sendiri.. Ya kek-kek gitu lah.. Mungkin itu sih yang bikin dia bertahan.. Lebih ke ego nya dia, takut dipandang jelek. Subjek II, Line 793-799
Karena anak-anak juga sih menurutku. Karena kan dia juga sadar kalau perceraian tuh pasti berdampak pada banyak orang. Nggak
cuma antara aku dan dia doang. Ya anak-anak terutama karena kan
mereka yang paling dekat dari kita berdua.” Subjek II, Line 801-805
6. Kehadiran Anak
Kedua subjek mengungkapkan bahwa relasi mereka dengan anak-anak cenderung biasa saja dan tidak ada yang aneh. Bahkan, mereka berdua sama-
sama lebih dekat dengan anak-anak dibandingkan dengan suami. Kedua subjek selalu berusaha memberikan yang terbaik bagi anak-anak mereka.
Subjek II mengatakan bahwa ia mencintai anaknya sepenuh hati dan hal tersebut tidak berkaitan sama sekali dengan orientasi seksualnya.
Kehadiran anak di dalam pernikahan memberikan dampak yang positif bagi diri kedua subjek. Menurut subjek I, anak memberikan motivasi dan
semangat untuk menjadi kuat dan bertahan. “Tapi semenjak ada anak-anak ya udah e.. udah.. udah ngerasa.. ah
ini motivasiku.. aku.. aku bertahan demi anak-anak itu mulai.. itu mulai memunculkan semangat.” Subjek I, Line 360-363
Subjek II juga merasakan hal yang sama dengan subjek I. Selain itu, subjek II juga mengatakan bahwa anak merupakan pelarian agar tidak terlalu
berfokus pada masalah dan merupakan penghibur saat sedang marah, capek dan down.
“E.. ya aku ngerasa lebih kuat aja sih.. maksudnya jadi kayak aku punya alasan gitu untuk bertahan.. aku punya alasan untuk e.. bisa
kuat gitu loh.. Maksudnya kayak kalau misalnya e.. apa ya.. ya aku ngerasa mereka jadi kekuatan sih buat aku gitu.. yang saat aku lagi
marah.. saat aku lagi down gitu mereka ada. Paling nggak mereka bisa menghibur apa namanya menghibur aku gitu loh.. meskipun apa
namanya ya dengan situasi kayak gini ya aku masih bersyukur punya mereka kayak gitu. Subjek II, Line 365-374 Ada anak gitu juga jadi
kayak semacem aku punya pelarian gitu.. nggak.. nggak terlalu fokus ke masalahku gitu” Subjek II, Line 327-329
Bagi kedua subjek, kehadiran anak juga berpengaruh pada pola konflik dengan suami. Semenjak anak hadir di pernikahan mereka, subjek I dan II
harus menutupi pertengkarannya dengan suami dan berusaha menunjukkan bahwa ia dan suami memiliki hubungan yang baik-baik saja. Hal ini
dikarenakan anak-anak subjek semakin lama semakin dewasa, sehingga semakin mengerti emosi dan hal-hal yang terjadi di sekitarnya. Subjek II takut
pertengkarannya dengan suami memberikan dampak buruk bagi anak-anak. Ketakutan tersebut juga membuat subjek II menjadi harus lebih pintar
mengontrol emosi dan harus sembunyi-sembunyi jika ingin menangis. Subjek II menyadari bahwa anaknya akan langsung sedih apabila melihat dirinya
sedang menangis dan ia tidak ingin hal ini terjadi. Hal ini dapat dibuktikan dari pernyataan subjek sebagai berikut :
“Setelah ada anak sih.. lebih harus bisa mengontrol emosi sih.. Jadi kayak.. e ya iya sih aku emang sering berantem gitu sama suami sering
ini.. tapi karena udah ada anak.. ud udah gede.. apalagi yang satu udah gede lah udah tujuh tahun gitu.. dia udah ngerti. Maksudnya..
sedih.. seneng.. marah.. gitu dia udah gitu emosi-emosi kayak gitu.. Jadi kayak saat aku marah.. saat aku berantem ya sebisa mungkin aku
nutupin di depan mereka gitu.. Aku nggak berani untuk memperlihatkan kalau kita.. aku sama suami tuh nggak baik-baik aja
gitu. Itu yang masih ditutupin sih kalau di depan mereka gitu. Subjek II, Line 340-351 Kan sekarang udah ada anak jadi kan mesti
sembunyi-sembunyi gitu.. Nggak bisa juga kamu mau nangis ya nangis aja itu nggak bisa juga. Kayak gitu.. Aku juga nggak mau gitu terus
mereka ngeliat aku nangis terus mereka juga ikutan jadi sedih gitu..” Subjek II, Line 423-427
Berbeda dengan suami subjek II yang cenderung mau bekerja sama dalam hal menyembunyikan konflik dari anak, suami subjek I cenderung tidak
kooperatif. Subjek I sudah memperingatkan suami untuk tidak bertengkar di depan anak-anak, akan tetapi suami terus mengulanginya. Hal ini membuat
keinginan subjek I untuk bercerai dari suaminya semakin kuat. Mulanya, subjek I masih mau mempertahankan pernikahannya karena menyadari bahwa
perceraian akan berdampak besar bagi banyak orang. Akan tetapi, situasi berubah setelah kedua anaknya bertambah usia. Berdasarkan penuturan subjek
I, semakin lama, anak semakin paham akan apa yang terjadi di antara subjek PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dan suaminya. Hal ini membuat subjek I merasa bahwa pernikahan yang tidak sehat akan lebih mengganggu psikologis anak dan ia tidak mau hal ini terjadi.
Saat ini, subjek I memiliki alasan yang lebih kuat untuk bercerai daripada bertahan. Hal ini terlihat dari perkataan subjek sebagai berikut :
“Sekarang akhirnya lebih mikirin ke anak-anak ya. Mikirin anak- anak.. Trus e.. karena anak-anak sudah besar, trus sudah ngerti kita
nggak mungkin berantem terus kan.. Disitu aku mulai.. kayaknya nggak bisa dipertahanin lagi ini.. Yang awalnya aku berusaha ya udah
aku pertahanin.. aku pertahanin gitu.. Nah sekarang ini aku udah.. aku udah berusaha untuk e.. bilang ke dia kalau emang sama-sama nggak
nyaman ya udah maunya apa.. Kalau aku sih maunya kayak gini.. Nah dia ternyata nggak mau yang kayak gitu kan.. Yaudah.. Cuman.. e..
aku masih berusaha untuk.. e.. lepas aja dari dia daripada psikolog anak kena kan.. Kita berantem terus.. berantem terus.. Otomatis kan
ke.. ke ini anak kena. Akhirnya ke situ sih sekarang.” Subjek I, Line 334-347
7. Dampak Pernikahan