 63 o C dan penggunaan koagulan whey berumur 3 hari. Koagulasi pada suhu awal 63 o C menghasilkan curd yang lebih lunak daripada koagulasi pada suhu awal 83 o C dengan rataan nilai kekerasan masing-masing 1.64 Kg F dan 2.22 Kg F. Baik pada suhu awal proses koagulasi 63 o C maupun 83 o C, koagulan whey berumur 3 hari menghasilkan curd yang paling lunak, sedangkan whey berumur 2 hari menghasilkan curd yang paling keras. Nilai kekerasan curd sejalan dengan kadar air dari masing-masing curd pada Tabel 9, semakin tinggi kadar air, curd semakin lunak. Berdasarkan hasil analisis korelasi Pearson 2-tailed Lampiran 33, kadar air memberikan korelasi negatif terhadap kekerasan, kohesivitas, dan daya kunyah curd pada taraf 5. Semakin tinggi kadar air curd, semakin rendah nilai kekerasan, kohesivitas, dan daya kunyah curd. Total padatan curd juga memberikan korelasi negatif terhadap kekerasan dan daya kunyah curd. Sedangkan kadar protein curd berkorelasi positif terhadap kekerasan dan kohesivitas curd pada taraf 5. Tekstur curd yang dihasilkan semakin keras dan kompak seiring dengan meningkatnya kadar protein curd. Lampiran 33 juga menunjukkan adanya korelasi positif antara parameter tekstur lain, yaitu kohesivitas dan daya kunyah, dengan kekerasan curd pada taraf 5. Gambar 19 . Profil tekstur curd berbagai perlakuan Menurut Obatulu 2007, peningkatan kekerasan curd seringkali dihubungkan dengan penurunan kemampuan matriks dalam menahan air Water Holding Capacity. Curd yang keras memiliki struktur matriks yang padat karena molekul-molekul protein berdekatan satu dengan lainnya sebagai akibat dari hilangnya air atau ketidakmampuan memerangkap air pada tahap koagulasi. Curd yang dihasilkan pada suhu awal proses koagulasi 83 o C memiliki kepadatan yang lebih tinggi daripada curd yang dihasilkan pada suhu awal proses koagulasi 63 o C, terlihat dari kadar protein Kjeldahl yang relatif lebih tinggi dan kadar air curd yang relatif lebih rendah dibandingkan curd yang dihasilkan pada suhu awal proses koagulasi 63 o C. Oleh karena itu, kekerasan curd hasil koagulasi pada suhu awal 83 o C lebih tinggi dibandingkan dengan curd hasil koagulasi pada suhu awal 63 o C. Menurut Muchtadi 2010, tahu keras mengandung lebih banyak protein, lemak, dan kalsium dibandingkan jenis tahu lainnya. 42 Parameter kohesivitas menunjukkan kekompakan struktur matriks curd. Interaksi suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey tidak berpengaruh nyata terhadap nilai kohesivitas curd pada taraf 5 Lampiran 32b. Namun, pada Lampiran 32b secara terpisah suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey berpengaruh nyata terhadap nilai kohesivitas pada taraf 5. Nilai rataan kohesivitas untuk curd yang dihasilkan pada suhu awal proses koagulasi 63 o C dan 83 o C masing-masing adalah 39.04 dan 42.72. Suhu awal proses koagulasi 83 o C menghasilkan struktur curd yang kompak dengan kekerasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan curd yang dihasilkan pada suhu awal proses koagulasi 63 o C. Selain itu, terlihat bahwa koagulan whey berumur 1 hari menghasilkan curd dengan kohesivitas yang paling tinggi sedangkan koagulan whey berumur 3 hari menghasilkan curd dengan kohesivitas yang paling rendah. Nilai kohesivitas yang kecil menunjukkan bahwa curd yang terbentuk memiliki struktur yang tidak kompak. Parameter daya kunyah menunjukkan kemudahan sampel dipecah menjadi bagian-bagian kecil sebelum ditelan ketika sampel