Penyesuaian Pernikahan dalam Mixed Orientation Marriage

afeksi yang dibangun oleh individu homoseksual dengan orang lain di luar pernikahan.

4. Penyesuaian Pernikahan dalam Mixed Orientation Marriage

Untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang muncul dalam mixed orientation marriage, terdapat beberapa penyesuaian yang bisa dilakukan Ross, 1971, yaitu : a. Perpisahan Wolkomir 2009 menemukan bahwa coming out kepada suami istri membuat beberapa pasangan merasa kebingungan mengenai cara menjalankan pernikahan ketika salah satu di antara mereka adalah homoseksual. Untuk membuat keputusan, individu biasanya memberatkan pada kekuatan pernikahan yang telah mereka jalani sebelumnya dan cinta bagi pasangan. Kebanyakan dari mereka merasa bahwa pernikahan mereka sangat kuat sebab mereka telah membesarkan anak bersama-sama, berbagi dukungan emosi dan selalu hidup penuh dengan kesenangan, pertemanan dan cinta. Akan tetapi, setelah mengetahui bahwa pasangan mereka homoseksual, mereka tidak mampu menyesuaikan kondisi mereka dengan bagaimana kondisi pernikahan seharusnya. Bagi mereka, hasrat seksual adalah satu aspek penting dalam pernikahan. Tanpa identitas gender yang benar, pernikahan tidak bisa menjadi sempurna. Dengan kata lain, kebanyakan individu merasa bahwa pernikahan mereka tidak dapat dipertahankan karena mereka tidak bisa menyesuaikan diri dengan model dasar heteroseksualitas dan gender. Sebagai hasilnya, perceraian adalah satu-satunya resolusi yang terpikirkan. b. Platonic marriage Konflik seksual barangkali akan terselesaikan dengan sendirinya karena individu-individu yang terlibat tidak terlalu peduli dengan aktivitas seksual mereka di dalam pernikahan. Hal ini mungkin terjadi karena mereka memiliki kesibukan dan ketertarikan lain anak, pekerjaan, dll. Pernikahan jenis ini biasanya terjadi pada pasangan heteroseksual yang cenderung ignorant, dan mereka yang hanya bertemu sesekali saja, misalnya satu kali dalam satu bulan. c. The double standard Pada beberapa kasus, individu homoseksual berhasil menjalin hubungan di luar pernikahan tanpa sepengetahuan pasangannya, sambil tetap menjaga dan mempertahankan pernikahan heteroseksual yang ia miliki. d. Innovative marriage Dalam hal ini, pasangan homoseksual berhasil membujuk suami atau istri mereka untuk ikut dalam hubungan di luar pernikahan. Untuk melakukannya, suami dan istri membangun dua kategori yang berbeda dari cinta heteroseksual dan homoseksual yang dilakukan secara berdampingan. Wolkomir 2009 mengutarakan bahwa beberapa pasangan tidak melihat hasrat homoseksual mampu menghapuskan kemungkinan keintiman fisik heteroseksual. Saat mereka melihat dorongan homoseksual sebagai bagian tetap dari diri seseorang yang harus diakomodasi, mereka juga percaya bahwa hal tersebut bisa tetap berdampingan dengan dorongan heteroseksual, tanpa menomorduakan salah satu di antaranya. Sebagai hasilnya, pernikahan yang bernilai dan kehidupan seksual mampu dijalankan bersamaan dengan urusan homoseksual. Penyesuaian-penyesuaian seperti tersebut di atas, berdasarkan hasil penelitian, merupakan solusi yang buruk untuk mengatasi konflik homoseksualitas dalam pernikahan heteroseksual. Dampak dari perpisahan dan perceraian sangatlah buruk, tidak hanya bagi pasangan suami istri, tetapi juga bagi anak-anak mereka. Bahkan, anak-anak seringkali merasa bahwa perceraian orangtua jauh lebih sulit dialami daripada saat mereka menemukan bahwa orangtua mereka adalah seorang gay atau lesbian Kort, 2006. Platonic marriage cenderung diikuti oleh adanya ketidakpuasan pada pernikahan. The double standard memberikan kerugian yang besar terhadap pasangan heteroseksual. Kecemburuan, agresi dan kemarahan individu tersebut ketika mengetahui bahwa pasangannya berselingkuh akan menjadi bumerang bagi orang-orang yang mulanya menikmati relasi di luar pernikahan. Innovative marriage merupakan cara yang paling tidak merugikan. Akan tetapi, cara tersebut hanya berhasil pada kondisi tertentu saja, yaitu ketika pihak homoseksual memiliki sexual versatility keanekaragaman kepandaian seksual dan ketika pasangan heteroseksualnya memiliki pikiran yang terbuka. Selain itu, Ben-Ari dan Adler 2010 memberikan beberapa syarat lain pula, yaitu : a. Membangun kejujuran dan keterbukaan satu sama lain. b. Menyusun kontrak dan peraturan yang jelas dan dinamis bagi kedua belah pihak. Kontrak dan peraturan ini terutama adalah mengenai praktik dan aktivitas homoseksual pasangan yang dilakukan di luar pernikahan. c. Kedua belah pihak menerima orientasi homoseksual yang berdiri di tengah-tengah pernikahan mereka. d. Memenuhi hasrat seksual pasangan. Hal ini disebabkan sebuah penelitian menemukan bahwa rasa pemenuhan ini dapat terproyeksi secara positif pada hubungannya dengan istrisuami. Selain itu, penelitian lain menjelaskan bahwa rasa pemenuhan dan kepuasan hubungan homoseksual berkontribusi besar bagi kepuasan pernikahan. e. Cinta sebagai motif paling kuat untuk mempertahankan pernikahan adalah dasar yang penting dalam sebuah keintegrasian. f. Persepsi bahwa mixed-orientation marriage adalah suatu hal yang unik, bukan hal yang “tidak normal” karena tidak sesuai dengan susunan pernikahan yang konservatif. Pernikahan heteroseksual bagi pria gay merupakan situasi yang penuh dengan konflik. Pada sebuah studi yang dilakukan oleh Buxton dalam Alessi, 2008, 59 pria gay yang menikah secara heteroseksual memutuskan untuk mengikuti konseling dan terapi untuk membantu mereka menghadapi konflik pernikahan. Alessi 2008 mengatakan bahwa tidak semua pria homoseksual yang menikah datang mengikuti terapi karena mereka ingin keluar dari pernikahan. Ada alasan lain yang mendorong mereka untuk ikut menjalani terapi. Dalam dua kasus klinis yang diteliti olehnya, dua pasien gay memutuskan untuk mengikuti terapi karena mereka perlu menghadapi duka dan kehilangan yang cukup besar akibat tidak mampu menjalani tipikal hidup yang umum dimimpikan semua orang. Meskipun begitu, dua pria ini memutuskan untuk mempertahankan pernikahan mereka. Ada beberapa faktor yang membuat homoseksual memilih bertahan dalam pernikahan heteroseksual, misalnya cinta dan afeksi terhadap pasangan satu sama lain. Pernikahan tersebut memuaskan kebutuhan mereka akan relasi, kesetaraan dan kepemilikan, serta membuat mereka merasa “normal” Blass Blatt dalam Alessi, 2008. Selain itu, ketakutan akan kesepian dan ketergantungan mereka selama ini juga membuat mereka tetap tinggal pada pernikahan. Bagaimanapun juga, istrilah yang selama ini telah memberi cinta tak bersyarat dan dukungan penuh Kort, 2006.

5. Individu Heteroseksual dalam Mixed Orientation Marriage