Preselection of Caricature Plant [Graptophyllum pictum (L) Griff] Resistance Trait to Doleschallia bisaltide Cramer

(1)

PRASELEKSI SIFAT RESISTENSI TANAMAN

HANDEULEUM [Graptophyllum pictum (L.) Griff.] TERHADAP

Doleschallia bisaltide Cramer. (LEPIDOPTERA:

NYMPHALIDAE)

PENI LESTARI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Praseleksi Sifat Resistensi Tanaman Handeuleum [Graptophyllum pictum (L.) Griff.] terhadap Doleschallia bisaltide Cramer (Lepidoptera: Nymphalidae) adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk karya apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2010

PENI LESTARI NRP A253080201


(3)

ABSTRACT

PENI LESTARI. Preselection of Caricature Plant [Graptophyllum pictum (L.) Griff.] Resistance Trait to Doleschallia bisaltide Cramer (Lepidoptera: Nymphalidae). Supervised by NURUL KHUMAIDA, DEWI SARTIAMI, and GUSTAAF ADOLF WATTIMENA.

Caricature plant is one of the medicinal plants developed in Indonesia. The leaves of this plant can be used for treating hemorrhoids, cleaning blood especially after uttering and menstruation, rheumatism, and preventing teeth plaque. The biggest problem in caricature plant development is Doleschallia bisaltide (Lepidoptera: Nymphalidae) attack. Resistance variety is one of the ways to solve this problem. Generally, plants have resistance mechanism to prevent herbivore attack. Therefore, it is needed to study caricature plant-D. bisaltide interaction to find varietal control for this insect. The objective of this research is to do early selection on 13 accessions of caricature plant for resistance to D. bisaltide. Moreover, we also interest to identify resistance level of 13 caricature plant accessions to D.bisaltide. This research was divided into three studies, including a) morphology and phytochemical identification on thirteen accessions of caricature plant; b) oviposition preference of adult D. bisaltide on thirteen accessions of caricature plant; and c) D. bisaltide larvae consumption activity preference of on thirteen accessions of caricature plant. All studies were done at Indonesian for Medicinal and Aromatic Crops Research Institute (BALITTRO) from May 2009 until February 2010. Thirteen accessions of caricature plant were come from exploration result of Khumaida et.al in year 2008. Based on qualitative analysis, there were changes in each kind of secondary metabolites after D.bisaltide larvae feeding, there were no change in tannin and alkaloid contains, but there decreases in flavonoid, glycoside, and steroid. It was found increasing of triterpenoid and saponin contain after attack caricature plant leaves. Moreover, there was an increased in calcium and C/N ratio on almost caricature plant accessions. Caricature plant colors tend to influenced adult oviposition preference. Based on all observation, it can be concluded that accession 12 was resistant to D. bisaltide attack with antixenosis mechanism. Accession 1, 2, 5, and 9 were susceptible to D. bisaltide. Chlorophyll might be used as selection character. By this research, we haven’t identified about antibiosis mechanism yet.


(4)

RINGKASAN PENELITIAN

PENI LESTARI. Praseleksi Sifat Resistensi Tanaman Handeuleum [Graptophyllum pictum (L.) Griff.] Terhadap Doleschallia bisaltide Cramer (Lepidoptera: Nymphalidae). Di bimbing oleh NURUL KHUMAIDA, DEWI SARTIAMI, dan GUSTAAF ADOLF WATTIMENA.

Tanaman handeuleum merupakan salah satu tanaman obat yang dikembangkan di Indonesia. Daun tanaman ini dapat digunakan untuk mengobati wasir, memperlancar pembuangan urin, membersihkan darah, rematik, dan mencegah pembentukan plak pada gigi. Masalah utama dalam pengembangan tanaman ini adalah serangan larva Doleschallia bisaltide (Lepidoptera :Nymphalidae). Varietas resisten merupakan salah satu pertahanan garis depan dalam menangkal serangan hama. Secara umum, tanaman, termasuk handeuleum, memiliki mekanisme resistensi untuk mencegah serangan herbivora. Karena itu, diperlukan kajian mengenai interaksi handeuleum-D.bisaltide untuk menentukan aplikasi pengendalian hama secara biologi terhadap serangga ini. Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan seleksi awal sifat resistensi pada 13 aksesi tanaman handeuleum terhadap serangan D. bisaltide. Lebih lanjut, kami juga tertarik untuk melakukan identifikasi awal mengenai tingkat dan mekanisme resistensi 13 aksesi handeuleum terhadap D. bisaltide.

Penelitian ini terbagi atas tiga subpenelitian, yakni a) identifikasi karakter morfologi dan kandungan fitokimia 13 aksesi handeuleum; b) studi preferensi peletakan telur oleh imago betina D. bisaltide pada 13 aksesi handeuleum; dan c) studi aktivitas makan larva D. bisaltide pada 13 aksesi handeuleum. Semua subpenelitian dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (BALITTRO) sejak Mei 2008 hingga Februari 2010. Tiga belas aksesi tanaman handeuleum merupakan hasil eksplorasi Khumaida et al. pada tahun 2008.

Berdasarkan hasil analisis kualitatif, terdapat perbedaan kombinasi konsentrasi masing-masing jenis metabolit sekunder setelah terserang larva D.bisaltide, diantaranya tidak terdapat perubahan konsentrasi pada tanin dan alkaloid, penurunan pada flavonoid, glikosida, dan steroid. Pada penelitian ini juga terdapat indikasi adanya peningkatan konsentrasi triterpenoid dan saponin setelah tanaman terserang larva. Lebih lanjut, ditemukan adanya peningkatan penyerapan kalsium dan C/N rasio pada daun hampir semua aksesi handeuleum yang diujikan. Warna daun tanaman handeuleum diduga berpengaruh terhadap preferensi peletakan telur imago D. bisaltide.

Pengujian antixenosis berdasarkan preferensi aktivitas peletakan telur menunjukkan bahwa aksesi 12 memiliki mekanisme resistensi secara antixenosis untuk mengurangi aktivitas peletakan telur oleh imago D. bisaltide, sedangkan aksesi 1, 5, dan 9 merupakan aksesi putatif rentan. Pengujian antixenosis berdasarkan preferensi aktivitas makan larva mengindikasikan bahwa aksesi 7, 8, 12, dan 13 merupakan aksesi putatif resisten. Aksesi 2, 5, dan 9 merupakan aksesi putatif rentan. Enam aksesi lainnya termasuk dalam kategori moderat berdasarkan preferensi makan larva. Hasil pengujian antibiosis menunjukkan bahwa semua larva yang diletakkan pada 13 aksesi handeuleum dapat menyelesaikan fase larva dan berhasil menjadi pupa normal dalam rentang waktu yang normal. Dengan demikian, tidak terdapat cukup data untuk menyatakan bahwa 13 aksesi


(5)

handeuleum memiliki mekanisme antibiosis. Berdasarkan percobaan aktivitas peletakan telur dan aktivitas makan, dapat disimpulkan bahwa aksesi 12 merupakan aksesi resisten terhadap D. bisaltide dengan mekanisme antixenosis. Aksesi 1, 2, 5, dan 9 merupakan aksesi rentan.

Klorofil dapat dijadikan kandidat karakter seleksi untuk sifat resistensi tanaman handeuleum terhadap D. bisaltide. Analisis korelasi menunjukkan bahwa klorofil tidak berkorelasi dengan flavonoid, namun senyawa ini berkorelasi erat dengan salah satu senyawa golongan flavonoid, yakni antosianin. Karenanya, untuk mencegah kehilangan aksesi-aksesi dengan kandungan flavonoid tinggi akibat seleksi pada karakter klorofil, maka tipe seleksi yang disarankan adalah seleksi indeks atau seleksi independent cooling. Seleksi dapat dilakukan pada generasi lanjut.


(6)

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan sebagian pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apapun tanpa seijin IPB.


(7)

PRASELEKSI SIFAT RESISTENSI TANAMAN

HANDEULEUM [Graptophyllum pictum (L.) Griff.] TERHADAP

Doleschallia bisaltide (LEPIDOPTERA: NYMPHALIDAE)

PENI LESTARI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains Pada Mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

Departemen Agronomi dan Hortikultura

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(8)

Dosen Penguji dari Luar Komisi Pembimbing: Ir. Djoko Prijono, M.Agr.Sc.


(9)

Judul Tesis : Praseleksi Sifat Resistensi Tanaman Handeuleum [Graptophyllum pictum (L.) Griff.] terhadap Doleschallia bisaltide Cramer.

(Lepidoptera: Nymphalidae) Nama : Peni Lestari

NRP : A253080201

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Nurul Khumaida, M.Si. Ketua

Dra. Dewi Sartiami, M.Si. Prof. Dr. Ir. Gustaaf Adolf Wattimena, M.Sc.

Anggota Anggota

Diketahui

Koordintor Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.


