44 alam tersebut. Kehendak yang dimaksud dapat berupa kehendak dewa.
Seperti terjadinya banjir atau bencana alam, lebih dipahami sebagai bentuk dari kehendak dewa. Kalau dikaitkan dengan perilaku manusia, kejadian
alam itu dapat dipahami sebagai bentuk kutukan atau kemarahan dewa kepada manusia.
Kesadaran sejarah pada masyarakat yang belum mengenal tulisan sudah terbentuk. Mereka berupaya agar tradisi sejarah yang mereka miliki dapat
diwariskan kepada generasinya. Tujuan utama pewarisan tersebut yaitu pertama agar generasi penerusnya memiliki pengetahuan masa lalunya, dan
tujuan yang lebih penting ialah pengetahuan itu harus menjadi suatu keyakinan. Keyakinan tersebut memiliki nilai-nilai yang mereka anggap berguna bagi
kehidupan. Bahkan nilai-nilai tersebut menjadi pegangan hidup dalam membimbing jalan kehidupannya.
Cara pewarisan yang dilakukan ialah dengan bertutur dari mulut ke mulut. Hal ini dilakukan karena pada masyarakat yang belum mengenal
tulisan, tidak meninggalkan bukti sejarah dalam bentuk peninggalan tertulis. Penuturan melalui bercerita merupakan cara yang efektif untuk mewariskan
kepada generasi berikutnya. Cara penceritaan tersebut kemudian dikenal dengan istilah tradisi lisan.
Fungsi utama dalam tradisi lisan adalah pewarisan dan perekaman terhadap apa yang terjadi pada masa lalu menurut pandangan suatu kelompok
masyarakat. Bagi masyarakat yang belum mengenal tulisan, tradisi lisan yang lebih dipentingkan ialah meyakini apa yang diceritakannya. Pengetahuan
terhadap apa yang diceritakan dalam tradisi lisan bukanlah tujuan penting. Tradisi lisan merupakan bagian dari budaya bagi masyarakat yang memegangnya.
Sebagai suatu aspek budaya, maka kepentingan untuk menjelaskan atau memahami lingkungan sekitar itu sekaligus sebagai usaha memberi pegangan
kepada masyarakat terutama generasi berikutnya dalam menghadapi berbagai kemungkinan dari lingkungan itu. Di sini tradisi lisan berfungsi sebagai alat
“mnemonik”, yaitu usaha untuk merekam, menyusun, dan menyimpan pengetahuan demi pengajaran dan pewarisannya dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Keyakinan masyarakat pendukung tradisi lisan disebabkan oleh adanya nilai-nilai yang terkandung dalam cerita tersebut. Mereka tidak terlalu
memperhatikan apakah faktanya mengandung kebenaran, apakah faktanya secara nyata ada. Nilai-nilai tersebut misalnya keteladanan, keberanian,
kejujuran, kekeluargaan, penghormatan terhadap leluhur, kecintaan, kasih sayang, dan lain-lain. Nilai-nilai yang ada dalam tradisi itu disebut juga
dengan kearifan lokal. Disebut demikian karena nilai-nilai yang terkandung banyak mengandung sikap-sikap yang arif, bahkan dalam konteks sekarang
nilai-nilai itu sangat berguna untuk diterapkan.
45 Dalam tradisi lisan, terdapat pesan-pesan yang banyak mengandung
unsur kearifan. Pesan-pesan itu disampaikan secara verbal, sebab pada masa itu belum mengenal tulisan. Ada dua ciri penting tradisi lisan. Pertama,
menyangkut pesan-pesan yang berupa pernyataan-pernyataan lisan yang diucapkan, dinyanyikan, atau disampaikan lewat musik. Berbeda halnya
dengan masyarakat yang sudah mengenal tulisan, pesan-pesan itu disampaikan dalam bentuk teks tertulis.
Ciri kedua ialah tradisi lisan berasal dari generasi sebelum generasi sekarang, paling sedikit satu generasi sebelumnya. Berbeda halnya dengan
sejarah lisan oral history, disusun bukan dari generasi sebelumnya tapi disusun oleh generasi sezaman. Asal tradisi lisan dari generasi sebelumnya
karena memiliki fungsi pewarisan, sedangkan di dalam sejarah lisan tidak ada upaya untuk pewarisan.
