24
dan pemikiran orang yang sama secara massal, sehingga dalam waktu yang singkat hal sama itu dapat dibaca, didengar, dan diketahui secara luas. Melalui
penggunaan sarana modern untuk berkomunikasi, orang tidak hanya menyentuh dan menyapa seseorang melainkan banyak orang sekaligus dalam waktu yang
sama. Sayangnya, dengan itu komunikasi juga kehilangan unsur pribadinya, sebab orang tidak lagi berjumpa dengan seorang “engkau” tetapi dengan massa atau fans
yang banyak, sementara narasumber sendiri menjadi semacam idola atau abstraksi asing yang tidak bisa disentuh.
Perkembangan jaringan komunikasi dan informasi melalui dunia maya, sepintas tampak hanya sebagai perkembangan teknologi sarana-sarana komunikasi
yang semakin luas, semakin cepat, dan menjangkau banyak orang. Cita-cita yang dikejar adalah publisitas, transparansi umum dan nilai yang diunggulkan adalah
kelayakan pasar, laku jual. Sebuah ide, gagasan, ataupun barang naik harganya ketika semakin banyak orang menyukai dan merasa membutuhkannya. Untuk itu,
orang berusaha keras menggunakan media massa sebagai sarana promosi, mencapai publisitas yang luas Iswarahadi, 2003: 11.
Media massa sekarang ini bukanlah sekadar sarana, melainkan kebudayaan itu sendiri, di mana manusia hidup, bergerak, dan ada. Kebudayaan media massa
telah menenggelamkan manusia seluruhnya ke dalam model komunikasi global yang tidak bisa dicegah. Penggunaan media massa dengan sendirinya akan
menuntut penerimaan sifat-sifat mental, yang tercakup dalam budaya tersebut seperti publisitas, keterbukaan atau transparansi, pembaruan terus-menerus, relasi
sosial yang luas, dan kesediaan untuk dikritik Iswarahadi, 2003: 12.
25
Kemajuan teknologi yang semakin pesat perlahan-lahan mempengaruhi perkembangan pola komunikasi manusia yang dimuat dalam Kompas Fitur
Klasika | Internet, 2012: 33. Kemunculan berbagai situs jejaring sosial, seperti facebook
dan twitter tak dapat dipungkiri telah mengubah pola pikir seseorang dalam berinteraksi. Era new wave media memang seperti dua mata pisau, bisa
membawa hal positif dan negatif tergantung dari si pengguna. Misalnya, sebagian orang kini cenderung lebih vokal saat menggunakan jejaring sosial. Sementara di
dunia nyata, orang justru lebih memilih untuk diam. Sayangnya, kebebasan berekspresi di dunia maya kerap disalahgunakan para netizen. Oleh karena itu, tak
jarang kasus cyberbullying akhir-akhir ini bermunculan. Cyberbullying
diartikan sebagai kondisi saat seseorang diintimidasi, dipermalukan, bahkan diancam oleh satu atau banyak pihak. Tindakan ini
dilakukan melalui teknologi informasi, seperti media sosial, blog, chat room, bahkan telepon genggam. Hasil penelitian sebuah perusahaan yang bergerak pada
bidang riset pasar global Amerika Serikat, Ipsos pada pertengahan November 2011 memaparkan, 74 responden Indonesia memilih facebook sebagai sumber
dari kasus cyberbullying. Hal ini perlu diwaspadai karena dapat berkembang ke arah yang mengkawatirkan. Pihak yang diintimidasi bisa saja merasa tertekan dan
berangsur menjadi depresi, bahkan dapat memicu orang untuk bunuh diri karena mental yang lemah.
2. Kebudayaan
a. Pengertian Kebudayaan
26
Menurut Hariyono 1996: 44 kata “kebudayaan” berasal dari bahasa Sanskerta buddayah, yaitu bentuk jamak dari buddi yang berarti “budi” atau
“akal”. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Bila dilihat dari kata dasarnya, kata “budaya” merupakan
perkembangan majemuk dari “budi daya”. Dari pengertian tersebut kemudian dibedakan antara budaya yang berarti “daya dari budi”, yang berupa cipta, karsa
dan rasa dengan kebudayaan yang berarti hasil dari cipta, karsa dan rasa. Secara sederhana pengertian kebudayaan dan budaya dalam Ilmu Budaya
Dasar mengacu pada pengertian sebagai berikut: 1
Kebudayaan dalam arti luas, adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik
diri manusia dengan belajar. Istilah kebudayaan digunakan untuk menunjuk dan menekankan hasil karya fisik manusia, sekalipun hasil dan karya fisik
manusia ini sebenarnya tidak lepas dari pengaruh pola berpikir gagasan dan pola perilaku tindakan manusianya. Kebudayaan sebagai suatu sistem
memberikan pengertian bahwa kebudayaan tercipta dari hasil renungan yang mendalam dan hasil kajian yang berulang-ulang tentang suatu permasalahan
yang dihadapi manusia sehingga diperoleh sesuatu yang dianggap benar dan baik. Karena dianggap benar dan baik, hasil renungan ini biasanya ingin
diwariskan kepada generasi berikutnya. Oleh generasi berikutnya hasil renungan ini dipertimbangkan kembali sesuai dengan kemajuan yang dapat
dicapai dan dirasa lebih memuaskan Hariyono, 1996: 44-45.
