tersebut seharusnya memiliki ambang sakit yang lebih rendah dibanding dengan warga dari kelompok-kelompok lain; perbedaanya tak diragukan lagi, bersifat
budaya. Kebudayaan Yahudi dan Italia “membolehkan pengungkapan bebas perasaan dan emosi melalui kata-kata, bunyi, dan syarat-isyarat, maka baik orang Yahudi
maupun orang Italia merasa bebas berbicara mengenai rasa sakit mereka, mengeluh dan menunjukkan penderitaan mereka dengan mengaduh, menangis dan sebagainya.
Mereka tidak merasa malu dengan ekspresi tersebut. Mereka dengan sukarela mengakui bahwa bila kesakitan, mereka memang sangat banyak mengeluh, minta
tolong dan mengharapkan simpati serta bantuan dari warga kelompoknya dalam lingkungan sosialnya yang langsung Anderson, 1986.
2.5 Karakteristik Masyarakat
Karakteristik individu berbeda dengan karakteristik masyarakat dimana karakteristik individu meliputi keahlian, pendidikan, pengalaman kerja. Sedangkan
karakteristik masyarakat meliputi identitas budaya, struktur masyarakat, aspek sosial, ekonomi, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, faktor-faktor karakteristik dalam hal
ini adalah faktor-faktor yang berkembang dalam masyarakat. Menurut Roucek Warren 1962, masyarakat desa memiliki karakteristik
sebagai berikut: 1 peranan kelompok primer sangat besar; 2 faktor geografik sangat menentukan pembentukan kelompok masyarakat; 3 hubungan lebih bersifat
intim dan awet; 4 struktur masyarakat bersifat homogen; 5 tingkat mobilitas sosial
Universitas Sumatera Utara
rendah; 6 keluarga lebih ditekankan fungsinya sebagai unit ekonomi; 7 proporsi jumlah anak cukup besar dalam struktur kependudukan Ihromi, 1999.
Pitirim A. Sorokin dan Carle C. Zimmerman mengemukakan sejumlah faktor yang menjadi dasar dalam menentukan karakteristik desa dan kota, yaitu mata
pencaharian, ukuran komunitas, tingkat kepadatan penduduk, lingkungan, differensiasi sosial, stratifikasi sosial, interaksi sosial, dan solidaritas sosial
Koetjaraningrat, 1993.
2.6 Karakteristik Masyarakat Tionghoa
Orang Tionghoa adalah mereka yang mengidentifikasi dirinya sebagai orang Tionghoa, mempunyai darah Tionghoa walaupun sudah banyak bercampur dan
mempunyai nama Tionghoa namun banyak Tionghoa Indonesia yang lahir di masa Orba tidak lagi mempunyai nama Tionghoa. Satu hal yang khas dari Tionghoa
peranakan dari Indonesia khususnya Jawa, bahwa mereka sudah tidak bisa lagi berbahasa Mandarin Setiono, 2003.
Kebanyakan orang Indonesia asli telah banyak bergaul dengan orang Tionghoa Indonesia; tetapi sebagian besar belum mengenal golongan penduduk ini
dengan wajar. Orang Tionghoa yang ada di Indonesia, sebenarnya tidak merupakan suatu kelompok yang berasal dari satu daerah di Negara China, tetapi terdiri dari
beberapa suku bangsa yang berasal dari dua provinsi yaitu Fukien dan Kwantung, yang terpencar di daerah-daerahnya. Setiap imigran ke Indonesia membawa
kebudayaan sukunya sendiri-sendiri bersama dengan perbedaan bahasanya. Ada
Universitas Sumatera Utara
empat bahasa China yang dipergunakan di Indonesia yaitu: Hokkien, Teo-Chiu, Hakka dan Kanton yang masing-masing memiliki perbedaan sehingga penggunaan
bahasa yang satu belum tentu diketahui atau dipahami suku yang lain Somers, 2003. Karakteristik etnis masyarakat Tionghoa yang cenderung lebih mengutamakan
faktor material makanan dari faktor kesehatan, mengingat latar belakang kedatangan mereka ke Indonesia yang saat itu dilanda kelaparan di negerinya sendiri.