(10)

Kupersembahkan karya ini untuk para motivator yang selalu menemaniku melangkah, manjalani hidup

Bagi orang lain mungkin kalian bukan siapa Namun untukku kalian berarti matahari


(11)

PRAKATA

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya, sehingga penyusunan tesis ini berhasil diselesaikan. Tesis ini berjudul Praseleksi Sifat Resistensi Tanaman Handeuleum [Graptophyllum pictum (L.) Griff.] terhadap Doleschallia bisaltide Cramer. (Lepidoptera: Nymphalidae).

Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Nurul Khumaida, M.Si, Dra. Dewi Sartiami, M.Si, dan Prof. Dr. Ir. Gustaaf Adolf Wattimena, M.Sc. atas bantuan serta bimbingannya selama penelitian dan penyusunan tesis. Kepada program KKP3T atas fasilitas yang diberikan selama penelitian berlangsung. Kepada bapak Cucu Sukmana, ibu Tri Lestari Mardiningsih dan staf kebun BALITTRO, penulis sangat menghargai bantuannya selama pelaksanaan penelitian. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Bruce Ochieng Obura dan Wage Ratna Rohaeni yang selalu memberi inspirasi dan motivasi terus menerus, Sumiyati, Tri Handayani, dan rekan-rekan di Pondok Rizki untuk bantuan dan semangat yang tak kunjung berhenti diberikan. Kepada Umarul Anshori Bin Asyar sebagai kakak dan teman yang baik, juga kepada teman-teman di Mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman 2008 atas kerjasamanya selama ini. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, adik, kakak beserta seluruh keluarga atas restu, doa, dan kasih sayang yang terus mengalir.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk banyak pihak.

Bogor, Agustus 2010 Peni Lestari


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta Selatan tanggal 26 November 1985 dari ayah Sunarmanto dan ibu Aida Purpriyani. Penulis merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara. Penulis banyak menghabiskan masa kecil dan remaja di daerah Depok, Jawa Barat dan DKI Jakarta. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Hortikultura, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk (USMI) IPB, dan lulus tahun 2008. Selama menempuh jenjang S1, sebagian biaya pendidikan penulis berasal dari Goodwill International Foundation dan Beasiswa BPPOM IPB. Pada tahun yang sama, penulis sempat bekerja sebagai Breeder Assistant di PT. EASTWEST SEED INDONESIA selama 3 bulan sebelum melanjutkan studi ke jenjang pascasarjana.

Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman sejak tahun 2008. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Program Beasiswa Unggulan Badan Kerjasama Luar Negeri, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. Biaya penelitian diperoleh dari program hibah penelitian KKP3T, Badan Litbang Pertanian Tahun 2008-2009. Sebagian dari tesis telah dipresentasikan dalam Simposium dan Kongres Nasional VI Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia (PERIPI) yang dilaksanakan pada November 2009 dengan judul Adaptasi Tanaman Handeuleum [Graptophyllum pictum (L.) Griff.] Terhadap Doleschallia bisaltide Cramer. (Lepidoptera: Nymphalidae): Karakteristik Daun dan Pengaruhnya terhadap Aktivitas Peletakan Telur.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 3

1.3 Hipotesis ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 3

1.5 Kerangka Pemikiran ... 3

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Handeuleum ... 6

2.2 Khasiat Handeuleum Sebagai Tanaman Obat ... 8

2.3 Karakteristik Doleschallia bisaltide ... 9

2.4 Interaksi Tanaman dengan Serangga ... 12

2.5 Mekanisme Resistensi Tanaman Terhadap Hama ... 14

2.5.1 Resistensi Langsung ... 15

2.5.2 Resistensi Tidak Langsung ... 16

2.6 Metabolit sekunder Tanaman yang Berhubungan dengan Resistensi 16

III IDENTIFIKASI KARAKTER MORFOLOGI DAN KANDUNGAN FITOKIMIA TIGA BELAS AKSESI HANDEULEUM 3.1 Abstrak ... 19

3.2 Pendahuluan ... 20

3.3 Tujuan ... 21

3.4 Hipotesis ... 22

3.5 Metodologi Penelitian ... 22

3.5.1 Waktu dan Tempat ... 22

3.5.2 Persiapan tanaman Uji ... 22

3.5.3 Persiapan serangga Uji ... 23

3.5.4 Pengamatan Karakter Morfologi Daun ... 23

3.5.5 Analisa Kandungan Fitokimia Daun Sebelum dan Setelah Terserang Larva D. bisaltide ... 24

3.5.6 Analisa Data ... 25

3.6 Hasil dan Pembahasan ... 26

3.6.1 Karakter Morfologi ... 26


(14)

xi

Halaman

3.6.3 Korelasi antar karakter morfologi dan fitokimia tanaman ... 41

3.7 Kesimpulan ... 44

IV STUDI PREFERENSI PELETAKAN TELUR OLEH IMAGO BETINA D. bisaltide PADA TIGA BELAS AKSESI HANDEULEUM 4.1 Abstrak ... 45

4.2 Pendahuluan ... 46

4.3 Tujuan ... 47

4.4 Hipotesis ... 48

4.5 Metodologi Penelitian ... 48

4.5.1 Waktu dan tempat ... 48

4.5.2 Rancangan percobaan ... 48

4.5.3 Persiapan tanaman uji ... 49

4.5.4 Persiapan serangga uji ... 49

4.5.5 Uji preferensi peletakan telur imago D. bisaltide ... 50

4.5.6 Analisis data ... 50

4.6 Hasil dan Pembahasan ... 51

4.6.1 Aktivitas peletakan telur D. bisaltide ... 51

4.6.2 Analisis hubungan pengaruh langsung dan tidak langsung karakteristik handeuleum dengan aktivitas peletakan telur D. bisaltide ... 57

4.7 Kesimpulan ... 62

V STUDI AKTIVITAS MAKAN LARVA D. bisaltide PADA TIGA BELAS AKSESI HANDEULEUM 5.1 Abstrak ... 63

5.2 Pendahuluan ... 64

5.3 Tujuan ... 65

5.4 Hipotesis ... 65

5.5 Metodologi Penelitian ... 66

5.5.1 Waktu dan Tempat ... 66

5.5.2 Rancangan Percobaan ... 66

5.5.3 Persiapan Tanaman Uji ... 66

5.5.4 Persiapan Serangga Uji ... 67

5.5.5 Uji Aktivitas Makan Larva D. bisaltide pada 13 Aksesi Tanaman Handeuleum ... 67

5.5.6 Analisa Data ... 68

5.6 Hasil dan Pembahasan ... 69

5.6.1 Aktivitas Makan Larva D. bisaltide ... 69

5.6.2 Analisis hubungan pengaruh langsung dan tidak langsung karakteristik handeuleum dengan aktivitas makan D. bisaltide ... 73


(15)

xii

Halaman

VI PEMBAHASAN UMUM ... 78

VII KESIMPULAN 7.1 Kesimpulan ... 84

7.2 Saran ... 84

VIII DAFTAR PUSTAKA ... 86


(16)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman 3.1 Asal dan deskripsi 13 aksesi handeuleum yang diuji ... 23 3.2 Analisis sidik ragam ... 25 3.3 Luas area daun total dan kerapatan trikoma 13 aksesi handeuleum . 28 3.4 Kriteria heritabilitas ... 28 3.5 Rekapitulasi sidik ragam, ragam genetik, ragam fenotipe, ragam

galat, serta nilai heritabilitas karakter luas area daun total dan

kerapatan trikoma tanaman handeuleum 29

3.6 Kandungan metabolit sekunder daun tanaman handeuleum

sebelum dan setelah terserang larva D. bisaltide ... 30 3.7 Persentase perubahan kandungan metabolit sekunder pada daun

13 aksesi handeuleum ... 34 3.8 Perbandingan kandungan pigmen 13 aksesi handeuleum sebelum dan

setelah terserang larva D. bisaltide ... 35 3.9 Persentase pertambahan konsentrasi fitokimia 13 aksesi

handeuleum ... 40 3.10 Korelasi antar karakter morfologi dan fitokimia pada tanaman

handeuleum ... 42 4.1 Jumlah telur yang diletakkan D. bisaltide pada 13 aksesi handeuleum

dalam tiga periode pengujian ... 52 4.2 Persentase jumlah telur yang diletakkan D. bisaltide pada 13

aksesi handeuleum dalam tiga periode pengujian ... 53 4.3 Persentase pigmen antosianin, klorofil, dan karotenoid pada 13 aksesi

tanaman handeuleum ... 55 4.4 Korelasi antar karakter morfologi dan fitokimia daun

handeuleum dengan jumlah telur yang diletakkan ... 58 4.5 Pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung karakter terhadap

peletakan telur imago D. bisaltide ... 60 5.1 Pengelompokan kriteria resistensi tanaman berdasarkan


(17)

xiv

Halaman 5.2 Luas area konsumsi setiap fase instar D. bisaltide pada 13 aksesi

tanaman handeuleum ... 70 5.3 Luas area makan, kriteria kerusakan relatif, dan kategori tingkat

resistensi 13 aksesi handeuleum terhadap larva D. bisaltide ... 71 5.4 Korelasi luas area konsumsi D. Bisaltide dengan

kandungan fitokimia daun 13 aksesi tanaman handeuleum ... 73 5.5 Pengaruh langsung dan tidak langsung peubah terhadap