27
2 Kebudayaan dalam arti sempit dapat disebut dengan istilah budaya atau sering
disebut kultur yang mengandung pengertian keseluruhan sistem gagasan dan tindakan. Pengertian budaya atau kultur dimaksudkan untuk menyebut nilai-
nilai yang digunakan oleh sekelompok orang dalam berpikir dan bertindak. Seperti halnya dengan kebudayaan, budaya sebagai suatu sistem juga
merupakan hasil kajian yang berulang-ulang tentang suatu permasalahan yang dihadapi manusia Hariyono, 1996: 45.
b. Simbol dan Nilai
Redi Panuju 1996: 28 berpendapat pada dasarnya setiap orang terbentuk oleh lingkungan. Lingkungan pembentuk ini biasanya disebut kebudayaan.
Sebaliknya manusia juga membentuk kebudayaan. Kebudayaan dapat dipandang sebagai tindakan berpola dalam masyarakat. Dengan kata lain, masyarakat
terbentuk atau terkelompok oleh adanya kebudayaan. Setiap orang dalam suatu kelompok budaya merasa ikut memiliki simbol dan
nilai yang sama. Simbol dan nilai ini merupakan perbendaharaan kelompok sebagai dasar bertindak. Dengan menggabungkan faktor diri dengan faktor
kebudayaan, orang akan bertindak sesuai dengan kecenderungan psikisnya. Nota Pastoral KWI, 2007: 117 menyatakan bahwa budaya tidak dipahami
sebagai sistem nilai yang amaterial. Budaya adalah cara kita memandang, merasa, bertindak dan berelasi yang menjelma di dalam kebiasaan habit yang sungguh
bersifat fisik dan material. Budaya dipahami sebagai gugus kebiasaan sehari-hari hidup kita. Kebiasaan hidup mencakup hampir semua tindakan dan praktik sosial
kita. Dalam melakukan kebiasaan-kebiasaan itu, kita tidak lagi bertindak dengan
28
sepenuhnya sadar, namun juga tidak berarti tindakan kita mekanis seperti mesin. Dapat dikatakan bahwa kebiasaan adalah gugus praktik instingtif yang dilakukan
lantaran pengalaman dan pengulangan. Maka transformasi kultural cara kita memandang, merasa, bertindak dan
berelasi perlu dilakukan bukan dengan mengandaikan kesadaran kritis kita yang terlalu tinggi, namun juga bukan mengandaikan kita seperti mesin-mesin yang
bergerak secara mekanis. Kita mempunyai kesadaran bukan hanya secara normatif tetapi juga deskriptif. Pengertian sudah banyak, penyadaran juga luas, nasehat
sudah berlimpah tetapi jarak antara tahu to know dan berbuat to do tetaplah sangat jauh. Kita tidak menjadi bijaksana wise hanya dengan tahu apa itu
kebijaksanaan wisdom. Dengan kata lain, antara momen “tahu yang baik” dan momen “melakukan yang baik” adalah perjalanan panjang yang berisi
pembentukan kebiasaan habit KWI, 2007: 118. c.
Budaya Indonesia: Pluralisme? Demokrasi? Konsumerisme? Negara Indonesia adalah negara majemuk atau pluralis. Magnis-Suseno
2008: 27-28 berpendapat bahwa pluralisme adalah kesediaan untuk menjunjung tinggi pluralitas. Pluralisme adalah kesediaan untuk menerima kenyataan bahwa
dalam masyarakat ada cara hidup, budaya, dan keyakinan yang berbeda, serta kesediaan untuk hidup, bergaul dan bekerja bersama dengan mereka. Pluralisme
tidak hanya berarti membiarkan pluralitas, melainkan memandangnya sebagai sesuatu yang positif. Karena seorang pluralis menghormati dan menghargai
sesama manusia dalam identitasnya, dan berarti juga dalam perbedaannya.
29
Kita akui bahwa negara Indonesia plural, namun pada praktek hidup bersama sebagai bangsa masih terjadi pertentangan. Seperti dikatakan Adi Prasetyo bahwa
sepuluh tahun terakhir ini aksi intoleransi semakin meningkat. Terjadinya penutupan dan perusakan tempat ibadat, aksi penyerangan terhadap acara
peluncuran buku penulis asal Kanada di Jakarta, Yogyakarta, Solo, dan Semarang. Keputusan MA yang tak bisa dieksekusi akibat tekanan kelompok massa serta
ketidakmampuan dan ketidakmauan aparat penegak hukum untuk memberi perlindungan dan pemenuhan hak asasi kepada kelompok minoritas Adi
Prasetyo, 2012: 36. Menurut Magnis-Suseno 2008: 30 Negara Indonesia yang majemuk ini
akan tetap bersatu apabila semua komponen bangsa mau bersatu dan mereka hanya akan mau bersatu apabila mereka dapat ikut mengurusnya. Itulah yang
dijamin oleh demokrasi. Namun menurut Eddy Kristiyanto 2001: 311 demokrasi dapat dicegat,
ditangguhkan bahkan dibatalkan oleh suatu kecenderungan otokratik kalangan tertentu para pemegang kekuasaan.
