47 Ladner dan Altizer 2005 menyatakan secara alami, serangga memiliki respon
berbeda terhadap tanaman dengan karakter yang berbeda. Schoonhoven et al. 2005 menambahkan bahwa perbedaan respon tersebut merupakan hasil interaksi antara
organ kemoreseptor pada tubuh serangga dengan tanaman pada fase penerimaan tanaman inang. Begitu pula dengan interaksi antara tanaman handeuleum dengan D.
bisaltide. Khusus bagi imago betina, kandungan senyawa pada tanaman tidak hanya
berfungsi dalam penentuan relung yang cocok untuk aktivitas makan, tetapi juga untuk aktivitas peletakan telur.
Lavoie dan Oberhauser 2004 menyatakan bahwa morfologi tanaman, kandungan nitrogen, serta kandungan metabolit sekunder turut mempengaruhi
perilaku pemilihan situs peletakan telur oleh imago betina. Ladner dan Altizer 2005 menambahkan bahwa seleksi tanaman inang bagi serangga keluarga
Nymphalidae umumnya dipengaruhi oleh ukuran dan umur tanaman inang, begitu juga kandungan glikosida tanaman inang. Namun hasil penelitian Stefanescu et al.
2006 menunjukkan bahwa ukuran tanaman tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah kluster telur yang diletakkan Nymphalidae pada tanaman tertentu.
Kandungan fitokimia tanaman dalam satu spesies dapat sangat bervariasi. Variasi tersebut merupakan hasil interaksi antara genetik, status nutrisi, serta kondisi
lingkungan tumbuh tempat tanaman tersebut hidup. Hal inilah yang menyebabkan varietas tanaman tertentu dari satu spesies tidak begitu disukai serangga, sedangkan
varietas lainnya sangat disukai. Berdasarkan hasil penelitian Khumaida 2008 diketahui bahwa 38 aksesi
tanaman handeuleum mengandung senyawa metabolit sekunder dengan konsentrasi yang bervariasi. Pada penelitian ini, 13 dari 38 aksesi tersebut digunakan untuk
menguji tingkat resistensi setiap aksesi terhadap D. bisaltide berdasarkan preferensi peletakan telur oleh imago betina D. bisaltide pada 13 aksesi tanaman handeuleum
tersebut.
4.3 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakter tiga belas aksesi handeuleum yang dapat mengurangi preferensi peletakan telur oleh imago D.
bisaltide .
48
4.4 Hipotesis
1.
Terdapat hubungan yang erat antara karakter fitokimia dan atau morfologi tanaman handeuleum terhadap preferensi peletakan telur imago
D. bisaltide
.
2. Terdapat perbedaan tingkat preferensi peletakan telur oleh imago betina D.
bisaltide pada 13 aksesi handeuleum
4.5 Metodologi Penelitian 4.5.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan pada tiga periode pengujian, yakni periode Mei-Juni 2009, Juni-Juli 2009, dan periode November-Desember 2009. Penelitian dilakukan
di rumah kaca kebun percobaan Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik BALITTRO yang terletak di daerah Cimanggu, Bogor, Jawa Barat.
4.5.2 Rancangan Percobaan
Perlakuan preferensi oviposisi imago D. bisaltide pada 13 aksesi handeuleum disusun menggunakan Rancangan Tersarang Nested Design dengan rancangan
lingkungan RKLT Rancangan Kelompok Lengkap Teracak. Aksesi handeuleum dan ulangan tersarang pada periode pengujian. Model matematik rancangan
tersarang adalah sebagai berikut: Y
ijk
= µ + W
i
+ K
k
W
i
+ A
j
W
i
+ WA
ij
+ ε
ijk
Dimana, Y
ijk
: nilai pengamatan pada waktu ke-i aksesi handeuleum ke-j dan kelompok ke k,
μ : rataan umum
W
i
: pengaruh utama waktu aplikasi ke - i A
j
W
i
: pengaruh utama aksesi handeuleum ke – j dalam waktu aplikasi K
k
W
i
: pengaruh kelompok ke k dalam waktu aplikasi WA
ij
: komponen interaksi dari waktu aplikasi ke - i dan aksesi handeuleum ke – j
ε
ijk
: galat lingkungan Penelitian ini menggunakan 13 aksesi handeuleum yang terdiri dari 3 ulangan.