berada di dalam mulut. Daya kunyah dipengaruhi oleh kekerasan serta kekompakan sampel DeMan, 1985. Berdasarkan analisis ragam pada Lampiran 32c, umur koagulan whey berpengaruh nyata terhadap daya kunyah curd pada taraf 5. Selain itu, suhu awal proses koagulasi juga berpengaruh nyata terhadap daya kunyah curd. Walaupun demikian, interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap daya kunyah curd pada taraf 5. Curd hasil koagulasi pada suhu awal 63 o C memiliki daya kunyah yang lebih rendah, berkisar 0.66 kg F, dibandingkan dengan curd yang dihasilkan pada suhu awal proses koagulasi 83 o C 0.95 kg F. Daya kunyah yang rendah ini disebabkan curd yang dihasilkan pada suhu awal proses koagulasi 63 o C memiliki nilai kekerasan yang lebih kecil dibandingkan dengan curd yang dihasilkan pada suhu awal 83 o C. Selain itu, kekompakan struktur curd yang dihasilkan pada suhu awal proses koagulasi 63 o C lebih rendah daripada kekompakan struktur curd yang dihasilkan pada suhu awal proses koagulasi 83 o C. Semakin tinggi kekerasan dan kekompakan struktur curd, semakin tinggi daya kunyahnya. Hal yang sama dapat diamati pada perlakuan umur koagulan whey. Curd yang dihasilkan dari penggunaan koagulan whey berumur 2 hari memiliki nilai kekerasan dan kohesivitas tinggi sehingga menghasilkan daya kunyah yang juga tinggi. Karakteristik tekstur curd kedelai juga dipengaruhi oleh kandungan proteinnya. Menurut Blazek 2008, protein kedelai mempunyai sifat gelasi yang berbeda-beda sehingga banyak peneliti berusaha mengkorelasikan komposisi protein dengan kualitas curd kedelai yang dihasilkan. Menurut Cai dan Chang 1999 di dalam Blazek 2008, perbedaan komposisi protein yang terkandung dalam curd kedelai, khususnya glisinin and β-konglisinin, sangat berpengaruh terhadap rendemen, kekerasan, dan mutu sensori curd kedelai. Perbedaan ini dikarenakan perbedaan perlakuan dalam pembuatan curd. Berdasarkan hasil analisis korelasi Pearson 2-tailed Lampiran 34, hanya subunit α’ dan α dari β-konglisinin serta A 5 dari glisinin yang berkorelasi dengan kekerasan curd pada taraf 5. Subunit α’ dan α berkorelasi negatif dengan kekerasan curd, artinya semakin banyak protein dengan BM 65 kDa hingga 75 kDa diduga α’ dan α, semakin lunak tekstur curd. Sedangkan subunit A 5 berkorelasi positif dengan kekerasan curd. Kekerasan curd akan semakin tinggi dengan semakin tingginya kadar subunit ber-BM 10 kDa hinga 15 kDa diduga A 5 di dalam curd. Selain dipengaruhi oleh keberadaan subunit α’ dan α dari β-konglisinin serta A 5 dari glisinin, kekerasan curd juga dipengaruhi proporsi glisinin, β-konglisinin, dan rasio keduanya. Pengaruh proporsi glisinin, β-konglisinin, dan rasio keduanya terhadap kekerasan curd dapat dilihat pada Tabel 11. Analisis korelasi Pearson 2-tailed Lampiran 35 menunjukkan adanya korelasi antara proporsi glisinin, β-konglisinin, rasio keduanya, dan kekerasan curd. Proporsi glisinin dan rasio glisininβ- konglisinin berkorelasi positif dengan kekerasan curd pada taraf nyata 5. Sementara proporsi β- 43 konglisinin berkorelasi negatif dengan kekerasan curd. Dengan kata lain, semakin tinggi proporsi glisinin dan semakin rendah proporsi β-konglisinin, semakin keras tekstur curd. Tabel 11 . Korelasi antara glisinin, β-konglisinin, dan kekerasan curd Sampel Kadar Glisinin Kadar β- Konglisinin Rasio α’ dan α A 5 Kekerasan kg F 63 o C Whey 1 Hari 75.71 b 24.29 b 3.12 b 17.05 b 8.65 a 1.69 a,b Whey 2 Hari 71.46 a 28.54 c 