Reza Syawawi 2012: 6 mengungkapkan bahwa demokrasi Indonesia sekarang ini berwajah ganda. Di satu sisi demokrasi merupakan instrumen yang
dipercaya mengagregasi kepentingan publik, tetapi di sisi lain menggerogotinya. Dewasa ini demokrasi hanya diindentikan dengan peran partai dalam pemilihan
umum. Di sisi lain, pengaruh globalisasi telah memunculkan budaya baru di
Indonesia, yakni gaya hidup konsumerisme. Konsumerisme tentu berkaitan
30
dengan kapitalisme. Produksi kapitalis tidak sekedar untuk memenuhi kebutuhan- kebutuhan masyarakat, melainkan sebaliknya malah menciptakan kebutuhan-
kebutuhan itu Magnis-Suseno, 2008: 16. Menurut Kuntoro Adi 2011: 44-45 konsumerisme perlu dibedakan dari
komsumsi. Komsumsi berkaitan dengan pemakaian barangjasa untuk hidup layak dalam konteks sosio-ekonomi-kultural tertentu. Ia menyangkut kelayakan
survival . Sedangkan konsumerisme seperti pemburuan prestasi. Jika dipadatkan,
kira-kira begini: konsumerisme adalah komsumsi yang mengada-ada. Komsumsi bukan soal ada tidaknya uang untuk shopping. Juga bukan soal laba besar yang
dikeruk melalui permainan insting konsumen. Kunci untuk memahami konsumerisme adalah psikologi, bagaimana konsumsi yang mengada-ada
dilembagakan sebagi nirvana. Mereka diburu dengan harga absurd karena memberi klaim pada rasa percaya diri dan eksklusif. Karena eksklusif maka juga
prestise dan status. Konsumerisme bagaikan mengejar langit di atas langit. Orang
tidak hanya merasa naik mobil, tetapi Jaguar; tidak hanya merasa mengenakan pakaian, tetapi memakai Armani.
Biasanya keluasan konsumerisme terbentuk dalam kombinasi dengan kultus selebriti. Seorang penyanyi yang sedang tenar di negeri ini menghabiskan uang
Rp 100 juta per bulan untuk make-up kecantikan. Mungkin ia menjadi sumber decak kagum, atau panutan. Namun bagi mereka yang sempat berpikir, berita itu
adalah cerita tentang narcissme seorang konsumeris. Konsumeris ialah narcissts yang dengan mengkomsumsi mengada-ada, memberi ucapan selamat kepada diri
31
sendiri. Dan seperti selebriti, para konsumeris bagai wajah-wajah yang memuja topengnya sendiri Kuntoro Adi, 2011: 45-46.
Kapitalisme juga menciptakan produksi massal yang melahirkan budaya pop sebagai budaya massa. Budaya pop merupakan budaya komersial. Menurut
Dadang Supardan http:file.upi.eduDirektoriFPIPSJUR.PEND.SEJARAH kata pop diambil dari kata populer. Istilah pop memiliki empat makna yakni
banyak disukai orang, jenis kerja rendahan, karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang, budaya yang memang dibuat oleh orang untuk dirinya
sendiri. Menurut Dyah Hapsari http:dyahhapsari.blogspot.com200911 kata
massa mempunyai makna positif dan negatif. Makna negatifnya adalah berkaitan dengan kerumunan mob, atau orang banyak yang tidak teratur, bebal, tidak
memiliki budaya, kecakapan dan rasionalitas. Makna positifnya yaitu massa memiliki arti kekuatan dan solidaritas di kalangan kelas pekerja biasa saat
mencapai tujuan kolektif. Budaya pop banyak berkaitan dengan masalah keseharian yang dapat
dinikmati oleh semua orang atau kalangan orang tertentu, seperti pementasan mega bintang, kendaraan pribadi, fashion, model handphone, model rumah,
perawatan tubuh, dan semacamnya. Budaya pop dibangun berdasarkan kesenangan namun tidak substansial dan mengentaskan orang dari kejenuhan
kerja sepanjang hari. Budaya pop dianggap sebagai dunia impian kolektif. Praktek budaya pop lebih dilihat sebagai fantasi publik. Budaya pop memberi ruang bagi
eskapisme yang bukan hanya lari dari atau ke tempat tertentu, tetapi suatu pelarian
32
dari utopia kita sendiri. Massa cenderung “latah” meniru segala sesuatu yang sedang naik daun atau laris. Budaya massa menciptakan kelas sosial. Selera, bisa
disebut sebagai sebuah kategori ideologis yang difungsikan sebagai ciri kelas sosial.
3. Psikologi
a. Konsep Psikologi
Para ahli psikologi terdahulu, mendefinisikan bidang mereka sebagai studi kegiatan mental. Dengan berkembangnya aliran behaviorisme dengan penekanan
studinya hanya pada fenomena yang dapat diukur secara obyektif, psikologi didefinisikan sebagai studi mengenai perilaku. Definisi ini mencakup
penyelidikan mengenai perilaku binatang juga manusia dengan asumsi bahwa informasi yang didapat dari percobaan dari binatang dapat diterapkan pada
organisme manusia L. Atkinson, 1999: 18. Studi perilaku manusia dapat menjangkau lebih jauh keadaan yang terjadi
pada setiap individu dan meninjau tata hubungan kelembagaan di mana mereka hidup; yakni keluarga, lingkungan tetangga, dan masyarakat umumnya. Karena
lingkungan hidup itu terlalu beraneka ragam untuk dipahami jika hanya dilihat dari sudut pandang, maka muncul sejumlah bidang penyelidikan, yakni
antropologi, ekonomi, linguistik, ilmu politik, sosiologi, dan bidang keahlian lain. Secara keseluruhan dikenal sebagai ilmu perilaku dan ilmu sosial. Istilah ilmu
sosial dulu merupakan bidang yang eksklusif, sedangkan ilmu perilaku terbatas pada bidang yang berpusat pada perilaku individu saja psikologi, antropologi dan
33
linguistik. Karena semua bidang sudah semakin menyadari bahwa untuk dapat memahami perilaku individu harus memahami juga perilaku sosial, istilah ilmu
perilaku dan ilmu sosial dipakai secara bergantian L. Atkinson, 1999: 24. b.