Masing-masing ulangan terdiri dari 3 tanamanaksesi.
49
4.5.3 Persiapan Tanaman Uji
Tiga belas aksesi tanaman handeuleum yang digunakan berasal dari perbanyakan vegetatif menggunakan stek dari tanaman induk yang sebelumnya telah
dikoleksi Khumaida et al. pada tahun 2008. Stek ketigabelas aksesi handeulem dipotong sepanjang 15 cm, kemudian ditanam pada media pasir dan dipelihara
hingga muncul daun dan akar. Bibit berumur sebulan dipindahkan ke media tanaman dengan perbandingan tanah: pupuk kandang: sekam bakar 1:1:1. Bibit kemudian
dipelihara dalam rumah kasa dengan naungan 55 hingga perlakuan. Pemeliharaan dilakukan dengan penyiraman dua kali sehari dan pemupukan dengan kandungan
NPK berimbang. Pada saat pengujian preferensi peletakan telur, semua aksesi handeuleum yang digunakan masih dalam fase vegetatif.
Tanaman sumber nektar imago D. bisaltide terdiri atas Ixora sp. dan Hydrangea sp
. yang telah memasuki fase generatif. Tanaman ini berasal dari nurseri tanaman hias di daerah Bogor. Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan penyiraman
dua kali sehari. Bunga yang telah gugur, dibuang. Tanaman yang tidak lagi memiliki tunas bunga diganti dengan tanaman yang memiliki bunga mekar.
4.5.4 Persiapan Serangga Uji
Populasi pertaman serangga uji berasal dari telur D. bisaltide yang dikumpulkan dari pertanaman handeuleum di kebun koleksi Balai Tanaman Obat
dan Aromatik BALITTRO. Larva instar I hingga instar II dipelihara dalam kotak pemeliharaan. Larva instar III kemudian dipindahkan dalam kurungan kasa
berbentuk silinder dengan ukuran 0.25 m
3
. Kurungan tersebut diletakkan dalam rumah kaca yang sama tempat pengujian preferensi peletakan telur dilaksanakan.
Lima puluh pasang imago D. bisaltide yang keluar pada hari yang sama dilepaskan dari kurungan ke dalam rumah kaca. Hal ini dilakukan untuk mengurangi bias akibat
perbedaan umur serangga uji. Selama pemeliharaan, larva D. bisaltide diberi pakan daun tanaman
handeuleum Graptophyllum pictum L. Griff segar, sedangkan imago diberi pakan nektar alami yang berasal dari beberapa jenis bunga serta madu yang telah dilarutkan
dalam air dengan konsentrasi 10 yang ditempatkan pada kapas basah. Larutan
50 tersebut ditambahkan setiap harinya dengan cara mencelupkan kapas basah ke dalam
larutan madu.
4.5.5 Uji Preferensi Peletakan Telur Imago D. bisaltide
Pengujian preferensi peletakan telur dilakukan menggunakan metode multiple- choice
. Lima puluh pasang imago D. bisaltide diterbangkan di dalam rumah kaca yang telah berisi 13 aksesi handeuleum yang disusun secara acak dalam 3 ulangan.
Asumsi yang digunakan, semakin banyak telur yang diletakkan pada daun suatu aksesi hadeuleum, maka semakin tinggi tingkat preferensi peletakan telur imago D.
bisaltide terhadap aksesi tersebut.
Preferensi peletakan telur D. bisaltide pada tanaman handeuleum dihitung berdasarkan dua peubah, yakni jumlah telur yang diletakkan imago D. bisaltide pada
setiap aksesi handeuleum, serta persentase jumlah telur yang diletakkan per aksesi terhadap jumlah telur total pada satu periode pengujian. Perhitungan jumlah telur
dilakukan setiap hari. Pengamatan dimulai saat pelepasan imago D. bisaltide sampai imago D. bisaltide terakhir mati. Persentase jumlah telur setiap aksesi per periode
dihitung berdasarkan persamaan berikut: Persen jumlah telur = jml telur pada tiap aksesijml telur total per perode x 100
4.5.6 Analisis Data
Analisis data dilakukan menggunakan uji F pada taraf kesalahan 5. Bila hasil uji nyata, dilakukan uji lanjut menggunakan metode Tukey. Metode analisis ini
berdasarkan beberapa penelitian serupa Scriber et al. 1991; DiTommaso dan Lossey 2003; Dhillon dan Sharma 2004; Ladner dan Altizer 2005; Tate et al. 2006;
Rajapakse dan Walter 2007; Firebaugh dan Collins 2010. Sebaran kenormalan data dianalisis menggunakan sistem Saphiro-Wilk. Selain analisis tersebut, juga
dilakukan uji korelasi antara jumlah telur yang diletakkan dengan karakter morfologi dan kandungan fitokimia. Karakter yang berkorelasi nyata dianalisis pengaruhnya
melalui analisis sidik lintas.
