Pembahasan HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

mengajarkan mereka untuk toleransi dan nggak diskriminasi.” Subjek

II, Line 481-491

D. Pembahasan

Kedua subjek menyadari orientasi seksualnya sejak masih duduk di bangku sekolah. Hal ini sejalan dengan penemuan Savin-Williams dalam Decha- ananwong, Tuicomepee Kotrajaras, 2013 yang menunjukkan bahwa kebanyakan individu LGBT mulai menyadari orientasi seksual mereka saat berusia remaja. Kedua subjek pertama kali menyadari bahwa mereka lesbian saat mereka merasa tertarik secara emosi terhadap perempuan tertentu. Saat ini, kedua subjek bisa menerima, bahkan cenderung merasa nyaman dan senang dengan identitas orientasi seksualnya. Meskipun demikian, pada mulanya, subjek II mengalami penolakan di dalam diri. Hal ini dikarenakan ia masih belum yakin bahwa orang lain juga sama sepertinya dan bahwa menjadi seorang lesbian bukanlah suatu kesalahan dosa. Yang dialami oleh subjek II ini sesuai dengan model pembentukan identitas yang diutarakan oleh Cass 1979. Menurut Cass 1979, tahap pertama yang dilalui seseorang dalam pembentukan identitas adalah identity confusion. Pada tahap ini, individu mulai bertanya-tanya siapa dirinya yang sebenarnya dan apakah ia berbeda dari orang-orang di sekitarnya. Individu berusaha melihat dirinya sama dengan lingkungan di sekitarnya sehingga terus menolak perasaan yang ia rasakan. Subjek II melalui tahapan ini. Ia menceritakan bahwa hal tersebut terjadi karena saat itu dia belum banyak mengenal tentang konsep LGBT. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Kedua subjek sama-sama pernah menjalin relasi sesama jenis dan menilai positif relasi tersebut. Akan tetapi, relasi tersebut tidak dapat berjalan dengan mulus mengingat budaya Indonesia masih sangat mendiskriminasi homoseksual. Lingkungan menilai LGBT sebagai sebuah hal yang salah, hina, memalukan, dosa, aib, tidak benar, terbuang dan tidak bisa diterima. Hal ini sesuai dengan laporan Global Attitudes Project oleh Pew Research 2013a mengenai sikap terhadap homoseksual di Indonesia yang menunjukkan adanya penolakan terhadap homoseksualitas oleh 93 responden survei dan hanya ada 3 yang bersikap menerima. Stigma negatif dan penolakan membuat kedua subjek memilih untuk menyembunyikan orientasi seksualnya yang sebenarnya. Sayangnya, keluarga merasa curiga setelah memperhatikan perkembangan anaknya di lingkungan sosial. Keluarga kemudian menjodohkan dan memaksa kedua subjek untuk menikah dengan laki-laki pilihan mereka. Hal ini sesuai dengan penemuan Ross dalam Tornello Patterson, 2011 yang menyebutkan bahwa salah satu alasan yang paling sering muncul yang membuat seorang homoseksual menikah dengan lawan jenis adalah karena adanya tekanan dari lingkungan luar, misalnya keluarga dan teman. Selain itu hal ini juga barangkali berkaitan dengan harapan keluarga bahwa menikah bisa “menyembuhkan” homoseksualitas yang dimiliki kedua subjek. Subjek II merasa bahwa memang tidak ada jalan lain selain menuruti orangtua, akan tetapi di sisi lain, subjek I memiliki alasan lain yang membuatnya tidak menolak dijodohkan, yaitu untuk memanas-manasi pacar perempuan yang saat itu sedang berkonflik dengannya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Secara garis besar, kedua subjek merasa tidak nyaman di dalam pernikahan mereka. Hal tersebut terlihat jelas melalui interaksi sehari-hari maupun melalui hubungan seksual dengan suami. Dalam hal seksual, kedua subjek sama-sama tidak dapat menikmati hubungan seksual dengan suami dan merasa tidak nyaman akan kontak fisik tersebut. Bahkan