Tradisi lisan biasa dibedakan menjadi beberapa jenis. Pertama, berupa “petuah-petuah” yang sebenarnya merupakan rumusan kalimat yang dianggap
punya arti khusus bagi kelompok, yang biasanya dinyatakan berulang- ulang untuk menegaskan satu pandangan kelompok yang diharapkan dapat
menjadi pegangan bagi generasi-generasi berikutnya. Rumusan kalimat atau kata-kata itu biasanya diusahakan untuk tidak diubah-ubah, meskipun dalam
kenyataan perubahan itu biasa saja terjadi terutama sesudah melewati beberapa generasi, apalagi penerusannya bersifat lisan, sehingga sukar dicek dengan
rumusan aslinya. Namun, karena kedudukannya yang sangat istimewa dalam kehidupan kelompok, maka tetap diyakini bahwa rumusan itu tidak berubah.
Bentuk yang kedua dari tradisi lisan adalah “kisah” tentang kejadian- kejadian di sekitar kehidupan kelompok, baik sebagai kisah perorangan
personal tradition atau sebagai kelompok group account. Sesuai dengan alam pikiran masyarakat yang magis religius, kisah-kisah ini yang sebenarnya
berintikan suatu fakta tertentu, biasanya diselimuti dengan unsur-unsur kepercayaan, atau terjadi pencampuradukan antara fakta dengan kepercayaan itu. Cara
penyampaian fakta memang seperti menyampaikan gosip penuh dengan tambahan-tambahan menurut selera penuturnya, maka disebut pula dengan
istilah “historical gossip” gosip yang bernilai sejarah. Untuk kisah-kisah perseorangan atau keluarga ini diulang-ulang atau diingat-ingat dalam beberapa
generasi, sehingga riwayat keluarga ini kemudian biasa menjadi milik kelompok yang sering dikeramatkan bagi generasi-generasi berikutnya, yang biasanya
diperbaharui ditambahkan secara berkesinambungan.
Bentuk ketiga dari tradisi lisan yaitu “cerita kepahlawanan”. Cerita ini berisi bermacam-macam gambaran tentang tindakan-tindakan kepahlawanan
yang mengagumkan bagi kelompok pemiliknya yang biasanya berpusat pada tokoh-tokoh tertentu biasanya tokoh-tokoh pemimpin masyarakat. Beberapa
46 cerita kepahlawanan ini memang ada yang punya dimensi historis yang
patut diperhatikan karena unsur fakta sejarahnya yang masih bisa ditelusuri, tetapi pada umumnya sudah terselimuti dengan unsur-unsur kepercayaan,
sehingga kadang-kadang dianggap lebih bersifat hasil sastra.
Keempat, yaitu bentuk cerita “dongeng” yang umumnya bersifat fiksi belaka. Tentu saja unsur faktanya boleh dikatakan tidak ada, dan memang
biasanya terutama berfungsi untuk menyenangkan menghibur pendengarnya meskipun sering di dalamnya terkandung unsur-unsur petuah.
B. MELACAK JEJAK SEJARAH MELALUI FOLKTOR, MITOLOGI, LEGENDA, DAN UPACARA
Berbagai bentuk tradisi lisan dapat dilacak oleh kita yang hidup pada masa ini. Bentuk
tradisi lisan meliputi folklor, mitologi, legenda, upacara, dan lagu. Dalam melacak tradisi
lisan tersebut dapat kita lakukan, baik secara langsung masuk ke dalam pergaulan masyarakat
pemilik atau pendukung tradisi tersebut maupun cukup dengan mendengarkan penuturan dari
si penutur tradisi lisan tersebut. Dalam melacak bentuk-bentuk tradisi lisan tersebut, sudah tentu kita tidak akan mencari
kebenaran faktanya. Hal yang kita pentingkan ialah bagaimana nilai-nilai ajaran yang terkandung dalam cerita tradisi lisan tersebut.
1. Folklor
Sebelum mengenal contoh-contoh tradisi lisan, sebaiknya kamu mengenal dulu pengertiannya, supaya dapat membedakan antara bentuk yang satu
dengan yang lainnya. Berdasarkan asal katanya, folklor berasal dari dua kata yaitu folk dan lore. Kata folk dapat diartikan sebagai sekelompok
orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Ciri-ciri pengenal itu
antara lain dapat berwujud: warna kulit yang sama, rambut yang sama, mata pencaharian yang sama, bahasa yang sama, taraf pendidikan yang
sama, dan agama yang sama. Namun yang lebih penting lagi adalah bahwa
Kegiatan 2.1
Buatlah cerita-cerita rakyat yang berkaitan dengan sejarah yang ada dan hidup di lingkungan tempat kamu tinggal.
Kata-kata kunci
• jejak sejarah • folklor
• mitologi • legenda
• upacara
47 mereka memiliki suatu tradisi, yakni kebudayaan yang telah mereka warisi
secara turun-temurun, sedikitnya dua generasi. Di samping itu, yang paling penting adalah mereka sadar akan identitas kelompok mereka sendiri. Kata
lore diartikan sebagai tradisi dari folk, yaitu sebagian kebudayaannya, yang diwariskan secara turun-temurun, baik secara lisan maupun melalui
suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat.