51
4.6 Hasil dan Pembahasan 4.6.1 Aktivitas peletakan telur
D. bisaltide
Berdasarkan hasil observasi pada tiga periode, total jumlah telur yang diletakkan betina D. bisaltide per periode bervariasi dan berbeda n=3, p0.001.
Nilai koefisien keragaman sebesar 23.74. Begitu pula dengan ulangan dalam setiap periode n=6, p=0.002. Jumlah telur total yang diletakkan 50 pasang imago D.
bisaltide pada periode November-Desember lebih banyak, yakni sebesar 15 075 butir
telur, diikuti periode Juni-Juli 11 351 butir, dan periode Mei-Juni 6 016 telur. Hal ini sesuai dengan deskripsi ISU 2006, yakni populasi optimum D. bisaltide dicapai
saat musim penghujan, yakni antara September sampai Juni. Di Indonesia, periode November-Desember merupakan bulan basah. Pada periode ini kelembapan sangat
tinggi. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kelembapan di rumah kaca lebih dari 90, sedangkan pada periode Mei-Juni dan Juni-Juli kelembapan hanya berkisar
60. Hal ini mengindikasikan bahwa kelembapan berpengaruh terhadap fekunditas capaian imago D. bisaltide.
Terdapat perbedaan yang nyata untuk peubah jumlah telur yang diletakkan pada 13 aksesi handeuleum. Jumlah telur yang diletakkan pada 13 aksesi di setiap
periode nyata berbeda Tabel 4.1. Jumlah telur yang diletakkan imago pada aksesi 12 menempati urutan paling bawah dan berbeda dengan aksesi lainnya baik pada
periode Mei-Juni H=29.42, p=0.003, Juni-Juli H=33.70, p=0.001, maupun November-Desember H=28.49, p=0.005 Tabel 4.1. Berdasarkan pengamatan,
imago meletakkan telur cukup banyak di aksesi 1, 5, dan 9. Ketiga aksesi tersebut selalu menempati urutan atas dalam jumlah telur yang diletakkan pada tiga periode
pengujian. Aksesi lainnya berfluktuasi pada ketiga periode pengujian, sehingga tidak dapat ditentukan preferensi imago pada aksesi tersebut.
52 Tabel 4.1 Jumlah telur yang diletakkan D.bisaltide pada 13 aksesi handeuleum
dalam tiga periode pengujian
Aksesi Jumlah telur butir
Rataan Mei-Juni
Juni-Juli November-Desember
1 67.70d
143.18a 114.57a
108.48a 2
54.33d 130.14c
135.44c 106.64a
3 67.16b
82.64h 143.73h
97.84a 4
54.45c 102.19e
164.61e 107.08a
5 56.21e
117.11b 149.56b
107.63a 6
40.84 i 61.08 j
129.25j 77.06a
7 66.69g
100.10d 100.21d
89.00a 8
21.92k 119.21d
132.35d 91.16a
9 76.88a
102.85f 125.73f
101.82a 10
52.78h 86.94 i
152.35i 97.36a
11 43.27j
97.43g 148.90g
96.53a 12
7.64l 21.48k
19.05k 16.06b
13 55.76f
91.03f 119.43f
88.74a Rataan
51.20u 96.57t
125.78s
Keterangan: Kolom dengan huruf yang sama, tidak berbeda nyata berdasarkan uji Tukey pada α=5.
Setiap periode diuji menggunakan Kruskal-Wallis.
Pengamatan terhadap persentase jumlah telur yang diletakkan diperlukan untuk mengantisipasi bias akibat perbedaan fekunditas individu imago D. bisaltide.
Persentase jumlah telur yang diletakkan imago D. bisaltide pada masing-masing aksesi terhadap total telur masing-masing periode ditampilkan pada Tabel 4.2.
