Bayân Tafsîr

ﺻ ﻮ آ ا ر ﺎ أ ﻮ أ ﺻ ر و ﻩا ا رﺎ ي ُ 22 Shalatlah kamu sebagaimana kau melihat aku shalat”. H.R. Bukhari. Hadis ini menjelaskan bagaimana mendirikan shalat. Sebab al-Qur’an tidak menjelaskan secara rinci. Dikatakan bahwa salat itu wajib bagi setiap orang mukallaf, namun, kapan dan dalam keadaan bagaimanakah kewajiban itu dilaksanakan. Rasulullah dalam hal ini menjelaskan syarat, rukun serta praktek pelaksanaannya bagi setiap orang sesuai keadaannya. Cara salat orang yang muqim, tidak berpergian dan tidak dalam keaadaan sedang berperang berbeda dengan orang yang sedang bepergian atau perang. Demikian pula orang yang keadaan fisiknya tidak memungkinkan dapat melaksanakan salat dengan cara berdiri, boleh sambil duduk atau berbaring. Semua penjelasan ini terdapat di dalam petunjuk Rasulullah SAW. 23 Salah satu ayat yang memerintahkan shalat adalah: ☺ ⌧ ⌧ …Dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukulah beserta orang-orang yang ruku”. al-Baqarah: 43. b. Taqyîd al-Muţlaq mentaqyid yang muthlaq, artinya membatasi ayat-ayat yang muthlaq dengan sifat, keadaan, atau syarat-syarat tertentu. 24 contoh hadis yang membatasi taqyîd ayat-ayat yang bersifat mutlak, adalah sabda Rasulullah SAW. Berikut ini: 22 Abî Abdillâh…, Bâb. Rahmat an-Nâsi wa al-Bahâimi, Beirut: Maktabah Al- A Şriyyah, t.t.,, Jilid Ke- 4, h. 1901. 23 Abuddin Nata, Al-Qur’an dan Hadits, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000, Cet. Ke-7 h. 210 24 Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis…, h. 31 ا ﻰ ر ﻮ ل ﷲا ﺻ ﷲا ﻰ و رﺎ ق ﻄ ﺪ ﻩ ا ﻜ يﺬ ﺮ ا ﻩاور Rasulullah SAW di datangi seseorang yang membawa pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri tersebut dari pergelangan tangan. 25 Hadis ini mentaqyid ayat al-Qur’an surat al-Maidah ayat 38: ☺ ☺ ⌧ ⌧ … Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. QS: al-Maidah: 38 Pemotongan tangan pencuri dalam ayat di atas secara mutlak nama tangan tanpa dijelaskan batas tangan yang harus dipotong apakah dari pundak, sikut, dan pergelangan tangan. Kata tangan mutlak meliputi hasta dari bahu pundak, lengan, dan sampai telapak tangan . kemudian pembatasan itu baru dijelaskan dalam hadis ketik ada seorang pencuri datang ke hadapan Nabi dan diputuskan hukuman dengan pemotongan tangan pada pergelangan tangan. 26 c. Tahksîs al-Âm yang dimaksud mentakhsis yang am di sini, ialah membatasi keumuman ayat al-Qur’an, sehingga tidak berlaku pada bagian-bagian tertentu. 27 25 Abî Isa Muhammad bin Isa bin Saurah Ibnu M ũsa at-Tirmidzi, Sunan at- Tirmidzi, al-Jâmi’ as- Şaħiħ, Kitab al-Ħudũd, al-Qahirah: Dar al-Hadis, t.t, Juz 4. h, 51 . 26 Achmad Gholib, Studi Islam, Pengantar Memahami Agama, Al-Qur’an, Al- Hadis, dan Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Faza Media, 2006 Cet Ke-1 h. 104 27 Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis… h. 32 Adapun contoh hadis yang berfungsi untuk mentakhsis keumuman ayat-ayat al-Qur’an adalah: لﺎ ا ﺻ ﻰ ﷲا و ﺎ ﺮ ث ا ا ﻜﺎ ﺮ و ﺎ ا ﺎﻜ ﺮ ا . ر و ﻩا ا رﺎ ي 28 Nabi SAW bersabda: Tidaklah oramg Muslim mewarisi dari orang kafir, begitu juga kafir tidak mewarisi dari oramg Muslim. H.R. Bukhari Hadis di atas mentakhsis surat an-Nisa ayat: 11 ﻮ ﺻ ﻜ ﷲا أ ﻰ و ﻻ د آ ﺬ آ ﺮ ﻆ ا ﻻ . Allah mensyariatkan bagimu tentang bagian harta pusaka anak-anakmu. Yaitu bagian seorang laki-laki sama dengan bagian orang perempuan”. QS. An-Nisa: 11. Kandungan ayat di atas menjelaskan pembagian harta pusaka terhadap ahli waris, baik anak lelaki, anak perempuan, satu atau banyak, orang tua jika ada anak ataupun tidak, jika ada saudara maupun tidak, dan seterusnya. Ayat ini bersifat umum, kemudian dikhususkan dengan hadis Nabi yang melarang mewarisi harta peninggalan jika berlainaan agama ataupun pembunuh.

