KOAGULASI DAN KOAGULAN TINJAUAN PUSTAKA

7 Sifat gelasi protein kedelai sering dihubungkan dengan keberadaan protein 7S dan 11S yang merupakan penyusun utama protein globulin kedelai. Kandungan protein 11S dan rasio 11S dan 7S dilaporkan memberikan korelasi positif terhadap kekerasan gel protein kedelai Mujoo et al., 2003. Menurut Corredig 2006, gel yang diperoleh dari isolasi glisinin 11S memberikan karakter gel yang lebih keras dibandingkan gel yang diperoleh dari β-konglisinin dan struktur jaringan yang terbentuk oleh keduanya memiliki perbedaan, tergantung dari komposisi protein. Kekerasan gel glisinin kedelai berbanding lurus dengan banyaknya subunit A 3 , komponen terbesar dari polipeptida asam glisinin Szczapa, 2001. Rasio 11S dan 7S mempengaruhi kekerasan dan elastisitas gel. Glisinin berkontribusi terhadap kekerasan dan kekokohan gel, sedangkan β-konglisinin berkontribusi terhadap elastisitas gel yang dihasilkan Blazek, 2008. Gel yang terbentuk dari fraksi protein 11S mempunyai kekuatan gel dan WHC yang besar dibandingkan dengan gel yang terbentuk dari fraksi protein 7S. Perbedaan ini dikarenakan adanya ikatan disulfida pada protein 11S yang mempengaruhi dissosiasiassosiasi dan perilaku subunit protein unfold struktur terbuka. Ikatan disulfida dalam protein 11S mempromosikan terbentuknya matriks tiga dimensi selama proses gelasi sehingga menghasilkan gel yang lebih kuat dan WHC yang lebih besar Hettiarachchy dan Kalapathy, 1998.