Berdasarkan persentase terhadap total jumlah telur yang diletakkan, jumlah telur paling sedikit diletakkan pada aksesi 12. Besarnya persentase peletakan telur pada
aksesi ini hanya 1.33 dari total telur yang diletakkan pada masing-masing periode pengujian. Besarnya persentase peletakan telur pada aksesi 6 berkisar antara 4.86
hingga 7.75 . Aksesi handeuleum yang memiliki persentase cukup besar sebagai tempat peletakan telur adalah aksesi 1, 5 dan 9, dengan persentase di atas 10 .
Aksesi lainnya memiliki persentase jumlah telur yang berfluktuasi pada ketiga periode pengujian. Diduga preferensi imago D. bisaltide sangat rendah pada aksesi
12 dan 6 dan tinggi pada aksesi 1, 5, dan 9.
53 Tabel 4.2 Persentase jumlah telur yang diletakkan D.bisaltide pada 13 aksesi
handeuleum dalam tiga periode pengujian
Aksesi Persentase jumlah telur
Rataan Mei-Juni
Juni-Juli November-Desember
1 10.17
11.41 6.87
9.48 2
8.16 10.37
8.09 8.87
3 10.09
6.58 8.62
8.43 4
8.18 8.14
9.88 8.73
5 8.44
9.33 8.98
8.92 6
6.13 4.86
7.75 6.25
7 10.02
7.97 6.16
8.05 8
3.29 9.50
7.94 6.91
9 11.55
8.19 9.33
9.69 10
7.93 6.92
9.14 8.00
11 6.50
7.76 8.94
7.73 12
1.15 1.71
1.14 1.33
13 8.38
7.25 7.16
7.60
Rojak dan Rochimat 2007 menyatakan bila D. bisaltide telah menerima tanaman inangnya, mereka akan meletakkan seluruh atau sebagian telurnya dalam
satu kluster. Berdasarkan teori tersebut, maka dilakukan analisis beberapa metabolit sekunder, pigmen tanaman, unsur kalsium, serat, dan CN rasio pada daun 13 aksesi
tanaman handeuleum. Berdasarkan pengamatan morfologi daun warna daun pada aksesi 12 berbeda
dengan aksesi lainnya. Diduga hal ini menjadi dasar berbedanya jumlah telur yang diletakkan pada aksesi 12 dengan 12 aksesi lainnya. Warna tanaman mempengaruhi
landing dan aktivitas peletakan telur serangga Hirota dan Kato 2001. Hal ini
dikarenakan selama proses penerimaan inang, serangga terbang, seperti lepidoptera akan menggunakan indera pengelihatan disamping penciumannya untuk mengenali
tanaman inangnya Schoonhoven et al. 2005; Reddy et al. 2009. Kristina dan Mardiningsih 2008 mengungkapkan D. bisaltide lebih menyukai handeuleum
dengan warna ungu sebagai tempat untuk meletakkan telur. Morfologi daun 13 aksesi handeuleum ditampilkan pada Gambar 4.1.
54
Aksesi 1 Aksesi 2
Aksesi 3
Aksesi 4 Aksesi 5
Aksesi 6
Aksesi 7 Aksesi 8
Aksesi 9
Aksesi 10 Aksesi 11
Aksesi 12
Aksesi 13
Gambar 4.1 Morfologi daun tanaman handeuleum.
55 Berdasarkan pengamatan visual, warna daun sebagian besar aksesi serupa.
Akan tetapi hasil analisis pigmen tanaman menunjukkan adanya variasi baik konsentrasi maupun persentase pigmen antosianin, klorofil, dan karotenoid.
