Upacara MELACAK JEJAK SEJARAH MELALUI FOLKTOR, MITOLOGI, LEGENDA, DAN UPACARA

59 Naskah kuno merupakan sumber informasi kebudayaan daerah pada masa lampau. Naskah ini sangat penting dan memiliki makna yang sangat berarti. Di dalamnya mengandung ide-ide, gagasan, dan berbagai macam pengetahuan tentang alam semesta menurut persepsi budaya masyarakat yang bersangkutan. Naskah ini juga mengandung, antara lain ajaran-ajaran moral, filsafat, dan keagamaan. Isi naskah pada dasarnya merupakan buah pikiran dari si penulisnya. Buah pikiran dari si penulis tergantung pada apa yang menjadi ketertarikan si penulis naskah tersebut. Ketertarikan buah pikiran sangat beragam, dengan demikian isi naskah pun sangat beragam. Tidak semua naskah berisi tentang sejarah. Hal-hal yang menjadi materi naskah dapat berupa ajaran agama, hukum, adat istiadat, filsafat, politik, sastra, astronomi, ajaran moral, mantera, doa, obat-obatan, mistik, bahasa, bangunan, dan tumbuh-tumbuhan. Walaupun tidak berisi cerita sejarah, naskah-naskah kuno sangat berguna bagi penelitian sejarah. Hal yang bisa dikaji dari jenis naskah-naskah tersebut ialah nilai- nilai atau kebudayaan tempat naskah itu dibuat. Misalnya, ketika kita akan menulis tentang bagaimana pelaksanaan undang-undang dalam suatu wilayah, maka naskah tentang undang-undang itulah yang kita pakai. Hal ini penting kita lakukan, karena mungkin saja pelaksanaan undang-undang pada masa lalu berbeda dengan masa sekarang. Dalam ilmu sejarah, naskah dapat dimasukkan ke dalam bentuk historiografi tradisional. Sebutan tradisional tersebut berdasar pada tahun ketika naskah itu ditulis, tempat penulisan naskah, dan bentuk cerita yang dikisahkan dalam naskah. Tahun penulisan naskah biasanya ditulis pada waktu yang sudah lama. Tempat naskah itu ditulis sangat mempengaruhi isi naskah. Kebudayaan masyarakat setempat akan mewarnai isi cerita naskah. Bentuk cerita yang disampaikan biasanya memuat bagian-bagian yang sepertinya tidak masuk akal. Ada cerita-cerita yang bersifat mitos. Cerita sejarah yang ada dalam naskah, biasanya lebih banyak menceritakan peran “orang-orang besar”, seperti raja, penguasa, tokoh, dan lain-lain. Pemunculan peran penguasa dalam naskah dikarenakan subjektivitas penulisnya. Pada masa lalu biasanya di kerajaan terdapat seorang pujangga. Pujangga ini mencatat peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di kerajaan tersebut. Peristiwa-peristiwa penting itu misalnya kapan raja itu memerintah, siapa rajanya, kapan raja berakhir berkuasa, siapa yang menggantikan raja yang lama, peristiwa apa yang terjadi pada saat pergantian raja, dan peristiwa- peristiwa lainnya. Tidak semuanya naskah yang berisi tentang sejarah ditulis oleh pujangga kerajaan. Ada juga naskah yang ditulis oleh orang biasa. Bahkan naskah- naskah tersebut mengalami proses penyalinan kembali. Pada zaman Belanda, terdapat orang-orang yang kembali menyalin naskah. Penyalinan itu dilakukan 60 karena para ilmuwan Belanda yang tertarik pada pengumpulan naskah meminta menyalin kembali. Pandangan dari penulis naskah akan berpengaruh terhadap hasil penulisannya. Bagi pembuat naskah yang sekaligus berprofesi sebagai pengarang atau pujangga, pekerjaan menulis naskah merupakan suatu pemenuhan batin untuk menyatakan pikiran-pikirannya, untuk mempraktikkan kiat-kiat estetikanya, untuk menyatakan sikap hidup dan tanggapan dunianya. Berbeda halnya dengan para pembuat naskah yang semata-mata melakukan penyalinan, baik atas perintah, keinginan sendiri, maupun atas pesanan. Pada waktu itu, para pembuat naskah yang ada pada umumnya adalah golongan penyalin. Para pengarang pada umumnya telah menggunakan media penulisan modern untuk langsung diproduksi secara massal. Fakta yang ada dalam naskah-naskah lama tidak selamanya dapat digunakan sebagai fakta sejarah. Apabila kita menggunakan fakta-fakta tersebut, maka kita harus bersikap kritis, karena uraian atau cerita dari naskah lama biasanya banyak dibumbui oleh cerita yang bersifat mistik atau magis religius. Misalnya, seorang raja yang memiliki kesaktian luar biasa yang berbeda dengan manusia lain pada umumnya. Bentuk historiografi tradisional yang terdapat pada naskah memiliki beberapa ciri. Pertama, uraiannya dipengaruhi oleh ciri-ciri budaya masyarakat pendukungnya. Sebagaimana telah dikemukakan, naskah merupakan produk kebudayaan masyarakat setempat. Unsur-unsur kebudayaan masyarakat setempat akan mewarnai isi naskah. Misalnya naskah yang ada di Sulawesi Selatan banyak yang berbahasa Bugis dan Makassar, karena merupakan suku yang ada di daerah tersebut. Ciri kedua, dari yaitu cenderung mengabaikan unsur-unsur fakta. Pengabaian fakta ini disebabkan terlalu dipengaruhi atau dikaburkan oleh sistem kepercayaan yang dimiliki masyarakatnya. Fakta yang menjadi tokoh dalam cerita naskah, sering dibumbui dengan unsur-unsur mistik yang menjadi kepercayaan masyarakat setempat. Aspek yang menonjol dalam cerita tersebut bukan tokoh yang menjadi fakta, tetapi unsur mistiknya. Contoh yang demikian misalnya naskah yang menceritakan para wali yang menyebarkan agama Islam. Tokoh-tokoh tersebut digambarkan sebagai figur yang memiliki kekuatan-kekuatan di luar kekuatan manusia biasa. Salah satu kekuatan yang dapat ditampilkan misalnya seorang wali pergi ke Mekah dengan jalan melalui dasar laut. Penokohan yang berlebihan ini barangkali untuk memberikan keyakinan bagi masyarakat agar masyarakat sangat menghormati pada wali. Ciri ketiga, yaitu dalam naskah terdapat tokoh yang memiliki kekuatan “sekti” sakti. Kekuatan ini merupakan pangkal dari berbagai peristiwa alam, termasuk yang menyangkut kehidupan manusia. Kekuatan sakti ini