Motif Menikah Konflik Dengan Suami

subjek II untuk memberitahukan mengenai relasi subjek II dengan pacar perempuannya. Kecurigaan tersebut membuat kedua subjek sering ditanyai orangtuanya. Subjek I selalu berusaha menghindar dan mengalihkan pembicaraan, namun subjek II cenderung tidak tahan dan merasa tertekan sehingga memilih mengungkapkan orientasi seksualnya ke kedua orangtuanya. Hal ini membuat orangtua subjek II sangat marah, kemudian memantau berlebihan dan melarangnya melakukan banyak hal sehingga ia menjadi tidak bebas lagi membangun relasi dengan perempuan. “Setelah ketahuan gitu kan jadi kayak apa.. dipantau terus.. nggak boleh ini.. nggak boleh itu.. trus apa-apa dipantau.. Jadi kayak.. bener-bener nggak bisa bergerak gitu..” Subjek II, Line 111-115 Setelah menikah, kedua subjek juga menyembunyikan orientasi seksual dari suami. Selain itu, keduanya tidak memiliki rencana untuk mengungkapkan hal tersebut sampai kapanpun. Hal ini dikarenakan subjek I memiliki ketakutan jika orientasi seksualnya hanya akan diumbar-umbar saja, sedangkan subjek II tidak merasa memiliki tanggungjawab untuk memberitahu suami.

3. Motif Menikah

Untuk mengantisipasi berkembangnya orientasi homoseksual yang tidak diinginkan, orangtua kedua subjek menjodohkan anaknya dengan laki- laki pilihan mereka. Tekanan dan paksaan yang sangat besar dari lingkungan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI serta tidak adanya bantuan dari teman-teman membuat subjek II merasa bahwa memang tidak ada jalan lain selain menuruti keinginan orangtua. “Ya awalnya sih nggak terima.. Cuman.. nggak tau ya.. Saat itu tuh bener-bener tekanannya tuh besar banget kayak gitu. Belum juga yang dari.. mereka tuh kayak maksa banget kayak gitu yang.. kayak ngi.. kita tuh bener-bener ngerasa kayak yang.. duh bikin malu keluarga banget gitu.. Gitu gitu.. Jadi kayak tertekan secara psikologis gitu lah ngerasanya dan e.. ya temen-temen juga nggak bisa bantu kan paling juga.. mereka juga paling cuma dengerin kayak gitu.. Jadi kayak udah nggak ada jalan keluar lain lagi gitu.” Subjek II, Line 128-141 Berbeda dengan subjek II, subjek I mampu menemukan alasan lain yang membuatnya tidak menolak dijodohkan. Subjek I merasa bahwa pernikahannya dengan laki-laki bisa menjadi suatu cara untuk memanas- manasi pacar perempuan yang saat itu sedang berkonflik dengannya. “Karena kemarin pas aku lagi ada masalah juga sih ya sama.. pacarku itu gitu.. Jadi pas ada masalah gitu emang niatku udah kayaknya aku mesti kayak gini.. biar dia marah juga sama aku.. Niat awalnya sih gitu.. Yaudahlah mungkin dengan kayak gini dia bisa ngerasain.. duh kamu jangan donggg.. Berharapnya sih gitu.. Tapi ternyata dia nggak tau waktu aku nikah gitu..” Subjek I, Line 452- 458 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