Konsentrasi pigmen antosianin pada aksesi 1 paling tinggi, sedangkan kandungan antosianin paling rendah ditemui pada aksesi 12. Antosianin diketahui merupakan
salah satu pigmen yang juga berfungsi sebagai pertahanan tanaman. Guo et al. 2008 dan Cuttriss et al. 2008 menyatakan bahwa pigmen antosianin, begitu juga
karotenoid, bersifat antibiosis. Berdasarkan hal tersebut, diasumsikan bahwa daun dengan kandungan antosianin yang tinggi tidak disukai imago untuk meletakkan
telur Schoonhoven et al. 1998; Schoonhoven et al. 2005. Namun demikian, pada penelitian ini ditemukan walaupun aksesi 12 memiliki kandungan antosianin paling
rendah, aksesi ini tidak dipilih imago. Sebaliknya, jumlah telur yang diletakkan aksesi 1 dan 9 yang memiliki kandungan antosianin tinggi, menempati urutan
tertinggi. Diduga, antosianin digunakan D. bisaltide untuk menemukan inangnya, sehingga besarnya proporsi pigmen berpengaruh terhadap aktivitas peletakan telur
oleh imago D. bisaltide. Persentase kandungan ketiga jenis pigmen bervariasi. Aksesi 1 memiliki
persentase kandungan antosianin lebih besar dibanding aksesi lainnya, sedangkan aksesi 12 memiliki persentase kandungan antosianin paling sedikit dibandingkan
aksesi lainnya Tabel 4.3. Selain kedua aksesi tersebut, 11 aksesi handeuleum lainnya memiliki proporsi pigmen antosianin : klorofil : karotenoid adalah 4:4:2.
Tabel 4.3 Persentase pigmen antosianin, klorofil, dan karotenoid pada 13 aksesi tanaman handeuleum
Aksesi Persentase pigmen dalam tanaman
Antosianin Klorofil
Karotenoid 1
52.23 28.81
18.96 3
43.67 35.85
20.47 4
38.90 38.81
22.30 5
39.55 36.88
23.56 6
36.90 40.89
22.21 7
36.14 41.07
22.80 8
38.37 37.59
24.04 9
42.78 35.76
21.46 10
36.45 41.19
22.35 11
35.51 41.38
23.11 12
13.80 60.08
26.13 13
36.20 41.20
22.60
56 Berdasarkan data pada Tabel 4.3, diduga sifat antibiosis pada antosianin yang
terkandung dalam tanaman handeuleum tidak berpengaruh terhadap D. bisaltide. Hal ini mengacu pada pernyataan beberapa peneliti Rosenthal dan Janzen 1979;
Berenbaum et al, 1989; Adler et al., 1995; Nieminen et al. 2003; Agrawal and Kurashige, 2003 bahwa beberapa zat kimia yang bersifat deterrent pada tanaman
tidak berpengaruh terhadap serangga spesialis. Kelber 1999 menyebutkan bahwa serangga umumnya memiliki reseptor yang
peka pada panjang gelombang 360 nm reseptor ultraviolet, 440 nm reseptor biru, dan 540 nm reseptor hijau. Sebelumnya Smith 1989 menyatakan bahwa serangga
pemakan daun umumnya sensitif terhadap panjang gelombang 500-580 nm. Untuk famili Nymphalidae, Schrer dan Kolb 1987 menyebutkan bahwa aktivitas
peletakan telur didapatkan pada panjang gelombang sekitar 550 nm. Di lain pihak, diketahui bahwa klorofil dapat menyerap panjang gelombang 400-450 nm dan 650-
700 nm White dan Tollin 1971; Evan et al. 1992, sedangkan antosianin dapat menyerap panjang gelombang 550 nm. Apabila keduanya dikaitkan, maka dapat
menjelaskan tingginya aktivitas peletakan telur pada aksesi dengan kandungan antosianin yang tinggi. Dugaan lain yang dapat menjelaskan fenomena tersebut di
antaranya: 1 pada aksesi 12 terdapat metabolit sekunder lainnya yang menyebabkan aksesi ini tidak terpilih. 2 imago cenderung meletakkan telur pada lingkungan yang
kurang sesuai bagi perkembangan larvanya untuk menghindari kompetisi intra- spesies dan inter-spesies serta menghindari serangan musuh alami.