(18)

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1.1 Bagan Alir Penelitian ... 5

2.1 Keragaan hadeuleum ... 7

2.2 Doleschallia bisaltide ... 9

2.3 Telur dan larva D. bisaltide ... 10

2.4 Gejala serangan larva D. bisaltide pada tanaman handeuleum ... 11

2.5 Proses penerimaan serangga terhadap tanaman inang ... 16

3.1 Keragaan trikoma 13 aksesi handeuleum ... 27

3.2 Grafik persentase perubahan kandungan antosianin, klorofil, dan karotenoid pada 13 aksesi tanaman handeuleum setelah tanaman terserang larva D. bisaltide ... 35

3.3 Grafik perbandingan kandungan C/N rasio pada daun 13 aksesi handeuleum sebelum dan setelah terserang D. bisaltide ... 37

3.4 Besarnya perubahan kandungan unsur C dan N pada tanaman handeuleum setelah terserang larva D. bisaltide ... 38

3.5 Grafik perbandingan kandungan kalsium pada daun 13 aksesi handeuleum sebelum dan setelah terserang larva D. bisaltide ... 38

3.6 Grafik perbandingan kandungan serat pada daun 13 aksesi handeuleum sebelum dan setelah terserang larva D. bisaltide ... 39

3.7 Lintasan biosintesis metabolit sekunder ... 43

4.1 Morfologi daun tanaman handeuleum ... 54

4.2 Diagram lintas fenotipik antar 4 karakter dengan aktivitas peletakan telur oleh imago D. bisaltide ... 60

5.1 Lama hidup setiap stadia instar larva D. bisaltide ... 72

5.2 Diagram lintas fenotipik anar 3 karakter dengan aktivitas makan larva D. bisaltide ... 74


(19)

xvi

Halaman 6.1 Perbedaan warna saliva larva D. bisaltide ... 83


(20)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Formulasi obat berbahan handeuleum ... 99 2 Kurva kenormalan kerapatan trikoma tanaman handeuleum ... 103 3 Kurva kenormalan karakter luas area daun total berdasarkan

Saphiro-Wilk ... 103 4 Korelasi antar karakter morfologi dan fitokimia pada tanaman

handeuleum dengan aktivitas peletakan telur dan aktivitas makan D.


(21)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Balakang

Indonesia adalah negara tropis dengan biodiversitas terbesar kedua di dunia setelah negara Brazil. Kekayaan ini tidak hanya dari segi jumlah, tetapi juga dari tingkat keragaman jenis flora yang tumbuh di hampir seluruh wilayah Indonesia. Di antara sejumlah keragaman hayati tersebut, cukup banyak spesies tumbuhan dan atau tanaman yang dimanfaatkan masyarakat sebagai bahan baku obat herbal. Tercatat terdapat 1300 spesies tanaman obat yang telah digunakan di Indonesia. Sembilan puluh enam spesies di antaranya digunakan suku Sunda untuk pengobatan (Roosita et al. 2008). Banyaknya keragaman tanaman obat yang ada di Indonesia telah diketahui masyarakat dunia, di antaranya negara Jepang. Subagyo (2001) menyatakan bahwa sebagian resep obat herbal yang dipatenkan pemerintah Jepang merupakan resep obat tradisional Indonesia. Bahan baku resep tersebut juga merupakan tanaman Indonesia. Hal ini tentu patut menjadi bahan perenungan bangsa Indonesia agar kekayaan alam yang dimiliki bangsa ini tidak berpindah tangan ke negara lain.

Obat herbal tidak hanya digunakan masyarakat Indonesia, tetapi juga masyarakat dunia. Hal ini tercermin dari data penjualan obat herbal di pasaran dunia. Tercatat total nilai dagang di pasaran internasional untuk obat berbahan baku alami mencapai 5 triliun Dollar AS pada tahun 2005. Nilai ini diperkirakan akan terus mengalami peningkatan. Di lain pihak, omset penjualan Indonesia baru mencapai 100 juta Dollar AS per tahun (Kintoko 2006). Mengacu pada hal tersebut, terbuka peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan ekspor di bidang ini. Seiring dengan meningkatnya tuntutan konsumen tentang keamanan obat herbal, saat ini kandungan suatu tanaman obat harus dianalisis sehingga dapat dipertanggungjawabkan khasiatnya secara ilmiah. Hal ini mengacu pada standar keamanan obat berbahan alami yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Salah satu tanaman yang diketahui berkhasiat obat adalah handeuleum,


(22)

2

diketahui mengandung flavonoid, alkaloid, steroid, saponin, glikosida, serta emolien dan lendir (Willaman 1995; Isnawati 2003). Kondisi ini menunjukkan bahwa handeuleum memiliki potensi yang cukup besar untuk dibudidayakan secara komersial dan dalam skala besar sebagai komoditas fitofarmaka. Selama ini, handeuleum telah digunakan secara luas sebagai bahan obat wasir, melancarkan air seni, membersihkan darah menstruasi dan nifas, rematik, bisul, dan penyakit lainnya (Wibowo 2000).

Telah banyak perusahaan jamu berskala nasional yang memanfaatkan bagian tanaman handeuleum sebagai bahan baku obat racikan mereka, di antaranya PT Fimedco Surabaya dan PT Sidomuncul Semarang (Wibowo 2000). Pusat Studi Biofarmaka IPB (2008) menambahkan satu lagi perusahaan, yaitu PT. Indo Farma. Ketiga perusahaan ini menggunakan handeuleum sebagai salah satu bahan untuk mengobati wasir. PT Sidomuncul Semarang dan PT Indo Farma memerlukan 1-2 ton daun handeuleum/bulan (Pusat Studi Biofarmaka IPB 2008). Selain formula yang digunakan kedua perusahaan tersebut, terdapat beberapa formula yang dikembangkan menggunakan daun handeuleum (Lampiran 1).

Penanaman handeuleum dalam skala industri dapat mengalami hambatan produksi biomassa daun. Serangan hama yang cukup tinggi merupakan salah satu penyebab hambatan tersebut. Salah satu hama dominan tanaman ini adalah larva

Doleschallia bisaltide Cramer (Lepidoptera: Nymphalidae). Baringbing dan Mardiningsih (2000) menyatakan bahwa serangan larva D. bisaltide dapat menurunkan kuantitas hasil hingga 70%. Pemberian insektisida untuk menangani serangan hama tersebut sulit dilakukan, karena kekhawatiran adanya residu pestisida pada daun yang dipanen. Karenanya, penelitian ini bertujuan untuk melakukan seleksi awal terhadap sifat resistensi 13 aksesi handeuleum terhadap larva D. bisaltide serta mengidentifikasi mekanisme resistensi 13 aksesi handeuleum terhadap D. bisaltide.


(23)

3

1.2 Tujuan

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk melakukan seleksi awal untuk sifat resistensi beberapa aksesi handeuleum terhadap D. bisaltide. Penelitian ini juga bertujuan mengidentifikasi mekanisme resistensi tanaman handeuleum terhadap serangan D. bisaltide.

1.3 Hipotesis

1. Terdapat aksesi handeuleum yang resisten terhadap D. bisaltide.

2. Terdapat informasi mengenai mekanisme resistensi 13 aksesi handeuleum terhadap serangan D. bisaltide.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini memberikan informasi tentang mekanisme dan tingkat resistensi 13 aksesi tanaman handeuleum. Informasi mengenai tingkat resistensi dan kandungan fitokimia pada handeuleum dapat digunakan sebagai sumber genetik pada program perakitan varietas. Hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai salah satu program pengendalian hama secara terpadu.

1.5

Kerangka Pemikiran

Bagian tanaman handeuleum yang banyak dimanfaatkan sebagai obat adalah daun. Daun tanaman ini dapat digunakan untuk mengobati wasir, rematik, bisul, peluruh air seni, darah menstruasi, serta darah nifas setelah melahirkan (Anonim 2008). Selain itu daun handeuleum juga dapat digunakan untuk mengobati luka, bengkak, borok, penyakit kulit, lever, telinga, batu ampedu, batuk darah, dan berfungsi sebagai obat pencahar (Wibowo 2000). Di sisi lain, beberapa aksesi handeuleum diketahui memiliki kandungan bahan bioaktif yang tinggi. Berdasarkan hasil penelitian awal yang telah dilakukan oleh Khumaida et al.

(2008), masalah utama dalam pengembangan handeuleum adalah serangan D. bisaltide sebagai hama dominan pada tanaman ini.


(24)

4

Penggunaan insektisida untuk mengendalikan serangga ini bukanlah langkah yang tepat, karena kekhawatiran adanya residu insektisida pada daun. Sejauh ini musuh alami D. bisaltide belum diteliti, sehingga salah satu cara yang mungkin ditempuh untuk menanggulangi serangan hama adalah dengan membudidayakan tanaman yang resisten terhadap D. bisaltide. Untuk keperluan tersebut, dibutuhkan perakitan varietas yang resisten terhadap serangan hama tersebut.