4. Relasi Dengan Suami

a. Relasi Emosional

Subjek I telah menikah selama 13 tahun, sedangkan subjek II telah menikah selama 7 tahun. Selain usia pernikahan, nuansa relasi kedua subjek dengan suami juga cenderung berbeda. Subjek I mengatakan bahwa pada saat tertentu, ia dan suami bisa jadi cukup dekat, bahkan seperti berteman. Ia juga cenderung terbuka terhadap suaminya, kecuali mengenai orientasi seksual. Sebaliknya, subjek II menceritakan bahwa ia dan suami cenderung dingin dan hanya tampak baik di luar saja. Kedua subjek mengakui bahwa sebenarnya suami menyayangi dan memperhatikan mereka. Akan tetapi, perlakuan baik tersebut tetap membuat kedua subjek merasa tidak nyaman, bahkan cenderung merasa risih. Subjek I menceritakan bahwa meskipun suami menyayanginya dan memperlakukannya dengan cukup baik, suami seringkali mendominasi dan posesif. Hal ini membuat subjek I harus pintar-pintar mencari alasan dan membohongi suami demi bisa pergi menemui pacar perempuannya. Kondisi ini jauh berbeda dengan kondisi subjek II. Subjek II mengatakan bahwa suami tidak dominan di dalam relasi. Hal ini dikarenakan subjek II cenderung keras sehingga tidak gampang menerima perlakuan atau permintaan dari suami. Ketidaknyamanan kedua subjek disadari oleh masing-masing suami karena mereka pernah mengungkapkan ketidaknyamanannya secara PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI langsung. Subjek II juga yakin bahwa ketidaknyamanan tersebut terlihat secara tidak langsung melalui perilakunya sehari-hari. Walaupun begitu, hal tersebut tidak memberikan dampak yang signifikan karena kedua suami seringkali tidak mau peduli dan hanya mengabaikan ketidaknyamanan pasangannya. Suami cenderung mengalah dan membiarkan saja. Hal ini dikarenakan suami tidak menginginkan pernikahan mereka berakhir. “Dia senyum senyum aja sih.. Nggak terlalu ditanggepin.. karena dia tau emang aku tuh emang emang pengen keluar dari kehidupan dia gitu.. Jadi dia berusaha untuk netral aja .. Ya udah ya udah gitu.. Dia berusaha ngalah.. Dia berusaha ngalah karena kayaknya dia juga nggak.. nggak mau sampai bubaran.. gitu gitu.. Kayaknya dia masih ngejaga yang kayak gitu.” Subjek I, Line 414-420 Meskipun demikian, terkadang subjek II juga harus berhadapan dengan kemarahan suaminya karena suaminya tersebut menganggap subjek II tidak berusaha menyesuaikan dirinya dan tidak berkorban untuk mempertahankan pernikahan ini. “Ya dia tergantung mood-nya juga sih. Maksudnya kadang dia ngerasin aku balik. Bilang aku ini nggak ada usaha buat menyesuaikan diri, berkorban sedikit blablabla.. Tapi seringnya ya dia ngediemin aku sih. Mungkin karena udah keseringan kayak gini kali kan.” Subjek II, Line 783-789 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

b. Relasi Seksual

Kedua subjek mengaku tidak dapat menikmati hubungan seksualnya dengan suami dan merasa tidak nyaman akan kontak fisik tersebut. Bahkan subjek II mengatakan bahwa hubungan seksual membuatnya merasa tertekan, sedih dan sakit hati. “Jadi.. emm nggak bisa menikmati lah. Nggak nggak bisa menikmati yang kayak gitu.” Subjek I, Line 188-190 “Tertekan banget sih.. tapi.. ya gimana ya.. Yang namanya nggak nyaman ngelakuin kayak gitu tuh.. rasanya kayak.. antara sedih dan.. sakit dan.. ya gimana nggak nyaman banget rasanya..” Subjek II, Line 209-213 Meskipun kedua subjek sama-sama menilai hubungan seksual dengan suami sebagai sesuatu yang negatif, keduanya cenderung menyikapinya secara berbeda. Perasaan negatif membuat subjek II selalu berusaha untuk menolak dan menghindari hubungan seksual dengan suami. Akan tetapi, terkadang, suami benar-benar memaksa sehingga ia pun tidak bisa mengelak. Hal ini membuat subjek II seringkali merasa bahwa ia “diperkosa” oleh suami. Apalagi, suami pernah melakukan hubungan seks terhadap subjek II saat subjek II sedang tidur. Subjek merasa sangat tidak terima karena suami memperlakukannya seperti barang. Meskipun merasa sangat tersiksa karena hubungan seksual yang dilakukan dengan suami, subjek merasa tidak dapat meminta perlindungan atau dukungan darimanapun. Hal ini dikarenakan budaya Indonesia mengatakan bahwa memang sudah menjadi tugas seorang istri untuk menuruti perkataan dan melayani permintaan suami. “Ya namanya di Indonesia lah ya.. Yang namanya istri ya cuman.. yaudah kamu harus nurut apapun yang suamimu bilang.. yaudah ngangkang tinggal ngangkang aja.” Subjek II, Line 204-207 Sikap subjek II ini sangat berbeda dengan sikap subjek I. Subjek I tetap mau berhubungan seksual dengan suami karena merasa bahwa hal tersebut merupakan kewajibannya sebagai istri dan sebuah risiko yang harus ditanggungnya karena memilih menikah. “Aku tetep ngejalanin yang.. apa.. kewajiban aku yang kayak gitu.. tetep.. walaupun nggak sesuai sama hatiku.. hatiku menentang.. aku tetep jalanin.. karena aku udah mengambil keputusan untuk menikah kan.. dan aku terima resiko itu.” Subjek I, Line 181-186 Saat berhubungan seksual, kedua subjek cenderung pasif, cuek dan tidak merespons suaminya sama sekali. Subjek I juga mengatakan bahwa suami juga menilainya tidak excited dan cenderung berekspresi kosong saat sedang berhubungan seksual. “Katanya tuh aku nih.. apa ya.. kayak nggak excited gitu.. Pasif lah istilahnya. Nggak banyak ngapa-ngapain. Ya aku sadar sih kalau aku emang sering gak ngerespons dia.. Bahkan ekspresipun katanya kayak kosong banget gitu.” Subjek I, Line 199-203 “Saat aku sama suami have sex gitu kan.. kita nggak.. aku bener- bener masa bodoh gitu loh.. nggak.. bener-bener cuek.. cuek banget kayak gitu tuh yang bener-bener nggak bisa ngerasain apa- apa.. nggak ngerespon gitu tuh.” Subjek II, Line 233-237