Trend Psikologi Masa Sekarang Dicky Hastjarjo http:dickyh.staff.ugm.ac.idjurnal2009 mengemukakan
bahwa psikologi kognitif dinilai sebagai satu revolusi dalam psikologi oleh karena psikologi kognitif merubah metateori psikologi. Metateori kognitif mengubah
metateori behaviorisme sebab objek studinya bukan perilaku untuk membuat inferensi tentang faktor-faktor yang melandasi perilaku tersebut.
Munculnya psikologi kognitif didorong oleh kegagalan behaviorism, munculnya teori komunikasi, ilmu linguistik modern, riset memori, kemajuan
ilmu komputer dan teknologi, serta teori perkembangan kognitif. Psikologi kognitif dirumuskan sebagai studi mengenai kognisi atau
aktivitas-aktivitas mental yang mencakup pemerolehan, penyimpanan, pengambilan dan penggunaan pengetahuan. Informasi megenai ruang lingkup
yang luas, yakni dari persepsi, rekognisi pola, perhatian, kesadaran, memori, imajeri, bahasa, psikologi perkembangan, berpikir dan pembentukan konsep, serta
kecerdasan manusia dan kecerdasan artifisial; diharapkan memberikan gambaran sekilas mengenai betapa pentingnya psikologi kognitif. Emosi juga memiliki
peranan penting dalam kognisi. Psikologi kognitif mempelajari proses-proses mental yang dilandasi oleh kerja otak manusia. Psikologi kognitif menggunakan
tiga model untuk menerangkan bekerjanya kognisi manusia, yaitu model pemrosesan informasi, model parallel distributed processing, dan teori evolusi.
34
Ada tiga alasan mengapa penting mempelajari psikologi kognitif, karena: 1
Kognisi merupakan satu bagian utama dalam studi mengenai psikologi manusia.
2 Pendekatan psikologi kognitif telah berpengaruh secara luas pada bidang
psikologi lain seperti psikologi sosial, psikologi pendidikan, psikologi perkembangan dan psikologi kesehatan.
3 Alasan yang bersifat lebih pribadi, bahwa kita punya alat yang lebih impresif
yakni pikiran kita dan kita menggunakan alat itu setiap menit.
4. Pendidikan
a. Pengertian Pendidikan
Menurut Hasbullah 1999: 1, pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam
masyarakat dan kebudayaan. Dalam perkembangannya, istilah pendidikan atau paedagogie
berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Kenyataannya, pengertian pendidikan
ini selalu mengalami perkembangan, meskipun secara essensial terdapat unsur- unsur dan faktor-faktor yang terdapat di dalamnya, yaitu bahwa pengertian
pendidikan tersebut menunjukkan suatu proses bimbingan, tuntunan atau pimpinan yang di dalamnya mengandung unsur-unsur seperti pendidik, peserta
didik, tujuan dan sebagainya. Pendidikan dapat diselenggarakan secara informal, formal, maupun
nonformal. Pendidikan informal adalah pendidikan dalam keluarga dan
35
lingkungan; pendidikan nonformal dapat ditempuh melalui kursus-kursus keterampilan, pelatihan, kelompok belajar, dan lain sebagainya, sedangkan
pendidikan formal berlangsung di lembaga-lembaga pendidikan. b.
Faktor-faktor Pendidikan Dalam proses pendidikan ada pendidik yang berfungsi sebagai pelatih,
pengembang, pemberi atau pewaris. Kemudian terdapat bahan yang dilatihkan, dikembangkan, diberikan dan diwariskan yakni pengetahuan, keterampilan,
berpikir, karakter yang berupa bahan ajar, serta ada peserta didik yang menerima latihan, pengembangan, pemberian dan pewarisan pengetahuan, keterampilan,
pikiran dan karakter. Menurut Sutari Imam Bernadib, dalam bukunya Hasbullah 1999: 9 bahwa perbuatan mendidik dan dididik memuat faktor-faktor tertentu
yang mempengaruhi dan menentukan, yaitu: 1
Adanya tujuan yang hendak dicapai, 2
Adanya subyek manusia pendidik dan peserta didik yang melakukan pendidikan,
3 Yang hidup bersama dalam lingkungan hidup tertentu milieu,
4 Menggunakan media atau alat-alat tertentu untuk mencapai tujuan, dan
5 Adanya metodologi pendidikan.
Faktor yang satu dengan faktor yang lainnya, tidak bisa dipisahkan, karena kesemuanya saling mempengaruhi.
c. Trend Pendidikan Indonesia Masa Kini
Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
36
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab Undang-undang Sisdiknas,
2003: pasal 3. Subyek pendidikan adalah peserta didik, sehingga pendidik tidak lagi
menjadi pusat dalam pendidikan. Pendidik berfungsi sebagai fasilitator dan motivator. Suparno 2002: 15-17 sependapat dengan para konstruktivis, bahwa
pengetahuan itu dapat dibentuk secara pribadi personal. Semua hal lain termasuk pelajaran dan arahan guru hanya merupakan bahan yang harus diolah dan
dirumuskan oleh siswa sendiri. Peran guru atau pendidik sebagai fasilitator atau moderator.
