setiap hari.. Dan kita harus serumah segala macem.. Jadi bener- bener tertekan banget gitu..” Subjek II, Line 317-322 Kalau..
sebenernya ngerasanya capek sih.. capek banget gitu.. Maksudnya kayak.. di depan.. di depan semua orang.. di depan keluarga
terutama kamu harus.. kayak berusaha untuk nunjukin kalau aku bahagia.. aku baik-baik aja.. aku nggak ada masalah kayak gitu..
capek.. capek untuk bersikap kayak gitu tuh capek banget.. .. Apalagi kalau emang kamu bener-bener nggak nyaman gitu..
Rasanya tuh bener-bener jenuh.. muak.. pengen pergi gitu..“ Subjek II, Line 378-387
b. Perasaan Terhadap Orang Lain
Bagi kedua subjek, pernikahan memunculkan perasaan kasihan terhadap orang lain. Pada subjek I, perasaan tersebut ditujukan pada kedua
anaknya dan suami. Ia merasa kasihan dengan anak-anak karena terus- terusan bertengkar dengan suami. Pertengkaran tersebut seringkali
membuat anak menjadi bertanya-tanya. Di sisi lain, subjek I juga merasa
kasihan dengan suami karena terus-terusan ia bohongi. “Aku yang nggak senang itu kalau dia mau berantem depan anak-
anak enjoy masih. Nah aku nggak suka. Kalau berantem jangan depan anak-anak kan kasian anak-anaknya.” Subjek I, Line 797-
800 “… kita juga nutupin dia juga dibohongin kan kasian ya.” Subjek
I, Line 245-246 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Berbeda dengan subjek I, subjek II merasa kasihan dan tidak tega pada orang-orang yang pernah atau akan menjadi pacar perempuannya. Ia
mengatakan bahwa orang-orang tersebut pasti merasa sangat cemburu, sakit hati dan tertekan. Kondisinya yang telah menikah tentu terasa sangat
tidak adil bagi pacar subjek II. “Aku juga merasa nggak adil gitu. Kasian juga kan dia nya.
Mungkin kalau aku ada di posisi dia juga pasti bakal sakit hati banget gitu. Aku sama suamiku tiap hari.. ya meskipun aku juga
tertekan tapi tiap hari gitu kan ya siapa sih yang nggak cemburu kayak gitu.” Subjek II, Line 503-509
c. Konflik Intrapersonal
Kedua subjek memiliki konflik intrapersonal yang berbeda satu sama lain. Subjek I memiliki beberapa konflik di dalam dirinya. Yang
pertama, subjek I cenderung mengalami konflik diri terkait hubungan seksual yang dijalani dengan suaminya. Ia merasa harus melakukan
hubungan seksual dengan suaminya karena hal tersebut merupakan kewajibannya sebagai seorang istri. Akan tetapi, di sisi lain, hubungan
seksual tersebut memunculkan perasaan bersalah terhadap pacar
perempuannya.
“Makanya kadang.. kan kita udah ngejalanin hubungan sama cewek gitu.. trus pas.. berhubungan intim sama suami mikirnya
ngerasa bersalah.. aduh aku kok malah kayak gini. Aku ngecewain PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dia nih.. kadang ada perasaan kayak gitu.” Subjek I, Line 910- 914
Konflik yang kedua adalah subjek I merasa bahwa ia tidak bisa mengatakan hal yang sejujurnya pada suaminya karena kejujuran itu akan
berdampak buruk padanya, misalnya mengenai orientasi seksual dan perselingkuhannya. Meskipun demikian, ia merasa kasihan karena suami
terus menerus ia bohongi. Subjek I juga merasakan konflik batin ketika ia menjauhkan anak-anak dari ayah mereka saat sedang bertengkar. Hal ini
dikarenakan ia merasa bersalah pada anak-anaknya tersebut. “Pas pergi awal-awal Reynan masuk TK itu iya nangis. Kadang
“ayah.. ayah..” Kalau sudah ayah..ayah.. gini kadang ngerasa bersalah sih.” Subjek I, Line 716-718
Hal yang berbeda dirasakan oleh subjek II. Konflik yang dirasakan subjek II muncul karena adanya keinginan meninggalkan kehidupan saat
ini dan bercerai dari suami supaya bisa bebas menjadi diri sendiri dan mulai membahagiakan diri sendiri. Sayangnya, keinginan tersebut
bertentangan dengan rasa tanggung jawabnya terhadap kedua anaknya. “Rasanya tuh pengen.. bener-bener pengen.. pergi gitu.. ninggalin
semua-semuanya terus pengen ngebahagiain diri sendiri.. gitu- gitu.. pengennya sih gitu.. cuman ya gimana nggak bisa gitu juga
karena sekarang aku sudah punya anak.. aku punya tanggung jawab di situ..” Subjek II, Line 388-393
Selain itu, keinginan itu juga diikuti oleh perasaan tidak yakin bahwa setelahnya ia bisa bebas dari paksaan orangtua. Menurut subjek II,
di usianya yang sudah dewasa, orangtua memang seharusnya tidak lagi ikut campur dalam kehidupan anaknya. Akan tetapi, ia tidak yakin bahwa
hal itu bisa dilakukan oleh kedua orangtuanya.
“Misal aku cerai sekarang gitu.. e.. apa iya aku terus bisa bebas dari orangtua gitu. Ya emang harusnya sih dengan umur aku
kayak gini tuh harusnya orangtua tuh nggak ik.. nggak seharusnya ikut campur gitu dengan.. dengan.. e apa namanya.. dengan apa
yang aku jalanin gitu. Aku udah dewasa.. aku udah punya hak untuk menjalankan apapun yang aku mau.. seharusnya kayak gitu..
nggak ada ikut campur. Tapi kan ya namanya orangtua ya teteplah orangtua gitu. Kita nggak tau mes.. misalnya pun aku bisa cerai
sekarang.. lah entar trus dinikahin gitu sama yang lain dengan alasan macem-macem ya sama aja bohong kan.” Subjek II, Line
624-637
d. Relasi Sosial