65 mempertahankan fitness dan produktivitas tanaman pada tingkat serangan tertentu.
Seperti sifat lainnya, resistensi tanaman merupakan hasil interaksi atara genetik tanaman tersebut dengan kondisi lingkungan tempat tanaman tersebut tumbuh.
Karenanya, walaupun tergolong dalam spesies yang sama, tingkat resistensi aksesi handeuleum yang satu dengan lainnya dapat berbeda.
Fraenkel 1969 yang dipertegas oleh Honda 1995 menyatakan bahwa metabolit sekunder merupakan sistem pertahanan utama pada tanaman.
Schoonhoven et al. 2005 menambahkan selain metabolit sekunder, morfologi tanaman, begitu juga dengan kandungan nutrisi tanaman turut mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan herbivora. Karenanya, tinggi-rendahnya aktivitas makan larva D. bisaltide pada setiap aksesi handeuleum dapat menjadi parameter
penentu tingkat resistensi masing-masing aksesi handeuleum terhadap D. bisaltide. Aktivitas makan larva pada tanaman handeuleum juga dapat menjadi acuan untuk
menyeleksi tingkat resistensi setiap aksesi tehhadap D. bisaltide.
5.3 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kerusakan setiap aksesi tanaman handeuleum. Berdasarkan hal tersebut, dilakukan diidentifikasi awal tingkat
resistensi masing-masing aksesi tanaman handeuleum terhadap serangan larva D. bisaltide
, dengan tujuan akhir adalah seleksi aksesi handeuleum berdasarkan aktivitas makan larva D. bisaltide.
5.4 Hipotesis
Terdapat informasi mengenai tingkat kerusakan setiap aksesi tanaman handeuleum serta tingkat resistensi masing-masing aksesi tanaman handeuleum
berdasarkan aktivitas makan larva D. bisaltide. Terdapat minimal satu aksesi hasil seleksi yang putatif tahan berdasarkan aktivitas makan larva D. bisaltide.
66
5.5 Metodologi Penelitian 5.5.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2009. Penelitian dilakukan di rumah kaca kebun percobaan Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik
BALITTRO yang terletak di daerah Cimanggu, Bogor, Jawa Barat.
5.5.2 Rancangan Percobaan
Penelitian aktivitas makan larva D. bisaltide pada 13 aksesi handeuleum disusun menggunakan Rancangan Perlakuan non faktorial Rancangan Kelompok
Lengkap Teracak RKLT dengan 5 ulangan. Masing-masing ulangan terdiri atas 5 tanaman yang diletakkan secara bergilir. Model matematik dari rancangan non
faktorial RKLT sebagai berikut: Y
ijk
= µ + A
i
+ K
j
+ ε
ij
Dimana, Y
ij
: nilai pengamatan pada aksesi handeuleum aksesi ke-i dan kelompok ke j, μ
: Rataan umum A
j
: pengaruh utama aksesi handeuleum ke – i K
j
: pengaruh kelompok ke - j ε
ijk
: galat lingkungan
5.5.3 Persiapan Tanaman Uji
Tiga belas aksesi handeuleum yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil perbanyakan vegetatif menggunakan stek dari tanaman induk yang sebelumnya
telah dikoleksi Khumaida et al. pada tahun 2008. Stek ketigabelas aksesi tanaman handeulem dipotong sepanjang 15 cm, kemudian ditanam pada bak pasir. Stek
tersebut dipelihara hingga muncul daun dan akar. Bibit yang berumur sebulan dipindahkan pada media tanah : pupuk kandang : sekam bakar 1:1:1. Bibit tersebut
kemudian dipelihara pada rumah kasa dengan naungan 55.Pemeliharaan dilakukan dengan penyiraman dua kali sehari dan pemupukan dengan kandungan NPK
berimbang. Pada saat pengujian aktivitas makan larva D. bisaltide, semua aksesi handeuleum yang digunakan masih dalam fase vegetatif.
