15
oleh Moeder Rosa, mereka mengenakan jubah biara. Raja menyatakan rasa senang dan kepuasannya atas pengelolaan dan pelayanan kepada orang-orang
sakit di Rumah Sakit Sint Catarina tersebut.
3. Sejarah Berdirinya Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi di Indonesia
Berkat pembicaraan melalui korespondensi antara Muder Gerarda BOZ dengan Pater M
űller, SJ; dalam tahun 1932 yang waktu itu menjabat sebagai Rektor Seminari Tinggi di Yogyakarta, dan pembicaraan dengan Pater Wubbe, SJ,
serta setelah Moeder Gerarda mengadakan kunjungan ke Semarang secara langsung; maka pada sore hari tanggal 23 Maret 1933, atas dorongan Ilahi dan
berkat restu Bapa Uskup setempat, Mgr. Hopmans, Kongregasi BOZ, mengutus enam orang suster untuk bermisi ke Indonesia Gerarda, 2000: 90-100. Ke-enam
suster tersebut yaitu Suster Seraphine Gulickx dari Bavel, sebagai overste, Suster Imelda den Aantrekker dari Bergen op Zoom, Suter Agusta Hocke dari
Neisse, Jerman, Suster Theresina Tax dari Bergen op Zoom, Suster Gemma Hertogh dari Stoppeldyk, dan Suster Valentine Uitde Willingen dari Heerle
Wouw. Mereka berangkat dari Rossendal naik kereta api ke pelabuhan Marseille Perancis. Dari sana para suster naik kapal laut “Baluran” menuju Indonesia.
Pada hari Kamis Putih, tanggal 13 April 1933, para misionaris dari Kongregasi Peniten Rekolek BOZ ini mendarat di Tanjung Priuk. Mereka
disambut ramah oleh para suster Ursulin dari Weltevreden di Hindia Belanda sekarang: Jakarta. Mereka tinggal beberapa hari di tempat ini. Sementara itu,
tiga suster mengunjungi Rumah Sakit Semarang dan Muntilan milik para Suster
16
Fransiskanes Heythuizen OSF Semarang; untuk mempelajari penyakit-penyakit tropis dan perawatannya.
Pada tanggal 10 Mei 1933, para misionaris BOZ memasuki kota praja Sukabumi, namun belum bisa langsung bekerja di Rumah Sakit yang telah
disepakati dengan pejabat pemerintah kota Sukabumi. Pada waktu itu pihak Kongregasi BOZ diwakili oleh Pater Wubbe, SJ. Para suster BOZ lebih dahulu
tinggal di rumah penduduk yang telah disiapkan untuk tempat tinggal mereka. Pada hari itu juga dipersembahkan Misa pertama di rumah itu, kemudian mereka
mulai melaksanakan perawatan orang sakit di rumah-rumah penduduk sambil belajar bahasa Indonesia. Pada tanggal 13 Juni 1933, para suster boleh
mengunjungi Rumah Sakit yang telah diatur oleh Pater Lukas, SJ; untuk berkenalan dengan para dokter dan karyawan. Dan pada tanggal 28 Desember
1933, para suster resmi menetap di Jl. Rumah Sakit No. 1, Sukabumi dan berkarya di Rumah Sakit St. Lidwina Sukabumi. Kemudian membuka beberapa cabang,
yang kemudian hari kongregasi ini di Indonesia dikenal dengan nama Suster Fransiskan Sukabumi; yang mandiri pada tanggal 14 April 1996.
4. Spiritualitas Pendiri Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi
Kongregasi SFS yang berasal dari BOZ, Belanda mengikuti Reformasi Limburg, Belgia yang didirikan oleh Moeder Yohana dari Yesus pada tahun 1623
dan berspiritualitas Peniten Rekolek yang berdevosi pada Yesus Kristus injili yang miskin dan menderita Syukur Dister, 2011: 5.
