TRADISI SEJARAH PADA MASA AKSARA

60 karena para ilmuwan Belanda yang tertarik pada pengumpulan naskah meminta menyalin kembali. Pandangan dari penulis naskah akan berpengaruh terhadap hasil penulisannya. Bagi pembuat naskah yang sekaligus berprofesi sebagai pengarang atau pujangga, pekerjaan menulis naskah merupakan suatu pemenuhan batin untuk menyatakan pikiran-pikirannya, untuk mempraktikkan kiat-kiat estetikanya, untuk menyatakan sikap hidup dan tanggapan dunianya. Berbeda halnya dengan para pembuat naskah yang semata-mata melakukan penyalinan, baik atas perintah, keinginan sendiri, maupun atas pesanan. Pada waktu itu, para pembuat naskah yang ada pada umumnya adalah golongan penyalin. Para pengarang pada umumnya telah menggunakan media penulisan modern untuk langsung diproduksi secara massal. Fakta yang ada dalam naskah-naskah lama tidak selamanya dapat digunakan sebagai fakta sejarah. Apabila kita menggunakan fakta-fakta tersebut, maka kita harus bersikap kritis, karena uraian atau cerita dari naskah lama biasanya banyak dibumbui oleh cerita yang bersifat mistik atau magis religius. Misalnya, seorang raja yang memiliki kesaktian luar biasa yang berbeda dengan manusia lain pada umumnya. Bentuk historiografi tradisional yang terdapat pada naskah memiliki beberapa ciri. Pertama, uraiannya dipengaruhi oleh ciri-ciri budaya masyarakat pendukungnya. Sebagaimana telah dikemukakan, naskah merupakan produk kebudayaan masyarakat setempat. Unsur-unsur kebudayaan masyarakat setempat akan mewarnai isi naskah. Misalnya naskah yang ada di Sulawesi Selatan banyak yang berbahasa Bugis dan Makassar, karena merupakan suku yang ada di daerah tersebut. Ciri kedua, dari yaitu cenderung mengabaikan unsur-unsur fakta. Pengabaian fakta ini disebabkan terlalu dipengaruhi atau dikaburkan oleh sistem kepercayaan yang dimiliki masyarakatnya. Fakta yang menjadi tokoh dalam cerita naskah, sering dibumbui dengan unsur-unsur mistik yang menjadi kepercayaan masyarakat setempat. Aspek yang menonjol dalam cerita tersebut bukan tokoh yang menjadi fakta, tetapi unsur mistiknya. Contoh yang demikian misalnya naskah yang menceritakan para wali yang menyebarkan agama Islam. Tokoh-tokoh tersebut digambarkan sebagai figur yang memiliki kekuatan-kekuatan di luar kekuatan manusia biasa. Salah satu kekuatan yang dapat ditampilkan misalnya seorang wali pergi ke Mekah dengan jalan melalui dasar laut. Penokohan yang berlebihan ini barangkali untuk memberikan keyakinan bagi masyarakat agar masyarakat sangat menghormati pada wali. Ciri ketiga, yaitu dalam naskah terdapat tokoh yang memiliki kekuatan “sekti” sakti. Kekuatan ini merupakan pangkal dari berbagai peristiwa alam, termasuk yang menyangkut kehidupan manusia. Kekuatan sakti ini 61 diperoleh melalui suatu proses perjalanan yang cukup panjang. Ketika kekuatan sakti sudah diperoleh oleh seorang tokoh, maka tokoh itu dihadapkan pada pantangan-pantangan. Apabila pantangan itu dilanggar, maka akan menimbulkan malapetaka atau kecelakaan bagi si tokoh tersebut. Dengan demikian, kesaktian tersebut dapat bertahan atau hilang lenyap seketika. Dalam beberapa naskah di Jawa, diceritakan bahwa raja Mataram Sultan Agung memiliki kesaktian. Dalam