Hal ini menciptakan sebuah nilai budaya yang unik dalam bidang kesehatan. Setiap kali bertemu, masyarakt Tionghoa umumnya bertanya “sudah makan atau belum”.
Berbeda dengan masyarakat etnis Jawa yang lebih mengutamakan faktor kesehatan sehingga setiap bertemu, lebih cenderung mempertanyakan “sehat apa tidak” Wahid,
2006. Di sisi entitas kelompok, penduduk keturunan Tionghoa bukan hanya terlihat
sebagai orang luar out group, tetapi juga menempatkan dirinya sebagai orang luar. Umumnya, badan-badan usaha-usaha milik etnik Cina hampir tidak pernah
mempercayakan jabatan-jabatan puncak manajemen kepada tenaga profesional yang bukan etnik Cina demikian pula, perkawinan campuran antara Cina dan yang bukan
Cina amat jarang terjadi. Dengan demikian, baik dalam sistem ekonomi maupun dalam sistem sosio-budaya, secara umum etnik Cina tampak terpisah dari masyarakat
lingkungan sekitarnya. Hal ini menambah sulitnya masyarakat Tionghoa membaurkan diri dengan masyarakat pribumi. Semua ini berakibat terhadap tingkat
partisipasi masyarakat Tionghoa terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan sangat
Universitas Sumatera Utara
rendah, khususnya fasilitas kesehatan yang dijalankan oleh orang pribumi Wahid, 2006.
Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan pemanfaatan pelayanan kesehatan pada masyarakat etnis Tionghoa tidak jauh berbeda dengan
masyarakat lain. Beberapa faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
2.6.1 Umur
Umur dapat didefiniskan sebagai jumlah waktu kehidupan yang telah dijalani oleh seseorang. Umur sering dihubungkan dengan kemungkinan terjangkit
penyakit. Kelompok umur usia muda anak-anak ternyata lebih rentan terhadap penyakit infeksi diare, infeksi saluran pernafasan. Usia-usia produktif lebih
cenderung berhadapan dengan masalah kecelakaan lalu-lintas, kecelakaan kerja dan penyakit akibat gaya hidup life style. Usia yang relatif lebih tua sangat rentan
dengan penyakit-penyakit kronis hipertensi, jantung koroner atau kanker Notoatmodjo, 2005.
Resiko kesakitan akibat faktor umur ini menyebabkan tingkat pemanfaatan pelayanan kesehatan juga sangat dipengaruhi oleh umur. Menurut Feldstein 2004
semakin bertambah umur seseorang, maka semakin bertambah pula permintaannya terhadap pelayanan kesehatan Razak, 2004.
2.6.2 Jenis Kelamin
Jenis kelamin adalah ciri khas tertentu yang dimiliki oleh mahluk hidup, dalam hal ini manusia. Jenis kelamin sering dibagi ke dalam dua kategori, dengan
Universitas Sumatera Utara
menggunakan istilah masing-masing; laki-laki dan perempuan atau pria dan wanita. Dalam studi epidemiologi, jenis kelamin juga menjadi salah satu bagian dari
karakteristik yang memiliki pengaruh terhadap kejadian kesakitan. Sebagai contoh, penyakit kanker serviks hanya dijumpai pada wanita, sedangkan kanker prostat hanya
dijumpai pada pria Notoatmodjo, 2005. Tingkat kerentanan manusia yang bersumber dari jenis kelamin tersebut
menjadikan tingkat pemanfaatan pelayanan kesehatan juga berbeda pada masing- masing jenis kelamin. Perempuan cenderung lebih rentan terhadap penyakit-penyakit
infeksi. Hal ini disebabkan oleh tahap-tahap kehidupan yang dilaluinya, mulai dari remaja haid, dewasa mengandung dan melahirkan sampai masa tua menopause.