subjek II mengatakan bahwa hubungan seksual membuatnya merasa tertekan, sedih dan sakit hati. Sebagai seorang lesbian, hal ini sudah pasti terjadi pada diri kedua subjek. Hal ini dikarenakan ketertarikan seksual lesbian diarahkan pada sesama jenis, bukan pada lawan jenis. Saat menikah dengan laki-laki, lesbian tidak akan mampu memenuhi kebutuhan seksual mereka. Mereka juga tidak mampu mencapai orgasme saat berhubungan seksual dengan suami Jay Young dalam Peplau Amaro, 1982. Hal ini disebabkan oleh perbedaan nilai emosional yang diterapkan perempuan dalam hubungan seksual mereka. Lesbian mengemukakan, dibandingkan dengan laki-laki, seks dengan sesama perempuan cenderung lebih lembut, lebih intim, lebih perhatian, lebih menyenangkan, lebih bervariasi dan lebih tidak agresif Schaefer dalam Peplau Amaro, 1982. Meskipun kedua subjek sama-sama menilai hubungan seksual dengan suami sebagai sesuatu yang negatif, keduanya cenderung menyikapinya secara berbeda. Hal ini berkaitan dengan alasan subjek menikahi suaminya. Subjek II yang menikah secara terpaksa sebisa mungkin menolak dan menghindari kontak seksual. Berdasarkan hasil penelitian Ross 1971, salah satu masalah yang sering muncul dalam mixed orientation marriage memang adalah penolakan terhadap kontak seksual. Meskipun demikian, pada pernikahan subjek II, suami terkadang benar-benar memaksa sehingga ia pun tidak bisa mengelak. Hal ini membuat subjek II seringkali merasa bahwa ia “diperkosa” oleh suami. Subjek I yang memilih mau dijodohkan cenderung dengan sukarela mau berhubungan seksual dengan suami, meskipun relasi intim itu dirasakan secara negatif. Subjek I merasa bahwa hal tersebut merupakan kewajibannya sebagai istri dan sebuah risiko yang harus ditanggungnya karena memilih menikah. Tidak hanya dalam hal seksual, ketidaknyamanan juga memunculkan banyak konflik di antara kedua subjek dengan suami. Relasi cenderung didominasi oleh pertengkaran-pertengkaran kecil yang berakar dari sikap kedua subjek, misalnya subjek yang cenderung malas-malasan ketika berinteraksi dengan suami. Selain itu, konflik-konflik lain yang cukup besar juga muncul di antara kedua subjek dengan suami masing-masing, contohnya perbedaan cara mengasuh anak pada subjek I dan pemaksaan dalam hubungan seksual pada subjek II. Pada dasarnya, munculnya konflik di dalam kehidupan pernikahan merupakan sesuatu yang tidak mungkin dapat dihindari Kazmierczak Plopa dalam Borchet Lewandowska-Walter. Konflik bisa terjadi karena perbedaan sikap, motif, tujuan dan gaya berperilaku pada situasi tertentu. Meskipun demikian, jika dilihat secara menyeluruh, konflik yang paling dominan dan paling merusak relasi kedua subjek dengan suami adalah yang disebut dengan silent conflict. Konflik ini merupakan konflik tersembunyi, non-verbal dan non-fisik. Silent conflict berbentuk pergulatan batin yang implisit, perlawanan pasif, dan perasaan terganggu yang tidak terungkap Rostowska dalam Borchet Lewandowska-Walter. Di dalam kasus kedua subjek, silent conflict PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI memunculkan konflik-konflik baru dan hal ini sebenarnya berakar dari ketidaknyamanan kedua subjek dalam berelasi dengan suami. Walaupun kedua suami sudah mengetahui perihal ketidaknyamanan pasangannya, mereka tidak menyadari bahwa hal tersebut sebenarnya berasal dari orientasi homoseksual yang dimiliki istri. Saat sedang berkonflik, subjek I mengatakan bahwa suami seringkali akhirnya mengalah. Biasanya, subjek I cenderung tidak mau mengalah dan tetap kekeuh pada pendapatnya sendiri saat sedang bertengkar