BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Semua orangtua mendambakan agar anaknya dapat terlibat aktif di lingkungan sosial bersama teman-teman sebaya. Banyak aktivitas sosial yang
mereka dapat lakukan, seperti bermain bersama, menyelesaikan permasalahannya secara bersama, memiliki sahabat dekat yang dapat memberi dukungan ketika ia
mendapat masalah, atau melakukan hobi. Kegiatan tersebut pastinya sangat menyenangkan bagi semua anak, namun apa yang dipikirkan atau dirasakan anak
ketika ia tidak dapat melakukan aktivitas sosial tersebut seperti anak normal lainnya. Mereka tidak ingin menghindar atau menolak orang lain untuk bermain,
atau membiarkan temannya menangis, tidak memberi perlawanan ketika teman- temannya membully, dan ciri lainnya yang muncul begitu saja dalam aktivitas
mereka sehari-hari. Secara umum kondisi di atas menunjukkan sebagian kecil gambaran mengenai anak autistic spectrum disorder ASD. Gambaran tersebut
menimbulkan banyaknya pertanyaan dan tanggapan masyarakat umum terkait permasalahan anak autistic spectrum disorder ASD.
Secara terminologi autistic spectrum disorder ASD disebut pervasive developmental disorder jika berdasarkan Diagnostic and statistical Manual Of
Mental DSM Disorder IV TR APA 2004. Beberapa ciri terlihat pada anak yang mengalami gangguan pervasive Developmental Disorder PDD, seperti
terhambatnya kemampuan keterampilan interaksi sosial atau munculnya perilaku
Universitas Sumatera Utara
stereotype, memiliki ketertarikan terbatas pada objek, dan aktivitas tertentu. Adapun jenis gangguan yang berhubungan dengan pervasive developmental
disorder, antara lain; Autistic Spectrum Disorder, Ret’s Disorder, Childhood Disintegrative Disorder, Asperger Disorder, dan Pervasive Developmental
Disorder NOS PDD NOS. Perbedaan gangguan ditentukan berdasarkan munculnya keterhambatan perkembangan di setiap usia dan kriteria
perkembangan anak. PDD dapat terlihat jelas di tahun pertama usia anak dan sering dihubungkan dengan mental retardation. Hal ini disebabkan karena anak
PDD sama dengan anak normal lainnya yaitu memiliki perbedaan kapasitas intelektual APA, 2004.
Sebutan Pervasive developmental disorder PDD menjadi autistic spectrum disorder berubah sejak dilakukannya revisi terhadap Diagnostic and
statistical Manual Of Mental DSM Disorder IV TR APA, 2004 menjadi Diagnostic and statistical Manual Of Mental DSM Disorder V Atchison, Ben J
Dirett, 2012. Semua yang termasuk ke dalam golongan PDD, yaitu Autistic Spectrum Disorder, Ret’s Disorder, Childhood Disintegrative Disorder, Asperger
Disorder, dan Pervasive Developmental Disorder NOS PDD NOS disatukan menjadi satu spektrum, yaitu autistic spectrum disorder ASD. Berdasarkan
DSM V, ASD didiagnosa ke dalam dua ranah yaitu mengalami keterhambatan komunikasi sosial deficit in social communication, minat yang terbatas, dan
perilaku berulang Fixated interest and repetitive behavior. Melihat tingkat keparahan ASD, diagnosa ASD juga ditentukan berdasarkan kontinum derajat
keparahan ASD yang terdiri dari level 1 hingga level 3, yaitu bergerak dari tingkat
Universitas Sumatera Utara
gangguan ringan hingga gangguan berat. Tingkatan ini disesuaikan dengan sejauh mana anak membutuhkan dukungan orang lain dalam melakukan tugas
perkembangannya, berdasarkan kemampuan komunikasi sosial, serta berdasarkan perilaku anak. Tingkatan ini menunjukkan bahwa ada anak dengan tingkat ASD
ringan dan ada pula dengan tingkat gangguan lebih berat APA, 2013. Perkembangan ASD begitu pesat sehingga menjadi perhatian khusus