Secara umum, kaum perempuan lebih peduli dengan keadaan kesehatannya sehingga lebih banyak memanfaatkan pelayanan kesehatan untuk mengatasi masalah
kesehatannya Notoatmodjo, 2005.
2.6.3 Tingkat Pendapatan
Kemauan masyarakat Tionghoa untuk mengakses pelayanan kesehatan di Puskesmas juga sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan. Rata-rata tingkat
pendapatan perkapita masyarakat Tionghoa lebih tinggi dari rata-rata pendapatan perkapita penduduk lainnya, sehingga cenderung lebih memilih mengakses fasilitas
kesehatan yang lebih bermutu dan mempunyai fasilitas kesehatan yang lebih lengkap, seperti: rumah sakit, praktek dokter, dan laboratorium mandiri Wang, 1991.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Rafael yang dikutip Tarigan 2002, tingkat penghasilan income seseorang berhubungan kuat dengan permintaan pelayanan kesehatan. Semakin tinggi
tingkat pendapatan seseorang, semakin tinggi pula tingkat pemanfaatan fasilitas kesehatan yang lebih baik dan lengkap secara sarana dan prasarana.
Menurut data Susenas 2001, penduduk miskin lebih banyak memanfaatkan pelayanan Puskesmas untuk rawat inap, sedangkan penduduk kaya lebih akses pada
RS Swasta. Sedangkan untuk tingkat nasional, RS Pemerintah lebih banyak dimanfaatkan penduduk kawasan timur Indonesia yang relatif memiliki tingkat
pendapatan perkapitan lebih rendah dari kawasan barat Indonesia. Menurut Saadah 1999, yang dikutip oleh Lukito 2003, tingkat sosial
ekonomi sangat mempengaruhi seseorang terhadap pemilihan media, sumber informasi, dan kemampuan dalam membeli alat yang dibutuhkan dalam menunjang
kesehatannya.
2.6.4 Tingkat Pendidikan
Menurut Notoatmodjo 2002, kesehatan merupakan interaksi berbagai faktor, baik internal dalam diri manusia maupun eksternal di luar diri manusia.
Faktor internal terdiri dari faktor fisik dan psikis, sedangkan faktor eksternal terdiri dari kondisi sosial, budaya masyarakat, lingkungan fisik, politik, ekonomi,
pendidikan, dan sebagainya. Menurut, Lukito 2003, pemanfaatan masyarakat terhadap berbagai fasilitas pelayanan kesehatan sangat dipengaruhi oleh tingkat
pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka akan semakin mudah
Universitas Sumatera Utara
seseorang untuk memahami sebuah perubahan dan manfaat sebuah perubahan, khususnya dalam bidang kesehatan.
Menurut penelitian Prihardjo 2005, rendahnya pemanfaatan kesehatan Puskesmas dipengaruhi oleh tingkat pendidikan seseorang. Tingkat pendidikan
yang dimaksud bisa bersifat dualis. Disatu sisi, rendahnya pemanfaatan pelayanan kesehatan Puskesmas dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang rendah. Masyarakat
tidak banyak mengerti tentang fasilitas dan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Puskesmas. Disisi lain, tingkat pengetahuan yang tinggi juga bisa
menyebabkan rendahnya pemanfaatan pelayanan kesehatan Puskesmas. Hal ini dilihat masyarakat yang telah mengetahui kualitas pelayanan dan fasilitas kesehatan
yang masih rendah di Puskesmas.
