Teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Bousfield

Selengkapnya pandangan mereka tentang ketidaksantunan tampak berikut ini, ‘…impolite behaviour and face -aggravating behaviour more generally is as much as this ne gation as polite versions of behavior.’ Derek Bousfield Mariam A. Locher, 2008:5. Teori dari perilaku ketidaksantunan berbahasa ini dapat dicontohkan dalam situasi berikut ini. Situasi: Pagi hari di teras rumah berkumpullah bapak, ibu, dan anak-anaknya. Sang bapak menyuruh anaknya mengambilkan kunci motor karena bapak akan pergi. Pada prinsipnya, sang anak tahu jika memberikan sesuatu kepada orang lain menggunakan tangan kanan. Ketika menyerahkan kunci motor, sang anak menggunakan tangan kirinya. Wujud bahasa: Anak : “Ini kuncinya, Pak.” memberikan kunci dengan tangan kiri Bapak : “Kamu sekolah dimana? Kalau memberikan sesuatu kepada orang lain itu menggunakan tangan kanan, tidak sopan dengan tangan kiri.” Anak : “Hehehe buru-buru, Pak, saya lupa.” Informasi indeksal : Tuturan disampaikan oleh anak dengan nada santai, namun membuat bapaknya jengkel karena anak memberikan kunci motor dengan tangan kirinya. Dari percakapan tersebut terlihat bahwa si anak tidak mengindahkan norma kesopanan yaitu memberikan sesuatu kepada orang lain itu menggunakan tangan kanan . Sang anak tidak memperhatikan norma kesopanan yang diajarkan oleh bapaknya yaitu dengan tuturan Hehehe buru-buru, Pak, saya lupa. tuturan tersebut merupakan tuturan tidak santun karena telah mengacuhkan dan melanggar norma kesopanan. Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat disimpulkan bahwa teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Locher and Watts ini lebih menekankan pada bentuk ketidaksantunan penutur yang secara normatif dianggap negatif, karena melanggar norma kesopanan yang berlalu dalam masyarakat.

2.5 Konteks Tuturan

Konteks adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keadaan situasi dan kondisi antara penutur dan mitra tutur dalam berkomunikasi yang dilatarbelakangi oleh pemahaman yang sama terhadap suatu hal. Konteks tersebut meliputi tempat, waktu, siapa penutur dan mitra tutur, tujuan tutur, dan latar belakang pengetahuan. Hal ini akan diperkuat dengan dukungan beberapa teori yang telah ditemukan dan dituliskan sebagai berikut. Ilmu bahasa pragmatik adalah studi ilmu bahasa yang mendasarkan pijakan analisisnya pada konteks situasi tuturan yang ada di dalam masyarakat dan wahana kebudayaan yang mewadahinya. Konteks situasi tuturan yang dimaksud menunjuk pada aneka macam kemungkinan latar belakang pengetahuan yang muncul dan dimiliki bersama-sama baik oleh si penutur maupun oleh mitra tutur, serta aspek-aspek non-kebahasaan lainnya yang menyertai, mewadahi, serta melatarbelakangi hadirnya sebuah tuturan Rahardi, 2003: 18. Menurut Hymes, ada 16 komponen tutur yang harus diperhatikan, yakni: 1 bentuk pesan message form , 2 isi pesan message content , 3 latar setting , 4 suasana scene , 5 penutur speaker, sender , 6 pengirim addressor , 7 pendengar hearer, receiver , audience , 8 penerima addressee , 9 maksud-hasil purpose-outcome , 10 maksud-tujuan purpose-goal , 11 kunci key , 12 saluran channel , 13 bentuk tutur forms of speech , 14 norma interaksi norm of interaction , 15 norma interpretasi norm of interpretation , 16 kategori wacana genre Sumarsono, 2008:325–334. Dari keenam belas komponen tutur tersebut, Hymes 1974 melalui Nugroho 2009:119 memunculkan istilah ‘SPEAKING’ yang menghubungkan antara konteks dengan situasi tutur. Hymes mengatakan bahwa konteks terdiri dari latar fisik dan latar psikologis setting and scene , peserta tutur participants , tujuan tutur ends , urutan tindak acts , nada tutur keys , saluran tutur instruments , norma tutur norms , dan jenis tutur genres . Malinosky pada tahun 1923, berbicara tentang konteks yang berdimensi situasi atau ‘context of situation’. Malinowsky mengatakan, seperti yang dikutip di dalam Verschueren 1998:75, ‘Exactly as in the reality of spoken or written languages, a word without linguistics context is a mere figment and stands for nothing by itself, so in the reality of a spoken living tongue, the utterance has no meaning except in the context of situation.’ Jadi, di dalam pandangannya sesungguhnya dinyatakan bahwa kehadiran konteks situasi menjadi mutlak untuk menjadikan sebuah tuturan benar-benar bermakna. Malinosky menyebut ‘context of situation’, maka Leech 1983 menggunakan istilah ‘speech situation’ dalam pemahamannya mengenai konteks. Bermacam-macam maksud yang mungkin dikomunikasikan oleh penuturan sebuah tuturan, Leech 1983 dalam Wijaya 1996:10–13 mengemukakan sejumlah aspek yang senantiasa harus dipertimbangkan dalam rangka studi pragmatik. Aspek-aspek itu adalah sebagai berikut.