4. Penyelesaian administrasi menjelang pulang
5. Sikap dan perilaku petugas administrasi menjelang pulang
2.4 Faktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Dalam Pedoman Penyelenggaraan Puskesmas di Era Desentralisasi 2001 yang tersusun oleh Tim Reformasi Puskesmas Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan
Sosial, disebutkan bahwa salah satu kelompok indikator pencapaian Kecamatan Sehat 2010 yang dipantau tahunan adalah indikator pelayanan kesehatan yang meliputi
pemanfaatan pelayanan kesehatan di puskesmas dan mutu pelayanan Depkes RI, 2005.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pemanfaatan fasillitas kesehatan, seperti umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan berbagai faktor lainnya. Umur
berkaitan dengan kelompok umur tertentu yang lebih banyak memanfaatkan pelayanan kesehatan karena pertimbangan tingkat kerentanan. Tingkat pendidikan
mempunyai hubungan yang eksponensial dengan tingkat kesehatan. Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin mudah menerima konsep hidup sehat secara mandiri,
kreatif, dan berkesinambungan. Tingkat pendapatan mempunyai kontribusi yang besar dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan, karena semakin tinggi tingkat
pendapatan, semakin leluasa untuk memilih pelayanan kesehatan Sutanto, 2002. Menurut Azwar 1996, pemanfaatan seseorang terhadap pelayanan kesehatan
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, sosial budaya, dan sosial ekonomi orang
Universitas Sumatera Utara
tersebut. Bila tingkat pendidikan, sosial budaya, dan sosial ekonomi baik, maka secara relatif pemanfaatan pelayanan kesehatan akan tinggi.
Pemanfaatan pelayanan kesehatan melibatkan berbagai informasi, antara lain: status kesehatan saat ini, informasi tentang status kesehatan yang membaik, informasi
tentang berbagai macam perawatan yang tersedia, dan informasi tentang efektivitas pelayanan kesehatan yang dipengaruhi oleh interaksi antar konsumen dan penyedia
layanan provider Azwar, 1996. Pemanfaatan pelayanan kesehatan juga dipengaruhi kelas sosial, perbedaan
suku bangsa dan budaya. Ancaman-ancaman kesehatan yang sama yang ditentukan secara klinik, tergantung dari variabel-variabel tersebut dapat menimbulkan reaksi
yang berbeda dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan. Koos 1954 misalnya telah menunjukkan bagaimana tingkah laku sakit berbeda secara menyolok sesuai dengan
kelas sosial dan ekonomi dalam populasi yang sekurang-kurangnya homogen. Ia menemukan bahwa para warga lapisan sosial atas dalam suatu masyarakat kecil di
bilangan kota New York lebih cepat menginterpretasi gejala khusus sebagai indikasi sakit, dibanding dengan warga kelas sosial bawah; karena itu mereka akan lebih
cenderung untuk segera mencari perawatan dokter Anderson, 1986. Perbedaan budaya dalam pemanfaatan fasilitas kesehatan lebih menonjol dari
pada perbedaan ekonomi. Dalam suatu studi yang dilakukan pada sebuah rumah sakit veteran di New York City, Zborowski menemukan bahwa orang Yahudi dan Italia
lebih emosional dalam respon mereka terhadap rasa sakit daripada orang Eropa Utara. Meskipun sejumlah dokter merasakan bahwa warga dari kelompok-kelompok
Universitas Sumatera Utara
tersebut seharusnya memiliki ambang sakit yang lebih rendah dibanding dengan warga dari kelompok-kelompok lain; perbedaanya tak diragukan lagi, bersifat
budaya. Kebudayaan Yahudi dan Italia “membolehkan pengungkapan bebas perasaan dan emosi melalui kata-kata, bunyi, dan syarat-isyarat, maka baik orang Yahudi
maupun orang Italia merasa bebas berbicara mengenai rasa sakit mereka, mengeluh dan menunjukkan penderitaan mereka dengan mengaduh, menangis dan sebagainya.
Mereka tidak merasa malu dengan ekspresi tersebut. Mereka dengan sukarela mengakui bahwa bila kesakitan, mereka memang sangat banyak mengeluh, minta
tolong dan mengharapkan simpati serta bantuan dari warga kelompoknya dalam lingkungan sosialnya yang langsung Anderson, 1986.
2.5 Karakteristik Masyarakat