masyarakat umum dan profesional. Hingga saat ini belum ada data yang pasti mengenai jumlah anak autistic spectrum disorder di Indonesia. Persentase
terlahirnya anak laki-laki dengan ASD lebih besar daripada anak perempuan dengan perbandingan 4:1, anak perempuan terlahir dengan ASD memiliki tingkat
keparahan lebih tinggi daripada anak laki-laki. Data dari UNESCO pada tahun 2011, dalam DetikHealth 2012, menjelaskan bahwa terdapat 35 juta orang
penyandang ASD di seluruh dunia, sedangkan di Amerika Serikat terdapat 11 dari 1000 orang atau dari 100 kelahiran didiagnosa ASD, seorang diantaranya
mengalami ASD. Hal ini menyebabkan di Amerika ASD dikatakan sebagai national alarming. Sementara itu anak dengan ciri-ciri ASD di Indonesia terdiri
dari 8 dari 1000 orang anak yang lahir didiagnosa ASD DetikHealth, 2012. Peningkatan ASD di berbagai negara membuat banyak peneliti yang mencari
penyebab utama terjadinya ASD. Walaupun hasilnya masih belum ditemukan penyebab yang jelas mengenai munculnya ASD.
Terdapat beberapa penyebab ASD antara lain; faktor genetik, faktor lingkungan, psikologis, dan faktor neurologis. Faktor genetik diyakini memiliki
peranan yang besar bagi penyandang ASD, salah satunya kembar identik atau
Universitas Sumatera Utara
hubungan saudara kandung atau hubungan darah menjadi penyebab utama secara genetik. Faktor neurologis di otak termasuk ketidakseimbangan biokimia. Selain
itu berdasarkan teori medis dan penelitian yang dilakukan pada otak orang dengan ASD menunjukkan bahwa adanya ketidakfungsian antara bagian-bagian otak yang
disebut korteks serebral, amigdala dan sistem limbik yang menyebabkan anak ASD mengalami respon emosional yang ekstrim ketika rencana atau kegiatan
mereka tidak sesuai dengan rutinitas. Faktor lainnya adalah lingkungan. Seseorang dilahirkan dengan kerentanan terhadap ASD, tetapi kondisi
berkembang hanya jika orang yang terkena pemicu lingkungan tertentu. Beberapa faktor lingkungan termasuk yang lahir sebelum 35 minggu kehamilan lahir
prematur dan paparan alkohol atau obat-obatan seperti sodium valproate obat kadang-kadang digunakan untuk mengobati epilepsi selama kehamilan
Menurut Diagnostic and statistical Manual Of Mental DSM Fifth Edition DSM V, dalam APA 2013, ASD memiliki ciri mendasar yaitu
terhambatnya dalam masalah komunikasi dan interaksi sosial, terhambatnya masalah perilaku, gejala yang muncul mempengaruhi fungsi dalam pekerjaan,
sekolah, dan lingkungan sosial lainnya APA, 2013. Ciri-ciri ini akan dilihat secara nyata dari pengalaman remaja penyandang ASD, seperti yang dialami J
ketika merefleksikan caranya yang berbeda dalam berkomunikasi dan berperilaku di masa lampau. J menceritakan pengalamannya dalam suasana menyenangkan,
. Selain itu masalah psikologis yaitu adanya kemampuan seseorang untuk memahami keadaan
mental orang lain, mengakui bahwa setiap orang memiliki keinginan personal, keyakinan, perasaan suka dan tidak suka dalam Choise, NHS 2014.
Universitas Sumatera Utara
yaitu setelah bernyanyi dan tertawa bersama atau bercerita sambil melihat koleksi foto miliknya di ipad. Ia mengambil posisi tubuh yang nyaman sebelum mulai
bercerita; “Waktu masih kecil mama yang mengajar J berbicara. Memulainnya
dengan belajar bahasa Inggris. Mama mengatakan bahasa Inggris struktur kalimatnya lebih mudah dimengerti dan jelas. Setelah J bisa berbicara,
mama mengajarkannya bahasa Indonesia. J senang jika ada teman yang minta ajak sharing, memberikan pendapat, saran, dan mendengarkan.
