Dampak Kebijaksanaan Pembangunan Sektor Perkebunan di Kabupaten Musi Rawas

jasa faktor produksi tenaga kerja sektor tanaman pangan sebesar Rp. 382,22 juta, 2 balas jasa faktor produksi kapital sebesar Rp. 919,75 juta, sehingga menimbulkan ketimpangan balas jasa sebesar 2,41 yang diperoleh dengan cara membandingkan antara nilai balas jasa faktor produksi modal dengan balas jasa faktor produksi tenaga kerja. Untuk pendapatan golongan rumah tangga akan mengalami kenaikan sebagai berikut : 1 golongan buruh pertanian sebesar Rp. 54,60 juta; 2 pengusaha pertanian sebesar Rp. 225,64 juta; 3 golongan bawah bukan pertanian sebesar Rp. 170,48 juta; 4 golongan penerima pendapatan bukan pertanian sebesar Rp. 81,40 juta; dan 5 pengusaha bukan pertanian Rp. 243,95 juta, dengan ketimpangan pendapatan yang terjadi sebesar 4,47 kali lipat yang diperoleh dengan membandingkan antara pendapatan pengusaha bukan pertanian sebagai penerima pendapatan tertinggi dengan pendapatan buruh pertanian sebagai penerima pendapatan terendah. Selain itu, pendapatan perusahaan akan bertambah sebesar Rp. 672,51 juta dan pendapatan pemerintah akan naik sejumlah Rp. 286,06 juta sehingga apabila dibandingkan antara pendapatan perusahaan dengan pendapatan rumah tangga akan diperoleh nilai sebesar 0,87. Berdasarkan simulasi ini juga tergambar mengenai pendapatan golongan rumah tangga dimana dari injeksi yang diberikan ke masing-masing sektor perekonomian berbasis pertanian golongan pengusaha pertanian dan golongan rumah tangga atas bukan pertanian yang akan menikmati hasil yang lebih banyak dibandingkan dengan golongan bawah bukan pertanian ataupun golongan rumah tangga buruh pertanian, selain itu juga terlihat bahwa ketimpangan pendapatan dari sektor perkebunan lebih kecil dibandingkan dengan sektor tanaman pangan yakni sebesar 2,21. Dan untuk perbandingan antara pendapatan perusahaan dengan pendapatan rumah tangga sebesar 0,87 untuk sektor tanaman pangan dan 0,83 untuk sektor tanaman perkebunan. Selain sektor pertanian, hal yang menarik juga akan dibahas adalah komoditas sektor perkebunan mana yang mempunyai peran terbesar dalam meningkatkan perekonomian wilayah di Kabupaten Musi Rawas seperti pada Tabel 50 di bawah ini. Tabel 50. Dampak Simulasi Peningkatan Output Terhadap Sektor Perkebunan di Kabupaten Musi Rawas Tahun 2010 Juta Rupiah Uraian Simulasi Terhadap Sektor Perkebunan Karet Kopi Kelapa Sawit Rata-rata Output 1.876,04 1.714,96 1.768,88 1.786,63 Balas Jasa Tenaga Kerja 386,74 339,27 442,17 389,39 Kapital 886,96 847,74 848,12 860,94 Ketimpangan 2,29 2,50 1,92 2,21 Pendapatan Gol. Rumah Tangga Pertanian Buruh pertanian 53,86 48,79 74,70 59,12 Pengusaha 222,54 200,34 235,31 219,40 Bukan Pertanian Golongan Bawah 169,28 156,12 174,59 166,66 Penerima Pendapatan 80,41 73,79 82,82 79,01 Golongan Atas 240,68 223,04 239,19 234,30 Ketimpangan 4,47 4,57 3,20 3,96 Pendapatan Perusahaan 649,03 619,46 622,40 630,30 Pendapatan Pemerintah 276,70 263,05 267,88 269,21 Pend. Perusahaan Pend. Rumah Tangga 0,85 0,88 0,77 0,83 Sumber :SNSE Kabupaten Musi Rawas 2010, data diolah Dari simulasi untuk sektor perkebunan diatas dapat dijelaskan sebagai berikut apabila terjadi injeksi neraca eksogen di sektor komoditas karet sebanyak Rp. 1 miliar, maka akan meningkatkan