5.5.4 Persiapan Serangga Uji
67 Serangga uji merupakan hasil perbanyakan di rumah kaca. Telur awal
perbanyakan berasal dari percobaan preferensi peletakan telur periode Juni-Juli 2009. Larva instar I hingga instar II dipelihara dalam kotak pemeliharaan. Larva
instar III dipindahkan dalam kurungan kasa berbentuk silinder dengan ukuran 0.25 m
3
. Kurungan tersebut diletakkan dalam rumah kaca yang sama tempat pengujian aktivitas makan larva D. bisaltide dilaksanakan. Imago D. bisaltide yang keluar pada
hari yang sama kemudian dilepaskan ke dalam rumah kaca yang telah berisi tanaman handeuleum. Hal ini dilakukan untuk mengurangi bias akibat perbedaan umur
serangga uji. Telur yang diletakkan imago kemudian dikumpulkan. Larva instar I yang menetas pada hari yang sama kemudian diinfestasikan pada 13 aksesi
handeuleum yang diujikan. Satu tanaman hanya diinfestasikan satu larva.
5.5.5 Uji Aktivitas Makan Larva D. bisaltide pada 13 Aksesi Tanaman
Handeuleum
Pengujian aktivitas makan larva D. bisaltide dilakukan dengan meletakkan larva instar I pada satu tanaman uji. Larva tersebut diamati setiap hari. Pengamatan
dihentikan bila larva telah menjadi pupa. Agar larva tidak berpindah ke tanaman lainnya, setiap tanaman dikurung menggunakan plastik mika yang bagian atasnya
ditutup dengan kain kassa. Seluruh daun tanaman digambar, baik sebelum dan setelah diberi perlakuan. Tanaman diganti bila daun tanaman hampir habis, agar
larva tidak mengalami fase puasa akibat tidak tersedianya pakan. Pemanenan daun setelah dikonsumsi dilakukan setiap larva berganti instar. Peubah yang diamati
meliputi lama hidup larva dan luas area daun total yang dimakan per larva selama waktu pengamatan.
Luas area daun total dihitung berdasarkan metode gravimetri, dengan prosedur sebagai berikut:
1. Seluruh daun satu tanaman digambar pada kertas milimeter blok merk Kanguru
2. Gambar daun dipotong, kemudian ditimbang
3. Sebagai kontrol, kertas dengan luas 580 cm
2
ditimbang 4.
Berat potongan gambar daun dibandingkan dengan berat kertas, menggunakan persamaan berikut:
68
Luas area daun total yang dikonsumsi dihitung berdasarkan persamaan berikut:
Luas area daun yang dikonsumsi = Luas area daun total sebelum - setelah dikonsumsi
Kemudian dilakukan perhitungan persentase luas konsumsi terhadap luas daun total sebelum dikonsumsi, perhitungan dilakukan menggunakan persamaan:
persentase luas area konsumsi larva x
Keterangan: Luas area daun total konsumsi dan luas area seluruh daun tanaman merupakan luas daun pada masing-masing aksesi
5.5.6 Analisis Data
Analisis data dilakukan menggunakan uji F pada taraf kesalahan 5. Bila hasil uji nyata, maka dilakukan uji lanjut menggunakan metode Tukey. Selain analisis
tersebut, juga dilakukan uji korelasi antara aktivitas makan dengan karakter morfologi dan fitokimia tanaman handeuleum. Besar peranan karakter yang
berkorelasi erat dengan aktivitas makan dianalisis melalui sidik lintas. Berdasarkan luas area konsumsi larva, ditentukan kriteria resistensi setiap aksesi. Kriteria tersebut
dikelompokkan menggunakan boxplot Tabel 5.1. Tabel 5.1. Pengelompokan kriteria resistensi tanaman berdasarkan persentase
kerusakan. Luas kerusakan cm
2
Kriteria kerusakan relatif Kriteria resistensi relatif
x = 0 Tidak ada kerusakan
Imun 0 x
≤ 40.69 Kerusakan ringan
Sangat resisten 40.69 x
≤ 337.735 Kerusakan sedang
Resisten 337.735 x
≤ 535.765 Kerusakan agak berat
Moderat 535.765 x
≤ 832.81 Kerusakan berat
Pekarentan 832.81 x
Kerusakan sangat berat Sangat pekarentan
69
5.6 Hasil dan Pembahasan
5.6.1 Aktivitas Makan Larva D. bisaltide
Berdasarkan observasi, setiap stadia instar larva D. bisaltide memiliki preferensi makan yang berbeda. Larva yang baru menetas dari telurnya umumnya
memilih mengkonsumsi bagian pucuk hingga beberapa pasang daun di bawahnya. Semakin lanjut stadia instar, preferensi makan cenderung ke daun yang lebih tua.