dengan suami. Akan tetapi, pada saat tertentu, ia harus melakukannya demi anak-anak. Berbeda dengan subjek I, saat terjadi konflik di antara subjek II dan suaminya, tidak ada satupun di antara mereka yang mau mengalah dan meminta maaf duluan. Meskipun demikian lama kelamaan keadaan akan membaik dengan sendirinya, dimulai dari suami yang berpura-pura tidak terjadi apa-apa pertengkaran di antara mereka. Berdasarkan hasil wawancara, tidak tampak adanya strategi komunikasi yang baik dan efektif antara kedua subjek dengan masing-masing suami, terutama dalam penyelesaian konflik. Kedua subjek cenderung lari dari masalah. Mereka berbaikan dengan suami tanpa benar-benar mendiskusikan dan menyelesaikan apa yang sebelumnya membuat mereka bertengkar. Hal semacam ini memberikan efek yang sangat berbahaya dan mengarahkan pada berakhirnya sebuah relasi Kuncewicz dalam Borchet Lewandowska-Walter. Kehadiran anak membawa perubahan bagi relasi kedua subjek dengan suami, terutama dalam hal konflik. Berdasarkan hasil penelitian, bertambahnya anggota ketiga di antara pasangan suami-istri memang akan membawa perubahan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI dalam sistem organisasi keluarga Mattessich Hill dalam Crohan, 1996. Memiliki anak akan berpengaruh pada pembagian kerja domestik, kekuasaan, komunikasi dan konflik dalam sistem perkawinan Cowan Cowan dalam Crohan, 1996. Semenjak anak hadir di pernikahan mereka, subjek I dan II harus menutupi pertengkarannya dengan suami dan berusaha menunjukkan bahwa ia dan suami memiliki hubungan yang baik-baik saja. Hal ini dikarenakan keduanya merasa takut pertengkaran dengan suami memberikan dampak buruk bagi anak- anak. Data yang didapatkan melalui penelitian ini cenderung sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa orangtua cenderung menyembunyikan konflik dari anak mereka. Bagi orangtua, anak harus dilindungi dari apapun yang sekiranya bisa menyakiti. Oleh sebab itu, konflik suami-istri tidak boleh diungkap dihadapan anak karena hal tersebut bisa membuat anak terluka. Meskipun keadaan sebenarnya tidak baik-baik saja, orangtua harus membuat anak merasa bahwa semuanya baik-baik saja Waibale, 2013. Pernikahan memberikan banyak dampak negatif bagi kedua subjek di dalam pernikahan ini. Dampak tersebut dapat dibagi menjadi dua kategori : 1. Dampak di Dalam Diri Kedua subjek banyak merasakan emosi-emosi negatif setelah menikah dengan suami. Subjek I mengaku merasa terpaksa, tidak bahagia, putus asa, terkekang dan tidak berarti. Selain itu, subjek I merasa bahwa pernikahan ini adalah sesuatu yang sia-sia. Tidak berbeda jauh dari subjek I, pernikahan membuat subjek II merasa tertekan, lelah, muak, dan jenuh karena ia harus berpura-pura bahagia dan baik-baik saja berhadapan setiap hari dengan sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. Secara garis besar, hasil penelitian ini cenderung sesuai dengan penemuan Wyers 1987. Wyers 1987 mengatakan bahwa sebagian besar perempuan lesbian yang menikah dengan lawan jenis cenderung tidak bahagia di dalam pernikahan mereka. Pernikahan dengan suami membuat subjek I mengalami banyak ketakutan, misalnya ketakutan bahwa jati dirinya terbongkar, perselingkuhannya ketahuan dan kehilangan anak-anaknya. Hal ini sesuai dengan penemuan Binger dalam Ben-Ari Adler, 2010 yang menunjukkan bahwa banyak homoseksual dalam mixed orientation marriage cenderung merasa cemas. Kecemasan yang dirasakan berasosiasi dengan ketakutan antara penemuan atau pengetahuan yang tidak direncanakan mengenai orientasi homoseksual mereka. Kecenderungan memendam