penerimaan output sebesar Rp. 1,87 miliar, sedangkan untuk faktor produksi tenaga kerja akan meningkat sejumlah Rp. 386,74 juta dan faktor produksi kapitalmodal akan meningkat sebesar Rp. 886,96 juta, sehingga menimbulkan ketimpangan sebesar 2,29 yang diperoleh dengan cara membandingkan antara nilai faktor produksi modal dengan faktor produksi tenaga kerja. Untuk pendapatan golongan rumah tangga akan mengalami kenaikan sebagai berikut : 1 golongan buruh petani sebesar Rp. 53,86 juta; 2 pengusaha pertanian sebesar Rp. 222,54 juta; 3 golongan buruh bukan pertanian sebesar Rp. 169,28 juta; 4 golongan penerima pendapatan bukan pertanian Rp. 80,41 juta; dan 5 pengusaha bukan pertanian sebesar Rp. 240,68 juta, dengan ketimpangan pendapatan sebesar 4,47 kali lipat yang diperoleh dengan membandingkan antara pendapatan pengusaha bukan pertanian dengan pendapatan buruh pertanian. Selain itu, pendapatan perusahaan akan bertambah sebesar Rp. 649,03 juta dan pendapatan pemerintah akan naik sejumlah Rp. 276,70 juta sehingga apabila dibandingkan antara pendapatan perusahaan dengan pendapatan rumah tangga akan diperoleh nilai sebesar 0,85. Begitupula yang terjadi dengan komoditas kelapa sawit dan kopi. Hal yang menarik dan dapat dapat disimpulkan dari penjelasan diatas adalah besaran penerimaan nilai output untuk komoditas karet lebih besar yakni sebesar Rp. 1,87 miliar dan jauh lebih besar apabila dibandingkan dengan output kelapa sawit dan kopi, selain itu, besaran ketimpangan yang ditimbulkan baik dari penerimaan faktor produksi maupun penerimaan golongan rumah tangga tidak terlalu besar sehingga ke depan komoditas karet dapat difokuskan menjadi produk unggulan bagi Kabupaten Musi Rawas untuk meningkatkan perekonomian wilayah.

5.8. Analisis Kebocoran Wilayah Sektor Perkebunan di Kabupaten Musi Rawas

Pada pembahasan ini dijelaskan hasil analisis kebocoran wilayah sektor perkebunan terhadap perekonomian wilayah Kabupaten Musi Rawas tahun 2010, ditinjau dari indikasi dan potensi kebocoran wilayah sektor perkebunan serta dampaknya terhadap perekonomian wilayah. Dari SNSE Kabupaten Musi Rawas Tahun 2010, juga dapat diketahui bahwa dari total pendapatan regional sebesar Rp. 7.684,82 miliar, tidak semuanya dapat diserap oleh Kabupaten Musi Rawas sendiri. Hal tersebut terjadi karena adanya dana yang mengalir ke luar Kabupaten. Dengan perkataan lain, telah terjadi kebocoran regional regional leakages di Kabupaten Musi Rawas. Dari sebesar Rp. 7.684,82 miliar PDRB, yang bocor ke luar sebesar Rp. 357,36 miliar atau sekitar 4,65 persen dari PDRB yang berasal dari tenaga kerja sebesar Rp. 4,14 milyar dan kapital sebesar Rp. 353,22 milyar. Kebocoran ini terjadi karena terdapat modal yang dioperasikan di Kabupaten Musi Rawas berasal dari luar Kabupaten. Sebagai efeknya, balas jasa yang diperoleh oleh faktor produksi tersebut juga mengalir kembali ke luar Kabupaten. Misalnya faktor produksi modal yang ditanamkan di Kabupaten Musi Rawas ternyata ada yang berasal dari luar Kabupaten, sehingga balas jasa returns to capital yang diterima juga mengalir kembali ke daerah mana modal tadi berasal. Dalam kasus ini, kebocoran regional dapat juga berarti adanya pengiriman returns to capital kepada perusahaan-perusahaan induk yang berdomisili