2.50 a 21.71 c 6.38 a 1.74 b Whey 3 Hari 72.66 a,b 27.34 b,c 2.66 a,b 21.50 c 8.82 a,b 1.48 a 83 o C Whey 1 Hari 72.10 a 27.90 c 2.58 a 20.19 c 8.32 a 2.03 c Whey 2 Hari 79.82 c 20.18 a 3.96 c 13.88 a 14.64 c 2.66 d Whey 3 Hari 73.71 a,b 26.29 b,c 2.80 a,b 21.67 c 12.16 b,c 1.98 c Nilai rataan dengan superskrip yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata p0.05 glisininβ-konglisinin Kandungan protein 11S dan rasio 11S7S dilaporkan memberikan korelasi positif terhadap kekerasan gel dari protein kedelai Mujoo et al., 2003. Rasio 11S7S mempengaruhi karakter kekerasan dan elastisitas gel. Glisinin berkontribusi terhadap peningkatan kekerasan dan kekokohan gel, sedangkan β-konglisinin memberikan pengaruh terhadap elastisitas gel yang dihasilkan Blazek, 2008. Perbedaan ini dikarenakan adanya ikatan disulfida pada protein 11S yang mempengaruhi dissosiasiassosiasi dan perilaku subunit protein unfold struktur terbuka. Ikatan disulfida dalam protein 11S mempromosikan terbentuknya matriks tiga dimensi selama proses gelasi sehingga menghasilkan gel yang lebih kuat dan WHC yang lebih besar Hettiarachchy dan Kalapathy, 1998. Ikatan protein dalam curd menentukan ketiga parameter tekstur yang diukur pada penelitian ini. Menurut Rosenthal 1999, kekerasan adalah gaya yang diberikan hingga terjadi perubahan bentuk pada objek. Nilai kekerasan ditentukan dari nilai puncak pertama pada grafik TPA curd, yang menunjukkan kekuatan maksimum curd dalam menahan gaya yang diberikan oleh probe Texture Analyser TA sampai terjadi perubahan bentuk. Kemampuan curd menahan gaya tidak hanya ditentukan oleh kadar protein dan komponen lain yang terperangkap dalam matriks curd, tetapi juga oleh ikatan yang terjadi antar protein dalam matriks curd. Semakin besar energi interaksi yang terbentuk karena ikatan tersebut, semakin kuat curd dalam menahan gaya yang diberikan oleh probe TA. Sama halnya dengan kekerasan, kohesivitas juga ditentukan oleh ikatan yang terjadi antar protein dalam curd. Rosenthal 1999 menyebutkan bahwa kohesivitas adalah rasio usaha yang dibutuhkan untuk menekan pangan pada gigitan kedua dibandingkan dengan usaha yang dibutuhkan untuk menekan pangan pada gigitan pertama. Kohesivitas curd menunjukkan kekompakan dan kekokohan curd , serta menunjukkan kekuatan dari ikatan-ikatan dalam curd yang mempertahankan bentuk curd. Dalam TPA curd, kohesivitas ditentukan berdasarkan rasio luas area di bawah kurva puncak kedua dengan luas area di bawah kurva puncak pertama. Luas di bawah kurva TPA menunjukkan integral waktu t terhadap gaya F. Semakin kuat interaksi yang dibentuk oleh ikatan antar protein dalam curd , semakin kuat curd mempertahankan bentuknya. Selain kedua parameter tekstur di atas, daya kunyah juga dipengaruhi oleh ikatan yang terjadi antar protein dalam membentuk matriks curd. Menurut Rosenthal 1999, ikatan disulfida adalah ikatan pembentuk matriks curd dengan energi interaksi yang paling tinggi, sekitar 40 kKal, dibandingkan dengan ikatan dan interaksi lain dalam curd. Hettiarachchy dan Kalapathy 1998 menyebutkan bahwa ikatan disulfida terdapat dalam protein glisinin 11S dan tidak terdapat dalam protein β-konglisinin 7S. Oleh karena itu, semakin besar proporsi glisinin 11S, semakin keras dan kokoh curd yang terbentuk. Hal sebaliknya berlaku 44 untuk β-konglisinin, semakin besar proporsi β-konglisinin 7S, curd yang terbentuk akan semakin lunak dan elastis.

4.2.5 Analisis Subjektif Kekerasan