kebenaran ini membuat konflik ekspresi emosi dan hal ini bisa menimbulkan penyakit yang berhubungan dengan stress. Bagi kedua subjek, pernikahan memunculkan perasaan kasihan dan perasaan bersalah terhadap orang lain. Pada subjek I, perasaan tersebut ditujukan pada kedua anaknya, pacar perempuannya dan suaminya, sedangkan pada subjek II, perasaan tersebut ditujukan hanya pada orang- orang yang pernah atau akan menjadi pacar perempuannya. Berdasarkan hasil penelitian Binger dalam Ben-Ari Adler, 2010, perasaan bersalah berasal dari gaya hidup mereka yang tidak asli dan dari penyembunyian itu sendiri. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 2. Dampak di Luar Diri Kedua subjek mengatakan bahwa pernikahan membuat mereka memiliki beberapa sikap negatif terhadap orang di sekitar. Subjek I mengaku menjadi pribadi yang lebih egois setelah menikah. Sementara itu, subjek II merasa menjadi pribadi yang lebih cuek, jutek dan tidak peduli pada orang lain selain orang-orang yang dia sayang. Subjek II mengatakan bahwa dirinya yang sekarang sangat berbeda dengan dirinya yang dulu. Pernikahan dan perlakuan yang tidak adil dari orang-orang sekitar membuatnya merasa tidak perlu berbaik hati pada mereka. Berdasarkan pemahaman peneliti, perubahan sikap kedua subjek penelitian terhadap lingkungan sosial terjadi sebagai akibat perubahan pola pikir atau persepsi terhadap dunia luar. Janoff-Bulman dalam Updegraff Taylor, 2000 menjelaskan bahwa individu yang tidak mengalami pengalaman hidup negatif mampu mengembangkan persepsi positif mengenai dirinya dan orang lain, serta memegang keyakinan bahwa dunia merupakan tempat yang adil, pantas, bermakna dan tidak berbahaya. Ketika pengalaman hidup negatif terjadi, hal tersebut tidak dapat dipertahankan lagi dan menjadi hancur berantakan. Untuk bisa pulih, individu mengemban tugas yang cukup berat untuk membangun keyakinan baru yang mempermudahnya memahami diri dan orang lain. Berhasil ataupun tidak, persepsi seseorang terhadap diri dan orang lain tentu akan mempengaruhi sikap dan perilakunya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Dalam hal relasi sosial, pernikahan juga membuat subjek II menjadi tidak memiliki teman bercerita seperti sebelumnya. Sebelum menikah, subjek II bisa selalu berlari ke komunitas LGBT untuk meminta bantuan atau sekedar berkeluh kesah mengenai orientasi homoseksualnya. Akan tetapi, sekarang ia tidak lagi dekat dengan teman-teman komunitas karena merasa takut, tidak diterima, selalu dijudge dan tidak dimengerti ketika bercerita kepada mereka. Hal ini sesuai dengan penemuan Patterson dalam Morris et al, 2002 yang mengatakan bahwa wanita lesbian yang masih menikah dengan laki-laki atau mereka yang masih kontak dengan mantan pasangan laki-laki karena hak asuh bersama, sering dibuat merasa tidak diinginkan di komunitas lesbian. Kedua subjek memiliki cara yang berbeda dalam menghadapi stress dan tekanan dari luar maupun dari dalam diri. Subjek I cenderung menyiksa dirinya sendiri. Ia akan mengurung diri, banyak menangis, tidak mau makan dan tidak mau melakukan banyak hal. Saat sedang dalam masalah, subjek I membutuhkan bantuan orang lain, yaitu pacarnya, untuk bisa merasa lebih baik. Berbeda dengan subjek I yang sering bercerita pada pacar, subjek II merasa bahwa ia tidak dapat melakukan apapun dan tidak akan mendapat dukungan darimanapun sehingga subjek II memilih menangis sendiri saat sedang merasa capek, muak dan jenuh. Pada saat tertentu, subjek II akan berusaha menyibukkan diri dengan membaca, bekerja dan fokus pada anak-anak untuk mengalihkan perhatian