Mohammad Alwi http:www.yapibangil.orgartikel20-8-2008 meng- angkat teori Howard Gardner yang berpendapat bahwa kecerdasan merupakan
kemampuan untuk menangkap situasi baru serta kemampuan untuk belajar dari pengalaman masa lalu seseorang. Kecerdasan bergantung pada konteks, tugas
serta tuntutan yang diajukan oleh kehidupan kita, dan bukan tergantung pada nilai IQ, gelar perguruan tinggi atau reputasi bergengsi.
Pendidik memiliki peran penting untuk memberikan arahan pada apa yang cocok dan sesuai bagi para siswanya. Konsep ini memiliki esensi bahwa setiap
orang adalah unik, setiap orang perlu menyadari dan mengembangkan ragam kecerdasan manusia dan kombinasi-kombinasinya.
Ada sembilan kecerdasan yaitu kecerdasan verbal-linguistik, kecerdasan matematik-logis, kecerdasan visual-spasial, kecerdasan kinestetis-jasmani,
kecerdasan musikal, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal,
37
kecerdasan naturalis dan kecerdasan eksistensial. Setiap orang mempunyai semua kecerdasan itu dan setiap manusia normal dapat mengembangkan kesembilan
jenis kemampuan itu sampai ke tingkat penguasaan tertentu. Oleh karena itu, mutu pendidik harus terus ditingkatkan. Syawal Gultom
2012: 14 Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjamin Mutu Pendidik BPSDMP DAN PMP mengatakan bahwa akan
diadakan tes ulang bagi para guru yang berjumlah 1.020.000 yang sudah tersertifikasi. Tes akan dilaksanakan secara online maupun offline. Hal ini
menunjukkan bahwa pemerintah memperhatikan mutu tenaga pendidik dalam mengajar dengan menggunakan teknologi komputer.
Pemerintah Indonesia juga mengakui pendidikan informal sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai standar
nasional pendidikan Undang-undang Sisdiknas 2003: pasal 27. Selain itu, pendidikan jarak jauh dapat diselenggarakan pada semua jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan dengan menggunakan media komunikasi maupun jaringan komputer UU Sisdiknas 2003: pasal 31.
Mohammad Abduhzen berpendapat dunia pendidikan di Indonesia sekarang
ini, menerapkan world class university ataupun rintisan sekolah bertaraf internasional atau RSBI. Meskipun menciptakan persaingan atau kompetisi
namun dijadikan visi kementrian Pendidikan dan Kebudayaan 2025. Visi komersial ini menuntun segenap upaya pendidikan kita untuk melihat keluar,
mengacu pada dan menggunakan standar-standar internasional Mohammad Abduhzen, 2012: 6.
38
Media pembelajaran sekarang ini tidak lagi terpusat pada guru dan buku- buku di perpustakaan. Paulina Pannem 2012: 14 berpendapat bahwa penggunaan
Teknologi Ilmu Komunikasi TIK pada pendidikan diyakini dapat meningkatkan mutu pembelajaran. Dengan menerapkan sistem e-learning atau sistem
pembelajaran yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Dengan e- learning
, guru bisa kreatif menggunakan gambar, video, audio, teks dan animasi sehingga pembelajaran lebih menarik dan mudah ditangkap.
Pendidikan berwawasan lingkungan menggunakan alam sebagai media pembelajaran sehingga peserta didik mengalami secara langsung dalam
mempelajari BiologiIPA sekaligus menanamkan sikap untuk lebih menghargai alam dan berusaha melestarikan lingkungan Outward Bound Indonesia,
2012: 4- 5.
Selain itu, simulasi penyelamatan diri dari bencana alam, khususnya dari gempa bumi juga diajarkan kepada peserta didik dengan cara berlindung di bawah
meja sehingga resiko jatuhnya kurban jiwa dapat dikurangi Indra Riatmoko, 2012: 12.
Pendidikan berbasis kompetensi telah dicanangkan oleh pemerintah Indonesia sehingga pendidikan berpusat pada peserta didik. Oleh karena itu,
berbagai pendekatan dapat diterapkan, seperti Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan PAKEM, pembelajaran kooperatif, Contextual
Teaching and Learning CTL, dan lain sebagainya UU Sisdiknas 2003: pasal 3.
Pendidikan karakter menjadi trend sekolah-sekolah sekarang ini. Dengan pendidikan karakter peserta didik diharapkan memiliki kepribadian, akhlak yang
39
baik serta karakter positif lainnya. Berbagai model pendidikan karakter mulai dikembangkan dan diterapkan sebagai bahan ajar dalam proses belajar mengajar
di sekolah diantaranya muatan lokal dan pendidikan berbasiskan budaya Ajat Sudrajat, 2012: 5. Pendidikan karakter tidak melulu diberikan secara teori
melainkan dengan pendekatan lingkungan hidup dan budaya lokal yang disebut eco-learning and culture
yang dilaksanakan di luar kelas outdoor education Outward Bound Indonesia,
2012: 4-5. Penerapan prinsip 3C: competency kompeten, compassion empati,
conscience bermoral dalam pendidikan diharapkan melahirkan dan menciptakan
peserta didik yang memiliki ilmu pengetahuan sekaligus berkarakter Situmorang, 2012: 7.
