41 Setelah mempelajari bab ini, kamu diharapkan mampu:
• menjelaskan bagaimana masyarakat pada masa praaksara memaknai masa
lalunya; •
menjelaskan bagaimana masyarakat pada masa praaksara merekam dan mewariskan masa lalunya;
• menjelaskan bentuk-bentuk tradisi lisan yang memiliki nilai-nilai sejarah;
• menjelaskan bentuk kesadaran sejarah masyarakat pada masa aksara;
• menjelaskan naskah sebagai bentuk kesadaran sejarah pada masa aksara;
• menjelaskan perkembangan penulisan sejarah Indonesia dari tradisional
sampai modern.
2
TRADISI SEJARAH DALAM MASYARAKAT INDONESIA
MASA PRA-AKSARA DAN MASA AKSARA
41
Sumber : Nugroho Notosusanto, dkk, 19
42 Dalam setiap masyarakat terdapat tradisi yang merupakan kebudayaan
yang telah dimiliki oleh masyarakat tersebut. Tradisi yang dimiliki oleh suatu masyarakat mengalami perkembangan. Salah satu tradisi yang dimiliki
oleh masyarakat adalah tradisi sejarah. Tradisi ini mengandung arti bagaimana masyarakat menjelaskan masa lalunya berdasarkan perkembangan kebudayaan
yang dimilikinya. Perkembangan tradisi dapat dilihat dari perkembangan masa praaksara dan masa aksara.
Pada Bab ini, kamu akan mempelajari bagaimana perkembangan tradisi sejarah dalam masyarakat Indonesia mulai dari masa praaksara hingga
masa aksara. Dalam setiap periode itu, tradisi sejarah masyarakat Indonesia memiliki karakteristiknya masing-masing.
A. TRADISI SEJARAH MASYARAKAT MASA PRAAKSARA
Masyarakat Indonesia sebelum mengenal aksara sudah memiliki tradisi sejarah. Maksud
tradisi sejarah adalah bagaimana suatu masyarakat memiliki kesadaran terhadap masa
lalunya. Kesadaran tersebut kemudian dia rekam dan diwariskan kepada generasi
berikutnya. Perekaman dan pewarisan tersebut kemudian menjadi suatu tradisi yang hidup tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Bagaimanakah masyarakat yang belum mengenal tulisan merekam dan mewariskan masa lalunya? Bagaimanakah masyarakat yang belum mengenal
tulisan memaknai masa lalunya? Masyarakat dalam memahami masa lalunya akan ditentukan oleh alam pikiran masyarakat pada masa itu atau “jiwa
zaman”.
Alam pikiran masyarakat yang belum mengenal tulisan sudah tentu berbeda dengan masyarakat yang sudah mengenal tulisan. Tulisan pada
dasarnya merupakan salah satu hasil dari alam pikiran manusia. Kehidupan manusia memperlihatkan adanya suatu kesinambungan waktu.
Kesinambungan ini terlihat dalam tahap-tahap kehidupan manusia, misalnya mulai dia dilahirkan, masa kanak-kanak, masa dewasa, dan sampai orang
tua. Dalam kesinambungan waktu itulah nampak terjadi perubahan-perubahan dari satu tahap ke tahap lainnya.
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam diri masyarakat dapat menjadi pengalaman hidup masa lalunya. Pemahaman terhadap masa lalunya selalu
berkaitan dengan bagaimana masyarakat tersebut melihat perubahan yang terjadi pada diri dan lingkungan di sekitarnya. Secara garis besar, perubahan
dapat dikategorikan dalam dua bentuk, yaitu perubahan yang bersifat alami dan perubahan yang bersifat insani. Perubahan alami adalah perubahan
Kata-kata kunci
• tradisi sejarah • praaksara
43 yang terjadi pada alam itu sendiri seperti gempa bumi, gunung meletus,
banjir, dan lain-lain. Adapun perubahan insani adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada diri manusia, baik bersifat individu maupun kelompok,
misalnya kelahiran, peperangan, dan kejadian-kejadian lainnya.
Masyarakat yang belum mengenal tulisan melihat alam sebagai bagian yang terpenting dalam menentukan perubahan diri dan lingkungannya. Alam
adalah pusat segala perubahan. Perubahan-perubahan yang terjadi, baik yang ada pada dirinya maupun lingkungannya, lebih banyak menempatkan
alam sebagai penyebab utama perubahan tersebut. Sebab, alam merupakan pusat utama perubahan, maka manusia pada masa sebelum mengenal tulisan
memperlakukan alam sebagai kekuatan yang harus dihormati bahkan dikultuskan. Alam memiliki kekuatan-kekuatan yang melahirkan suatu hukum keteraturan,
yaitu hukum alam. Hukum alam inilah yang banyak mengatur perubahan pada diri manusia.
Dalam pemahaman sebagaimana diuraikan di atas, manusia pada masa belum mengenal tulisan melihat perubahan yang terjadi pada manusia yang
bersumber dari kekuatan di luar diri manusia. Bahkan kekuatan itu bukan hanya bersumber dari alam akan tetapi bersumber pula dari kekuatan-
kekuatan lain selain manusia. Kekuatan tersebut seperti dewa atau figur- figur tertentu yang memiliki kesaktian. Pemahaman seperti ini disebut dengan
pemahaman yang bersifat religius magis.