dari emosi negatif yang dirasakan. Menurut Stuart dan Sundeen dalam Agustiningsih, 2010, mekanisme coping dapat digolongkan menjadi dua, yaitu mekanisme coping adaptif dan mekanisme coping maladaptif. Mekanisme coping adaptif merupakan mekanisme yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan. Kategorinya adalah berbicara dengan orang lain, memecahkan masalah secara efektif, teknik relaksasi, latihan seimbang dan aktivitas konstruktif kecemasan dianggap sebagai sinyal peringatan dan individu menerima kecemasan itu sebagai tantangan untuk diselesaikan. Mekanisme coping maladaptif adalah mekanisme yang menghambat fungsi integrasi, menurunkan otonomi dan cenderung menguasai lingkungan. Kategorinya adalah makan berlebihan tidak makan, bekerja berlebihan, menghindar dan aktivitas destruktif mencegah suatu konflik dengan melakukan pengelakan terhadap solusi. Subjek I pada saat tertentu menggunakan strategi coping yang adaptif. Subjek I berusaha mengurangi kecemasan serta mencari jalan keluar dari permasalahannya dengan cara meminta bantuan kepada pacar perempuannya. Meskipun demikian, tak jarang subjek I juga menggunakan mekanisme coping yang tidak adaptif, dimana subjek I cenderung menyiksa dirinya sendiri saat sedang memiliki masalah yang cukup berat. Jika mengacu pada teori, subjek II juga cenderung menggunakan strategi coping maladaptif. Subjek II banyak menyibukkan diri dengan kegiatan-kegiatan sehari-hari ketika saat sedang memiliki masalah. Hal ini dilakukan supaya ia bisa menghindari berpikir tentang masalah tersebut sehingga bisa sedikit lebih tenang. Cara seperti ini cenderung tidak baik dikarenakan masalah yang dihadapi hanya seolah-olah selesai, padahal PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI sebenarnya tidak. Akibatnya, masalah yang ada malah semakin bertumpuk- tumpuk dan pada suatu waktu akan meledak karena tidak tertahankan lagi. Selain mempengaruhi pola konflik dengan suami, hadirnya anak sebenarnya juga membuat kedua subjek cenderung lebih kuat menghadapi segala masalah. Anak menjadi motivasi dan semangat. Selain itu, subjek II juga mengatakan bahwa anak merupakan pelarian agar tidak terlalu berfokus pada masalah dan merupakan penghibur saat sedang marah, capek dan down. Meskipun demikian, anak bukanlah alasan yang cukup untuk membuat kedua subjek memilih mempertahankan pernikahan mereka. Dengan banyaknya konflik internal maupun eksternal yang harus dihadapi, kedua subjek di dalam penelitian ini memiliki angan-angan untuk bercerai dari suaminya dan telah mempersiapkannya sejak saat ini. Walaupun tetap berusaha menjalani hidup apa-adanya dan berdamai dengan keadaan, kedua subjek diam-diam memikirkan cara alasan untuk meminta cerai tanpa menimbulkan kecurigaan mengenai status orientasi seksual mereka. Hal ini akan menjadi suatu kesulitan tersendiri karena di sisi lain, kedua suami melakukan segala upaya untuk mempertahankan pernikahan mereka karena tidak ingin pernikahan tersebut berakhir. Selain rencana untuk bercerai, kedua subjek berencana mengungkapkan orientasi seksual kepada anak-anaknya saat mereka sudah lebih dewasa. Saat ini, kedua subjek merasa bahwa anak-anak masih terlalu kecil dan belum paham jika diberitahu. Meskipun demikian, penelitian yang dilakukan oleh American Academy of Pediatrics 2005 menemukan bahwa anak-anak yang diberitahu bahwa orangtua mereka gay, lesbian, atau biseksual pada awal masa kanak-kanak PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI cenderung lebih mudah dan lebih mampu menerima berita tersebut daripada mereka yang pertama kali