Dalam program perakitan tanaman, pengamatan karakteristik morfologi dan fitokimia tanaman diperlukan untuk mengetahui tingkat resistensi tanaman terhadap D. bisaltide. Untuk mengamati fitokimia tanaman, diperlukan infestasi larva D. bisaltide ke tanaman tersebut. Hal ini dilakukan karena sebagian besar senyawa fitokimia yang berperan dalam resistensi tanaman bersifat inducible, sehingga produksinya perlu dirangsang melalui gigitan hama pada daerah tersebut. Untuk mengetahui tingkat ketertarikan serangga D. bisaltide pada suatu aksesi handeuleum secara ilmiah, diperlukan pengujian peletakan telur oleh imago. Semakin banyak imago yang meletakkan telur pada suatu aksesi, serta semakin tinggi aktivitas makan larva pada aksesi tertentu, semakin tinggi pula tingkat preferensi D. bisaltide terhadap aksesi tersebut sedangkan tingkat resistensi tanaman akan semakin rendah. Hasil perbandingan uji kandungan fitokimia, aktivitas makan, dan peletakan telur pada tanaman handeuleum diharapkan dapat memberi gambaran mengenai mekanisme resistensi tanaman terhadap D. bisaltide. Hal ini berdasarkan hasil studi literatur (Fraenkel 1969; Jermy 1984; Schoonhoven et al. 2005) yang menyebutkan bahwa sebagian besar tanaman mempertahankan diri melalui produksi senyawa metabolit sekunder. Setiap tanaman memiliki kandungan metabolit sekunder yang berbeda, bergantung pada jenis, kadar, dan lokasi senyawa tersebut pada tubuh tanaman. Bagan alir penelitian disajikan pada Gambar 1.1.


(25)

Gam

b

aar 1.1 Ba

g

an A

llir Pene

liti


(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Handeuleum

Selain dikenal dengan nama handeuleum, Graptophyllum pictum (L.) Griff. (Acanthaceae) juga sering disebut daun ungu, demung, tulak, wungu (Jawa); daun temen-temen (Sunda), temen (Bali); karotong (Madura), daun putri, dongora (Ambon); dan kobi-kobi (Ternate) (Wibowo 2000). Tanaman ini termasuk perdu yang memiliki batang tegak berukuran kecil dengan tinggi tanaman mencapai 3 m. Daun handeuleum memiliki panjang 10-15 cm dengan bentuk bulat telur memanjang atau elips. Daun handeuleum juga memiliki permukaan yang tipis dan mengkilap serta bagian tepi daun yang cenderung rata. Duduk daun berhadapan-bersilangan. Batang handeuleum berbentuk segitiga tumpul berwarna ungu atau ungu kehijauan, dan berkayu ketika tua. Ciri khas handeuleum adalah kandungan senyawa vomifoliol pada daunnya (BPOM 2004; Kristina dan Mardiningsih 2008).

Bunga handeuleum berbentuk tabung berwarna ungu kemerahan. Bunga tersebut tersusun pada tandan bunga yang terdapat pada bagian terminal tanaman (Sjamsudihajat et al. 1991). Buah handeuleum berbentuk kotak, lonjong, berwarna ungu kecokelatan, sedangkan bijinya berbentuk bulat dan berwarna putih (Anonim 2008). Taksonomi tanaman handeuleum adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta Superdivisio : Spermatophyta Divisio : Magnoliophyta Class : Magnoliopsida Subclass : Asteridae

Ordo : Scrophulariales Family : Acanthaceae Genus : Graptophyllum

Species : Graptophyllum pictum/ Graptophyllum hortense


(27)

7

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan Khumaida et al. (2008) terhadap masyarakat Papua, Kepulauan Maluku, dan Jawa Barat, tanaman ini ditanam di pekarangan sebagai tanaman obat. Keragaan tanaman handeuleum ditampilkan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Keragaan handeuleum. Daun (kiri) dan bunga (kanan) aksesi 1.

(Sumber: Novita 2008)

Handeuleum dapat tumbuh di tempat terbuka, beriklim kering dan lembab (Kristina dan Mardiningsih 2008). Meskipun tanaman ini termasuk golongan xeriscape (Wong 2008), hasil penelitian Sakya (2006) menunjukkan bahwa pemberian air 30% di bawah kapasitas lapang dapat menurunkan pertumbuhannya. Selain air, Djazuli dan Fathan (2000) melaporkan bahwa produktivitas tanaman tertinggi dicapai bila tanaman handeuleum diberi pupuk kandang dan dipangkas pada umur 2-4 Bulan Setelah Tanam (BST). Tanaman handeuleum umumnya dikembangbiakkan menggunakan stek batang karena buah dan biji sulit terbentuk. Wibowo (2000) menyebutkan bahwa handeuleum mampu hidup pada ketinggian di bawah 800 mdpl. Semakin tinggi dataran tersebut, semakin ungu warna daun handeuleum. Hal ini dapat terjadi karena adanya peningkatan senyawa flavonoid yang dikandungnya.

Tanaman handeuleum diduga berasal dari Papua (Wibowo 2000; MBG 2008). Saat ini, tanaman ini telah tersebar luas di berbagai wilayah Indonesia. Hasil eksplorasi yang dilakukan Khumaida et al. (2008) didapatkan 38 aksesi handeuleum yang tersebar di beberapa tempat di Indonesia, 13 aksesi di antaranya memiliki kandungan bioaktif yang dapat digunakan sebagai obat dengan konsentrasi tinggi. Berdasarkan hasil penelitian Baringbing dan Mardiningsih


(28)

8

(2000) hama yang menyerang handeuleum meliputi Coccus Sp., Pseudococcus longispinus, Planococcus lilacinus, Valanga Sp., dan D. bisaltide. Serangga

Doleschallia bisaltidae memiliki tingkat penyerangan paling tinggi dibandingkan kelima jenis serangga lainnya. Penurunan kualitas dan kuantitas hasil akibat serangan hama ini dapat mencapai 70%. Oleh karena itu, pengetahuan tentang cara mengelola hama tersebut diperlukan untuk menghindari penurunan kualitas dan kuantitas hasil yang terjadi.

2.2 Khasiat Handeuleum Sebagai Tanaman Obat

Handeuleum diketahui memiliki kandungan unsur kalsium pada bagian batang, Kalium, Natrium, Magnesium, minyak atsiri, tanin, alkaloid nontoksik, asam folat, lemak, fenol, polifenol, saponin, flavonoid, steroid, glikosida dan lendir, serta emolien (Perry 1980; Willaman 1995). Kandungan flavonoid pada tanaman handeuleum merupakan zat yang memiliki efek katartik dan dapat mematikan bakteri , sedangkan senyawa steroid berperan sebagai antiinflamasi (Willaman 1995). Selain steroid, Wiart (2006) menyatakan kandungan glikosida pada tanaman juga dapat berefek antiinflamasi.

Berdasarkan pengujian pada Pithyum ultinum, Rhizoctonia solani,

Sclerotium rolsfii, dan Phytophtora parasitica di laboratorium, Goun et al. (2003) menyimpulkan bahwa ekstrak tanaman handeuleum dapat berfungsi sebagai anticendawan. Lebih lanjut Goun et al. (2003) menyatakan bahwa ekstrak G. pictum 100 mg/ml juga dapat menurunkan pertumbuhan Xanthomonas campestris. Nendra (2008) melaporkan bahwa handeuleum juga dapat menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans. Aktivitas bakteri ini akan menyebabkan plak pada gigi sehingga handeuleum juga dapat berfungsi sebagai penghambat pembentukan plak gigi. Berdasarkan hasil penelitian Isnawati (2003), tanaman handeuleum juga diketahui mengandung antosianin dan leukoantosianin. Pemeriksaan lebih lanjut menggunakan UV iluminator diketahui bahwa handeuleum juga mengandung asam protokatekuat, flavon, dan flavonol (3-hidroksi tersubtitusi).

Wibowo (2000) melaporkan bahwa daun handeuleum dapat digunakan untuk pengobatan terhadap luka, bengkak, borok, penyakit kulit, lever, telinga,


(29)

9

batu ampedu, dan batuk darah. Hasil penelitian Mu’minah (2007) menyebutkan bahwa ekstrak etanol pada daun handeuleum dapat menurunkan kadar total lipid dan kolesterol LDL dalam serum darah. Selain menurunkan kolesterol, ekstrak etanol yang diaplikasikan pada mencit juga menurunkan berat badan. Selain bagian daun, bunga handeuleum juga dapat digunakan untuk mengatasi gangguan menstruasi. Sumastuti (2000) menyatakan bahwa tanaman ini diduga mengandung senyawa yang dapat merangsang pergerakan dinding usus. Saat ini, handeuleum telah terdaftar di BPOM sebagai salah satu bahan baku obat herbal. Pengakuan handeuleum sebagai tanaman obat juga terlihat dari adanya tanaman ini sebagai salah satu tanaman obat yang dipamerkan pada ulang tahun Taman Lindung Cibodas ke-156 (Darmawan 2008).