Menurut Ari Subagyo pendidikan Pancasila mutlak dilakukan untuk membangun karakter karena Pancasila merupakan gugus nilai yang digali dan
disepakati menjadi watak bangsa Indonesia. Pancasila memuat gugus nilai ideal, yakni berketuhanan, berkemanusiaan, bersatu, bermusyawarah, dan berkeadilan
sosial. Gugus nilai itu menjamin terbentuknya insan Pancasilais yang utuh- integral sebagai makhluk individual maupun sosial. Beberapa sekolah melengkapi
pendidikan karakter dengan live in bersama warga miskin dan tersingkir. Kepedulian dan empati siswa disentuh dan dibangkitkan agar menjadi sikap,
keterampilan, dan visi hidup Ari Subagyo, 2012: 14.
5. Kepemimpinan
a. Pengertian Kepemimpinan
40
Kepemimpinan menyangkut tiga aspek, yakni kemampuan manajerial, pengambilan keputusan, dan pencapaian visi. Berkaitan dengan kemampuan
manajerial Amstrong 1988: 90 berpendapat bahwa kepemimpinan leadership adalah mengerjakan segala sesuatu melalui orang lain, jika ada sasaran untuk
dicapai, jika suatu tugas dilaksanakan dan jika lebih satu orang diperlukan untuk melakukannya. Menurut definisi semua manajer adalah pemimpin, dalam arti
bahwa mereka hanya akan dapat mengerjakan apa yang harus mereka kerjakan dengan dukungan kelompoknya, yang harus tergerak atau dibujuk untuk
mengikuti mereka. Karena itu, kepemimpinan adalah sesuatu mengenai mendorong dan membangkitkan individu dan kelompok untuk berusaha sebaik-
baiknya demi mencapai hasil yang diinginkan. Kepemimpinan memainkan peranan penting dalam manajemen sumber daya
manusia. Pencapaian keunggulan dalam usaha dan manajemen sangat tergantung kepada kemampuan pemimpin untuk menyampaikan pandangannya visi,
antusiasme, dan rasa memiliki tujuan kepada kelompok. Arah dan gerak bersama ditentukan oleh keputusan yang dibuat oleh pemimpinnya. Maka keputusan yang
selalu dibuat tepat, baik mengenai isi maupun waktu pengambilannya membuat kehidupan kelompoknya mantap dan berjalan lancar dalam mencapai tujuan
bersama Mangunhardjana, 1976: 46. Dalam arti kemampuan memimpin, kepemimpinan ialah kesanggupan
menggerakkan sekelompok manusia ke arah tujuan bersama sambil menggunakan daya bendawi dan rohani yang ada dalam kelompok tersebut. Kepemimpinan
merupakan unsur dinamis, yang sanggup mengkaji masa lampau, menelaah masa
41
kini dan menyoroti masa depan lalu berani mengambil keputusan yang dituangkan dalam tindakan. Hal ini berkaitan dengan pencapaian visi Riberu, 1978: 6.
b. Trend Kepemimpinan Masa Kini
Bangsa Indonesia sekarang ini sedang mengalami krisis kepemimpinan. Namun trend kepemimpinan leadership dalam perusahaan-perusahaan sekarang
ini mengutamakan manajemen berbasis mutu, berorientasi pada tenaga manusia SDM, dan lingkungan. Hal ini diungkapkan oleh Lowney yang mengupas
tentang kepemimpinan sebuah “perusahaan” yang telah terbukti mampu mengembangkan perusahaannya selama 450 tahun. “Perusahaan” yang
dimaksudkan adalah Serikat Yesus. Lowney 2003: 11 berpendapat bahwa Yesuit menerapkan gaya kepemimpinan yang berfokus pada aspek manajerial,
pengambilan keputusan dan pencapaian visi dengan empat pilar yang menciptakan substansi kepemimpinan, sehingga serikat ini tetap eksis hingga sekarang.
Keempat pilar tersebut adalah: 1
Kesadaran diri: memahami kekuatan, kelemahan, nilai-nilai, dan pandangan hidup mereka. Hal ini merupakan aspek manajerial.
Pribadi yang tahu apa yang diinginkannya dapat dengan energik berupaya untuk mencapainya. Hanya mereka yang tahu kelemahan mereka sendiri dapat
menanganinya atau bahkan mengalahkannya. Para eksekutif dengan karier yang kurang percaya diri dapat menempuh lagi perjalanan menanjak hanya dengan
mengidentifikasi kelemahan-kelemahan mereka dan membabatnya. Mereka yang telah mengidentifikasi apa yang menggerakkan diri mereka dengan melibatkan
42
diri sepenuh hati mempunyai sedikit saja kesulitan untuk tetap termotivasi Lowney, 2003: 111.
2 Ingenuitas kecerdasan dan fleksibilitas: berinovasi dan beradaptasi dengan
yakin untuk merangkul seluruh dunia. Ini merupakan aspek pengambilan keputusan.
Para Yesuit merangkul dunia dan menerjunkan diri mereka dalam hidup sehari-hari, hidup di kota dan pusat budayanya serta menempuh perjalanan dan
bekerja dengan penduduknya. Dengan demikian ingenuitas memicu inovasi, kreativitas dan mentalitas global. Lowney 2003: 161. Ingenuitas mekar jika
kebebasan pribadi untuk mengejar peluang dikaitkan dengan kepercayaan mendalam dan optimisme bahwa banyak peluang yang tersedia di dunia ini
Lowney, 2003: 150. 3
Cinta kasih: membangun kontak dengan orang lain dalam sikap yang positif, penuh cinta kasih. Cinta kasih kepada bawahan atau anggota merupakan
aspek manajemen yang berorientasi pada tenaga manusia atau SDM. Esensi kepemimpinan yang didorong oleh cinta kasih memiliki: visi untuk
melihat bakat, potensi, dan harkat setiap pribadi; keberanian, gairah, dan komitmen untuk membukakan kunci potensi, kesetiaan, serta penghormatan satu
sama lain yang dibangkitkannya, yang mengobarkan semangat dan mempersatukan tim Lowney, 2003: 208.