Instar IV dan instar V awal merupakan instar yang paling banyak memakan daun tanaman handeuleum Tabel 5.2. Hal ini mengindikasikan larva pada kedua instar
ini merupakan stadia yang paling membahayakan tanaman handeuleum di lapang. Aktivitas makan larva serangga D. bisaltide cukup tinggi pada 13 aksesi yang
diujikan. Untuk menyelesaikan fase larva, D. bisaltide dapat menghabiskan 270 cm
2
hingga 745 cm
2
luas daun bergantung pada aksesi. Hasil yang diperoleh ini lebih besar dibandingkan hasil penelitian Rojak dan Rochimat 2007 dengan media
cawan petri. Diduga pengujian dengan langsung menginfestasikan larva ke tanaman dapat meminimalisasi stress larva, karena larva lebih leluasa memilih bagian
tanaman yang paling sesuai. Penggunaan metode ini juga meminimalisasi bias data akibat larva mengalami fase puasa karena kekurangan pakan.
Hasil penelitian Kristina dan mardiningsih 2008 menunjukkan bahwa selama fase larva, luas area makan D. polibete adalah 470.36 cm
2
pada jenis handeuleum berdaun ungu dan 392.43 cm
2
pada handeuleum berdaun hijau bercak putih. Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil yang diperoleh pada penelitian ini yang
menunjukkan bahwa luas area konsumsi larva D. bisaltide pada 12 aksesi yang memiliki daun berwarna ungu berkisar antara 300.28 cm
2
hingga 745.86 cm
2
bergantung pada aksesi. Untuk aksesi 12, dengan morfologi daun hijau bercak putih, luas area konsumsi adalah 369.37 cm
2
. Aktivitas makan larva D. bisaltide tidak hanya sebatas pada daun tanaman,
tetapi juga merambah tulang daun, selama tulang daun tersebut masih mampu dimakan. Pada pengamatan lain ditemukan indikasi bahwa larva serangga ini juga
mengkonsumsi bagian bunga. Karenanya, pada tanaman handeuleum stadia bibit. Kerusakan yang dihasilkan dapat menyebabkan penurunan laju pertumbuhan yang
sangat besar.
70 Tabel 5.2 Luas area konsumsi setiap fase instar D. bisaltide pada 13 aksesi tanaman handeuleum
Aksesi Luas area daun awal Luas area konsumsi larva cm
2
Total konsumsi cm
2
Instar I Instar II
Instar III Instar IV
Instar V 1 1677.76
±567.85 13.99 ±10.50
32.14 ±28.06 68.50 ±26.67
100.54 ±87.95 199.47 ±133.95
414.64 ab 2 1868.87
±234.44 42.01 ±13.03
96.60 ±57.63 162.87 ±117.95 203.05 ±109.48
241.32 ±77.09 745.86 a
3 2156.52 ±474.58
28.34 ±16.38 52.56 ±20.82
82.19 ±25.14 71.65 ±43.36
293.57 ±120.64 528.30 ab
4 1963.35 ±903.33
14.39 ±12.20 32.32 ±17.64
81.90 ±61.28 123.23 ±112.59
172.09 ±158.57 423.93 ab
5 2193.24 ±157.45
38.55 ±23.86 66.67 ±27.04 117.76 ±56.09 115.66 ±43.06
231.69 ±64.18 570.33 ab
6 1754.15 ±639.03
17.49 ±8.70 80.14 ±56.01
90.26 ±72.43 69.59 ±37.56
249.40 ±184.86 506.89 ab
7 1310.25 ±393.02
11.21 ±5.33 28.47 ±14.20
92.50 ±56.66 77.01 ±36.37
91.09 ±55.07 300.28 b
8 1459.35 ±194.67
30.08 ±15.60 46.53 ±28.93
33.72 ±13.30 65.74 ±41.37
130.03 ±83.45 306.10 ab
9 1752.10 ±380.70
30.87 ±6.50 52.42 ±15.06
94.58 ±22.97 124.92 ±29.63
240.43 ±52.71 543.23 ab
10 1613.21 ±415.66
26.16 ±10.49 38.83 ±24.83
97.47 ±36.83 80.24 ±36.06
200.16 ±78.28 442.86 ab
11 1527.68 ±395.52
26.86 ±8.01 42.74 ±28.53
83.18 ±35.07 79.37 ±37.89
222.71 ±103.34 454.86 ab
12 1234.76 ±159.31 16.76 ±6.12 38.82 ±26.07
71.72 ±29.65 41.02 ±14.01 201.05 ±41.85
369.37 ab
13 1312.22 ±431.53 8.66 ±3.85
36.61 ±6.62 29.98 ±14.68
73.15 ±9.85 122.40 ±23.11 270.80
b Keterangan: Data merupakan rataan ±S
71 Preferensi makan larva D. bisaltide pada 13 aksesi handeuleum berbeda
n=65, p=0.036. Nilai koefisien keragaman sebesar 44.60, sedangkan ulangan tidak berpengaruh nyata n=5, p=0.603. Aksesi 7 dan 13 menempati urutan
terbawah dalam luas area daun total yang dikonsumsi dan berbeda dengan aksesi lainnya. Aksesi 2 menempati urutan teratas dan berbeda, diikuti aksesi 5 dan 9.