2.3 Krakteristik Doleschallia bisaltide

Serangga Doleschallia bisaltide termasuk ke dalam ordo Lepidoptera famili Nymphalidae (Braby 2000; Darrow 2007). Deskripsi James Cook University (2009) menyebutkan imago dari serangga ini berukuran kecil sampai sedang. Sebagian besar tubuhnya tertutup sisik halus. Imago D. bisaltide memiliki sayap berwarna cokelat keemasan dengan warna cokelat tua kehitaman yang terletak di bagian ujung atas sayap (Gambar 2.2 a). Berdasarkan pengamatan, imago jantan memiliki warna sayap bagian dalam yang lebih atraktif dibandingkan imago betina (Gambar 2.2b).

Gambar 2.2 Doleschallia bisaltide (a) bagian punggung sayap (b) imago jantan (kanan) dan betina (kiri)


(30)

d k 2 k k K G p ( p t D B m m b d m ( Serang daun. Telur kluster berk 2009). Telur kekuningan, kutubnya. B Keragaan te Gambar 2.3 Larva pada bagian (Gambar 2.3 pertama (tor tungkai pal Doleschallia Baringbing menyatakan Biasan memakan d bagian teng Semakin lan dikatakan K menghabisk (2008) meny setara deng

gga D. bisa

r tersebut d kisar antara 2

r D. bisaltide

, kemudian Biasanya tel lur D. bisalt

Telur dan l

D. bisaltide

atas tubuhn 3b). Bagian raks) terdapa lsu (Gibbs

a terdiri atas dan Mardin n siklus hidup nya larva D

aun tanaman gah daun d

njut fase ins Kristina dan kan 6 lembar

yebutkan lar an 6 lemba

altide umum diletakkan tu

2-50 butir (K

e berwarna p berubah me lur ini akan

tide ditampil

larva D. bisa e berwarna h nya dan dua c n tubuh larv

at tiga pasan 2008). Roj s lima instar ningsih (200 p serangga in

D. bisaltide

n inang dar an pada ak star larva, se n Mardining r daun hand rva Dolescha

ar daun. Ge

mnya meletak unggal atau Kristina dan putih mutiara enjadi benin n menetas d lkan pada Ga

altide. (A) te hitam mengk cabang duri a terbagi at ng tungkai, s

jak dan Ro dengan lam 00), serta K ni berkisar 2

e hidup pad i bagian pin khirnya men emakin luas gsih (2008), deuleum. Ha

allia dapat m ejala serang

kkan telur p dalam klus n Mardining

a. Warna ini ng dengan b dalam kurun ambar 2.3a.

lur (B) larva kilat dengan

di sepanjang tas 13 segm

sedangkan p ohimat (200 ma pertumbuh Kristina dan 26-37 hari. da permuka nggir kemud nghabiskan daun yang satu larva asil penelitia menghabiska gan larva D

ada permuk ster. Jumlah sih 2008; C i akan berub bintik hitam n waktu sat

a instar 4 garis putih p g bagian ata men. Pada tig

pada abdome 07) melapor han rata-rata n Mardining

aan bawah dian meluas

seluruh bag dimakan. L a D. bisaltid

an Mardinin an 369.9 cm2

. bisaltide

10

kaan bawah h telur per Checkerspot

ah menjadi m di bagian

tu minggu. putus-putus as tubuhnya ga segmen en terdapat rkan larva a 16.3 hari. gsih (2008)

daun dan hingga ke gian daun. Lebih lanjut

de mampu ngsih et al.

2

daun atau pada daun


(31)

11

tanaman berupa bekas gerigitan pada daun tanaman tersebut. Serangan umumnya berawal pada bagian pucuk tanaman, kemudian meluas ke daun yang lebih tua. Larva D. bisaltide termasuk defoliator, sehingga serangannya dapat menghabiskan seluruh daun tanaman. Gejala serangan larva D. bisaltide ditampilkan pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Gejala serangan larva Doleschallia bisaltide pada tanaman handeuleum. (A) daun, (B) pucuk, (C) tajuk

Whittaker dan Feeny (1971) yang dipertegas oleh Schoonhoven et al. (2005) menyatakan bahwa kolonisasi suatu famili tanaman umumnya berasosiasi dengan hama tertentu. Hal ini menyebabkan sering ditemukan hama dari satu famili memiliki inang dari famili yang sama. Berdasarkan observasi yang dilakukan Cook dan Vargo (2000) di Kepulauan Samoa, Australia, dan Papua Nugini, diketahui bahwa inang utama larva D. bisaltide adalah tanaman dari famili Acanthaceae, terutama handeuleum (Graptophyllum pictum) dan

Pseuderanthemum carruthersii. Inang sekunder dari serangga ini adalah famili Moraceae.


(32)

12

2.4 Interaksi Tanaman dengan Serangga

Interaksi antara tanaman dengan herbivora mendominasi lingkungan terestrial di bumi. Interaksi antara keduanya tidak selalu merugikan. Beberapa serangga berperan sebagai penyerbuk, terutama imago ordo Lepidoptera dan imago Hymenoptera dari famili Apidae. Akan tetapi, sebagian besar herbivora umumnya menimbulkan kerugian pada tanaman karena menyebabkan penurunan produktivitas tanaman. Hal ini terjadi akibat hilangnya bagian tanaman karena dikonsumsi serangga.

Dalam interaksi antara tanaman dan serangga, dikenal serangga yang bersifat monofag, oligofag, dan polifag (Schoonhoven et al. 1998; Schoonhoven

et al. 2005). Price (1997) menyatakan bahwa suatu serangga bersifat monofag karena dalam genomnya tidak menghasilkan kombinasi enzim yang dapat mematahkan mekanisme pertahanan tanaman yang bukan inangnya. Serangga ini umumnya memproduksi sejumlah besar enzim untuk menetralkan racun pada sumber makanan mereka. Smith (1989) dan Price (1997) menyatakan serangga polifag umumnya memproduksi enzim nonspesifik yang dikenal dengan nama

microsomal mixed-function oxidaces (MFO) untuk menyesuaikan diri dengan banyak senyawa yang berpotensi menjadi sumber makanan mereka. Jermy (1984) mengklasifikasikan monofag dan oligofag dalam golongan spesialis, sedangkan polifag digolongkan ke dalam generalis.

Salah satu contoh serangga dengan sifat makan spesialis adalah D. bisaltide.

Interaksi tanaman-herbivora, seperti yang terjadi pada handeuleum dengan D. bisaltide dapat terjadi akibat kombinasi antara faktor morfologi tanaman, kimia, dan fenologi (Chew dan Rodman 1979). Beberapa hasil penelitian menunjukkan terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi imago dalam memilih inang untuk meletakkan telur. Faktor tersebut di antaranya kerapatan tanaman inang pada suatu populasi, keberadaan nektar sebagai bahan makanan imago (Wiklund dan Hrberg 1978; Murphy et al. 1984; Brommer dan Fred 1999), jenis dan konsentrasi senyawa kimia (Mitchell dan Heath 1987; Pereyra dan Bowers 1988), seperti konsentrasi nitrogen (Wolfson 1980; Letoumeau dan Fox 1989).

Herbivora yang berbeda akan memiliki strategi makan yang berbeda untuk memperoleh nutrisi dari inang mereka (Howe dan Jander 2007; Jander dan Howe


(33)

13

2008). Price (1997) menyatakan bahwa kontak kemoreseptor antara serangga dan tanaman inangnya merupakan penciri utama suatu serangga untuk menentukan tanaman inang yang cocok baginya. Rosenthal dan Janzen (1979) menyatakan bahwa serangga juga memilih tanaman inang berdasarkan adanya senyawa yang diperlukan serangga untuk melangsungkan hidupnya serta rendahnya kadar senyawa toksik pada tanaman tersebut.

Selain penanda kimia, bentuk dan warna daun suatu tanaman juga dapat menarik perhatian imago untuk meletakkan telur mereka pada tanaman tersebut (Gilbert 1975; Rausher 1978; Stanton 1982). Hasil penelitian Kristina dan Mardiningsih (2008) menunjukkan bahwa imago D. bisaltide memilih warna daun untuk meletakkan telurnya. Serangga ini lebih menyukai jenis handeuleum yang berwarna ungu dibandingkan yang berwarna hijau. Lebih lanjut Kristina dan Mardiningsih (2008) menyatakan bahwa warna ungu pada daun handeuleum disebabkan oleh tingginya kandungan flavonoid. Panda dan Kush (1995) menyatakan bahwa flavonoid dapat menarik serangga. Wink (2006) mengemukakan bahwa flavonoid, senyawa volatil, atau terpenoid dapat menarik serangga untuk melakukan polinasi atau peletakan telur pada tanaman tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa aksesi handeuleum yang berwarna lebih ungu, dengan asumsi kandungan flavonoid yang tinggi, akan lebih rentan terhadap serangan D. bisaltide dibandingkan aksesi yang sedikit mengandung senyawa flavonoid. Lev-Yadun et al. (2004) menyatakan bahwa serangga akan memilih tanaman yang cocok dengan warna tubuhnya, sehingga dapat membantu kamuflase. Hal ini bermanfaat sebagai tempat berlindung dari musuh alaminya.