17
Moeder Rosa de Bie sebagai ibu pendiri Kongregasi BOZ dan SFS berusaha mewariskan nilai-nilai keutamaan rohani sebagai religius peniten rekolek kepada
para anggotanya secara terus-menerus, seperti tertulis pada buku Gerakan Awal Kongregasi Peniten Rekolek
2009: 131-136. Nilai-nilai keutamaan rohani tersebut adalah sebagai berikut:
a. Pengungsian bagi yang menderita
Kongregasi ini bertujuan menghadirkan kasih Allah bagi mereka yang sedang berkesusahan dan menderita. Pengungsian bagi yang menderita menjadi
motto Kongregasi Peniten Rekolek Bergen op Zoom, yang dipakai juga dalam akte notaris berdirinya kongregasi ini.
b. Doa dan kontemplasi
Hidup doa menjadi yang utama bagi Moeder Rosa dan para pengikutnya. Persatuan dengan Tuhan juga diterima melalui perayaan Ekaristi harian, yang
dilakukan di gereja paroki. Baginya kontemplasi adalah pemberian diri secara total dalam merawat orang-orang sakit dan menderita, yang dipandangnya sebagai
Kristus yang miskin dan menderita. c.
Ulah tapa dan pengendalian diri Olah rohani matiraga dan pengendalian diri merupakan praktek keutamaan
yang dijalankan dengan sangat ketat oleh Moeder Rosa dan anggotanya sebagai Ordo Ketiga Regular Santo Fransiskus Assisi. Hal ini tampak dalam sikap hidup
sederhana, baik dalam berpakaian, tutur kata, cara bertindak dan menu makanan yang disantapnya setiap hari.
18
d. Pelepasan dari hal-hal duniawi
Kaul kemiskinan dihayati secara tegas dan kokoh karena Moeder Rosa meyakini bahwa Allahlah yang menjamin hidupnya. Sikap batin yang lepas bebas
tanpa terikat oleh barang-barang, tempat, relasi maupun harta benda yang akan menjamin kelangsungan hidupnya. Beliau tidak khawatir akan hidupnya, masa
depannya, maupun kelangsungan hidup kongregasinya, sekalipun beliau sendiri dan para anggotanya tidak digaji selama setahun dari pihak Rumah Sakit. Ia
meyakini bahwa Allah yang memulai karya baik ini, maka Allah sendiri yang akan menyelesaikannya.
Ia menggantungkan diri sepenuhnya pada
penyelenggaraan Ilahi. e.
Ketaatan dan kerendahan hati Kaul ketaatan dihayati oleh Moeder Rosa dengan penuh tangungjawab. Ia
siap sedia diutus, sekalipun harus menyamar sebagai awam biasa, sewaktu melamar ke Rumah Sakit pemerintah, yang kelak menjadi cikal bakal berdirinya
Kongregasi BOZ. Ketaatannya juga tampak dalam bekerjasama dengan para pengurus Rumah Sakit, tempat beliau mengabdikan diri, merawat orang-orang
sakit. Sikap rendah hati diwujudkan dalam keterbukaan dan ketulusan hati dalam meminta bantuan kepada pengurus Rumah Sakit saat tidak memiliki biaya untuk
penguburan seorang anggotanya yang meninggal dan pada waktu meminta sumbangan untuk membangun sebuah kapel, yang merupakan kerinduan hatinya
sejak lama.
19
f. Cinta kasih yang melayani
Penghayatan kaul kemurnian diwujudkan dalam mencintai Tuhan dan sesama dengan murni dan tak terbagi. Ia menghayati ajaran Tuhan Yesus dengan
menghayati kaul profesinya, agar perhatiannya hanya tertuju pada Allah Tri Tunggal. Cinta kasih dan perhatiannya dicurahkan kepada para susternya dan para
pasien yang sakit dan menderita. g.
Pengorbanan diri Semangat pengorbanan ia timba dari semangat pengorbanan diri Kristus yang
rela wafat demi keselamatan umat-Nya. Seluruh hidup Moeder Rosa tercurah kepada kepentingan orang lain, terlebih untuk mereka yang menderita. Ia rela
mengorbankan kamar tidur dan ruang makan komunitasnya untuk para pasien yang membutuhkan perawatan.
h. Kegembiraan Fransiskan
Semangat riang-gembira sebagai pengikut Fransiskus Assisi dihayati dalam hidupnya. Berkat relasi dan imannya yang mendalam dengan Tuhan,
memancarkan kegembiaran sejati kepada setiap orang yang dijumpainya. Maka tidak mengherankan bila banyak orang merasa terhibur bila dikunjungi oleh
beliau.
