Kesantunan Berbahasa Fenomena Pragmatik

Perilaku melecehkan muka itu sesungguhnya lebih dari sekadar ‘mengancam’ muka face-threaten , seperti yang ditawarkan dalam banyak definisi kesantunan klasik Leech 1983, Brown and Levinson 1987, atau sebelumnya pada tahun 1978, yang cenderung dipengaruhi konsep muka Erving Goffman Rahardi, 2009. Interpretasi lain yang berkaitan dengan definisi Locher terhadap ketidaksantunan berbahasa ini adalah bahwa tindakan tersebut sesungguhnya bukanlah sekadar perilaku ‘melecehkan muka’, melainkan perilaku yang ‘memain - mainkan muka’. Jadi, ketidaksantunan berbahasa dalam pemahaman Miriam A. Locher adalah sebagai tindak berbahasa yang melecehkan dan memain-mainkan muka, sebagaimana yang dilambangkan dengan kata ‘ aggravate ’ itu. Teori dari perilaku ketidaksantunan berbahasa ini dapat dicontohkan dalam situasi berikut ini. Situasi: Di dalam kamar ada ibu dan anak sedang bersiap-siap hendak pergi ke pesta pernikahan saudara mereka di desa sebelah. Sang ibu mengomentari rambut anak lelakinya. Wujud bahasa: Ibu : “Pulang dari Jogja kok rambutmu jadi gak hitam lagi, Bang?” Anak : “Ini model rambut tahun 2013, Bu. Aku kan anak gaul... Keren kan, Bu... Hahaha” Ibu : “Ooo, anak gaul itu kalau rambutnya kaya rambut jagung gitu to, Bang Sering panasan di luar po?” Informasi indeksal : Tuturan di atas disampaikan oleh seorang ibu kepada anak laki-lakinya ketika sedang bersiap-siap pergi ke pesta pernikahan saudara di desa sebelah. Dari percakapan tersebut diketahui bahwa sang ibu mengejek rambut anak laki-lakinya setelah pulang dari Jogja. Hal tersebut ditunjukkan dari tuturan ibu dengan kalimat rambutnya kaya rambut jagung gitu to, Bang Sering panasan di luar po? , kalimat tersebut menandakan bahwa terdapat tuturan tidak santun, meskipun disampaikan dengan nada sedang namun tuturan tersebut dapat menyinggung perasaan mitra tutur. Berdasarkan contoh percakapan diatas dapat disimpulkan bahwa teori ketidaksantunan berbahasa menurut pandangan Locher mengacu pada bentuk penggunaan tuturan dari penutur yang memiliki maksud untuk melecehkan dan menyinggung perasaan mitra tuturnya.

2.4.2 Teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Bousfield

Dalam pandangan Bousfield Derek Bousfield Mariam A. Locher, 2008:3, ketidaksantunan dalam berbahasa dipahami sebagai, ‘ The issuing of intentionally gratuitous and conflictive face-threatening acts FTAs that are purposefully perfomed.’ Bousfield memberikan penekanan pada dimensi ‘kesembronoan’ gratuitous, dan konfliktif conflictive dalam praktik berbahasa yang tidak santun itu. Jadi, apabila perilaku berbahasa seseorang itu mengancam muka, dan ancaman terhadap muka itu dilakukan secara sembrono gratuitous , hingga akhirnya tindakan berkategori sembrono demikian itu mendatangkan konflik, atau bahkan pertengkaran, dan tindakan tersebut dilakukan dengan kesengajaan purposeful, maka tindakan berbahasa itu merupakan realitas ketidaksantunan. Teori dari perilaku ketidaksantunan berbahasa ini dapat dicontohkan dalam situasi berikut ini. Situasi : Ketika sedang makan siang, bapak dan ibu bercakap-cakap di meja makan. Ibu mengeluh karena sudah menunggu bapak yang tidak kunjung datang menjemput hingga ibu pulang diantar salah satu guru di sekolahnya. Bapak tidak kunjung datang, padahal sudah tidak ada jam mengajar lagi dan hanya ngobrol dengan guru lainnya di kantor guru. Bapak dan ibu beda sekolah, tempat mengajar. Wujud bahasa : Ibu : “Ada rapat di sekolah po, Pak? Kok gak jemput” Bapak : “Enggak Nongkrong di kantor.” Informasi indeksal : Tuturan di atas tampak bahwa ibu ingin mendapatkan respon langsung dari bapak untuk menjelaskan mengapa tidak menjemput ke sekolah. Hal itu diperlihatkan dengan tuturan Ada rapat di sekolah po, Pak? Kok gak jemput Tuturan tersebut dibalas dengan komentar bapak yang santai seolah-olah bukan masalah besar bagi ibu. Hal itu dapat dilihat dari tuturan Nongkrong di kantor. Yang menandakan bahwa tuturan tersebut tidak serius diucapkan oleh bapak. Jika mitra tutur menanggapi dengan serius tuturan tersebut, tidak dipungkiri bahwa akan timbul konflik diantara mereka. Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat disimpulkan bahwa teori ketidaksantunan menurut pandangan Bousfield ini lebih menekankan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan yang berupa tuturan oleh penutur yang memiliki maksud selain untuk melecehkan dan menghina mitra tuturnya dengan tanggapan seenaknya sendiri secara sengaja dan dapat memungkinkan adanya konflik diantara mereka.