Berdasarkan kategori resistensi, aksesi 7, 8, 12, dan 13 termasuk aksesi putatif resisten. Aksesi 2, 5, dan 9 termasuk aksesi putatif rentan Tabel 5.3. Aksesi lainnya
tergolong ke dalam aksesi putatif moderat resisten. Namun demikian, diperlukan pengkajian lebih lanjut mengenai pengaruh ketiga aksesi tersebut terhadap
metabolisme larva D. bisaltide sebagai validasi tingkat resistensi ketiganya berdasarkan aktivitas makan larva.
Tabel 5.3 Luas area makan, kriteria kerusakan relatif, dan kategori tingkat resistensi 13 aksesi handeuleum terhadap larva D.bisaltide
Aksesi luas area makan
cm
2
Kriteria kerusakan relatif Kriteria resistensi relatif
1 414.64 ab
Agak berat Moderat
2 745.86 a
Berat Rentan
3 528.30 ab
Agak berat Moderat
4 423.93 ab
Agak berat Moderat
5 570.33 ab
Berat Rentan
6 506.89 ab
Agak berat Moderat
7 300.28 b
Sedang Resisten
8 306.10 ab
Sedang Resisten
9 543.23 ab
Berat Rentan
10 442.86 ab
Agak berat Moderat
11 454.86 ab
Agak berat Moderat
12 369.37 ab
Sedang Resisten
13 270.80 b
Sedang Resisten
Keterangan: Huruf yang sama pada kolom yang sama menandakan tidak berbeda nyata berdasarkan uji Tukey pada
α=5.
Stadia larva merupakan fase mengumpulkan cadangan makanan. Cadangan makanan tersebut kemudian digunakan selama masa puasa di dalam pupa. Larva
baru membentuk pupa bila cadangan makanan dalam tubuhnya telah terpenuhi Bernays 2001; Bjornson dan Schutte 2003. Berdasarkan teori tersebut, maka
perhitungan lama stadia larva dapat dijadikan parameter untuk menentukan tingkat resistensi aksesi handeuleum yang diuji.
72 Selama pengamatan berlangsung, semua larva pada tiga belas aksesi
handeuleum berganti kulit sebanyak lima kali dan berhasil menjadi pupa. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman handeuleum merupakan inang yang dapat mendukung
pertumbuhan dan perkembangan larva D. bisaltide. Lama stadia larva D. bisaltide yang dihitung mulai saat larva menetas dari telurnya hingga membentuk pupa
berkisar antara 14 hingga 16 hari dengan lama setiap stadia instar bervariasi Gambar 5.1. Kisaran lama fase larva D. bisaltide pada penelitian ini tidak jauh
berbeda dengan hasil penelitian Mardiningsih et al. 2009 yakni 16.3 hari. Larva D. bisaltide
yang memakan daun aksesi 3, 9, dan 12 mengalami stadia larva paling lama, yakni 16 hari, sedangkan masa stadia larva paling singkat terjadi pada larva D.
bisaltide yang memakan daun handeuleum aksesi 4, 9, dan 12.