Pada penelitian ini, imago D. bisaltide tidak selalu meletakkan telur pada tempat yang sama. Pada satu waktu imago meletakkan semua telur pada satu
tanaman, namun di lain waktu imago membagi telurnya pada beberapa tanaman. Hal serupa juga ditemukan Janz et al. 2005 pada Polygonia c-album Lepidoptera:
Nymphalidae. Perbedaan tingkat preferensi pada beberapa aksesi diduga akibat ketertarikan serangga pada tanaman tertentu terjadi hanya pada waktu tertentu,
bukan simultan. Dugaan tersebut didukung Thompson dan Pellmyr 1991 bahwa keputusan imago betina untuk meletakkan telur pada suatu tanaman dilakukan
setelah serangga tersebut hinggap pada daun tanaman inang. Konsisten terhadap teori bahwa kandungan fitokimia tanaman tersebar
dengan konsentrasi yang bervariasi antar bagian tanaman Rosenthal dan Janzen
57 1979; Taiz dan Zeiger 2002, hasil penelitian menunjukkan imago D. bisaltide
cenderung meletakkan telur pada daun muda. Hasil serupa juga diperoleh pada penelitian Nozawa dan Ohgushi 2002 pada Aphrophora pectoralis Homoptera:
Aphrophoridae. Rhoades 1979 begitu pula dengan Panda dan Kush 1995 menyatakan metabolit sekunder tidak disintesis di daun muda, tetapi
ditranslokasikan dari daun yang telah berkembang sempurna ke daun muda, karena sintesis metabolit sekunder pada daun muda akan menyebabkan pertumbuhan dan
perkembangan jaringan daun tersebut menjadi terhambat. Lebih lanjut Schoonhoven et al.
2005 menyatakan bahwa beberapa jenis metabolit sekunder bersifat autotoksin bagi tanaman. Selain itu, daun muda juga memiliki kandungan nitrogen
dan air yang tinggi serta tingkat kekerasan yang lebih rendah dibandingkan daun yang telah berkembang sempurna Raupp and Denno 1983. Dengan demikian, larva
instar I yang muncul kemudian dapat dengan mudah mengkonsumsi dan mencerna jaringan lunak tanaman.
Selain karena faktor intrinsik tanaman, kondisi lingkungan mikro juga menentukan tingkat preferensi oviposisi imago terhadap bagian tertentu pada aksesi
handeuleum Gilbert, 1975; Rausher, 1978; Stanton, 1982. Grossmueller and Lederhouse 1985 menduga bahwa imago meletakkan telur pada bagian pucuk
karena diduga daerah tersebut memperoleh sinar matahari yang lebih banyak.
4.6.2 Analisis hubungan pengaruh langsung dan tidak langsung karakteristik handeuleum dengan aktivitas peletakan telur
D. bisaltide
Dalam proses pencarian dan penerimaan inang oleh serangga, karakter tanaman yang satu akan terkait dengan karakter lainnya. Kombinasi karakter-
karakter yang bersifat stimulan dan deterrent kemudian menentukan tingkat penerimaan serangga terhadap tanaman tertentu Renwick dan Chew 1994. Pada
penelitian ini, analisis hubungan antara satu karakter dengan karakter lainnya dilakukan melalui analisis korelasi dan analisis sidik lintas. Karakter-karakter
tersebut dapat digunakan sebagai karakter seleksi untuk sifat resistensi aksesi handeuleum terhadap D. bisaltide.
Tabel 4.4 Korelasi antar karakter morfologi dan fitokimia daun handeuleum dengan jumlah telur yang diletakkan.
58 Karakter tanaman handeuleum
Nilai korelasi Antosianin 0.71
Klorofil -0.74 Karotenoid -0.51
C organik 0.03 Nitrogen -0.52
CN rasio
0.63 Kalsium 0.37
Serat 0.16 Alkaloid -0.38
Saponin 0.62 Flavonoid -0.02
Triterpenoid 0.31 Steroid -0.26
luas area daun
0.28 Trikoma 0.49
Keterangan : Korelasi menggunakan metode Pearson. nyata pada taraf 5, sangat nyata pada taraf 1.
Jumlah telur yang diletakkan berkorelasi nyata dengan kandungan antosianin, klorofil, saponin, dan CN rasio tanaman handeuleum Tabel 4.4. Roy 2000 serta
Mattjik dan Sumertajaya 2002 menyatakan apabila nilai korelasi antara dua peubah mendekati -1 atau 1, maka hubungan antara keduanya sangat erat. Berdasarkan hasil
analisis korelasi, nilai korelasi tertinggi didapat pada antosianin dan klorofil dengan aktivitas peletakan telur.