2.6.5 Pekerjaan
Sebagain besar etnis Tionghoa di Indonesia memliki mata pencaharian sebagai pedagang terutama di wilayah Jawa. Sebagian besar mereka adalah orang
Hokkien. Namun, berbeda dengan etnis Tionghoa yang berada di Jawa Barat dan di bagian Pantai Barat Sumatera. Etnis Tionghoa yang berada di wilayah ini lebih
banyak bekerja sebagai petani dan penanam sayur-mayur, sedangkan di Bagan Siapiapi Riau orang Hokkien umumnya menjadi nelayan Puspa, 2005
Pekerjaan juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat pemanfaatan pelayanan kesehatan pada masyarakat etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa
yang berada di wilayah kerja Puskesmas Panipahan Kecamatan Pasir Limau Kapas
Universitas Sumatera Utara
merupakan bagian dari etnis Tionghoa yang menyebar ke Bagan Siapapi Riau yang memiliki pekerjaan sebagai nelayan. Berbeda dengan etnis Tionghoa lainnya yang
cenderung memiliki pekerjaan sebagai pedagang. Jenis pekerjaan kasarlepas yang memiliki resiko kecelakaan inilah yang menyebabkan Puskesmas dimanfaatkan oleh
masyarakat etnis Tionghoa yang memiliki pekerjaan sebagai nelayan Puspa, 2005.
2.6.6 Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap obyek melalui indera yang dimilikinya mata, hidung, telinga, dan
sebagainya. Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi
terhadap obyek Notoatmodjo, 2005. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengetahuan itu berasal dari kata
tahu yang berarti: mengerti sesudah melihat, mengalami. Pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman langsung, maupun dari pengalaman orang lain yang
sampai kepadanya. Selain itu, dapat juga melalui media komunikasi, seperti: radio, televisi, majalah, atau surat kabar Poerwadarminta, 1976.
Menurut Benjamin Bloom 1908, yang dikutip oleh Notoatmodjo 2005 pengetahuan dibagi menjadi beberapa tingkatan yang selanjutnya disebut dengan
Taksonomi Bloom. Menurut Bloom, pengetahuan dibagi atas: tahu know, memahami comprehension, aplikasi application, analisis analysis, sintesis
synthesis, dan evaluasi evaluation.
Universitas Sumatera Utara
Menurut beberapa ahli, pengetahuan merupakan salah satu penyebab utama timbulnya tindakan atau perubahan perilaku. Menurut Fritz Heider, perubahan
perilaku terjadi karena disposisi internal, misalnya pengetahuan, motif, sikap, dan sebagainya. Sedangkan menurut Finer 1957 timbulnya tindakan terjadi akibat
ketidakseimbangan kognisi cognitive dissonance. Ketidakseimbangan ini terjadi karena dalam diri individu terdapat dua elemen kognisi pengetahuan, pendapat, atau
keyakinan yang bertentangan. Apabila individu menghadapi suatu stimulus atau obyek, dan stimulus tersebut menimbulkan keyakinan bertentangan di dalam diri
individu sendiri, maka terjadilah ketidakseimbangan. Ketidakseimbangan inilah yang menyebabkan lahirnya sebuah perilaku baru. Menurut Rogers 1962, tindakan dapat
timbul melalui kesadaran. Kesadaran yang dimaksud berawal dari tingkat pengetahuan seseorang. Kesadaran tersebut kemudian akan berlanjut mengikuti
empat tahap berikutnya, yaitu keinginan, evaluasi, mencoba, dan menerima penerimaan atau dikenal juga dengan AIETA Awareness, Interest, Evaluation,
Trial, and Adoption Nursalam, 2007.
2.6.7 Sikap
Sikap attitude, adalah evaluasi positip-negatip-ambivalen individu terhadap objek, peristiwa, orang, atau ide tertentu. Sikap merupakan perasaan, keyakinan, dan
kecenderungan perilaku yang relatip menetap. Unsur-unsur sikap meliputi kognisi, afeksi, dan kecenderungan bertindak. Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya
Universitas Sumatera Utara
sikap adalah pengalaman khusus, komunikasi dengan orang lain, adanya model, iklan dan opini, lembaga-lembaga sosial dan lembaga keagamaan Makmun, 2005.
Sikap adalah juga respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan
senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik dan sebagainya. Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa sikap merupakan sindrom atau kumpulan gejala
dalam merespon stimulus atau objek, sehingga sikap itu melibatkan pikiran, perasaan, perhatian dan gejala kejiwaan yang lain Notoatmodjo, 2005.