Di sisi lain, untuk mencegah kerusakan yang ditimbulkan serangga fitofag, tanaman juga membangun pertahanan dengan menghasilkan senyawa metabolit sekunder. Metabolit sekunder merupakan senyawa yang diproduksi sebagian besar tanaman untuk mencegah atau meminimalisasi kerusakan akibat serangan serangga (Pujiasmanto et al. 2007). Senyawa tersebut dapat berupa senyawa repellent, deterrent, toksik, atau atraktan bagi musuh alami herbivora (Panda dan Kush 1995). Keberadaan musuh alami diharapkan dapat mengontrol populasi serangga di lingkungan tersebut (Zhu-Salzman et al. 2008) sehingga kerusakan yang ditimbulkan tidak sampai menurunkan produktivitas tanaman. Berenbaum et


(34)

14

al. (1989) menyatakan bahwa peranan metabolit sekunder dalam interaksi tanaman inang dengan serangga fitofag juga bergantung pada fisiologi dan populasi serangga. Selain menggunakan metabolit sekunder, terdapat beberapa mekanisme lain yang digunakan tanaman untuk mempertahankan diri, di antaranya morfologi dan keragaman genetik tanaman.

Wahlberg et al. (2005) mengemukakan bahwa geografi mempengaruhi fenotipe dan fisiologi tanaman dan herbivora. Inang di tempat tertentu akan memiliki jenis hama tertentu yang berbeda dengan daerah lainnya, walaupun mereka satu spesies. Janz et al. (2006) mengemukakan, semakin beragam genetik suatu spesies tumbuhan, semakin beragam pula spesies serangga yang menyerang tumbuhan tersebut. Hal yang sama juga berlaku pada handeuleum sehingga varietas handeuleum yang memiliki tingkat resistensi yang lebih tinggi dapat dirakit dengan memanfaatkan keragaman genetik dari setiap aksesi handeuleum dari tempat yang berbeda. Selain usaha tanaman untuk mengurangi serangan herbivora, lingkungan juga memiliki pengaruh yang besar terhadap serangan herbivora pada tanaman. Lingkungan dengan kadar CO2 yang tinggi dalam udara dapat meningkatkan serangan hama (Srivastava, et al. 2002).

2.5 Mekanisme Resistensi Tanaman Terhadap Hama

Resistensi terhadap hama merupakan faktor penting penentu produktivitas capaian suatu komoditas. Apabila suatu komoditas secara genetik memiliki produktivitas yang tinggi, namun tidak memiliki sifat resistensi terhadap hama, maka tanaman tersebut tidak akan dapat berproduksi maksimum. Hal ini terjadi karena serangan hama pada tingkat tertentu berpotensi untuk menurunkan produktivitas tanaman (Flor 1956), Tanaman tidak dapat melarikan diri ketika terserang hama, tidak seperti manusia dan hewan yang mampu berlari dan berpindah tempat. Oleh karena itu, tanaman memiliki struktur tubuh maupun senyawa kimia untuk mempertahankan diri dari serangan herbivora. Mekanisme resistensi tersebut berupa resistensi langsung dan resistensi tidak langsung.


(35)

15

2.5.1 Resistensi langsung

Resistensi langsung merupakan sistem resistensi yang langsung berpengaruh terhadap herbivora. Sistem resistensi ini dilakukan tanaman dengan memproduksi senyawa yang dapat mengganggu pencernaan harbivora. Sifat resistensi langsung dapat berupa morfologi, seperti lapisan lilin, duri, atau trikoma sehingga mempersulit herbivora untuk mengkonsumsi bagian tertentu. Metode lainnya adalah dengan adanya getah pada batang atau daun sehingga hama terperangkap di dalamnya (Price 1997).

Mekanisme resistensi lainnya adalah dengan memproduksi metabolit sekunder. Umumnya senyawa metabolit sekunder nonvolatil bersifat deterrent bagi serangga. Produksi senyawa tersebut dapat bersifat konstitutif, namun umumnya bersifat inducible, sehingga agar senyawa tersebut diproduksi diperlukan elicitor, seperti saliva herbivora (D’Auria et al. 2002). Berdasarkan penelitian, saliva herbivora banyak mengandung senyawa golongan konjugat asam lemak dan asam amino. Salah satu komponen saliva herbivora adalah glucose oksidase. Glucose oksidase berperan mengubah gula glukosa sederhana menjadi asam gluconat dan hidrogen peroksida (www.farmingfirst.org 2002; GMO Compass 2008). Senyawa ini memberikan informasi kepada gen untuk mensintesis asam jasmonat. Asam jasmonat merupakan penanda bagi gen dalam genom tanaman untuk mensintesis senyawa yang dapat menghidrolisis glucose oxidase, sehingga tanaman dapat bertahan dari serangan herbivora.

Senyawa metabolit sekunder digolongkan menjadi empat bagian, yaitu nitrogen (alkaloid, cyanogenic glycosides, dan glusinolate), terpenoid, fenolik, dan senyawa asetilenik (Schoonhoven et al. 2005). Tanaman resisten biasanya juga mengandung unsur kalsium dalam persentase tinggi. Unsur ini merupakan salah satu penyusun CaOx. Menurut Schwachtje dan Baldwin (2008) kadar CaOx yang tinggi pada daun tanaman dapat menyebabkan mandibel herbivora menjadi tumpul. Selain itu, senyawa ini juga menurunkan efisiensi pencernaan makanan. CaOx terdapat pada vakuola sel di sekitar jaringan pembuluh vaskular. Selain repellent dan deterrent, tanaman juga memiliki senyawa bersifat atraktan. Proporsi senyawa yang bersifat atraktan dan repellent dalam tubuh tanaman akan sangat menentukan preferensi serangga terhadap tanaman tertentu (Gambar 2.5).


(36)

G 2 ( m b k b h 2 a p f t p Gambar 2.5 2.5.2 Resist Sistem senyawa ya (Panda dan memangsa berpendapat kehidupan m berikutnya herbivora ya 2.6 Metabol Metab adaptasi tan Senyawa go pertumbuhan famili atau tanaman tid pada tempat Proses pene (Sumber: Ren

ensi Tidak L

m resistensi ang dapat m n Kush 19 herbivora, t bahwa bila musuh alami akan terjad ang berasosi lit Sekunde bolit sekund naman terh olongan me n dan reprod spesies terte dak dapat m

t-tempat terte

erimaan sera

nwick dan Che

Langsung

tidak langsu menarik musu 95). Musuh sehingga p a interaksi an

i dari organi i penurunan asi dengan t

r Tanaman der merupak adap lingku etabolit seku duksi produs entu dalam mengeluarkan entu atau da

angga terhad

ew 1994)

ung dilakuk uh alami ha h alami ya populasinya

ntara inang d sme pengga n tingkat re

anaman ters

n yang Berhu

kan senyaw ungan tumb under tidak sennya. Seny

jumlah sed n dari dalam

lam bentuk t

dap tanaman an tanaman ama mendat ang mengun menurun. dan herbivor nggu tersebu esistensi tan ebut. ubungan de

wa yang be buhnya (Bo

memiliki p yawa ini umu ikit (Karlov m tubuh seh tertentu (Pri

inang

dengan me tangi tanama

njungi tana Farfan et

ra berdampa ut maka pad naman inang

engan Resis

erperan dala ourgaud et

peranan ese umnya dipro vsky 2008). hingga meny ce 1997). 16 emproduksi an tersebut aman akan

al. (2007) ak terhadap da serangan g terhadap

tensi

am proses

al. 2001). ensial bagi oduksi oleh

Umumnya yimpannya


(37)

17

Whittaker dan Feeny (1971) menyatakan bahwa metabolit sekunder dapat digunakan tanaman untuk mempertahankan diri dari serangan herbivora atau kompetitornya. Lebih jauh mereka memasukkan senyawa tersebut ke dalam golongan allelopati. Jermy (1984), begitu juga Panda dan Kush (1995) menjelaskan bahwa adanya senyawa metabolit sekunder tertentu dapat bersifat seperti sidik jari bagi serangga untuk menemukan inangnya. Arbain (1995) menyatakan senyawa ini dapat mempengaruhi tingkah laku, pertumbuhan, dan reproduksi serangga. Akan tetapi, Price (1997) menyatakan senyawa allelopati hanya akan diproduksi tanaman bila tanaman tersebut telah tumbuh dengan baik. Beberapa jenis metabolit sekunder yang dikeluarkan tanaman untuk mempertahankan diri antara lain tanin, alkaloid, fenolik, terpenoid, dan flavonoid.