di luar Kabupaten. Hal tersebut juga tercermin dari jumlah transfer perusahaan ke luar Kabupaten yang nilainya mencapai Rp. 254,55 miliar. Hal tersebut dapat tergambar pada Tabel 51 berikut ini. Tabel 51. Analisis Kebocoran Wilayah di Kabupaten Musi Rawas Tahun 2010 dalam Milyar Rupiah URAIAN NILAI Neraca Endogen Faktor Produksi Tenaga Kerja 4,140 Kapital 353,219 Institusi RT. Pertanian 56,871 RT. Bukan Pertanian 429,673 Perusahaan 254,552 Pemerintah 50,710 TOTAL 1.149,165 Sumber : SNSE Kabupaten Musi Rawas 2010, data diolah 5.8.1. Indikasi Kebocoran Wilayah Berdasarkan Rasio PendapatanTenaga Kerja yang Keluar Wilayah Idealnya pendapatan tenaga kerja dalam suatu wilayah dapat dibelanjakan di dalam wilayah tersebut sehingga dapat menciptakan multiplier effect terhadap perekonomian wilayah dan perekonomian masyarakat. Bila sebagian besar pendapatan tenaga kerja di dalam suatu wilayah dibelanjakan di luar wilayah atau dikirim dan diinvestasikan ke luar wilayah, maka hal tersebut mengindikasikan telah terjadinya kebocoran wilayah, hal ini terjadi karena adanya aliran finansial ke luar wilayah. Sebagai gambaran besaran pendapatan tenaga kerja yang ke luar wilayah serta nilai pendapatan tenaga kerja yang ke luar wilayah untuk sektor perkebunan di Kabupaten Musi Rawas dapat dilihat pada Tabel 52. dibawah ini, dimana terlihat, kebocoran wilayah yang berasal dari pendapatan tenaga kerja secara total sebesar Rp. 4,14 milyar rupiah dan terbesar dari golongan buruh kepemimpinan, ketatalaksanaan, militer, profesional dan teknisi yakni sebesar Rp. 2,59 milyar. Hal tersebut dikarenakan banyaknya level pimpinan dan staf selaku tenaga kerja berasal dari luar Kabupaten Musi Rawas, sehingga sebagian pendapatannya dikirim ke luar wilayah Kabupaten Musi Rawas. Tabel 52. Pendapatan Tenaga Kerja Sektor Perkebunan yang Keluar Wilayah Kabupaten Musi Rawas Tahun 2010 Juta Rupiah Uraian Buruh Produksi, Operator, Alat Angkutan, Manual dan Buruh Kasar Buruh Tata Usaha, Penjualan, Jasa-jasa Buruh Kepemimpinan, Ketatalaksanaan, militer, profesional dan teknisi Total Pendapatan Tenaga Kerja Ke Luar Wilayah Juta Rupiah 653,3 891,7 2.595,0 4.140 Sumber : SNSE Kabupaten Musi Rawas 2010, data diolah 5.8.2. Indikasi Kebocoran Wilayah Sektor Perkebunan Berdasarkan Rasio Pendapatan Modal yang Keluar Wilayah Indikasi kebocoran wilayah juga dapat dilihat dari aspek aliran sumberdaya finansial capital outflow, dimana semakin besar aliran modal atau finansial ke luar wilayah mengindikasikan semakin besar pula terjadinya kebocoran wilayah Rustiadi, 2005. Untuk Kabupaten Musi Rawas, besarnya aliran pendapatan modal sektor perkebunan dapat dilihat pada Tabel 53 berikut ini, dimana terlihat bahwa aliran modal ke luar wilayah Kabupaten Musi Rawas untuk sektor perkebunan khususnya karet sebesar Rp. 23,32 miliar dengan nilai rasio pendapatan modal yang keluar wilayah sebesar 2,5 persen, untuk kopi tidak ada pendapatan modal yang keluar wilayah, serta untuk kelapa sawit nilai rasio pendapatan modal yang keluar wilayah sebesar 0,1 persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa ternyata komoditas karet memiliki tingkat kebocoran wilayah yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan komoditas kopi ataupun komoditas kelapa sawit. Tabel 