Price 1997 menyatakan bahwa serangga umumnya menghindari tanaman dengan kandungan tanin yang tinggi, nitrogen dan air yang rendah, serta tingkat
kekerasan jaringan yang tinggi. Sebelumnya smith 1989 menyatakan bahwa tanin dapat menurunkan tingkat digestabilitas tanaman. Weisenborn dan Pratt 2008
menyatakan bahwa kandungan klorofil tanaman berkorelasi dengan kandungan nitrogen pada daun tanaman. Lebih lanjut dilaporkan bahwa pada penelitian yang
dilakukan, jumlah telur yang diletakkan berkorelasi positif dengan kandungan nitrogen tanaman. Akan tetapi pada penelitian ini, jumlah telur yang diletakkan tidak
berkorelasi nyata dengan kandungan nitrogen tanaman. Apabila dihubungkan dengan kandungan metabolit sekunder, banyaknya
jumlah telur yang diletakkan tidak berkorelasi kandungan flavonoid. Hal ini serupa dengan pernyataan Smith 91989 bahwa senyawa golongan flavonoid bersifat
deterren bagi serangga. Pernyataan tersebut bertentangan dengan Panda dan Kush
59 1995 yang menyatakan flavonoid merupakan senyawa yang dapat menarik
serangga mendekati tanaman tertentu. Hasil penelitian Wink 2006 juga menunjukkan bahwa adanya flavonoid, senyawa volatil, atau terpenoid dapat
menarik serangga untuk melakukan polinasi atau peletakan telur pada tanaman tersebut. Flavonoid merupakan salah satu senyawa kelompok fenol Mann 1986;
Smith 1989. Senyawa ini sendiri terdiri atas beberapa jenis senyawa turunan, di antaranya antosianin, flavon, dan isoflavon. Diduga beberapa jenis senyawa turunan
flavonoid bersifat deterrent bagi serangga tertentu, sedangkan jenis lainnya bersifat atraktan. Karenanya, diperlukan kajian lebih mendalam mengenai jenis senyawa
turunan flavonoid yang bersifat deterren dan atraktan terhdap imago D. bisaltide. Roy 2000 mengemukakan bahwa analisis korelasi menggambarkan keeretan
hubungan antara karakter satu dengan karakter lainnya. Akan tetapi, Budiarti et al. 2004 menambahkan bahwa analisis ini tidak dapat menggambarkan hubungan
sebab-akibat antara karakter-karakter yang dikorelasikan. Penguraian hubungan sebab-akibat tersebut dapat dijelaskan melalui analisis sidik lintas.
Pada penelitian ini, analisis sidik lintas dilakukan terhadap karakter-karakter yang berkorelasi nyata dengan karakter aktivitas peletakan telur. Hasil analisis
korelasi menunjukkan bahwa pigmen antosianin, klorofil, CN rasio, dan saponin berpengaruh nyata terhadap karakter peletakan telur Tabel 13. Nilai dari karakter
ini kemudian distandarisasi dan digunakan sebagai peubah bebas dalam analisis sidik lintas. Rekapitulasi hasil sidik lintas ditampilkan pada Tabel 4.5, serta Gambar 4.2.
60 Tabel 4.5 Pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung karakter terhadap
peletakan telur imago D. bisaltide
Peubah bebas
Pengaruh langsung
C Pengaruh Tidak Langsung melalui peubah
Pengaruh Total
Antosianin Saponin
CN rasio Klorofil
Antosianin -0.978
0.097 0.088
1.507 0.715
Saponin 0.393
-0.242 0.069
0.406 0.627
CN rasio 0.182
-0.472 0.150
0.763 0.623
Klorofil -1.517
0.972 -0.105
-0.092 -0.742
Total C -1.919
Residu 1.709
Gambar 4.2 Diagram lintas fenotipik antar 4 karakter dengan aktivitas peletakan telur oleh imago D. bisaltide.
Keterangan: Ctx
i
= pengaruh langsung peubah ke-i terhadap peubah telur T; rx
i
x
y
= koefisien korelasi antara peubah x
i
dan x
y
Tujuan seleksi 13 aksesi handeuleum adalah mencari karakter tanaman yang dapat menurunkan aktivitas peletakan telur oleh imago D. bisaltide. Metode seleksi
yang demikian dikenal dengan istilah seleksi negatif Roy 2000. Terdapat dua metode seleksi, yakni seleksi langsung dan seleksi tidak langsung. Pada metode
seleksi langsung, yang dijadikan kriteria seleksi adalah karakter target, dalam hal ini tanaman dengan jumlah telur sedikit, sedangkan bila menggunakan metode seleksi
tidak langsung, seleksi dilakukan pada karakter yang berkorelasi nyata dengan
61 karakter target. Analisis sidik lintas merupakan salah metode analisis yang dapat
digunakan untuk mengetahui berapa besar peranan suatu karakter dalam mempengaruhi karakter target. Analisis sidik lintas menunjukkan bahwa kandungan
antosianin dan klorofil memiliki pengaruh negatif terhadap aktivitas peletakan telur, sedangkan saponin dan CN rasio dalam tubuh tanaman berpengaruh positif.