Gambar 5.1 Lama hidup setiap stadia instar larva D.bisaltide Pada masa awal perkembangannya, lama waktu yang dibutuhkan masing-
masing larva pada 13 aksesi handeuleum yang diujikan sama, yakni 2 hari. Begitu pula dengan pergantian instar 2 ke instar 3. Perbedaan mulai terjadi pada lamanya
instar 3, 4, dan 5 Gambar 5.1. Perbedaan ini menandakan bahwa pengaruh setiap aksesi tidak cukup besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan larva D.
bisaltide.
73
5.6.2 Analisis hubungan pengaruh langsung dan tidak langsung karakteristik handeuleum dengan aktivitas makan
D. bisaltide
Penentuan besarnya pengaruh beberapa karakter terhadap karakter target, dalam hal ini adalah aktivitas makan larva dilakukan melalui analisis sidik lintas.
Komponen karakter yang dapat dianalisis menggunakan sidik lintas adalah karakter- karakter yang berkorelasi nyata terhadap karakter target dan karakter yang
berkorelasi nyata dengan karakter yang memiliki hubungan erat dengan karakter target. Berdasarkan analisis korelasi, luas area konsumsi tidak berkorelasi nyata pada
semua parameter, kecuali kandungan serat dan alkaloid handeuleum Tabel 5.4. Tabel 5.4 Korelasi luas area konsumsi D. bisaltide dengan kandungan fitokimia
daun 13 aksesi tanaman handeuleum Fitokimia tanaman handeuleum
Nilai korelasi
Antosianin -0.36
Klorofil 0.4
Karotenoid 0.18
C organik 0.44
Nitrogen 0.13
CN rasio 0.09
Kalsium -0.36
Serat -0.72
Alkaloid -0.69
Saponin -0.09
Flavonoid -0.52
Triterpenoid 0.03
Steroid 0.07
Luas area daun 0.43
Trikoma -0.25
Keterangan : Korelasi menggunakan metode Pearson. nyata pada taraf 5, sangat nyata pada taraf 1.
Karakter serat dan alkaloid berkorelasi secara negatif dengan aktivitas makan larva. Hasil yang didapat pada penelitian ini serupa dengan penelitian Adler et al.
2001 yang menunjukkan adanya korelasi negatif antara tingkat serangan herbivora pada tanaman lupin Lupinus texensis dengan peningkatan konsentrasi alkaloid pada
bunga tanaman tersebut. Roy 2000 yang menyebutkan bahwa bila suatu korelasi mendekati -1 atau 1, maka kedua karakter yang berkorelasi tersebut memiliki
hubungan yang erat. Nilai korelasi tertinggi terdapat pada serat dan aktivitas makan, yakni -0.72.
74 Penentuan karakter-karakter yang dapat dijadikan sebagai kriteria seleksi tak
langsung yang efektif dapat dilihat dari keeratan hubungan suatu karakter terhadap karakter target seleksi. Berdasarkan hasil analisis korelasi, karakter alkaloid dan
serat merupakan karakter yang berhubungan erat dengan aktivitas makan. Karakter kandungan C organik merupakan karakter yang berkorelasi dengan kandungan
alkaloid Lampiran 4. Ketiga karakter inilah yang kemudian digunakan dalam analisis sidik lintas guna mengetahui seberapa besar kontribusi masing-masing
karakter terhadap aktivitas makan larva D. bisaltide. Hasil analisis sidik lintas ditampilkan pada Tabel 5.5 dan Gambar 5.2.