5. Konflik Dengan Suami

Hal-hal kecil dan sepele bisa memicu konflik di antara kedua subjek dan suami. Ketidaknyamanan dan perasaan malas yang terbaca juga sering menjadi penyebab pertengkaran. “Berantem itu ya karena hal-hal kecil sih.” Subjek I, Line 160 “Kadang ya karena kita nggak nyaman itu kebaca ama dia. Trus kadang ya omongan kita kurang berkenan di hati di ya kayak kayak gitu itu masih.” Subjek I, Line 142-145 “Ya banyak sih.. Kadang.. apa ya.. hal-hal kecil yang nggak penting kayak gitu tuh yang bisa bikin berantem.. adu mulut.. trus bantah- bantahan gitu.. karena aku juga.. apa ya.. mungkin karena aku nggak nyaman.. nggak nyaman sendiri sih di relasi itu jadi kayak.. aku tuh males gitu untuk ngalah.. Jadi ya.. kadang hal kecil aja gitu bisa.. suka bisa bikin berantem..” Subjek II, Line 156-163 Selain itu, subjek I sering bertengkar dengan suami karena keinginan bercerai yang ditolak dan karena perbedaan cara mendidik mengasuh anak. Suami yang suka bertengkar di depan anak-anak juga menjadi konflik tersendiri. Subjek I dan suami yang seharusnya sudah akur bisa menjadi bertengkar kembali karena hal ini. Subjek I sudah berusaha memperingatkan untuk tidak lagi melakukan hal tersebut, akan tetap suami masih terus mengulanginya. “Kadang karena masalah anak-anak yang e maunya aku tuh anak- anak kayak gitu.. dia nggak kayak gitu.. Trus juga kalau.. e ngomel dia suka depan anak, aku suka marah.. ya pokoknya kayak kayak gitu.” Subjek I, Line 160-164 Di sisi lain, subjek II pernah bertengkar dengan suami karena suami melakukan hubungan seksual terhadap subjek II saat dirinya tidak sadarkan diri tidur. Hal ini membuat subjek merasa sangat marah, tidak terima dan sakit hati karena suami memperlakukannya seperti barang. Apalagi hal tersebut membuatnya hamil dan hal ini berarti telah melanggar kesepakatan yang telah dibuat bersama, yaitu tidak memiliki anak kedua sampai subjek II dan suami sama-sama siap. Karena belum merasa siap dan merasa tidak terima akan kenyataan bahwa dirinya hamil anak kedua tanpa sepengetahuannya, subjek II-pun melakukan banyak cara untuk menggugurkan kandungannya, misalnya dengan meloncat-loncat dan makan sembarangan. Keinginannya tersebut tercapai karena tak lama kemudian ia mengalami pendarahan. Hal ini membuat suami marah besar terhadap subjek II dan konflik barupun muncul di antara mereka. Saat sedang bertengkar dengan suami, kedua subjek hanya akan adu mulut dan saling membantah satu sama lain, kemudian diam-diaman. Tidak ada kekerasan fisik yang muncul saat kedua subjek berkonflik dengan suami. “Iya.. saling ngomel gitu trus nanti kalau capek akhirnya ya diem- dieman, jutek-jutekan satu sama lain Subjek I, Line 166-167. Alhamdulillah nggak pernah main tangan sih dia nya. Jadi ya cuma PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI sebatas marah-marahan.. bentak-bentakan gitu..Subjek I, Line 169- 171” “Kita sama-sama keras trus biasanya yang apa.. nggak ada yang mau ngalah trus bantah-bantahan kayak gitu.. tapi yaudah diem- dieman..Subjek II, Line 174-176 