Dalam hal mengungkapkan perasaan J mengalami kesulitan untuk mengungkapkan perasaan sedih. J hanya akan menggambar di kertas. Jika
mengungkapkan perasaan lainnya J lebih mudah mengungkapkannya misalnya marah, tidak suka, atau menginginkan sesuatu. Sedangkan
perasaan sedih, sakit, atau bosan belum bisa mengatakannya secara langsung Komunikasi interpersonal, Juli 2013.
Selain itu J tidak mampu menggunakan kata nonbaku. J akan sulit
mengartikan kata “muka” dengan “wajah” ketika konteks pembicaraan mengenai pembersih wajah. Selain itu J akan sulit mengartikan kata “buatin” dalam bahasa
nonbaku yang artinya adalah membuat. Pemahaman mereka mengenai kata “membuat” pada kata “buatin” akan diartikan oleh J sebagai panggilan kepada “bu
Atin”. Mengulang kata echollali akan muncul pada J jika ia sedang melanggar diet, pada saat pemulihan dari sakit demam, atau sedang cemas Observasi,
Oktober 2013. Kemampuan komunikasi J tergolong rata-rata, ia memiliki perbendaharaan
kata yang cukup baik dan pola bahasa yang mudah dimengerti orang lain. Walaupun mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia
nonbaku. J lebih mudah berbicara jika menggunakan bahasa daerah, Mandarin, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia yaitu menggunakan kata baku. J lebih
mudah melakukan komunikasi ekspresif, seperti mengungkapkan perasaan takut,
Universitas Sumatera Utara
marah, atau senang secara langsung dan spontan tanpa melihat situasi sosial. Berbeda halnya ketika J mengungkapkan perasaan sedih, bosan, dan sakit.
Biasanya J akan mengungkapkan perasaannya dengan perilaku impulsif, misalnya jalan berulang-ulang, menggigit tangan, tidak makan ketika sedih, bersembunyi
jika takut, dan menggunakan gesture ketika sakit dan mengalami kesulitan untuk mengungkapkan perasaan sedih, sakit, dan bosan. Berdasarkan komunikasi N
inisial nama pengasuh J, mengungkapkan bagaimana ia sulit mengatakan bahwa ia sedang merasa sedih;
“Ms, J sudah 3 hari ini menangis kalau tidur sambil memanggil “aunt...aunt..” dibangunin J gak mau bangun. J pulas sekali tidurnya.
Sepertinya J mimpi. Kemarin saya tanya kepada J, katanya “aunt meninggal karena Leukimia” begitu saja. Tapi wajahnya datar aja Ms,
tidak kelihatan sedih hanya saja marah karena J tidak diberitahu jika aunt sakit” komunikasi interpersonal, 12 oktober.
Berdasarkan komunikasi di atas menunjukkan bahwa J merasakan kehilangan, sedih, dan ia memahami konsep meninggal. J paham meninggal
adalah pergi kepada Tuhan dan tidak akan bertemu dengan manusia di dunia. J tidak dapat mengekspresikan perasaan sedih yang ia rasakan secara spontan
seperti anak lainnya. J hanya mampu merasakan kesedihan di dalam hatinya. Selain masalah kemampuan komunikasi, ciri lain yang terlihat pada anak ASD
adalah kemampuan interaksi sosial. Anak ASD mengalami kesulitan untuk melakukan interaksi dengan orang lain seperti anak normal lainnya. Hal ini dapat
terlihat dari komunikasi interpersonal yang dilakukan kepada J: “ Sewaktu SD teman J ada yang menangis, lalu J tertawa karena melihat
wajahnya yang lucu. Teman J menjadi marah dan tambah menangis. J tertawa karena wajahnya lucu dan matanya kena cabe maksudnya adalah
karena mata terlihat merah dan mengeluarkan air mata. Guru marah kepada J ketika tertawa melihat orang menangis. Bagaimana supaya J bisa
Universitas Sumatera Utara
memiliki empati dengan orang lain miss? sambil melihat ke arah peneliti. Besoknya J minta maaf kepada teman J dan mengatakan kamu
lucu ketika menangis, tidak perlu menangis lagi ya” Komunikasi personal, Oktober 2013.