Tabel 5.5 Pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung peubah terhadap aktivitas makan larva D. bisaltide
Peubah bebas
Pengaruh langsung c
Pengaruh Tidak Langsung melalui peubah Pengaruh
Total Serat
alkaloid C organik
Serat -0.606
-0.115 -0.000
-0.722 Alkaloid
-0.323 -0.218
-0.146 -0.687
C organik 0.258
0.001 0.183
0.441 Total C
-0.671 Residu
1.671
Gambar 5.2 Diagram lintas fenotipik antar 3 karakter dengan aktivitas makan larva D. bisaltide
Keterangan: Cmx
i
= pengaruh langsung peubah ke-i terhadap peubah target M; rx
i
x
y
= koefisien korelasi antara peubah x
i
dan x
y
75
Analisis lintas menunjukkan bahwa kandungan alkaloid dan serat berpengaruh langsung secara negatif terhadap aktivitas makan, sedangkan kandungan C organik
pada tanaman berpengaruh positif terhadap aktivitas makan larva D. bisaltide. Alkaloid diketahui merupakan komponen penting sistem pertahanan tanaman
terhadap herbivora, selain sebagai pelindung tanaman dari suhu tinggi dan sinar ultra violet. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa senyawa ini bersifat toksik dan
menghambat pertumbuhan dan perkembangan larva Anizewski 2007. Pada banyak penelitian dilaporkan bahwa alkaloid merupakan metabolit
sekunder yang berfungsi sebagai sistem pertahanan tanaman terhadap herbivora. Tanaman yang mengandung alkaloid dengan konsentrasi tinggi cenderung lebih
resisten terhadap herbivora dibandingkan spesies yang sama dengan kandungan alkaloid rendah Vilarino dan Ravetta 2008, sehingga disimpulkan bahwa alkaloid
merupakan feeding deterrent bagi larva D. bisaltide. Pengaruh langsung dan nilai korelasi C organik bernilai positif terhadap
aktivitas makan larva, yang berarti aktivitas makan larva akan tinggi pada tanaman yang memiliki kandungan C organik tinggi. Hal ini bertolak belakang dengan hasil
penelitian Agrawal 2004 serta Wiesenborn dan Pratt 2008 bahwa aktivitas makan serangga berkorelasi negatif dengan konsentrasi C organik dalam tubuh tanaman dan
berkorelasi positif dengan kandungan nitrogen tanaman. Kandungan C organik identik dengan karbohidrat. Menurut Bauerfeind dan Fischer 2005 pada umumnya
serangga lepidoptera mengakumulasi karbohidrat selama fase larva untuk aktivitas reproduksinya. Sebelumnya Tate dan Wimer 2002 menjelaskan bahwa karbohidrat
tersebut akan disimpan dalam bentuk glikogen, trehalose, glukosa, dan maltosa. Pada saat serangga memasuki fase pupa, cadangan karbohidrat akan dirombak untuk
menghasilkan energi. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka korelasi yang positif antara C organik dengan tingginya aktivitas makan larva D. bisaltide dapat
dijelaskan. Singh dan Chaudhary 1979 mengemukakan tiga penafsiran data hasil sidik
lintas, yaitu 1 Jika korelasi antara karakter penyebab dan karakter target memiliki nilai yang hampir sama dengan nilai pengaruh langsungnya, maka korelasi tersebut
dapat menggambarkan hubungan sebenarnya. Seleksi berdasarkan karakter tersebut
76 akan efektif. 2 Jika korelasi bernilai positif, namun pengaruh langsung bernilai
negatif atau tak bernilai, maka pengaruh tidak langsung merupakan penyebab adanya korelasi tersebut. Pengaruh tak langsung ini harus diperhatikan lebih lanjut. 3 Jika
korelasi bernilai negatif dan kecil sedangkan pengaruh langsung bernilai positif dan besar, maka pemilihan model hendaknya dibatasi untuk menghilangkan pengaruh
tidak langsung, sehingga nilai pengaruh langsung akan lebih berguna. Mengacu pada penafsiran Singh dan Chaudhary 1979, maka nilai pengaruh
langsung untuk karakter serat Cx
2
= -0.606 yang hampir sama besar dengan nilai korelasinya rx
2
= -7.22 menunjukkan bahwa serat tanaman menentukan preferensi aktivitas makan D. bisaltide. Karakter ini dapat dijadikan kriteria seleksi untuk
mendapatkan aksesi handeuleum yang resisten berdasarkan aktivitas makan larva D. bisaltide
. Aksesi 7 dan 12 merupakan aksesi dengan kandungan serat paling tinggi dari 13 aksesi yang diuji. Kedua aksesi ini diduga resisten terhadap larva D.
bisaltide . Hal ini selaras dengan hasil kriteria resistensi berdasarkan boxplot.
Apabila dilihat dari respon tanaman terhadap serangan larva D. bisaltide, terdapat kecenderungan bahwa setelah terserang larva D. bisaltide, tanaman
handeuleum meningkatkan penyerapan kalsium, untuk kemudian diakumulasi dalam jaringan tanaman. Diduga, kalsium tersebut digunakan tanaman untuk memproduksi
senyawa kalsium oksalat CaOx. Franceshi dan Nakata 2005 menyatakan bahwa pada beberapa spesies tanaman, pembentukan CaOx dapat diinduksi oleh aktivitas
makan herbivora. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Molano-Flores 2001 pada Sida rhombifolia
yang menunjukkan aktivitas makan herbivora pada tanaman akan meningkatkan pembentukan kristal kalsium.