Dalam pemikiran yang bersifat magis religius, pemikiran manusia dalam melihat asal usul kejadian tidaklah bersifat rasional atau masuk akal, tetapi
bersifat irrasional. Manusia merupakan bagian dari sebuah kekuatan besar yang berada di luar dirinya. Pemikiran yang seperti ini tidak menempatkan
manusia sebagai kekuatan yang otonom, artinya mandiri. Manusia adalah objek perubahan, bukan subjek perubahan. Dalam sebuah perubahan, manusia
mempunyai kedudukan yang bersifat subordinatif.
Pemikiran yang bersifat religio magis banyak bertebaran di Indonesia, misalnya dalam cerita asal usul mengenai suatu daerah diawali dengan datangnya
seorang tokoh yang memiliki kesaktian. Tokoh tersebut dapat berupa dewa atau setengah dewa setengah manusia. Tokoh tersebut ditempatkan sebagai
figur yang sentral. Kedatangannya ke daerah tersebut diutus oleh dewa tertinggi yang menguasai alam. Dalam cerita asal usul daerah itu, agar
menjadi lebih manusiawi ada peran manusia, biasanya diceritakan tokoh tersebut menikah dengan manusia. Pernikahan ini akan melahirkan keturunan
dan keturunannya ini kemudian menjadi cikal bakal terbentuknya daerah tersebut.
Begitu pula halnya dalam menjelaskan peristiwa alam. Perubahan yang terjadi pada alam dianggap sebagai suatu kehendak di luar kehendak manusia.
Manusia hanya bersikap pasrah terhadap perubahan yang terjadi pada
44 alam tersebut. Kehendak yang dimaksud dapat berupa kehendak dewa.
Seperti terjadinya banjir atau bencana alam, lebih dipahami sebagai bentuk dari kehendak dewa. Kalau dikaitkan dengan perilaku manusia, kejadian
alam itu dapat dipahami sebagai bentuk kutukan atau kemarahan dewa kepada manusia.
Kesadaran sejarah pada masyarakat yang belum mengenal tulisan sudah terbentuk. Mereka berupaya agar tradisi sejarah yang mereka miliki dapat
diwariskan kepada generasinya. Tujuan utama pewarisan tersebut yaitu pertama agar generasi penerusnya memiliki pengetahuan masa lalunya, dan
tujuan yang lebih penting ialah pengetahuan itu harus menjadi suatu keyakinan. Keyakinan tersebut memiliki nilai-nilai yang mereka anggap berguna bagi
kehidupan. Bahkan nilai-nilai tersebut menjadi pegangan hidup dalam membimbing jalan kehidupannya.
Cara pewarisan yang dilakukan ialah dengan bertutur dari mulut ke mulut. Hal ini dilakukan karena pada masyarakat yang belum mengenal
tulisan, tidak meninggalkan bukti sejarah dalam bentuk peninggalan tertulis. Penuturan melalui bercerita merupakan cara yang efektif untuk mewariskan
kepada generasi berikutnya. Cara penceritaan tersebut kemudian dikenal dengan istilah tradisi lisan.
Fungsi utama dalam tradisi lisan adalah pewarisan dan perekaman terhadap apa yang terjadi pada masa lalu menurut pandangan suatu kelompok
masyarakat. Bagi masyarakat yang belum mengenal tulisan, tradisi lisan yang lebih dipentingkan ialah meyakini apa yang diceritakannya. Pengetahuan
terhadap apa yang diceritakan dalam tradisi lisan bukanlah tujuan penting. Tradisi lisan merupakan bagian dari budaya bagi masyarakat yang memegangnya.
Sebagai suatu aspek budaya, maka kepentingan untuk menjelaskan atau memahami lingkungan sekitar itu sekaligus sebagai usaha memberi pegangan
kepada masyarakat terutama generasi berikutnya dalam menghadapi berbagai kemungkinan dari lingkungan itu. Di sini tradisi lisan berfungsi sebagai alat
“mnemonik”, yaitu usaha untuk merekam, menyusun, dan menyimpan pengetahuan demi pengajaran dan pewarisannya dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Keyakinan masyarakat pendukung tradisi lisan disebabkan oleh adanya nilai-nilai yang terkandung dalam cerita tersebut. Mereka tidak terlalu
memperhatikan apakah faktanya mengandung kebenaran, apakah faktanya secara nyata ada. Nilai-nilai tersebut misalnya keteladanan, keberanian,
kejujuran, kekeluargaan, penghormatan terhadap leluhur, kecintaan, kasih sayang, dan lain-lain. Nilai-nilai yang ada dalam tradisi itu disebut juga
dengan kearifan lokal. Disebut demikian karena nilai-nilai yang terkandung banyak mengandung sikap-sikap yang arif, bahkan dalam konteks sekarang
nilai-nilai itu sangat berguna untuk diterapkan.