Kesulitan memahami emosi orang lain merupakan salah satu komponen keterampilan sosial. Pada kasus J, ia mengalami kesulitan memahami bahwa
ketika melihat orang bersedih reaksi yang ia tunjukan adalah tidak menertawainya melainkan ikut merasakan kesedihannya. J kurang paham mengenai dampak
perilakunya ketika ia menertawai orang yang sedang menangis, seperti marah atau kecewa. Situasi tersebut bisa saja muncul pada situasi lainnya yang tidak
memahami kondisi J sehingga menimbulkan permasalahan baru bagi orang disekitarnya.
Keterbatasan keterampilan sosial anak ASD berkaitan dalam memproses informasi emosi sosial, seperti ekspresi emosi, suara, dan ekspresi wajah.
Perbedaan antara tuntutan sosial dan informasi yang mereka miliki akan memberi arti yang berbeda, seperti mengatakan “beruang” pada orang yang memiliki
bentuk tubuh yang gemuk. Ia tidak menyadari jika mengatakan “beruang” akan membuat orang lain marah atau berkecil hati. Mereka mengalami kesulitan untuk
memahami makna kata “tersinggung” secara normal, sehingga efeknya tidak membuat mereka merasa bersalah ketika melakukan kesalahan kepada orang lain.
Istilah di atas disebut sebagai processing social-emotional information, yaitu mengalami kesulitan untuk melakukan proses informasi yang berkaitan dengan
hubungan sosial dan emosional Bellini, 2011. Keterampilan sosial berpengaruh terhadap keterampilan hidup seseorang,
dengan kata lain keterhambatan sosial lebih besar daripada kognitif, artinya bahwa
Universitas Sumatera Utara
“tingginya kemampuan kognitif tidak menentukan bahwa kemampuan sosial berfungsi lebih baik”. Perbedaan antara keterampilan kognitif dan sosial dapat
dilihat pada kemampuan anak ASD berdasarkan tingkat keparahan anak McConnel, dalam Feng 2008
Kesamaan antara visual scan ketika melihat adegan sosial dan mengidentifikasi emosi, maka akan muncul kembali ingatan tersebut baik dalam
bentuk perilaku maupun ekspresi wajah. Sebagai contoh, seorang anak ASD pernah melihat film animasi, dimana salah satu pemeran film melempar pizza dan
menyentuh wajah temannya. Anak ASD yang melihatnya akan tertawa tidak henti-hentinya. Setelah menonton film anak akan tertawa walaupun tanpa
menonton film tersebut. Di hari yang berbeda anak akan melempar pizza kepada temannya tanpa merasa bersalah dan rasa takut. Ia menonton dan mempraktekkan
kepada teman-temannya karena adanya disfungsi kognitif yang terbentuk walaupun tidak berfungsi baik dalam penerapannya secara sosial Feng, H 2008.
. Menurut DSM V APA, 2013 anak ASD memiliki tingkatan keberfungsian yang lebih baik digolongkan ke dalam level 1.
Anak memiliki kemampuan dasar keterampilan sosial, seperti terhambatnya komunikasi sosial anak,
kesulitan mengawali interaksi sosial, sulit mempertahankan hubungan, dan tampak penurunan minat dalam interaksi sosial.