Dalam bidang kesehatan, yang dimaksud dengan sikap terhadap kesehatan adalah pendapat atau penilaian orang terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
pemeliharaan kesehatan, yang mencakup sekurang-kurangnya empat variabel, yaitu: 1.
Sikap terhadap penyakit menular dan tidak menular jenis penyakit dan tanda- tandanya atau gejalanya, penyebabnya, cara penularannya, cara pencegahannya,
cara mengatasi atau menanganinya sementara 2.
Sikap terhadap faktor-faktor yang terkait danatau mempengaruhi kesehatan, antara lain: gizi makanan, sarana air bersih, pembuangan air limbah, pembuangan
kotoran manusia, pembuangan sampah, perumahan sehat, polusi udara, dan sebagainya.
3. Sikap tentang fasilitas pelayanan kesehatan yang professional maupun tradisional.
4. Sikap untuk menghindari kecelakaan, baik kecelakaan rumah tangga, maupun
kecelakaan lalulintas, dan kecelakaan di tempat-tempat umum Notoatmodjo, 2005.
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa sikap masyarakat etnis Tionghoa cenderung lebih mengutamakan faktor material makanan dari faktor kesehatan,
mengingat latar belakang kedatangan mereka ke Indonesia yang saat itu dilanda kelaparan di negerinya sendiri. Hal ini menciptakan sebuah nilai budaya yang unik
dalam bidang kesehatan. Setiap kali bertemu, masyarakat Tionghoa umumnya bertanya “sudah makan atau belum”. Berbeda dengan masyarakat etnis Jawa yang
lebih mengutamakan faktor kesehatan sehingga setiap bertemu, lebih cenderung mempertanyakan “sehat apa tidak” Wahid, 2006.
2.6.8 Persepsi
Ada banyak definisi tentang persepsi sebagaimana yang dikemukakan para ahli. Atkinson 1991, menyatakan bahwa persepsi timbul karena adanya respons
terhadap stimulus. Stimulus yang diterima seseorang sangat kompleks, stimulus masuk kedalam otak, kemudian diartikan, ditafsirkan serta diberi makna melalui
proses yang rumit baru kemudian dihasilkan persepsi. Definisi yang hampir sama dikemukakan oleh Gibson 1986. Menurut Gibson persepsi mencakup penerimaan
stimulus input, pengorganisasian stimulus dan penerjemahan atau penafsiran stimulus yang telah diorganisasi dengan cara yang dapat mempengaruhi prilaku dan
membentuk sikap, sehingga orang dapat cenderung menafsirkan perilaku orang lain sesuai dengan keadaannya Notoatmodjo, 2005.
Persepsi adalah suatu proses otomatis yang terjadi dengan sangat cepat dan terkadang tidak kita sadari, dimana kita mengenali stimulus yang kita terima. Persepsi
Universitas Sumatera Utara
yang kita miliki dapat mempengaruhi tindakan kita. Menurut Robbin 2003, yang dikutip Notoatmodjo 2005, mendefinisikan persepsi sebagai proses dimana
seseorang mengorganisasikan dan menginterpretasikan sensasi yang dirasakan dengan tujuan untuk memberikan makna terhadap lingkungannya.
Menurut Anderson yang dikutip Notoatmodjo 2003, persepsi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tindakan seseorang dalam memanfaatkan
pelayanan kesehatan. Persepsi termasuk dalam faktor predisposisi predisposing factors, karakteristik ini digunakan untuk menggambarkan fakta bahwa setiap
individu mempunyai kecenderungan menggunakan pelayanan kesehatan yang
berbeda-beda. 2.6.9
Solidaritas Komunal
Salah satu karakteristik masyarakat Tionghoa di Indonesia adalah memiliki solidaritas komunal yang tinggi sehingga menyebabkan sulitnya proses pembauran
etnis. Hal ini terlihat dari sikap mereka yang menganggap dirinya sebagai pihak luar sehingga nasionalismenya sangat diragukan untuk mendorong proses pembauran.
Sehingga tidak ada pilihan lain mereka selain untuk bertahan dengan solidaritas komunal mereka sebagai kelompok minoritas yang tertindas Ihromi, 1999.