memperluas kekuasaannya, Sultan Agung mampu terbang mengunjungi daerah taklukannya. Penggambaran tokoh seperti ini untuk meyakinkan rakyat terhadap kekuasaan seorang raja. Dengan cara ini, rakyat akan semakin tunduk dan taat kepada raja. Rakyat akan takut menerima hukuman dari raja, karena raja memiliki kesaktian. Ciri keempat, yaitu adanya kepercayaan akan klasifikasi magis yang mempengaruhi segala sesuatu yang ada di alam ini. Sifat magis itu terdapat, baik pada makhluk hidup maupun pada benda-benda mati. Selain itu, magis Gambar. 2.2 Contoh naskah kuno yang ditulis dengan huruf Jawa kuno Sumber: Naskah dan Kita, Lembaran Sastra, Nomor Khusus 12 januari 1991, Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia Gambar 2.3 Contoh naskah kuno yang ditulis dengan huruf Arab Sumber : Edi S. Ekadjati dan Undang A.Darsa, 1999 62 dapat dibentuk dalam akal manusia maupun bagi sifat-sifat yang terdapat dalam materi. Secara akal sehat, sifat magis ini sulit diterima oleh akal sehat, misalnya binatang dapat berwujud menjadi manusia atau jasad manusia dapat berubah menjadi tumbuh-tumbuhan. Perubahan wujud ini dapat ditemukan dalam Naskah Babad Ratu Galuh. Naskah tersebut menceritakan tentang Ratu Galuh. Dia anak Hariangbanga. Hobi yang dimiliki oleh raja adalah berburu ke hutan. Sang raja berburu ke hutan dengan membawa seekor anjing yang bernama Belang Wayungyung. Dalam cerita berburunya raja ini, terdapat cerita yang menarik. Sang raja buang air kecil dan air seninya tergenang pada pelepah kelapa, ketika menjelang pulang dari perburuannya. Selesai raja buang air seni, datanglah seekor babi yang meminum air seni raja. Akibat minum air seni sang babi tersebut menjadi hamil. Ketika usia kehamilan sudah cukup waktu, maka lahirlah seorang bayi. Bayi tersebut diambil oleh raja dan diberi nama Sepirasa. Setelah ditinggal mati ibunya, Sepirasa oleh Raja Galuh ditempatkan di sebuah gubuk di hutan dan diganti namanya menjadi Dewi Hartati. Dewi Hartati kemudian hamil karena disetubuhi oleh Si Belang titisan dewa, dan lahirlah seorang putra bernama Suwungrasa yang mirip dengan Hariangbanga putra Raja Galuh. Hobi yang dimiliki Suwungrasa adalah berburu. Jika berburu Suwungrasa ditemani oleh Si Belang. Pada suatu ketika Suwungrasa berburu dengan si Belang. Perburuan yang dilakukannya ini tidak mendapatkan hasil. Suwungrasa merasa kecewa karena tidak mendapatkan hasil buruannya. Kekecewaan Suwungrasa kemudian menjadi kekesalan. Ungkapan kekesalan tersebut dilakukan dengan cara membunuh si Belang dan diambil atinya. Ketika sampai di rumah, ati si Belang tersebut kemudian dipasak dan dimakan bersama ibunya. Setelah selesai makan, Suwungrasa baru memberitahu ibunya bahwa ati yang dimakan itu adalah ati si Belang. Mendengar cerita tersebut, ibunya kemudian marah dan memukul bagian kepala Suwungrasa dengan menggunakan sinduk sehingga ada bekasnya di kepala Suwungrasa. Marahnya ibu Suwungrasa menyebabkan mereka berdua harus berpisah. Selama perpisahan kedua-duanya melakukan aktivitas-aktivitasnya. Kegiatan Dewi Hartati yaitu sering bertapa. Kerajinan bertapa membuat Dewi Hartati menjadi orang sakti dan berganti nama menjadi Malaya. Adapun Suwungrasa berguru