Cinta kasih di dalam dunia bisnis dewasa ini, memacu manajer yang menyisihkan waktu yang tidak mereka miliki untuk membantu karyawan yang
pas-pasan agar ia bekerja dengan lebih baik atau untuk memulai pembicaraan
43
yang kaku dengan karyawan yang berprestasi tinggi namun berperilaku buruk agar ia mau tak mau merenungkan tindak-tanduknya yang menyebalkan Lowney,
2003: 209. Pemimpin yang terlecut oleh cinta kasih memiliki visi untuk melihat dan
melibatkan orang-orang lain sebagaimana adanya, tidak melewati saringan, prasangka-prasangka kultural, atau kesempitan pandangan yang mengecilkan
mereka Lowney, 2003: 237. Cinta kasih tentunya tidak lepas dari perhatian terhadap terpenuhinya kesejahteraan anggota atau bawahan. Dengan demikian
anggota dapat bekerja dengan tenang, gembira dan bersemangat dalam mencapai hasil produksi yang bermutu.
4 Heroisme: menyemangati diri sendiri dan orang lain dengan ambisi-ambisi
heroik. Sikap heroik merupakan aspek pencapaian visi. Tantangan yang dihadapi entah oleh individu, tim atau secara menyeluruh
adalah bagaimana bergeser dari kinerja yang sinis, dan sekedar menjalankan kebiasaan tanpa antusiame, ke arah kinerja yang termotivasi bahkan heroik.
Dalam hal ini, tim Yesuit mengambil tiga langkah, yakni: 1
Mereka menganjurkan para rekrut anggota baru untuk mengubah aspirasi korporat menjadi misi pribadi.
2 Mereka menciptakan budaya perusahaan yang menekankan heroisme, sambil
mencontohkan sendiri keutamaan itu. 3
Mereka memberi kepada setiap pribadi kesempatan untuk memperbesar diri sendiri dengan menyumbang secara bermakna pada sebuah usaha yang lebih
besar daripada kepentingannya sendiri Lowney, 2003: 243-244.
44
Tentu saja mereka yang membuat komitmen pribadi memerlukan dukungan. Para rekrut Yesuit menemukan bahwa dukungan tersebut selalu diperkokoh dari
atas. Para pemimpin Yesuit tidak henti-hentinya memperkokoh komitmen pada keunggulan dan pada ambisi suci Lowney, 2003: 245.
Selain itu Yesuit melatih para calon anggotanya untuk memimpin, karena yakin bahwa kepemimpinan berawal dengan kepemimpinan diri sendiri. Formula
empat pilar ini masih berlaku sebagai alat menggembleng para pemimpin Yesuit dewasa ini. Dan formula ini dapat membentuk para pemimpin dalam semua arena
kehidupan dan kerja. Kekuatan terbesar seorang pemimpin ialah visi pribadinya, yang
dikomunikasikan dalam contoh hidupnya sehari-hari. Kepemimpinan ialah kehidupan nyata seorang pemimpin. Para Yesuit awal seringkali mengacu kepada
nuestro modo de proceder atau dalam bahasa Indonesia “cara kita bertindak”.
“Cara kita bertindak” mengalir dari sebuah pandangan hidup dan prioritas- prioritas yang sama-sama dirasakan oleh semua anggota Yesuit. Cara mereka
bertindak merupakan sebuah kompas. Dengan mengetahui apa yang dianggapnya bernilai dan apa yang ingin dicapainya, ia mengorientasikan dirinya pada
lingkungan yang baru, sembari dengan keyakinan beradaptasi dengan keadaan sekitar yang tak akrab baginya Lowney, 2003: 22-24.
45
C. PELUANG DAN TANTANGAN DALAM PEMBINAAN
Bertolak dari konteks pada masing-masing bidang di atas, maka penulis menganalisis bidang-bidang tersebut dan implikasinya bagi pembinaan suster-
suster yunior Kongregasi SFS pada situasi sekarang ini.
1. Bidang Komunikasi
a. Strength Kekuatan
1 Media komunikasi tersedia di biara-biara.
2 Para suster, termasuk suster yunior mendapat kesempatan untuk
memanfaatkan media komunikasi yang tersedia di biara maupun di unit karya. 3
Formator dan formandi berpengalaman dalam mengoperasikan sarana komunikasi.
4 Tersedianya komunikasi antar formator dan formandi didukung teknologi
komunikasi modern. b.
Weakness Kelemahan 1
Belum semua potensi formator dan formandi dioptimalkan. 2
Menurunnya kesadaran budaya baca. 3
Para formator belum mengoptimalkan sarana komunikasi sebagai media pembinaan.
c. Opportunity Peluang
1 Tersedianya media komunikasi yang murah sehingga mempermudah
pengarahan, pastoral, dan dalam membentuk jejaring dengan lembaga- lembaga lain dalam kerjasama yang mendukung pendidikan religius.