53. Nilai Rasio Pendapatan Modal Sektor Perkebunan yang Keluar Wilayah Kabupaten Musi Rawas Tahun 2010 Sektor Pendapatan Modal Keluar Wilayah Juta Rupiah Total Pendapatan Modal Juta Rupiah Rasio Karet 23.321,0 947.735,1 2,5 Kopi 0,0 20.461,8 0,0 Kelapa Sawit 123,2 155.704,6 0,1 Sumber : SNSE Kabupaten Musi Rawas 2010, data diolah Besarnya indikasi kebocoran wilayah berdasarkan aliran modal ke luar wilayah untuk sektor karet yang mencapai 2,5 persen dari total pendapatan modal terjadi dikarenakan adanya investor yang bergerak dalam industri karet merupakan investor dari luar wilayah Kabupaten Musi Rawas, sehingga pendapatan modal yang dihasilkan tidak diinvestasikan kembali ke Kabupaten Musi Rawas akibatnya terjadi aliran modal atau finansial capital outflow ke luar wilayah Kabupaten Musi Rawas. Untuk sektor kelapa sawit yang memiliki nilai rasio pendapatan modal yang keluar wilayah sebesar 0,1 persen, hal tersebut dikarenakan sektor tersebut secara umum dilakukan oleh masyarakat lokal sebagai investornya sehingga pendapatan modal yang dihasilkan tidak banyak yang mengalir ke luar wilayah Kabupaten Musi Rawas.

5.8.3. Upaya-Upaya Mengatasi Kebocoran Wilayah di Kabupaten Musi Rawas

Dari penjelasan terkait tentang kebocoran wilayah regional leakage di Kabupaten Musi Rawas diatas, yang dapat berupa mengalirnya keuntungan profit ke luar wilayah Kabupaten Musi Rawas karena diperoleh oleh perusahaan asing di luar wilayah dan beroperasi di dalam Kabupaten Musi Rawas, ataupun deviden yang diperoleh oleh penduduk yang berdomisili di luar Kabupaten Musi Rawas atas saham yang mereka miliki pada perusahaan yang beroperasi di Kabupaten Musi Rawas, ataupun balas jasa atas penggunaan sumber daya manusia dan modal dari luar wilayah. Hal yang harus dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Musi Rawas dengan cara melakukan reformasi kebijaksanaan misalnya melalui peraturan daerah yang mengatur masalah kebijaksanaan penanaman investasi di daerah dengan cara pembukaan pabrik pengolahan hasil pertanian yang baru sehingga nilai tambah yang selama ini mengalir ke luar wilayah Kabupaten Musi Rawas dapat ditangkap atau dinikmati kembali oleh penduduk Kabupaten Musi Rawas. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu aturan kelembagaan yang dapat menarik kembali nilai tambah tersebut ke Kabupaten Musi Rawas, paling tidak sebagian dapat dinikmati oleh penduduk setempat dan membuat mereka menjauh dari jerat kemiskinan. Selain itu perlunya suatu pengaturan mengenai pemberian dana Corporate Social Responsibility CSR, oleh seluruh perusahaan yang beroperasi di Kabupaten Musi Rawas, dalam mengembangkan kesejahteraan masyarakat sekitar wilayah perusahaan. Dana CSR ini dapat digunakan dalam hal yang positif seperti memberikan pendidikan dan pelatihan kepada masyarakat sekitar perusahaan misalnya kepada petani karet sehingga dapat memberikan keterampilan dan pengetahuan kepada para petani sehingga mereka dapat menghasilkan produksi karet yang berkualitas sehingga perusahaan akan memberikan harga yang pantas dan terbaik sesuai dengan kualitas produksi yang mereka hasilkan, ataupun dana tersebut dapat digunakan untuk membangun sekolah-sekolah yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan sumber daya manusia SDM.