Hasil sidik lintas menunjukkan bahwa karakter klorofil memiliki pengaruh langsung yang besar dan bernilai negatif. Korelasi karakter ini dengan aktivitas
peletakan telur juga bernilai negatif. Hal ini mengindikasikan bahwa klorofil berkorelasi erat dan memiliki kontribusi yang besar terhadap penurunan aktivitas
peletakan telur oleh imago D. bisaltide. Dengan demikian, karakter klorofil dapat dijadikan karakter seleksi untuk memperoleh aksesi resisten terhadap aktivitas
peletakan telur imago D. bisaltide. Untuk tujuan seleksi, dapat dipilih aksesi dengan kandungan klorofil yang tinggi. Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan hasil
penelitian Stefanescu et al. 2006 pada Euphydryas aurinia Lepidoptera: Nymphalidae yang menunjukkan serangga ini meletakkan telur lebih banyak pada
daun tanaman yang mengandung klorofil 10 lebih tinggi dibandingkan tanaman dengan konsentrasi klorofil yang lebih sedikit.
Antosianin memiliki pengaruh langsung yang negatif. Korelasi senyawa ini dengan aktivitas peletakan telur bersifat positif. Model yang demikian menurut
Singh dan Chaudhary 1979 menunjukkan bahwa terdapat karakter lain yang meneybabkan korelasi antosianin menjadi positif, sehingga antosianin tidak dapat
dijadikan salah satu komponen seleksi. Seleksi tidak akan efektif bila dilakukan menggunakan karakter tersebut. Seperti halnya karakter antosianin, saponin dan CN
rasio tidak efektif untuk dijadikan karakter seleksi, karena walaupun keduanya berkorelasi dengan aktivitas peletakan telur, tetapi nilai pengaruh langsungnya
rendah, yakni 0.182 dan 0.393, sehingga kedua karakter tersebut tidak efektif untuk dijadikan karakter seleksi.
Apabila dikaitkan dengan kandungan fitokimia yang berperan sebagai obat, yakni steroid, flavonoid Willaman 1995, dan glikosida Wiart 2006. Karakter
klorofil tidak berkorelasi dengan ketiga karakter tersebut Lampiran 4, akan tetapi untuk flavonoid, klorofil secara tidak langsung berkorelasi dengan salah satu
senyawa golongan flavonoid, yaitu antosianin. Hal ini menunjukkan bahwa, secara
62 teori tinggi-rendahnya kandungan klorofil tidak berpengaruh terhadap kandungan
steroid dan glikosida. Akan tetapi, seleksi berdasarkan kandungan klorofil mungkin akan mempengaruhi kandungan flavonoid pada tanaman. Dengan demikian, terdapat
indikasi bahwa seleksi resistensi berdasarkan tingginya kandungan klorofil akan mempengaruhi kualitas tanaman handeuleum sebagai tanaman obat Karena itu,
disarankan untuk melakukan seleksi independent cooling atau seleksi indeks untuk sifat resistensi tanaman dan kandungan obat yang tinggi.
Aksesi 12 merupakan aksesi dengan kandungan klorofil tertinggi dari 13 aksesi handeuleum yang diujikan. Proporsi kandungan klorofil terhadap pigmen
antosianin dan karotenoid pada aksesi ini juga tinggi, yakni 6:1:3.Aksesi 12 memiliki kandungan glikosida dan steroid yang tinggi. Akan tetapi, kandungan
flavonoid tergolong rendah. Pada aksesi 12, kandungan ketiga senyawa tersebut mengalami penurunan setelah terserang larva Berdasarkan hal tersebut maka aksesi
ini dapat dijadikan tetua donor gen resistensi, namun diperlukan pemuliaan lebih lanjut untuk perbaikan komponen bioaktif sebelum dilepas menjadi verietas.
4.7 Kesimpulan