Pada tanaman, umumnya tanin diproduksi pada daun yang telah berkembang sempurna (Janzen 1979). Hal ini dikarenakan, produksi tanin pada pucuk dapat mempengaruhi pertumbuhan bagian tersebut. Kemungkinan hal inilah yang menyebabkan imago serangga meletakkan telur pada bagian pucuk tanaman. Larva instar pertama lepidoptera juga umumnya mengkonsumsi daun muda.

Panda dan Kush (1995) menyatakan bahwa tanin dapat menurunkan daya cerna protein pada serangga. Hasil penelitian Arnold dan Schultz (2002) pada

Populus menunjukkan bahwa produksi senyawa ini bersifat inducible. Lebih jauh diungkapkan terdapat indikasi bahwa luka akibat aktivitas makan serangga mengakibatkan aktivitas biosintesis tanin pada bagian tersebut meningkat. Crozier

et al. (2006) mengemukakan bahwa tanin dapat mengikat protein dalam pencernaan serangga dengan menonaktifkan fungsi enzim pencerna protein pada sistem pencernaan serangga. Proses ini akan berdampak negatif bagi nutrisi serangga.

Alkaloid merupakan senyawa organik yang memiliki persebaran dan jumlah terbesar di alam. Senyawa ini bersifat basa karena adanya kandungan nitrogen. Ferdian (2008) menjelaskan bahwa senyawa golongan alkaloid biasanya berbentuk cincin heterosiklik, dan bersifat aktif biologi. Struktur alkaloid beragam, dari yang sederhana sampai rumit, dari efek biologisnya yang menyegarkan tubuh sampai toksik. Salah satu jenis alkaloid yang terkenal adalah


(38)

18

nikotin. Dalam interaksi tumbuhan-herbivora, Adler et al. (2001) menyatakan senyawa ini merupakan salah satu mekanisme resistensi tumbuhan berbasis kimiawi. Alkaloid dengan konsentrasi tertentu dalam tubuh tumbuhan dapat mengurangi serangan herbivora. Flavonoid merupakan senyawa turunan fenol yang bertanggung jawab terhadap zat warna merah, ungu, biru, dan sebagian zat warna kuning dalam tumbuhan (Ferdian 2008). Salah satu senyawa yang termasuk flavonoid adalah antosianin. Selain sebagai pigmen tanaman, antosianin juga diketahui bersifat antibiosis (Panda dan Kush 1995).

Terpenoid merupakan senyawa golongan terpen yang mengandung gugus hidroksil, aldehid, dan keton. Prekursor terpenoid adalah isopren, yakni senyawa dengan 5 rantai karbon. Mabry dan Gill (1979) menyatakan bahwa prekursor triterpenoid juga memiliki jalur lintasan untuk menghasilkan steroid dan sterol, vitamin D, glycosides, dan saponin. Berdasarkan jumlah unit isopren, terpenoid diklasifikasikan menjadi monoterpen, diterpen, sequesterpen, triterpen, dan tetraterpen. Senyawa yang tergolong dalam triterpen umumnya bersifat racun bagi serangga (Brielmann et al. 2006). Berdasarkan penelitian, terdapat ribuan jenis metabolit sekunder dalam tubuh tanaman. Akan tetapi, beberapa jenis tanaman yang mengandung jenis metabolit sekunder yang sama dapat menghasilkan ekspresi yang berbeda. Menurut Ozeki dan Komamine (1985) hal tersebut disebabkan perbedaan morfologi tanaman dan lingkungan tumbuh yang berbeda.


(39)

BAB III

IDENTIFIKASI KARAKTER MORFOLOGI DAN KANDUNGAN

FITOKIMIA TIGA BELAS AKSESI HANDEULEUM

3.1 Abstrak

Secara teori, penerimaan serangga terhadap tanaman inangnya bergantung pada kombinasi komposisi senyawa kimia dan morfologi tanaman yang bersifat stimulan dan deterrent bagi serangga. Pada penelitian ini dilakukan analisis lebih lanjut terhadap beberapa karakter morfologi serta kandungan fitokimia sebagai langkah identifikasi awal mekanisme resistensi 13 aksesi handeuleum terhadap

Doleschallia bisaltide (Lepidoptera: Nymphalidae). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan komposisi fitokimia 13 aksesi handeuleum setelah terserang larva D. bisaltide. Penelitian dilakukan pada bulan November 2009- Februari 2010 bertempat di BALITTRO dan IPB. Masing-masing aksesi dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama langsung dipanen tanpa perlakukan (sampel daun sebelum terserang), kelompok kedua diinfestasikan larva instar III D. bisaltide

selama sehari kemudian dipanen (sampel daun setelah terserang). Hasil penelitian menunjukkan terdapat variasi pada karakter luas area daun total, keragaan dan kerapatan trikoma, serta kandungan fitokimia 13 aksesi tanaman handeuleum. Serangan D. bisaltide mempengaruhi komposisi pigmen tanaman, senyawa alkaloid, tanin, triterpenoid, flavonoid, steroid, glikosida, saponin; rasio C/N, kalsium, dan serat 13 aksesi tanaman handeuleum. Produksi senyawa tanin, alkaloid, dan glikosida diduga bersifat konstitutif, sedangkan triterpenoid, flavonoid, saponin, dan steroid diduga diproduksi tanaman secara inducible. Korelasi yang erat terjadi antara antosianin, klorofil, dan karotenoid; N dan C/N rasio; serta antara triterpenoid dan steroid.

Kata Kunci: komposisi fitokimia, morfologi, handeuleum

Abstract

Theoretically, insect acceptability to host plant depends on composition combination of phytochemical and plant morphology which can act as a stimulant or deterrent to that insect. So that, by this research, we want to analyze some of morphology and phytochemical characters of caricature plant as early identification to find out resistance mechanism of 13 accessions of caricature plant to Doleschallia bisaltide (Lepidoptera: Nymphalidae). The objective of this research was to identify changing of phytochemical composition of 13 caricature plant accessions after D. bisaltide larva attack. The research conducted at BALITRO and IPB since November 2009- December 2009. Each accession was divided into two parts. The first part was harvested without treatment as non attack samples. The second part, leaf was infested by instar III D.bisaltide larva during a day then harvested as attack samples. The Result revealed there were variations on total leaf wide, morphology and number of trikoma, and phytochemical composition characters among 13


(40)

20

caricature plant accessions. D. bisaltide attack influences composition of plant pigments, alkaloids, tannin, triterpenoid, flavonoids, steroid, glycosides, saponin; C/N ratio, calcium, and cellulose of 13 accessions. Tannin, alkaloids, and glycosides were produced constitutively, while triterpenoid, flavonoids, saponin, and steroid were produced inducible. There are significant correlation value between anthocyanin, chlorophyll, and carotenoid; N and C/N ratio; and also between triterpenoids and steroid.

Key words: phytochemical composition, morphology, caricature plant

3.2 Pendahuluan

Interaksi herbivora-tumbuhan umumnya bersifat antagonis, yakni tumbuhan berupaya mencegah herbivora datang dan mengkonsumsi bagian tubuh tumbuhan. Schoonhoven et al. (1998) menyatakan mekanisme tersebut berupa morfologi dan kimiawi tumbuhan, atau dikenal dengan istilah resistensi. Van Zandt dan Agrawal (2004) menyatakan bahwa resistensi tanaman terhadap herbivora meliputi perubahan komposisi senyawa yang bersifat toksik dan antinutrisi bagi herbivora, serta penampakan morfologi, seperti kekerasan daun, kerapatan trikoma, duri, dan bulu pada tumbuhan.

Senyawa toksik pada tumbuhan umumnya terkait dengan komposisi metabolit sekunder. Menurut Fraenkel (1969) metabolit sekunder merupakan mekanisme resistensi utama pada tumbuhan. Lebih lanjut Fraenkel menyatakan bahwa komposisi kandungan metabolit sekunder menentukan tingkat penerimaan spesies herbivora tertentu terhadap tanaman tertentu, termasuk serangga. Schwachtje dan Baldwin (2008) menyatakan bahwa metabolit primer juga berperan sebagai antinutrisi bagi serangga. Oleh karena itu, identifikasi kandungan fitokimia tumbuhan yang berperan sebagai mekanisme resistensi terhadap serangan herbivora sangat diperlukan. Banyak penelitian yang telah mengungkapkan beberapa jenis metabolit sekunder yang umum ditemui pada berbagai tanaman budidaya, di antaranya alkaloid (Adler et al. 2001; Anizewski 2007), saponin (Papadopoulou et al. 1999; Saha et al. 2010), triterpenoid (Tholl et al. 2004), steroid, flavonoid, tanin, dan glikosida (Papadopoulou et al. 1999).