diberitahu pada saat remaja. Walaupun kedua subjek sama-sama berencana untuk memberitahu anaknya, alasan yang mendorong kedua subjek cenderung berbeda satu sama lain. Subjek I ingin agar anak-anaknya bisa menerimanya apa adanya, sedangkan subjek II merasa bahwa pengungkapan ini bisa menjadi sebuah sarana yang membuat anak-anaknya memiliki wawasan yang lebih luas, berpikiran terbuka, bisa toleransi dan tidak diskriminasi. Jika dilihat secara menyeluruh, situasi kompleks dan problematik yang terjadi di antara kedua subjek dan suami bukan disebabkan oleh relasi yang tidak harmonis, melainkan karena orientasi seksual subjek yang tidak pas dengan pernikahan heteroseksual yang dijalani. Meskipun terkadang subjek merasa tidak nyaman, pada saat-saat tertentu, subjek bisa bersikap biasa-biasa saja dan berinteraksi dengan suami layaknya teman. Hal ini didukung oleh perlakuan suami yang cenderung baik, di luar hal-hal terkait isu seksual. Suami menyayangi, memperhatikan, memahami dan sering mau mengalah sehingga konflik-konflik yang munculpun hanya konflik-konflik ringan. Konflik-konflik kecil tersebut merupakan sesuatu yang wajar karena dua orang yang berelasi intim tidak mungkin akan selalu memiliki kebutuhan, opini dan harapan yang sama Guerrero et al. dalam Brandenberger, 2007. Penelitian menunjukkan bahwa hubungan seksual bisa menjadi terhambat karena adanya kemarahan dan kebencian serta tidak adanya kepercayaan, kenyamanan dan intimasi Gallagher, 2013. Meskipun demikian, pada pernikahan kedua subjek, tidak adanya hasrat seksual subjek terhadap suami PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI bukan hanya disebabkan oleh tidak adanya rasa nyaman, tapi juga disebabkan oleh orientasi lesbian yang dimiliki subjek. Hal ini bisa dipastikan mengingat ketiadaan hasrat seksual tidak ditujukan pada suami saja, melainkan pada laki-laki manapun. Sejak SMA, subjek tidak pernah merasakan ketertarikan fisik maupun emosi dengan individu-individu yang berbeda jenis kelamin dengannya. Subjek yang tidak memiliki hasrat terhadap suami selalu berusaha menghindari hubungan seksual. Akan tetapi, di sisi lain, suami yang tidak tahu perihal orientasi lesbian yang dimiliki istrinya tentu tidak memiliki alasan untuk tidak menuntut hubungan seksual, mengingat hubungan seksual merupakan sesuatu yang wajar dalam sebuah relasi pernikahan. Hal inilah yang seringkali membuat subjek merasa tertekan dan muak. Perasaan tersebut kemudian mempengaruhi sikap subjek terhadap suami. Di relasi pada umumnya, kesalahpahaman dan ketidaksetujuan selalu bisa diselesaikan melalui komunikasi aktif Odukoya dalam Nartey, 2013. Sistem relasi dapat berfungsi dengan sukses ketika informasi penting secara reguler dibicarakan bersama Olson Defrain dalam Nartey, 2013. Salah satu informasi penting yang ada di dalam relasi kedua subjek dan suaminya adalah mengenai orientasi seksual, mengingat isu tersebut berpengaruh besar pada pola relasi di pernikahan. Akan tetapi, mengkomunikasikan masalah tersebut dengan suami bukanlah perkara mudah karena orientasi homoseksual merupakan sesuatu yang masih dianggap tabu dan kontroversional oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Penolakan, diskriminasi dan dampak negatif lain yang mungkin akan diterima menghambat kedua subjek mengungkapkan hal yang mendasari ketidakcocokan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI antara suami-istri. Akibatnya, masalah yang sama akan terus berulang karena tidak adanya penyesuaian yang diperlukan dari kedua belah pihak terhadap kondisi yang sebenarnya.

E. Learning Point