2.2 KOAGULASI DAN KOAGULAN

Meng et al. 2002 mendefinisikan koagulasi protein sebagai interaksi acak molekul-molekul protein yang menyebabkan terbentuknya agregat-agregat protein, baik bersifat larut maupun tidak larut. Koagulasi dapat terjadi dengan penambahan bahan penggumpal protein koagulan. Koagulasi susu kedelai merupakan tahapan yang paling penting dalam pembuatan curd sekaligus menjadi tahapan yang paling sulit dikendalikan karena merupakan hasil interaksi kompleks dari berbagai variabel Blazek, 2008; Prabhakaran et al., 2006. Menurut Obatolu 2007, proses koagulasi susu kedelai dipengaruhi oleh interaksi kompleks antara jenis kedelai, suhu pemasakan, volum, kandungan padatan, pH, jenis dan jumlah koagulan, serta waktu koagulasi. Penggunaan jenis dan konsentrasi koagulan yang berbeda akan mempengaruhi rendemen, sifat tekstur, dan flavor curd yang dihasilkan Blazek, 2008; Mujoo et al., 2003. Poysa dan Woodrow 2004, menyatakan bahwa koagulan yang berbeda akan memberikan tekstur serta flavor yang berbeda pula. Koagulasi protein susu kedelai berlangsung pada pH 4.1-4.6. Melalui proses tersebut, diperoleh curd yang mengandung protein yang sebagian besar terdiri atas globulin. Hermansson 1994 melaporkan bahwa kehadiran garam koagulan dan pemanasan menyebabkan curd terbentuk pada kisaran pH 4 hingga 6. Menurut Prabhakaran et al. 2006, perbedaan jenis koagulan yang digunakan akan menghasilkan perbedaan kandungan air dalam curd. Kekuatan anion dan kation berpengaruh terhadap pembentukan struktur jaringan gel yang berimplikasi terhadap kemampuan gel protein kedelai dalam mengikat air WHC. Oleh karena itu, konsentrasi koagulan dan jenis anion ini mempengaruhi kekerasan curd yang dihasilkan. Konsentrasi koagulan yang terlalu rendah menyebabkan pengendapan protein menjadi tidak sempurna serta pemisahan whey dan curd menjadi sulit Blazek, 2008. Pengendapan protein yang tidak sempurna menyebabkan struktur matriks curd menjadi renggang sehingga curd yang terbentuk terlalu lunak Obatolu, 2007. Sebaliknya, kelebihan konsentrasi koagulan membuat tekstur curd kedelai menjadi keras dan dapat mengurangi palatabilitas Blazek, 2008. Johnson dan Wilson 1984 menyatakan bahwa jumlah koagulan yang dibutuhkan tergantung pada kadar padatan yang terdapat dalam susu kedelai. Rendemen pembentukan curd dipengaruhi oleh penggunaan koagulan. Semakin lambat kemampuan koagulan dalam mengkoagulasi susu akan memberikan rendemen massa curd yang lebih 8 baik karena agregat protein dalam curd memerangkap air lebih banyak. Sebaliknya, koagulan yang mengkoagulasikan protein lebih cepat kurang memerangkap air sehingga massa curd yang dihasilkan lebih sedikit Obatolu, 2007. Menurut Blazek 2008, peningkatan suhu koagulasi dan kecepatan pengadukan sesaat setelah penambahan koagulan juga akan menurunkan rendemen curd dan mempengaruhi kekerasan curd yang terbentuk. Shurtleff dan Aoyagi 1984 menggolongkan bahan penggumpal tahu menjadi empat golongan, yaitu: 1 golongan garam klorida atau nigari; 2 golongan garam sulfat; 3 golongan lakton; dan 4 golongan asam. Beberapa golongan bahan penggumpal tahu yang umum digunakan disajikan dalam Tabel 2. Menurut Shurtleff dan Aoyagi 1984, penambahan bahan penggumpal sebaiknya dilakukan setelah susu kedelai mencapai suhu 70 o C - 90 o C, tergantung dari jenis bahan penggumpal yang digunakan. Pada koagulan golongan garam, kation logam yang terdapat di dalamnya seperti Mg 2+ atau Ca 2+ bereaksi dengan protein susu kedelai dan mengendapkannya bersama lemak untuk menghasilkan curd. Tabel 2. Beberapa golongan bahan penggumpal tahu yang umum digunakan Sumber: Shurtleff dan Aoyagi 1984 Nigari alami diekstrak dari air laut dengan menghilangkan sebagian besar garam NaCl dan air. Koagulan jenis ini mengandung komponen mineral air laut alami terutama magnesium klorida. Penggunaan koagulan jenis nigari membutuhkan waktu pembuatan tahu yang cukup lama karena koagulan jenis ini harus ditambahkan sedikit demi sedikit dan perlahan-lahan, akibatnya dibutuhkan teknik yang baik dalam pembuatan tahu. Selain itu, penggunaan koagulan nigari akan menghasilkan tahu dengan tekstur yang cenderung kurang lembut Shurtleff dan Aoyagi, 1984. Garam sulfat merupakan golongan koagulan yang paling umum digunakan dalam pembuatan curd protein kedelai. Koagulan ini akan terdispersi perlahan di dalam susu kedelai sehingga memberikan waktu koagulasi yang lambat Shurtleff dan Aoyagi, 1984. Koagulan sulfat mengkoagulasi protein kedelai dengan cara membentuk jembatan antar molekul protein dan meningkatkan ikatan silang polimer sehingga terjadi agregasi protein Obatolu, 2007. Lakton, yang dikenal sebagai glukono-δ-lakton, merupakan koagulan yang umum digunakan untuk membuat tahu Jepang dengan tekstur sangat lembut. Tahu ini dikenal dengan sebutan tahu sutra silken tofu. Pada dasarnya, koagulan golongan lakton berbeda dengan nigari maupun garam sulfat. Penggunaan glukono-δ-lakton sebagai koagulan akan menurunkan pH susu kedelai dan meningkatkan sifat hidrofobik dan ketidaklarutan sehingga terjadi agregasi protein terdenaturasi Kohyama dan Nishinari, 1993. Ketika koagulan dicampur dengan susu kedelai dan dipanaskan, lakton menghasilkan asam glukonat yang mengkoagulasikan protein susu kedelai menjadi curd tahu sutra Shurtleff dan Aoyagi, 1984. Keistimewaan lakton dalam pembuatan curd adalah dalam jumlah sedikit dapat dicampurkan pada susu kedelai dingin, kemudian dimasukkan dalam wadah, dan ditutup rapat. Selanjutnya dicelupkan dalam air panas pada suhu 85 – 95 o C selama 30 - 35 menit sehingga terbentuk curd. Panas Golongan Jenis yang Umum Digunakan Garam klorida nigari Nigari alami, MgCl 2 .6H 2 O, air laut, CaCl 2 , CaCl 2 .2H 2 O Garam sulfat CaSO 4 dan MgSO 4 .7H 2 O Lakton C 6 H 10 O 6 glukono-δ-laktonGDL Asam Asam laktat, sari buah jeruk, asam asetat, cuka larutan asam asetat 4 9 tersebut akan mengaktifkan lakton untuk menghasilkan tahu dalam wadah tanpa pemisahaan whey dan curd dengan pengepresan. Koagulan asam mampu mengkoagulasi dan mengagregasi protein dengan menurunkan pH sistem Obatolu, 2007. Asam laktat, salah satu koagulan jenis asam, diperoleh melalui aktivitas bakteri asam laktat. Asam laktat menurunkan pH susu kedelai menjadi 4.5 yang merupakan titik isoelektrik bagi protein globulin kedelai. Penurunan pH mendekati titik isoelektrik menyebabkan terjadinya koagulasi protein. Di Indonesia, koagulan asam laktat secara tradisional diperoleh melalui fermentasi whey hasil pengolahan tahu sebelumnya. Koagulan tersebut dikenal sebagai koagulan whey tahu atau biang tahu. Di industri tahu, penggunaan koagulan whey tahu dikombinasikan dengan pemanasan Kastyanto, 1985; Koswara, 1992. Pemanasan susu kedelai merupakan prasyarat terbentuknya gel. Pemanasan membuat struktur molekul protein kedelai terbuka unfold, akibatnya ikatan hidrogen -SH, ikatan disulfida S-S, dan sisi rantai asam amino hidrofobik akan terekspos dengan lingkungan luar. Melalui penambahan koagulan, misalnya koagulan asam, muatan negatif molekul protein akan berkurang akibat protonasi COO- pada residu asam amino. Akibatnya, molekul-molekul protein akan cenderung saling mendekat karena memiliki muatan yang sama. Ikatan hidrogen -SH, ikatan disulfida S-S, serta interaksi hidrofobik pun terjadi secara intermolekul. Reaksi ini memfasilitasi terjadinya agregasi protein membentuk struktur jaringan tiga dimensi gel curd Liu et al., 2004. Pemanasan juga mempengaruhi laju koagulasi serta tekstur curd yang dihasilkan. Pada suhu yang tinggi, protein memiliki energi vibrasi dan rotasi tinggi yang menyebabkan koagulasi berlangsung cepat. Curd yang dihasilkan cenderung memiliki Water Holding Capacity WHC yang rendah, tekstur yang keras dan kasar, serta rendemen yang rendah. Suhu koagulasi yang rendah memiliki efek sebaliknya. Namun jika suhu terlalu rendah, koagulasi menjadi tidak sempurna, curd mengandung banyak air, dan tidak mampu mempertahankan bentuknya Liu, 2008.

2.3 CURD KEDELAI