Demikian juga dalam penggunaan bahasa, walaupun mereka menjalankan integrasi lokal dalam beberapa kehidupan keseharian etnis Cina, terutama yang belum
atau tidak melakukan pernikahan asimilasi dengan pihak pribumi, tetapi mereka tetap mempertahankan kemampuan baca dan berbicara bahasa Mandarin dan atau Kanton.
Universitas Sumatera Utara
Etnis Cina yang tidak atau belum berasimilasi melalui perkawinan dengan kaum pribumi, biasanya hanya mengambil kebiasaan-kebiasaan budaya lokal terutama
dalam hal makanan Ihromi, 1999. 2.7
Landasan Teori
Menurut Anderson yang dikutip Notoatmodjo 2003, bahwa faktor-faktor yang menentukan pemanfaatan pelayanan kesehatan dibagi menjadi tiga bagian,
yaitu: 1.
Karakteristik Predisposisi predisposing characteristics, karakteristik ini digunakan untuk menggambarkan fakta bahwa setiap individu mempunyai
kecenderungan menggunakan pelayanan kesehatan yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena adanya ciri-ciri individu yang digolongkan ke dalam
ciri-ciri: a
Demografi umur, jenis kelamin, status perkawinan, jumlah keluarga b
Struktur Sosial tingkat pendidikan, pekerjaan, ras, kesukuan, agama, tempat tinggal
c Sikap, keyakinan, persepsi, pandangan individu terhadap pelayanan
kesehatan. 2.
Karakteristik pendukung enabling characteristics, karakteristik ini mencerminkan bahwa meskipun mempunyai predisposisi untuk
menggunakan pelayanan kesehatan, ia tidak akan bertindak menggunakannya, kecuali jika ia mampu untuk menggunakan. Penggunaan
Universitas Sumatera Utara
pelayanan kesehatan yang ada tergantung kemampuan konsumen untuk membayar. Termasuk dalam karakteristik ini adalah: sumber keluarga
pendapatan keluarga, cakupan asuransi kesehatan, dan pembiayaan pelayanan kesehatan, keterjangkauan, dan tarif.
3. Karakteristik kebutuhan need characteristics, faktor predisposisi dan faktor
yang memungkinkan untuk mencapai pengobatan dapat terwujud di dalam tindakan itu dirasakan sebagai kebutuhan.
2.8 Kerangka Konsep
Berdasarkan pada masalah dan tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini, maka kerangka konsep dalam penelitian ini digambarkan sebagai
berikut:
Gambar 2.1 Kerangka Konsep
Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Struktur Sosial:
1. Tingkat Pendapatan
2. Tingkat Pendidikan
3. Pekerjaan
4. Solidaritas Komunal
Demografi: 1.
Umur 2.
Jenis Kelamin 3.
Jumlah Anggota Keluarga
Perilaku: 1.
Tingkat Pengetahuan 2.
Sikap 3.
Persepsi
Universitas Sumatera Utara
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis survei dengan pendekatan Explanatory Research, yang bertujuan untuk menjelaskan pengaruh faktor predisposisi masyarakat
Tionghoa yang meliputi faktor: demografi umur, jenis kelamin, jumlah anggota keluarga dan status perkawinan, struktur sosial tingkat pendapatan, pekerjaan,
pendidikan dan solidaritas komunal dan perilaku tingkat pengetahuan, sikap dan persepsi terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan di Puskesmas Panipahan
Kecamatan Pasir Limau Kapas, Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Panipahan, Kecamatan Pasir Limau Kapas Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau, yaitu Desa Panipahan dan Teluk
Pulai. Pemilihan lokasi penelitian tersebut dilakukan atas pertimbangan jumlah penduduk etnis Tionghoa yang relatif banyak jika dibandingkan dengan penduduk
etnis lainnya di wilayah kerja tersebut. Penelitian ini dilakukan dari mulai Maret 2008 sampai dengan Mei 2010.
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
Universitas Sumatera Utara