2 Informasi dan komunikasi dari formator lebih cepat diterima oleh formandi.
46
3 Media massa modern sebagai sarana komunikasi aktualisasi nilai-nilai
spiritualitas kongregasi dalam rangka pembinaan suster-suster yunior. 4
Warisan nilai-nilai rohani dari pendiri yang dikomunikasikan akan menjadi dinamis dan bukan sekedar ajaran yang bersifat teori.
d. Threat AncamanTantangan
1 Berkurangnya komunikasi verbal sehingga komunikasi kurang efektif.
2 Komunikasi antar pribadi tidak mendalamdangkal, sebatas permukaan.
3 Cenderung individualnon personal dan narsistis.
4 Komunikasi nilai-nilai spiritualitas dan kharisma kurang mendalam sehingga
suster muda menjadi kurang berkualitas. 5
Menurunnya kesantunan dalam komunikasi. 6
Cenderung mencari informasi yang bermuatan hiburan. 7
Kecenderungan adiktif terhadap media komunikasi. 8
Memanfaatkan media komunikasi secara proposional. 9
Mengikuti trend media komunikasi sebagai gaya hidup.
2. Bidang Kebudayaan
a. Strength Kekuatan
1 Formator dan formandi berasal dari berbagai daerah.
2 Terciptanya budaya dialog.
3 Adanya evaluasi dari persaudaraan yang memberikan masukan mengenai
kemajuan para suster yunior sekaligus memberi masukan untuk
47
mengembangkan nilai-nilai rohani dan manusiawi agar semakin dapat menginternalisasikan nilai-nilai spiritualitas kongregasi.
4 Adanya refleksi dan evaluasi dalam kapitel propinsi yang meninjau kembali
nilai-nilai spiritualitas yang menjadi budaya kongregasi. b.
Weakness Kelemahan 1
Belum sepenuhnya tercipta pengakuan dan penghargaan terhadap perbedaan pendapat.
2 Belum semua anggota ambil bagian secara optimal dalam membantu proses
internalisasi nilai-nilai rohani dan manusiawi bagi para suster yunior melalui sumbangan persaudaraan.
3 Budaya demokrasi belum sepenuhnya terkondisikan dalam komunitas maupun
dialog-dialog antara suster yunior dengan para suster yang telah berkaul definitif.
4 Adanya kecenderungan mencari aman dari para suster yunior.
5 Belum sepenuhnya para suster yunior memiliki sikap lepas bebas dalam
mengungkapkan gagasan. 6
Permahaman dan penghayatan kultur cara memandang, merasa, bertindak dan berelasi belum sepenuhnya dapat diwujudkan secara khas sebagai religius
SFS. c.
Opportunity Peluang 1
Adanya kekayaan budaya dari daerah masing-masing baik dari formator maupun formandi.
48
2 Adanya perbedaan karakter dan pola pikir dari formator dan formandi yang
memperkaya kongregasi. 3
Terbentuknya pribadi-pribadi religius muda yang memiliki sikap lepas bebas dalam berpendapat.
4 Terciptanya budaya saling menghargai antara formator dengan formandi
maupun dalam hidup di komunitas serta di tempat tugas. 5
Budaya belajar terus-menerus bagi formator dan formandi dengan memanfaatkan sarana-prasarana yang tersedia di komunitas maupun di tempat
tugas. d.
Threat AncamanTantangan 1
Pengaruh budaya pop membentuk pribadi yang tidak mendalamdangkal dalam penghayatan hidup rohani maupun dalam berelasi dengan sesama.
2 Menurunnya semangat ulah tapa dan pengendalian diri.
3 Memudarnya semangat diskresi dengan adanya berbagai tawaran nilai baik
formator, formandi maupun anggota yang telah berkaul definitif. 4
Kecenderungan berbudaya instan, konsumtif dan hedonis.
3. Bidang Psikologi
a. Strength Kekuatan
1 Para formandi merupakan generasi muda zaman sekarang cenderung lebih
mengedepankan kemampuan berpikirotak. 2
Para formandi memiliki banyak bakat dan kecerdasan. 3
Para formandi mudah menangkap informasi mengenai hal-hal baru.
49
4 Adanya tenaga formator yang telah berpengalaman dalam pembinaan.
b. Weakness Kelemahan
1 Para formandi kurang kritis dalam mengolah informasi.
2 Kecenderungan para formandi memilih jalan termudah instan atau tidak mau
susah. 3
Formator belum mengoptimalkan psikologi kognitif dalam pembinaan. 4
Kurangnya keberanian dari formandi dalam bereksplorasi. c.
Opportunity Peluang 1
Formator dapat memadukan psikologi kepribadian dengan psikologi kognitif dalam pembinaan kepada para formandi.
2 Penanaman nilai-nilai spiritualitas dapat dipahami dan diwujudkan oleh para
formandi sesuai dengan situasi zaman. 3
Dengan menerapkan psikologi kognitif, formator dan formandi semakin kompeten dalam bidangnya.
4 Terbentuknya pribadi yang seimbang, dewasa dan utuh.
d. Threat AncamanTantangan
1 Lebih mengedepankan kemampuan rasio.
2 Nilai-nilai spiritualitas kurang terhayati secara mendalam dan seimbang.
3 Menurunnya semangat diskresi.
4 Narsis dan mengabaikan pribadi yang kurang mampu dalam berpikir.
5 Cenderung rasionalisasi sehingga membentuk pribadi sulit memiliki sikap
jujur dan rendah hati.