3. Bayân Tasyri

Yang dimaksud dengan bayân tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al-Qur’an. Hadis Rasulullah dalam segala bentuknya berusaha menunjukkan suatu kepastian hukum terhadap berbagai persoalan yang tidak terdapat dalam al-Qur’an. Beliau berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan para sahabat atau yang tidak diketahuinya, dengan memberikan bimbingan dan menjelaskan persoalannya. 29 28 Abî Abdillâh… Bab. Lâ Yaritsu al-Muslima al-Kâfira, tt.p.: Dar al-Fikr, t.t., Jilid Ke-8, h.14 . 29 Mudasir, Ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Setia, 2007, Cet Ke-3, h. 84. Dalam hadis terdapat hukum-hukum yang tidak dijelaskan al- Qur’an. Ia bukan berfungsi sebagai penjelas atau penguat, tetapi hadis sendirilah yang menjelaskan sebagai dalil atau ia menjelaskan yang tersirat dalam ayat-ayat al-Qur’an. 30 Contoh hadis yang berfungsi untuk bayan tasyri’ ini adalah hadis tentang perkawinan senasab yang berbunyi: إ ن ﷲا ﺮ م ﺮ ا ﺎ ﺔ ﺎ ﺮ م ا . ر و ﻩا 31 Sesungguhnya Allah mengharamkan pernikahan karena persusuan sebagaimana halnya Allah telah mengharamkan karena senasab. H.R. Muslim. Hadis yang termasuk bayan tasyri’ ini wajib diamalkan sebagaimana halnya dengan hadis-hadis lain. Ibnu al-Qayyim berkata bahwa hadis-hadis Rasulullah SAW yang berupa tambahan terhadap al- Qur’an harus ditaati dan tidak boleh menolak atau mengingkari. 32

4. Bayân Nasakh

Secara bahasa, Nasakh, berarti al-Ibt ħâl membatalkan, Izâlah menghilangkan, dan Taghyîr mengubah. Yang kemudian para ulama, melalui pendekatan bahasa, memberikan pengertian bayan nasakh. Sedangkan menurut ulama Ushul, nasakh berarti penghapusan oleh syariat terhadap suatu hukum syara’ dengan dalil syara’yang datang kemudian. Bagi Ulama Mutaqaddimin, nasakh terjadi karena adanya dalil syara’ yang mengubah suatu hukum ketentuan, karena telah berakhir masa keberlakuannya serta tidak bisa diamalkanlagi. Dan pembuat syariat ayat tersebut tidak diberlakukan untuk selama-lamanya 33 . Intinya, ketentuan yang datang kemudian menghapus ketentuan yang terdahulu, karena yang terakhir dipandang lebih luas dan lebih cocok dengan nuansanya. Sehingga hadis yang datangnya sesudah al-Qur’an 30 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis…, h. 19 . 31 Abî al- Ħusain Muslîm al-Ħajjâj, Şâhiħ Muslîm, Bâb. Al-Rađa’, tt.p., t.p., t.t., Jilid Ke- 9, h. 21. 32 Mudasir, Ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Setia, 2007, Cet Ke-3, h. 85. 33 Ajjaj al-Khatib, Pokok-Pokok Ilmu Hadis, Ter. Dari Ushul al-Hadits. Oleh Qodirun Nur, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2003, Cet. Ke-3, 258.