Jelas bahwa anak ASD level 1 akan menerima manfaat untuk meningkatkan fungsi sosial kognitif dengan melatih dan membangun hubungan sosial secara
positif
Disfungsi kognitif mengacu pada kesulitan aktivitas memori, perhatian, perencanaan, fleksibilitas mental, atau self-monitoring adalah permasalahan yang
Universitas Sumatera Utara
terjadi pada bagian kognitif ASD. Berdasarkan disfungsi ini muncul perasaan malu dan mental yang relatif lebih kaku pada anak ASD yang menyebabkan
munculnya perilaku dan emosi yang tidak dapat terkendali, dan perilaku repetitif berulang-ulang, terbatasnya komunikasi sosial, dan kemampuan sosial yang
tidak tepat Sparks B.F Friedman, 2007. Perilaku yang muncul ketika berada di situasi sosial, seorang anak ASD sulit mengontrol emosi dan perilaku
ketika melihat wanita memiliki berat badan gemuk. Di bawah ini akan digambarkan bagaimana J yang merupakan remaja ASD tidak dapat
menyesuaikan perilakunya dengan baik Observasi yang dilakukan kepada J; Ketika melihat postur tubuh yang demikian J mengatakan bahwa “Wanita
itu seperti balon dan perutnya seperti membawa helm” di dekat orang yang bersangkutan. Selain itu J tidak mengetahui bagaimana menempatkan diri
ketika bertemu dengan orang lain yang memiliki tahi lalat besar dipipinya dan dengan spontan mengatakan “ ibu kenapa wajahnya dicoret-coret
memakai spidol?”, “Ibu harus pulang segera ke rumah dan hapus coretan yang dipipi ibu” Observasi, Juli 2013.
J akan marah jika tidak memenangkan permainan atau gagal. Ia akan memukul ipad atau melempar barang yang ada di tangannya. Jika ia salah
menjawab, J juga akan menggigit tangan atau memukul kepalanya dengan kuat. J akan berusaha hingga ia dapat memenangkan permainan dengan
baik.
Perilaku J menunjukkan bagaimana ia mengalami kesulitan ketika
menstrukturisasikan pikiran menjadi perilaku sesuai dengan aturan sosial yang berlaku. Hal ini juga menyebabkan anak ASD sulit untuk mendemonstrasikan
keinginannya, sulit untuk mengontrol emosi, dan perilakunya pada situasi yang tepat. Kesulitan untuk menerima kekalahan dan berusaha mengerjakan tugas
hingga berhasil. Salah satu faktor utamanya adalah adanya perilaku repetitif dan impulsif, yaitu mendorong anak untuk bertindak sesuai dengan keinginannya.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Vollmer, Barrero, Lalli, Daniel dalam Matson, 2011 menemukan bahwa adanya hubungan antara perilaku impulsif dengan kontrol diri yang
berpengaruh terhadap fungsi sosial anak. Beberapa aktivitas sosial yang dilakukan masyarakat pada umumnya tidak memiliki pedoman yang jelas, sering dilakukan
secara spontan, imajinatif, abstrak dan tidak terorganisir. Sementara anak-anak dengan permasalahan ASD memiliki cara yang berbeda. Mereka akan mengalami
kebingungan bermain ketika aturan permainan diubah, anak akan mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan aturan baru dan mengakibatkan muncul
perilaku negatif seperti menyakiti diri sendiri dan orang lain Phimley, 2007. Pemahaman situasi sosial dan reaksi emosi anak ASD dengan kemampuan
kognitif rata-rata sampai superior memiliki kemampuan visual scan terhadap objek dan kejadian yang mereka amati dengan baik, sehingga setiap perilaku
terekam dengan baik di kognitif. Tanpa memperhatikan penyebab perilaku, objek, ataupun emosi yang muncul. Sulitnya memahami komunikasi reseptif
menyebabkan mereka sulit melakukan self monitoring sehingga memberi dampak negatif pada interaksi sosial anak ASD. Walaupun kenyataannya anak ASD dapat
menunjukkan perubahan perilaku berdasarkan pelatihan atau intervensi yang diberikan kepada mereka dengan baik Brereton, 2005. Intervensi yang tepat
diberikan kepada anak ASD terdiri dari beberapa terapi, seperti memberikan terapi okupasi, biomedical, terapi komunikasi, terapi perilaku seperti social skill training
yang diperuntukkan untuk memberikan penanganan permasalahan sosial anak. Oleh karena itu, social skill training merupakan aspek penting dari perencanaan
Universitas Sumatera Utara
intervensi yang disesuaikan dengan perkembangan anak untuk melatih keterampilan sosial yang lebih kompleks dalam Turkington Anan 2007
Adapun tujuan social skill training adalah untuk membantu anak melakukan keterampilan sosial di keluarga, sekolah, dan lingkungan umum
lainnya, membantu anak dalam melakukan pemecahan masalah, dan mengembangkan intelektual emosional fisik yang diperlukan untuk hidup, belajar,
dan bekerja di masyarakat. SST salah satu pendekatan yang efektif untuk melatih kemampuan keterampilan sosial anak ASD McConnel, dalam Feng 2008.