kalau main fisik gitu sih dia nggak.. dia nggak pernah ngelakuin itu sih sampe detik ini..” Subjek II, Line 167-169 Meskipun demikian, subjek I mengatakan bahwa saat sedang bertengkar dengan suami, subjek dan suami akan saling memperebutkan anak. Subjek berusaha membawa anak-anak bersembunyi di kamar karena jika tidak suami akan menggunakan anak-anak sebagai “senjata” untuk membuat subjek mengalah. Salah satu contohnya adalah ketika suami membawa salah satu anak mereka ke luar kota saat mereka sedang bertengkar. Subjek I mengatakan bahwa suami seringkali akhirnya mengalah. Biasanya, subjek I cenderung tidak mau mengalah dan tetap kekuh pada pendapatnya sendiri saat sedang berkonflik dengan suami. Akan tetapi, pada saat tertentu, ia harus melakukannya demi anak-anak. “Aku kalau berantem ama suami itu nggak pernah yang namanya aku negur duluan nggak pernah. Aku masih kekeuh sama hati aku sendiri. Nggak bakal aku negur duluan. Subjek I, Line 151-154 Tapi kadang aku terpaksa buat ngalah dari suami ku. Soalnya suami tuh seringkali kalau berantem pakai senjatanya itu anak-anak.. Dia tau kalau aku lekat banget sama anakku.. Gampang luluh.. Subjek I, Line 585-588 Jadi kan terpaksa aku yang ngalah, walaupun aku ngerasa nggak salah, sekeras-kerasnya aku kalau sudah soal anak aku pasti nurunin ego.” Subjek I, Line 595-597 Berbeda dengan subjek I, saat terjadi konflik di antara subjek II dan suaminya, tidak ada satupun di antara mereka yang mau mengalah dan meminta maaf duluan. Meskipun demikian lama kelamaan keadaan akan membaik dengan sendirinya, dimulai dari suami yang berpura-pura tidak terjadi apa-apa pertengkaran di antara mereka. “Mau berantem-berantem kayak gimanapun, dia duluan yang lama- lama berusaha kayak.. nggak ngalah minta maaf gitu tapi pura-pura baik-baik aja lah.. pura-pura nggak habis berantem, nggak ada apa- apa.. Subjek II, Line 808-813 Lama-lama baik sendiri sih kayak gitu” Subjek II, Line 176-177 Meskipun ada cukup banyak konflik di pernikahan, kedua suami sama- sama berusaha mempertahanakan pernikahan mereka dan tidak ingin pernikahan tersebut berakhir. Subjek II mengatakan bahwa suami tidak ingin bercerai karena tidak mau dipandang sebagai lelaki yang gagal mempertahankan rumah tangganya sendiri. Selain itu, hal ini juga dikarenakan suami menyadari bahwa perceraian akan berdampak bagi banyak orang, terutama anak-anak. “Dia pernah bilang sama aku kalau dia nggak mau sampai kita cerai, mau usahain gimanapun caranya kita bisa bertahan gitu. Dia nggak mau dibilang cowok gagal yang nggak bisa jagain rumah tangganya PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI sendiri.. Ya kek-kek gitu lah.. Mungkin itu sih yang bikin dia bertahan.. Lebih ke ego nya dia, takut dipandang jelek. Subjek II, Line 793-799 Karena anak-anak juga sih menurutku. Karena kan dia juga sadar kalau perceraian tuh pasti berdampak pada banyak orang. Nggak cuma antara aku dan dia doang. Ya anak-anak terutama karena kan mereka yang paling dekat dari kita berdua.” Subjek II, Line 801-805

6. Kehadiran Anak