kepada Ajar Padang dan berganti namanya menjadi Jaka Wardaya. Perpisahan di antara anak dan ibu tersebut mengisahkan cerita lain dan membuat mereka tidak saling kenal pada mulanya. Pada suatu ketika Jaka Wardaya ingin memperistri Dewi Malaya. Jaka Wardaya tidak mengetahui bahwa perempuan yang dicintainya itu adalah ibunya sendiri. Salah satu cara untuk mempersunting Dewi Malaya yaitu dengan bertanding melawan ibunya sendiri. Ajar Padang mengingatkan Jaka Wardaya bahwa Dewi Malaya bukan tandingannya, tetapi Jaka Wardaya tetap pada pendiriannya. 63 Ketika bertanding, Dewi Malaya melihat bekas luka goresan di kepala Jaka Wardaya, dan dia meyakini bahwa Jaka Wardaya adalah anaknya yang dulu berpisah. Ajar Padang akirnya dapat melerai. Jaka Wardaya kemudian berganti nama menjadi Bangkasari dan menikah dengan putri di atas angin, sedangkan Dewi Malaya menjadi raja. Hal yang dapat dilihat dari uraian Babad Ratu Galuh itu ialah kita menemukan adanya binatang yang melahirkan anak manusia. Hal ini merupakan suatu perubahan benda dari binatang bisa menjadi manusia. Sepirasa dilahirkan dari seekor babi hutan dan Suwungrasa dilahirkan dari hasil persetubuhan anjing Si Belang dengan manusia Dewi Hartati. Perubahan dari manusia atau dewa menjadi tumbuh-tumbuhan dapat dibaca dalam naskah-naskah yang menceritakan tentang Dewi Sri atau Dewi Pohaci. Di antara naskah yang menceritakan Dewi Pohaci adalah naskah Sulanjana. Naskah ini bercerita tentang terjadinya tumbuh-tumbuhan, khususnya tumbuhan padi, di negeri Pakuan. Tumbuh-tumbuhan itu tumbuh berasal dari jasad Dewi Pohaci yang meninggal. Ciri kelima, yaitu kepercayaan perbuatan magis atau sihir yang dilakukan tokoh-tokoh tertentu. Contoh tokoh yang memiliki kekuatan magis adalah Mpu Bharada. Atas permintaan Airlangga, beliau terbang dengan menggunakan daun kluih. Ketika terbang, Mpu Bharada membawa kendi yang berisi air. Kemudian air yang ada dalam kendi itu kemudian dipercikkan ke tanah. Percikkan air itulah yang menjadi batas pembagian kerajaan yang dimiliki Airlangga. Hal ini dilakukan ketika Airlangga hendak membagi wilayah kerajaannya kepada anaknya. Ciri keenam, ialah gambaran dari tokoh-tokoh yang ditonjolkan dalam cerita naskah tersebut merupakan tokoh yang mistis raja dianggap titisan dewa. Penokohan raja sebagai titisan dewa tersebut hampir pada semua naskah yang menceritakan tentang hal itu. Pada naskah-naskah lontarak di Sulawesi Selatan, ada sebutan To Manurung, yang menceritakan tentang raja yang berkuasa itu hasil perkawinan antara manusia dengan dewa. Di Jawa Barat, silsilah para Bupati selalu dihubungkan dengan tokoh mitos yaitu Prabu Siliwangi. Silsilah tersebut dibuat dengan tujuan agar dapat memberikan dasar legitimasi bagi raja atau penguasa bahwa dia adalah keturunan tokoh yang sakral atau berpengaruh. Kegiatan 2.3 Carilah contoh-contoh naskah yang berkaitan dengan sejarah, kemudian ceritakanlah peristiwa-peristiwa yang terkandung dalam naskah tersebut. 64

D. PERKEMBANGAN PENULISAN SEJARAH DI INDONESIA