Dimana SST memiliki komponen instruksi yang penting, terdiri dari pembukaan dan defenisi keterampilan, identifikasi keterampilan secara rasional, menggunakan
modeling, panduan praktis, memiliki feedback, dan aplikasi keterampilan dalam situasi kehidupan nyata yang sesuai dengan kondisi anak ASD Bauminger, 2002;
Roeyers, 1996; Webb Miller et all, dalam Feng 2008. Secara umum SST terdiri dari berbagai keterampilan sosial yang kompleks
antara lain kemampuan komunikasi, kemampuan memecahkan masalah, asertif, hubungan dengan teman sebaya, interaksi dalam kelompok, dan kemampuan
manajemen diri Kolb Hanley-Maxwell, 2003, dalam Gooding 2011. Beberapa penelitian mengadopsi keterampilan sosial yang sama hanya saja diformulasikan
ke dalam bentuk yang berbeda, namun memiliki arti yang sama yaitu social reciprocity, social participation, detrimental behavior sosial.
Program SST menunjukkan efektivitas yang tinggi yaitu berkisar antara 60-70 tingkat keberhasilannya untuk meningkatkan keterampilan sosial
AngHughes, 2001, Beelman et al, 1994, dalam Gooding 2011. Pada literatur
Universitas Sumatera Utara
Gresham, Cook, Crews, dan Kern 2004 menemukan 2-3 anak dari 5 anak dengan emotional dan behavior disorder berhasil ditangani dengan menggunakan
SST. SST dapat digunakan untuk menangani gangguan emosional, perilaku di sekolah dan sosial, perilaku conduct, anak dengan emotional distress,
meningkatkan kepercayaan diri anak social phobia, membantu anak handicape berfungsi dengan baik di lingkungan sosial, dan salah satunya penanganan kepada
anak dengan masalah perkembangan pervasif. Selain itu SST memiliki ruang lingkup yang luas, selain berguna untuk bidang klinis, SST juga bermanfaat di
bidang medis, industri, dan pendidikan. Berdasarkan penjelasan di atas, SST memiliki manfaat yang besar bagi banyak orang dan telah diuji efektivitasnya.
Ada beberapa metode intervensi yang dapat dilakukan dengan menggunakan social skill training antara lain; social stories, peer-mediated
interventions, scripts and script fading, social skills group, video modeling Gray, dalam Matson 2011. SST merupakan salah satu jenis intervensi yang digunakan
untuk melatih kemampuan interaksi sosial khususnya community skill. Menurut Matson 2011, Community skill terdiri dari conversational skill, play skill,
understanding emotions, dealing with conflict, dan friendship skill. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukannya menjelaskan bahwa social skill training dapat
digunakan untuk meningkatkan keterampilan sosial ASD Sparrow, dalam Reichow 2010. Hasil meta analisis dalam kajian ini menunjukkan bahwa subjek
dengan kelompok keterampilan sosial mengalami peningkatan dalam kompetensi sosial, memiliki hubungan persahabatan yang lebih baik, dan mengalami interaksi
Universitas Sumatera Utara
sosial. Hal inilah yang mendasari penelitian ini yaitu ingin melihat apakah social skill training dapat meningkatkan keterampilan sosial anak ASD.
B. Perumusan Masalah