5. Visi, Misi dan Tujuan Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi
a. Visi Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi
Visi SFS: Tarekat Suster-suster Fransiskan Sukabumi adalah suatu persaudaraan yang terdiri atas pribadi yang terdorong oleh ilham ilahi mau
20
menghayati dan meneruskan cita-cita Moeder Rosa de Bie, yaitu: mengusahakan penyucian para anggotanya yang berdevosikan pada perjuangan dan penderitaan
Yesus yang tersalib, dengan hidup dalam semangat doa dan kontemplasi, tobat dan silih, serta pelayanan cinta kasih seturut teladan Fransiskus Assisi Zita, 2008:
212. b.
Misi Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi Misi SFS: Tarekat Suster-suster Fransiskan Sukabumi mewujudkan visinya
dalam pelayanan kepada sesama melalui karya kesehatan, sosial karitatif, pastoral dan pendidikan Zita, 2008: 213.
c. Tujuan Kongregasi Suster Fransiskan Sukabumi
Tujuan Tarekat Suster-suster Fransiskan Sukabumi adalah menyucikan para anggotanya dengan mempertahankan identitas Tarekat Suster Fransiskanes
Peniten Rekolektin sesuai dengan semangat Pendiri Moeder Rosa de Bie Konst. 2000: pasal 4.
B. KONTEKS
Arti kata konteks menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian. Kontekstualisasi menurut
Hesselgrave 1994: 48, bersifat dinamis bukan statis. Kontekstualisasi mengakui sifat terus-menerus berubah dari setiap situasi manusia dan kemungkinan akan
terjadinya perubahan, hingga membuka jalan bagi masa depan. Namun kontekstualisasi tidak menyiratkan isolasi bangsa-bangsa dan budaya-budaya.
Sementara di dalam masing-masing situasi budaya yang berbeda-beda orang harus
21
bergumul untuk mendapatkan kembali identitas mereka dan menguasai sejarah mereka sendiri, namun masih terdapat kesaling-tergantungan konteks.
Dengan demikian kontekstualisasi berarti bahwa kemungkinan-kemungkinan pembaharuan harus pertama-tama dirasakan pada tempatnya masing-masing
dalam tiap situasi, namun selalu dalam kerangka kesaling-tergantungan pada masa kini yang mengikat masalah-masalah masa lalu dan masa kini pada kemungkinan-
kemungkinan di masa depan Hesselgrave, 1994: 52-53. Kontekstualisasi dalam rangka menemukan spiritualitas masa kini dan masa
depan sebagai perwujudan baru dari konteks spiritualitas yang lama, maka dalam penulisan ini menggunakan pendekatan beberapa bidang ilmu yang dibatasi pada
bidang komunikasi, kebudayaan, psikologi, pendidikan, dan kepemimpinan.
1. Komunikasi
a. Pengertian Komunikasi
Menurut Deddy Mulyana 2001: 41-42 komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari bahasa Latin communis yang berarti “sama”,
communico, communication , atau communicare yang berarti “membuat sama.”
Sama di sini maksudnya adalah sama makna.
Jadi, kalau dua orang terlibat dalam komunikasi, misalnya dalam percakapan, maka komunikasi akan terjadi atau berlangsung selama ada kesamaan makna
mengenai apa yang dipercakapkan. Kesamaan bahasa yang dipergunakan dalam percakapan itu belum tentu menimbulkan kesamaan makna. Dengan kata lain,
mengerti bahasanya saja belum tentu mengerti makna yang dibawakan oleh bahasa itu. Percakapan kedua orang tadi dapat dikatakan komunikatif apabila
22
kedua-duanya mengerti bahasa yang dipergunakan juga mengerti makna dari bahan yang dipercakapkan Onong Uchjana Effendy, 1992: 9.
Komunikasi meliputi unsur-unsur: komunikator, pesan, media, komunikan, dan efek. Jadi, komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator
kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu. Proses komunikasi pada hakikatnya adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan
oleh seseorang komunikator kepada orang lain komunikan. Pikiran bisa merupakan gagasan, informasi, opini, dan lain-lain yang muncul dari benaknya.