Sebagaimana telah diuraikan di atas, bangsa Indonesia telah lama memiliki kesadaran sejarah. Bukti kesadaran ini ditunjukkan oleh banyaknya karya naskah yang bersebaran di daerah-daerah Indonesia. Naskah-naskah tersebut merupakan bagian awal dari per- kembangan penulisan sejarah di Indonesia. Awal perkembangan penulisan sejarah di Indonesia dimulai dengan adanya penulisan sejarah dalam bentuk naskah. Beberapa sebutan untuk naskah- naskah yaitu babad, hikayat, kronik, tambo, dan lain-lain. Bentuk penulisan sejarah pada naskah-naskah tersebut, sebagaimana telah dikemukakan, termasuk dalam kategori historiografi tradisional. Sebutan historiografi tradisional, untuk membedakannya dengan historiografi modern. Historiografi modern sudah lebih dahulu berkembang di Barat. Ciri utama historiografi modern dan yang membedakan dengan historiografi tradisional adalah penggunaan fakta. Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa historiografi tradisional tidak terlalu mementingkan kebenaran fakta, sedangkan historiografi modern sangat mementingkan fakta. Sebagaimana telah dikemukakan dalam bab I bahwa sejarah mengungkapkan tentang kenyataan. Kenyataan dalam sejarah adalah fakta. Jadi, apabila sejarah hanya sekedar cerita yang tidak memiliki fakta, berarti itu bukan suatu kenyataan, itu hanyalah sebuah fiksi belaka. Salah satu ciri bahwa fakta itu benar ialah sumber-sumber yang dijadikan rujukan cerita itu harus masuk akal. Uraian historiografi tradisional yang bersifat fiksi, disebabkan oleh alam pikiran masyarakat yang belum bersifat rasional dan objektif. Uraian historiografi tradisional merupakan gambaran dari pikiran masyarakat yang magis-religius. Maksud dari uraian ini yaitu isi dari naskah-naskah lama sangat dipengaruhi oleh uraian unsur-unsur kepercayaan masyarakat setempat di mana naskah itu dibuat. Pada masyarakat yang masih tradisional, terdapat kepercayaan-kepercayaan yang memandang bahwa kehidupan manusia sangat ditentukan oleh kekuatan-kekuatan di luar manusia. Kekuatan-kekuatan itu dapat berupa alam, para dewa, benda-benda yang dianggap sakral, dan lain-lain. Manusia tidak mampu mengubah diri oleh dirinya sendiri. Kedudukan manusia dalam suatu perubahan lebih berperan sebagai objek, bukan subjek atau penentu. Di beberapa daerah di Indonesia terdapat cerita yang bersumber dari historiografi tradisional tentang asal usul daerah tersebut. Di dalam sumber- sumber tersebut misalnya, diceritakan bahwa sebelum terbentuknya suatu Kata-kata kunci • naskah • neerlandosentris • Indonesiasentris • konggres sejarah 65 tatanan kehidupan yang teratur dalam daerah tersebut, keadaannya krisis atau serba tidak menentu. Dalam keadaan yang demikian, maka sang dewa menurunkan utusannya untuk memperbaiki keadaan krisis. Utusan dewa itu kemudian menikah dengan wanita yang ada di daerah tersebut. Setelah turunnya utusan dewa maka keadaan di daerah itu menjadi baik dan mulailah tersusun suatu pemerintahan atau kerajaan. Hasil perkawinan antara utusan dewa dengan wanita yang dinikahinya ini kemudian menjadi pewaris atau silsilah penguasa kerajaan. Dalam masyarakat di Sulawesi Selatan, contoh cerita tersebut merupakan mitos Tomanurung. Gambar 2.4 Bagian Teks Hikayat Perang Sabil Contoh Bentuk Historiografi Tradisional Sumber : Kementerian Budpar, 2003 Berdasarkan contoh cerita historiografi tersebut, terlihat bagaimana manusia tidak menjadi penentu dalam suatu cerita sejarah. Terbentuknya asal usul suatu daerah berdasarkan cerita historiografi tradisional, bukan ditentukan oleh manusia. Penentunya adalah dewa. Ketika dewa menurunkan utusannya ke muka bumi, maka terbentuklah suatu tatanan masyarakat. Historiografi di Indonesia mengalami perkembangan. Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu, historiografi Indonesia diawali dengan perkembangan historiografi tradisional. Bentuk historiografi tradisional tersebut adalah naskah kuno sebagaimana yang telah dibahas. Setelah historiografi yang tradisional, kemudian berkembang penulisan sejarah modern. Penulisan sejarah yang moderen diawali dengan penulisan sejarah penjajahan Belanda di Indonesia. Penulisan sejarah ini dilakukan oleh para ahli sejarah yang merupakan suatu team. Team penulis sejarah ini dipimpin oleh Dr. FW. Stapel. Buku yang ditulis oleh team ini berjudul Geschedenis van Nederlandsch Indie Sejarah Hindia Belanda. Pendekatan yang digunakan oleh Stapel dalam menulis buku tersebut sangat diwarnai para penulisnya. Buku tersebut pada dasarnya tidak banyak menceritakan tentang peran bangsa Indonesia. Hal ini dikarenakan, bangsa Indonesia pada saat itu sedang dijajah. Buku ini lebih tepat sebagai buku sejarah penjajahan orang Belanda di Indonesia. Penjajah Belanda merupakan subjek atau pemeran utama dalam cerita sejarah. Aspek-aspek yang positif 66 lebih banyak ditekankan pada orang Belanda, sedangkan bangsa Indonesia hanyalah sebagai pelengkap penderita. Penulisan sejarah yang demikian disebut dengan pendekatan yang neerlandosentris, yaitu penulisan sejarah yang dilihat dari peran orang Belanda penjajah. Tokoh-tokoh penting dari orang Belanda dianggap sebagai orang besar, sedangkan tokoh-tokoh bangsa Indonesia yang oleh bangsa Indonesia dianggap sebagai pahlawan, dianggap sebagai orang yang jelek, orang jahat, dan berbagai citra negatif lainnya. Misalnya diceritakan bagaimana kompeni merasa kehilangan besar ketika J.P. Coen seorang Gubernur Jenderal meninggal. Dia dikuburkan dengan acara penguburan yang besar. Ketika akan dikuburkan, rakyat Betawi mengusungnya. Contoh sebaliknya adalah cerita tentang Sultan Banten. Diceritakan bahwa Sultan Ageng Tirtayasa adalah seorang yang cerdik, bijaksana, dan taat menjalankan ajaran agamanya Islam. Tetapi dibalik itu semua diceritakan pula dia memiliki kelakuan yang bengis, hatinya jelek, selamanya memusuhi kompeni dan ingin memajukan Banten dan membinasakan Betawi Jakarta. Buku oleh Stapel tersebut, bukanlah merupakan sejarah Indonesia, tetapi merupakan suatu penulisan sejarah penjajahan Belanda atau sejarah Belanda di negeri jajahan. Karena penulisan sejarah yang lebih menampilkan orang Belanda, maka orang Belanda penjajah menjadi subjek dalam cerita sejarah, sedangkan bangsa Indonesia sebagai objek dari cerita sejarah. Bangsa Indonesia dikenal dengan sebutan kaum pribumi. Sebutan ini lebih menunjukkan bahwa bangsa Indonesia bukan sebagai bangsa, tidak memiliki suatu negara. Kedudukan bangsa Indonesia sebagai pelayan orang Belanda. Gambar 2.5 Buku karya Stapel Geschiedenis Nederlandsch Van Indie, contoh buku sejarah yang bersifat Neerlandosentris Sumber Stapel, 1931