Analisis Subjektif Kekerasan TAHAP PENELITIAN UTAMA

44 untuk β-konglisinin, semakin besar proporsi β-konglisinin 7S, curd yang terbentuk akan semakin lunak dan elastis.

4.2.5 Analisis Subjektif Kekerasan

Curd Kekerasan curd dianalisis secara subjektif dengan pendekatan sensori. Pengujian sensori ini diperlukan untuk melihat respon konsumen terhadap sampel curd. Menurut Szczesniac 1987 yang dikutip oleh Faridi dan Faubion 1990, tekstur merupakan atribut sensori yang hanya dipersepsikan, dijelaskan, dan diukur dengan indera manusia seperi peraba, penglihatan dan pendengaran. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis sensori terhadap tekstur curd tersebut. Analisis kekerasan curd dilakukan oleh panelis terlatih dalam bidang kekerasan curd dengan menekan curd mentah menggunakan telunjuk dan ibu jari. Dalam penelitian ini, panelis tidak melakukan penilaian secara langsung terhadap curd hasil perlakuan suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey. Analisis subjektif kekerasan tekstur curd dilakukan menggunakan persamaan yang diperoleh dari hubungan antara tekstur objektif dan subjektif curd komersial. Sebelas panelis terlatih dalam bidang kekerasan curd dilibatkan dalam analisis kekerasan curd. Sebelumnya, sekitar 30 calon panelis diseleksi dengan uji segitiga dan uji rangking terhadap kekerasan beberapa curd kedelai komersial. Kuesioner uji segitiga dan uji rangking yang digunakan dalam proses seleksi ini dapat dilihat pada Lampiran 2. Sebanyak 12 calon panelis terlatih yang lolos seleksi kemudian dilatih dalam Focus Group Discussion FGD. Dari 12 calon panelis yang lolos seleksi, hanya 11 orang yang aktif hingga akhir pelatihan. Menurut Kemp et al. 2009, analisis deskriptif hanya membutuhkan 6-18 panelis terlatih dengan kemampuan sensori yang baik dan telah menerima pelatihan. Curd yang diuji dan digunakan selama pelatihan panelis adalah curd kedelai komersial berbagai merek yang diperoleh dari pasar swalayan di Bogor. Sebelumnya, tekstur curd komersial dianalisis secara objektif menggunakan metode TPA dengan Texture Analyzer TA-XT2i. Curd komersial dengan parameter kekerasan yang konsisten hasil ulangan pengukuran baik dipilih sebagai sampel curd untuk pelatihan panelis dan pengujian rating kekerasan curd. Berdasarkan hasil seleksi, diperoleh enam merek curd komersial dengan kisaran kekerasan 0.46 kg F hingga 4.75 kg F. Curd yang terpilih sebagai sampel dapat dilihat pada Lampiran 36. Tiga hingga empat sampel curd komersial yang telah diketahui nilai kekerasan objektifnya digunakan dalam pelatihan panelis. Panelis diminta memberi penilaian kekerasan masing-masing curd komersial dalam skala garis yang panjangnya 15 cm, antara sangat lunak hingga sangat keras. Kuesioner pelatihan dan pengujian dapat dilihat pada Lampiran 3. Skala garis memungkinkan panelis lebih fleksibel dalam menilai kekerasan sampel Kem et al., 2009. Pelatihan panelis bertujuan menyamakan persepsi semua panelis. Kesamaan persepsi merupakan prasyarat agar keragaman penilaian antar panelis dapat diminimalkan. Pelatihan panelis juga dilakukan agar panelis memberikan penilaian yang konsisten terhadap sampel curd yang sama. Kem et al. 2009 menyebutkan bahwa tujuan pelatihan panelis tidak hanya meningkatkan kemampuan panelis dalam mendeteksi, membedakan, dan mendeskripsikan sampel, melainkan juga meningkatkan kepercayaan diri dan mengurangi ragam antar penelis. Sebanyak enam sampel curd komersial terpilih diuji menggunakan metode rating skala garis oleh 11 panelis terlatih dalam bidang kekerasan curd. Meskipun panelis sudah dilatih dan dikenalkan dengan sampel uji selama satu bulan, panelis masih memberikan penilaian yang cukup variatif. Oleh karena itu, dipilih minimal 6 panelis yang memberikan penilaian kekerasan curd relatif sama. Enam 45 panelis dianggap cukup mewakili penilaian satu parameter tekstur curd, yaitu kekerasan. Hasil penilaian rating skala garis kekerasan tekstur curd komersial dapat dilihat pada Lampiran 37. Berdasarkan hasil analisis tekstur curd komersial secara objektif dan subjektif, diperoleh persamaan hubungan antara nilai kekerasan objektif dan nilai kekerasan subjektif seperti terlihat pada Lampiran 38. Persamaan tersebut, yaitu y = 2.876x + 1.358 R 2 = 0.935, dengan x mewakili nilai kekerasan objektif curd dan y mewakili nilai kekerasan subjektif curd. Persamaan di atas digunakan untuk menentukan kekerasan curd hasil perlakuan suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey secara subjektif. Berdasarkan persamaan di atas, diperoleh nilai kekerasan subjektif curd berbagai perlakuan seperti yang tercantum dalam Tabel 12. Curd hasil perlakuan suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey memiliki nilai kekerasan subjektif berkisar 5.63 hingga 9.00 pada skala garis uji rating dari sangat lunak 0 hingga sangat keras 15. Nilai tersebut menunjukkan curd hasil perlakuan suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey rata-rata memiliki tingkat kekerasan sedang. Tabel 12. Perbandingan kekerasan curd secara objektif dengan kekerasan curd secara subjektif Suhu Awal o C Umur koagulan whey Hari Tekstur Objektif kg F Subjektif 63 1 1.69 a,b 6.23 a,b 2 1.74 b 6.37 b 3 1.48 a 5.63 a 83 1 2.03 c 7.20 c 2 2.66 d 9.00 d 3 1.98 c 7.04 c Nilai rataan dengan superskrip yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata p0.05 Menggunakan persamaan y = 2.876x + 1.358 R 2 = 0.935 Hasil analisis ragam Lampiran 39 menunjukkan bahwa interaksi suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey berpengaruh nyata terhadap kekerasan curd secara subjektif. Curd dengan kekerasan tertinggi diperoleh pada perlakuan suhu awal proses koagulasi 83 o C dan koagulan whey berumur 2 hari. Sedangkan curd dengan kekerasan terendah diperoleh pada perlakuan suhu awal proses koagulasi 63 o C dan penggunaan koagulan whey berumur 3 hari. Meskipun kekerasan yang dihasilkan bervariasi antar perlakuan, hasil uji rating skala garis menunjukkan bahwa curd yang dihasilkan memiliki kekerasan sedang.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Suhu awal proses koagulasi berpengaruh nyata terhadap profil whey pres dan curd hasil koagulasi seperti nilai pH koagulasi, transmitan whey, kadar protein curd, kadar air curd, massa curd serta total padatan curd. Koagulasi pada suhu awal 83 o C menghasilkan pH koagulasi, transmitan whey , dan kadar protein curd yang lebih tinggi dibandingkan dengan koagulasi pada suhu awal 63 o C. Sedangkan kadar air curd, massa curd dan total padatan curd, koagulasi pada suhu awal 63 o C memberikan hasil yang lebih tinggi daripada koagulasi pada suhu awal 83 o C. Umur koagulan whey tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap profil whey pres dan curd hasil koagulasi. Meskipun demikian, interaksi suhu awal proses koagulasi dan umur whey berpengaruh terhadap banyaknya protein dapat diendapkan menjadi curd. Suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey juga berpengaruh tehadap pola pita fraksi protein yang muncul pada analisis elektroforesis. Meskipun secara visual pita fraksi protein yang terbentuk sama, intensitas warna dari pita fraksi protein yang terbentuk berbeda. Intensitas warna pita fraksi protein ini menunjukkan banyaknya protein ber-BM tertentu pada pita tersebut. Perbedaan ini diduga menunjukkan perbedaan proporsi subunit protein penyusun curd, dalam hal ini glisinin 11S dan β-konglisinin 7S, yang merupakan protein dominan dalam kedelai. Suhu awal proses koagulasi berpengaruh nyata terhadap proporsi protein glisinin, β-konglisinin, rasio glisininβ-konglisinin, proporsi subunit α΄ dan α, grup asam A 3 , A 1 , A 2 , A 4 , grup basa, dan A 5 . Secara keseluruhan suhu awal proses koagulasi 83 o C menghasilkan curd dengan proporsi glisinin, rasio glisininβ-konglisinin, proporsi subunit grup asam A 3 , A 1 , A 2 , A 4 , dan A 5 yang lebih tinggi dibandingkan dengan curd yang dihasilkan pada suhu awal proses koagulasi 63 o C. Suhu awal proses koagulasi 63 o C lebih unggul dari suhu awal proses koagulasi 83 o C pada proporsi β-konglisinin, proporsi subunit α΄ dan α, serta grup basa. Sementara umur koagulan whey berpengaruh nyata rasio glisininβ-konglisinin, proporsi subunit α΄ dan α, subunit β, dan subunit grup basa. Pengaruh umur koagulan whey terhadap pita protein yang terbentuk tidak memberikan suatu pola, hanya proporsi subunit β yang memiliki pola, yaitu semakin rendah dengan semakin tuanya umur koagulan whey yang digunakan. Koagulasi pada suhu awal 83 o C menghasilkan parameter tekstur curd, baik secara objektif maupun subjektif, yang lebih tinggi dibandingkan dengan curd yang dihasilkan pada suhu awal proses koagulasi 63 o C. Suhu awal proses koagulasi berpengaruh nyata terhadap parameter tekstur curd yang diukur seperti kekerasan, kohesivitas, dan daya kunyah curd. Sama halnya dengan suhu awal proses koagulasi, umur koagulan whey juga berpengaruh nyata terhadap ketiga parameter tekstur yang diukur. Koagulan whey berumur 3 hari menghasilkan curd dengan parameter tekstur terendah pada suhu awal proses koagulasi yang sama, yaitu memiliki tekstur paling lunak dengan kohesivitas dan daya kunyah yang paling rendah. Parameter tekstur curd tertinggi diperoleh dengan koagulasi menggunakan koagulan whey berumur 2 hari, baik pada suhu awal proses koagulasi 63 o C maupun 83 o C. Parameter tekstur curd erat kaitannya dengan profil whey pres dan curd hasil koagulasi dan proporsi protein di dalam curd. Kadar air, kadar protein, dan total padatan curd berkorelasi dengan parameter tekstur objektif curd, khususnya kekerasan, pada taraf 5. Kekerasan curd semakin tinggi dengan semakin tingginya kadar protein, dan semakin rendah dengan semakin tingginya kadar air dan total padatan curd. Pada taraf yang sama, curd dengan kadar air tinggi memiliki nilai kohesivitas rendah. Sedangkan curd dengan kadar protein yang tinggi memiliki nilai kohesivitas tinggi. Selain itu,