Pengertian folklore secara keseluruhan adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun, di antara
kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat
atau alat pembantu.
James Dananjaya seorang ahli folklor menyebutkan sembilan ciri folklore, yaitu sebagai berikut.
a. Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni
disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut atau dengan suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat, dan alat pembantu pengingat
dari suatu generasi ke generasi berikutnya.
b. Tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk yang relatif tetap atau dalam
bentuk standar. Disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama paling sedikit dua generasi.
c. Ada exist dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda. Hal
ini diakibatkan oleh cara penyebarannya dari mulut ke mulut lisan, biasanya bukan melalui cetakan atau rekaman, sehingga oleh proses lupa diri manusia
atau proses interpolasi, folklore dengan mudah dapat mengalami perubahan. Walaupun demikian, perbedaannya hanya terletak pada bagian luarnya
saja, sedangkan bentuk dasarnya dapat tetap bertahan.
d. Anonim, yaitu penciptanya sudah tidak diketahui orang lagi.
e. Mempunyai bentuk berumus atau berpola. Cerita rakyat, misalnya,
selalu menggunakan kata-kata klise seperti “bulan empat belas hari” untuk menggambarkan kemarahan seseorang, atau ungkapan-ungkapan
tradisional, ulangan-ulangan, dan kalimat-kalimat atau kata-kata pembukaan dan penutup yang baku, seperti “sohibul hikayat… dan mereka pun hidup
bahagia untuk seterusnya,” atau “Menurut empunya cerita… demikianlah konon”.
f. Mempunyai kegunaan function dalam kehidupan bersama suatu kolektif.
Cerita rakyat misalnya mempunyai kegunaan sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam.
g. Pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika
umum. Ciri pengenal ini terutama berlaku bagi folklore lisan dan sebagian lisan.
48 h.
Milik bersama collective dari kolektif tertentu. Hal ini sudah tentu diakibatkan karena penciptanya yang pertama sudah tidak diketahui lagi,
sehingga setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya.
i. Bersifat polos dan lugu, sehingga seringkali kelihatan kasar, terlalu spontan.
Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat bahwa banyak folklor merupakan proyeksi emosi manusia yang paling jujur manifestasinya.
Adapun fungsi folklor, yaitu sebagai berikut: a.
Sebagai sistem proyeksi, yakni sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolektif.
b. Sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan.
c. Sebagai alat pendidik anak.
d. Sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan
selalu dipatuhi anggota kolektifnya. Sebagaimana telah dikemukakan, manusia praaksara telah memiliki
kesadaran sejarah. Salah satu cara kita untuk melacak bagaimana kesadaran sejarah yang mereka miliki ialah dengan melihat bentuk folklore. Bentuk
folklore yang berkaitan dengan kesadaran sejarah adalah cerita prosa rakyat. Termasuk prosa rakyat antara lain mite atau mitologi dan legenda.
a. Mitologi
Ciri penting dari mitologi ialah cerita prosa rakyat yang dianggap benar- benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Tokoh yang
ditampilkan dalam mitologi biasanya berupa para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwa yang dikisahkan dalam mitologi berupa terjadinya alam
semesta, dunia, manusia pertama, terjadinya maut, bentuk khas binatang, bentuk topografi, gejala alam, dan sebagainya. Selain itu, mitologi juga
mengisahkan petualangan para dewa, kisah percintaan dewa, hubungan kekerabatan para dewa, kisah perang para dewa, dan sebagainya.
Cerita tentang sesuatu hal yang berbentuk mitologi pada setiap daerah terkadang ada yang sama, tetapi ada pula cerita itu yang hanya dimiliki
oleh daerah tersebut. Salah satu cerita yang isinya sama, yaitu cerita tentang asal usul beras yang dikaitkan dengan cerita Dewi Sri. Hampir seluruh
daerah di Indonesia, mitologi tentang beras selalu dikaitkan dengan cerita Dewi Sri. Walaupun tema ceritanya sama, yaitu Dewi Sri, tetapi setiap
daerah memiliki cerita yang berbeda tentang tokoh Dewi Sri ini.
Baiklah, berikut ini akan sedikit disampaikan cerita tentang Dewi Sri dengan versi cerita yang berbeda. Menurut versi di daerah Surabaya, Dewi
Sri adalah seorang putri dari Kerajaan Purwacarita. Ia mempunyai seorang saudara laki-laki yang bernama Sadana. Pada suatu hari selagi tidur, kedua