Meningkatnya kandungan CaOx dalam jaringan tanaman menyebabkan pencernaan D. bisaltide tidak mampu mencerna jaringan tersebut. Dugaan tersebut
diperkuat oleh hasil pengamatan yang menunjukkan adanya daun yang tidak tergigit sempurna pada aksesi 8 dan 13 setelah larva memasuki instar lanjut. Hal ini pula
yang dapat menjelaskan mengapa aktivitas makan larva D. bisaltide pada aksesi 8 dan 13 lebih rendah daripada aksesi lainnya. Perbandingan pola gigitan larva pada
aksesi 8, aksesi 13, dan daun yang tergigit sempurna ditampilkan pada Gambar 5.3.
77
a b c
Gambar 5.3 Daun handeuleum yang terserang larva D. bisaltide. Daun tidak termakan sempurna. a aksesi 8 b aksesi 13 c daun yang tergigit
sempurna.
5.7 Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan yang sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Berdasarkan kategori resistensi, aksesi 7, 8, 12, dan 13 termasuk aksesi
putatif resisten, sedangkan aksesi 2, 5, dan 9 merupakan aksesi putatif rentan. 2.
Enam aksesi handeuleum yang diujikan memiliki tingkat resistensi moderat terhadap serangan larva D. bisaltide.
3. Kandungan alkaloid, serat, dan C organik berpengaruh langsung terhadap
aktivitas makan larva D. bisaltide. 4.
Kandungan serat dapat dijadikan kriteria seleksi tak langsung untuk sifat resistensi tanaman handeuleum berdasarkan aktivitas makan larva D.
bisaltide.
BAB VI PEMBAHASAN UMUM
Sistem pertahanan tumbuhan terhadap herbivora terdiri atas tiga mekanisme, yakni antixenosis, antibiosis, dan toleran Van Emden 2002. Antixenosis
merupakan mekanisme resistensi yang mencegah herbivora datang mendekati tanaman, atau lebih dikenal sebagai nonpreferensi. Pertahanan ini dapat berupa
morfologi tanaman maupun status nutrisi dan kandungan metabolit sekunder yang tidak sesuai atau dianggap berbahaya oleh herbivora tertentu Panda dan Kush
1995. Smith 1989 menyatakan bahwa metabolit sekunder tersebut dapat berupa senyawa repellen maupun deterren. Antibiosis diartikan sebagai mekanisme
resistensi tanaman yang dapat mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, serta perbanyakan serangga yang telah mengkolonisasi suatu tanaman Van Emden 2002.
Toleran diartikan sebagai mekanisme tanaman untuk mempertahankan fitness dan produktivitas pada tingkat serangan tertentu Vilarino dan Ravetta 2007.
Mekanisme resistensi antixenosis suatu tanaman dapat diketahui dengan mengamati berapa banyak serangga yang mendekati tanaman dari sejumlah populasi
tanaman dan serangga yang ada di lingkungan tersebut Coleson dan Miller 2005; Sujana et al. 2008. Pada penelitian ini, pengujian mekanisme antixenosis diamati
berdasarkan preferensi peletakan telur oleh imago D. bisaltide pada 13 aksesi tanaman handeuleum yang dilakukan dengan metode multiple choice dan
berdasarkan preferensi makan larva melalui percobaan aktivitas makan larva melalui metode nonchoice. Mekanisme antibiosis diamati melalui pengujian aktivitas makan
larva D. bisaltide untuk melihat pengaruhnya terhadap kemampuan larva untuk memasuki fase pupa. Kedua metode tersebut diadaptasi dari Smith 1989. Pada
penelitian ini, pengujian mekanisme toleran tidak diamati, karena dalam pengembangan tanaman handeuleum dikehendaki pengurangan hasil panen
mendekati nol. Pada pengujian mekanisme antixenosis berdasarkan aktivitas peletakan telur,
jumlah telur yang diletakkan pada aksesi 12 paling sedikit dibandingkan aksesi lainnya. Persentase jumlah telur yang diletakkan pada aksesi ini kurang dari 10.
Berdasarkan hal tersebut, diduga aksesi 12 memiliki mekanisme resistensi secara