Perasaan bisa berupa keyakinan, kepastian, keragu-raguan, kekhawatiran, kemarahan, keberanian, kegairahan, dan sebagainya yang timbul dari lubuk
hatinya Onong Uchjana Effendy, 1992: 10-11. Proses komunikasi terbagi menjadi dua tahap, yakni secara primer dan secara
sekunder. Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang
simbol sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa, kial gesture, isyarat, gambar, warna, dan lain sebagainya yang
secara langsung mampu menerjemahkan pikiran seseorang kepada orang lain. Baik berbentuk ide, informasi, atau opini; baik mengenai hal yang konkret
maupun abstrak; bukan saja tentang hal atau peristiwa yang terjadi pada saat sekarang, melainkan juga pada waktu yang lalu dan masa yang akan datang
Onong Uchjana Effendy, 1992 : 11. Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh
seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media
23
kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama. Seorang komunikator menggunakan media kedua dalam melancarkan komunikasinya karena komunikan
sebagai sasarannya berada di tempat yang relatif jauh atau jumlahnya banyak. Surat, telephone, teleks, surat kabar, majalah, radio, televisi, film, dan banyak lagi
media kedua yang sering digunakan dalam komunikasi. Akan tetapi, oleh para ahli komunikasi diakui bahwa keefektifan dan efisiensi komunikasi bermedia hanya
dalam menyebarkan pesan-pesan yang bersifat informatif. Yang efektif dan efisien dalam menyampaikan pesan persuasif adalah komunikasi tatap muka
karena kerangka acuan komunikan dapat diketahui oleh komunikator, sedangkan dalam proses komunikasinya, umpan balik berlangsung seketika, dalam arti kata
komunikator mengetahui tanggapan atau reaksi komunikan pada saat itu juga Onong Uchjana Effendy, 1992: 16-17.
b. Trend Komunikasi Masa Kini
Derasnya teknologi yang masuk ke suatu negara dapat mendekatkan jarak hubungan antar manusia. Meski demikian, tentunya tak lepas dari hal-hal negatif.
Dampak alienasi, keterasingan masing-masing individu, nilai-nilai primordialisme juga dapat tercipta karena keberadaan teknologi informasi tersebut. Sebagian
generasi digital akan menjadi konsumtif, hedonis, dan narsistis yang akan menghambat kemajuan bangsa Dirjen Informasi dan Komunikasi RI, 2012: 10.
Iswarahadi 2003: 10-11 sarana komunikasi modern, seperti televisi, komputer, internet, handphone, facebook, websites, dan lain sebagainya;
menyebabkan komunikasi verbal semakin hilang dan kurang dihargai perannya. Sarana komunikasi modern ini mampu memproduksi dan menyebarkan gagasan
24
dan pemikiran orang yang sama secara massal, sehingga dalam waktu yang singkat hal sama itu dapat dibaca, didengar, dan diketahui secara luas. Melalui
penggunaan sarana modern untuk berkomunikasi, orang tidak hanya menyentuh dan menyapa seseorang melainkan banyak orang sekaligus dalam waktu yang
sama. Sayangnya, dengan itu komunikasi juga kehilangan unsur pribadinya, sebab orang tidak lagi berjumpa dengan seorang “engkau” tetapi dengan massa atau fans
yang banyak, sementara narasumber sendiri menjadi semacam idola atau abstraksi asing yang tidak bisa disentuh.
Perkembangan jaringan komunikasi dan informasi melalui dunia maya, sepintas tampak hanya sebagai perkembangan teknologi sarana-sarana komunikasi
yang semakin luas, semakin cepat, dan menjangkau banyak orang. Cita-cita yang dikejar adalah publisitas, transparansi umum dan nilai yang diunggulkan adalah
kelayakan pasar, laku jual. Sebuah ide, gagasan, ataupun barang naik harganya ketika semakin banyak orang menyukai dan merasa membutuhkannya. Untuk itu,
orang berusaha keras menggunakan media massa sebagai sarana promosi, mencapai publisitas yang luas Iswarahadi, 2003: 11.
Media massa sekarang ini bukanlah sekadar sarana, melainkan kebudayaan itu sendiri, di mana manusia hidup, bergerak, dan ada. Kebudayaan media massa
telah menenggelamkan manusia seluruhnya ke dalam model komunikasi global yang tidak bisa dicegah. Penggunaan media massa dengan sendirinya akan
menuntut penerimaan sifat-sifat mental, yang tercakup dalam budaya tersebut seperti publisitas, keterbukaan atau transparansi, pembaruan terus-menerus, relasi
sosial yang luas, dan kesediaan untuk dikritik Iswarahadi, 2003: 12.