5.9. Peranan Lembaga Pemasaran Pada Sektor Perkebunan di Kabupaten

Musi Rawas Secara umum, rantai tata niaga karet di Kabupaten Musi Rawas belum efisien dan belum mempunyai jejaring network yang kuat dan saling berhubungan sehingga cenderung membentuk pasar yang monopsonistik. Selain itu, semakin jauh dari kota maka semakin besar biaya pemasarannya dan semakin kecil persaingannya karena jumlah pedagang pengumpul di desa semakin sedikit. Biasanya para petani sebagai produsen memasarkan hasil karetnya seminggu sekali kepada para pedagang pengumpul biasanya dikenal petani dengan sebutan pedagang mobil karena mereka memiliki mobil untuk mengangkut karet. Dalam pemahaman para petani, pedagang pengumpul tidak sebagai pedagang tetapi mereka menjualkan karet petani dan memperoleh jasaimbalan dari ongkos angkut. Para petani biasanya menitipkan belanja kebutuhan sehari-hari kepada para pedagang tersebut. Pedagang pengumpul terdiri dari pedagang pengumpul kesatu tingkat desa, pedagang pengumpul kedua tingkat kecamatan dan pedagang pengumpul ketiga tingkat kabupaten. Biasanya diantara pedagang pengumpul tersebut mempunyai saling ikatan kerjasama, dimana pedagang pengumpul kesatu merupakan mitra bagi pedagang pengumpul kedua dan selanjutnya. Lokasi pabrik yang berada di luar Kabupaten Palembang, Bengkulu, Padang dan Singkud menjadikan biaya transportasi dibebankan oleh pedagang pengumpul kepada petani, sehingga harga di tingkat petani akan makin rendah. Pedagang pengumpul merupakan pedagang perantara untuk dapat menjual hasil karet petani kepada juragan tauke karet dikarenakan para petani tidak dapat menjual langsung hasil karet mereka dikarenakan biaya transportasi yang tinggi untuk mencapai tempat atau lokasi dimana tauke berada ataupun para petani tidak mengenal siapa saja para tauke yang bersedia untuk menampung hasil karet mereka. Ketiadaan posisi tawar bargaining position petani mengakibatkan harga hanya ditentukan sepihak oleh pedagang pengumpul. Keadaan ini antara lain disebabkan oleh belum berkembangnya kelembagaan petani yang mantap. Sistem pemasaran petani sangat berhubungan dengan faktor internal dan usaha petani yang bersangkutan. Mekanisme pasar dari penjualan di tingkat petani hingga di tingkat pabrik hampir sama seperti pada setiap penjualan hasil panen petani atau komoditas lainnya, dimana peranan tengkulak atau pedangang pengumpul sangat dominan. Pada daerah karet tradisional terdapat beberapa pelaku yang berperan dominan dalam pemasaran karet yaitu : a. Petani b. Tengkulak atau pedagang pengumpul kecil tingkat desakecamatan c. Tengkulak atau pedagang pengumpul besar tingkat kabupaten d. Pool pabrik pada tingkat kabupaten, dan e. Pabrik Mekanisme kerja mereka dapat digambarkan melalui gambar sebagai berikut : Gambar 17. Mekanisme Pemasaran Karet di Kabupaten Musi Rawas Di desa-desa di Kabupaten Musi Rawas, para petani menjual produksinya kepada pedagang pengumpul kecil di tingkat desa atau pedagang pengumpul besar di tingkat kecamatan.Para pedagang pengumpul tingkat kabupaten yang umumnya merupakan wakil pabrik pool pabrik membeli dari pedagang pengumpul besar tingkat kecamatan atau pedagang pengumpul kecil tingkat Petani Pedagang pengumpul kecil tk desa Pedagang pengumpul besar tk kecamatan Pool Pabrik TK Kabupaten Pabrik