Rhoades (1979) menyatakan serangga spesialis umumnya lebih resisten terhadap senyawa toksik tanaman dibandingkan serangga generalis. Hal ini


(41)

21 dikarenakan adanya dual peranan metabolit sekunder tanaman, baik deterrent ataupun stimulan, bagi serangga. Peranan tersebut bergantung pada spesialisasi serangganya. Panda dan Kush (1995); Schoonhoven et al. (2005); serta Alotaiba dan Elsayed (2007) menyatakan bahwa metabolit sekunder umumnya bersifat deterrent bagi serangga generalis, namun justru merupakan stimulan bagi serangga spesialis. Sebagai contoh, iridoid glikosida bersifat deterrent bagi Locusta migratoria

(Orthophtera: Acridae), tetapi senyawa ini merupakan stimulan bagi Euphydryas editha (Lepidoptera: Nymphalidae). Panda dan Kush (1995) menyatakan hal ini dikarenakan serangga spesialis umumnya dapat mendetoksifikasi senyawa yang bersifat toksik.

Hasil penelitian Khumaida et al. (2008) pada 38 aksesi tanaman handeuleum menunjukkan bahwa 38 aksesi tersebut memiliki karakter morfologi yang serupa, sedangkan kandungan saponin, tanin, alkaloid, glikosida, flavonoid, steroid, dan triterpenoid bervariasi. Tiga belas aksesi di antaranya memiliki kandungan fitokimia tinggi. Secara teori, penerimaan serangga terhadap tanaman inangnya bergantung pada perbandingan komposisi senyawa kimia yang bersifat stimulan dan deterrent; serta morfologi tanaman tersebut (Panda dan Kush 1995; Schoonhoven et al. 2005). Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan analisis lebih lanjut terhadap beberapa karakter morfologi serta kandungan fitokimia sebagai langkah identifikasi awal mekanisme resistensi 13 aksesi handeuleum terhadap Doleschallia bisaltide

(Lepidoptera: Nymphalidae).

3.3 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi beberapa karakter morfologi dan perubahan komposisi senyawa fitokimia antara sebelum dan setelah terserang larva D. bisaltide pada 13 aksesi handeuleum.


(42)

22

3.4 Hipotesis

Terdapat perbedaan karakter morfologi pada 13 aksesi handeuleum. Terdapat perubahan komposisi fitokimia pada 13 aksesi handeuleum setelah terserang larva D. bisaltide.

3.5 Metodologi Penelitian

Metodologi penelitian yang digunakan berupa pengamatan pada beberapa karakter morfologi dan fitokimia 13 aksesi handeuleum untuk mengidentifikasi mekanisme resistensi tanaman handeuleum.

3.5.1 Waktu dan Tempat

Pengamatan karakter morfologi dan pengumpulan sampel untuk pengujian fitokimia 13 aksesi tanaman handeuleum dilakukan pada bulan November sampai Desember 2009. Pengambilan sampel fitokimia, karakter morfologi, serta pengujian kandungan metabolit sekunder dan metabolit primer dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (BALITTRO), Bogor. Analisis kandungan pigmen 13 aksesi tanaman handeuleum dilakukan di Laboratorium Research Group Crop Improvement (RGCI), Departemen Agronomi dan Hortikultura, IPB. Pengamatan keragaan dan kerapatan trikoma dilakukan di Laboratorium Ekofisiologi, Departemen Agronomi dan Hortikultura, IPB.

3.5.2 Persiapan Tanaman Uji

Tanaman uji yang digunakan berasal dari perbanyakan vegetatif 13 aksesi handeuleum. Tanaman tersebut dipelihara dalam rumah kasa. Selama perawatan, penyiraman dilakukan 2 kali sehari dan diberi pupuk sebulan sekali dengan perbandingan komposisi N:P:K 1:1:1. Untuk pengujian kandungan fitokimia, setiap aksesi handeuleum dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, daun langsung dipanen tanpa diberi perlakuan sebagai sampel daun sebelum terserang. Kelompok kedua, tanaman diinfestasikan larva D. bisaltide selama satu hari kemudian dipanen sebagai sampel daun setelah tanaman terserang. Hal ini mengacu pada pernyataan Rosenthal dan Janzen (1979) bahwa tanaman akan merespon gangguan herbivora dengan memproduksi metabolit sekunder sebagai pertahanan


(43)

23 kualitatif minimal 12 jam setelah tanaman tersebut dikonsumsi herbivora. Kedua

kelompok sampel tersebut dikeringkan pada suhu 40oC dan diekstrak sebelum dianalisis. Asal daerah ketigabelas aksesi yang diuji dtampilkan pada Tabel 3.1. Tabel 3.1 Asal dan deskripsi 13 aksesi handeuleum yang diuji

Kode Asal Lokasi Bentuk dan warna daun Batang

01 Bogor, Jawa Barat jorong, ungu Ungu

02 Manoko, Jawa Barat jorong, ungu Ungu

03 Jawa Timur jorong, ungu Ungu

04 Kalimantan Tengah jorong, ungu Ungu

05 Kalimantan Selatan jorong, ungu Ungu

06 Soabali 2 Maluku jorong, ungu Ungu

07 Salahutu Maluku jorong, ungu Ungu

08 BTN Maluku jorong, ungu Ungu

09 Angkasa Dok V Jayapura, Papua jorong, ungu Ungu

10 Pegunungan Cyclops Sentani, Papua jorong, ungu Ungu

11 Cigombong Papua jorong, ungu Ungu

12 Menteng Bogor, Jawa Barat lanset, variegata hijau-putih Hijau

13 Malabar Pengalengan, Jawa Barat jorong, ungu Ungu

3.5.3 Persiapan serangga uji

Larva D. bisaltide yang digunakan untuk pengujian merupakan hasil rearing

di rumah kaca. Larva serangga ini dipelihara hingga instar III di dalam kotak perbanyakan dan diberi pakan daun handeuleum. Larva D. bisaltide instar III kemudian diletakkan pada tanaman uji untuk memperoleh sampel pada kelompok daun setelah terserang larva D. bisaltide.

3.5.4 Pengamatan Karakter Morfologi Daun

Pengamatan karakter morfologi dilakukan pada 13 aksesi tanaman handeuleum. Pengamatan dilakukan pada karakter yang diduga berkaitan dengan preferensi aktivitas peletakan telur dan aktivitas makan serangga D. bisaltide. Karakter tersebut meliputi kerapatan trikoma per luas bidang pandang 0.038 mm2 dan luas daun tanaman handeuleum. Kerapatan trikoma yang diamati adalah trikoma pada bagian tengah sampai ujung permukaan bawah daun kedua yang telah membuka sempurna, Pengamatan dilakukan menggunakan mikroskop dengan luas bidang pandang 0.038 mm2. Luas daun tanaman handeuleum diamati dengan metode gravimetri dengan langkah-langkah sebagai berikut:


(44)

24 1. Seluruh daun satu tanaman digambar pada kertas milimeter blok

2. Gambar daun dipotong, kemudian ditimbang

3. Sebagai kontrol, kertas dengan luas 580 cm2 ditimbang

4. Berat  potongan gambar daun dibandingkan dengan berat kertas dengan menggunakan persamaan berikut:

3.5.5 Analisis Kandungan Fitokimia Daun Sebelum dan Setelah Terserang Larva D.bisaltide

Analisis kandungan fitokimia daun handeuleum dilakukan terhadap beberapa senyawa yang diduga berhubungan dengan mekanisme resistensi tanaman handeuleum terhadap D. bisaltide. Senyawa tersebut terdiri atas alkaloid, saponin, triterpenoid, steroid, flavonoid, tanin, dan glikosida; serat, nitrogen, unsur kalsium, dan C organik; serta kandungan pigmen yakni pigmen klorofil total, karotenoid total, dan antosianin total. Analisis yang dilakukan meliputi :

Analisis kandungan pigmen tanaman 

Kandungan pigmen tanaman dianalisis dengan metode Sims dan Gamon (2002) menggunakan alat UV spektrofotometer. Konsentrasi Setiap pigmen diidentifikasi pada panjang gelombang yang berbeda-beda, dimana panjang gelombang 663 nm untuk pigmen klorofil a, 647 nm untuk klorofil b, 537 nm untuk antosianin, dan 470 nm untuk pigmen karotenoid. Data hasil pembacaan menggunakan alat UV spektrofotometer kemudian dikonversi ke dalam satuan mol/m2 dengan tahapan perhitungan sebagai berikut:

Antosianin = 0.01373*A537 - 0.00697*A647 – 0.002228*A663 Klorofil a = 0.01373*A663 – 0.000897*A537 – 0.003046*A663 Klorofil b = 0.02405*A647 – 0.004305*A537 – 0.005507*A663 Sehingga klorofil total dapat dihitung menggunakan persamaan berikut: Klorofil total = 7.15*A663-18.71*A647

Karotenoid = (A470 – (17.1*(Chl a + Chl b) – 9.479*antosianin))/ 119.26


(45)

25 Untuk mengkonversi konsentrasi pigmen per satuan luas digunakan perhitungan berikut:

Pigmen/area = (pigmen*6/1000) / (Luas area daun total dalam m2)

Analisis metabolit sekunder

Analisis yang digunakan merupakan analisis visual berdasarkan kepekatan warna larutan. Data berupa skoring, berdasarkan standar Laboratorium Pengujian Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (BALITTRO).

Analisis selulosa, kalsium, nitrogen, dan C organik

Analisis yang dilakukan merupakan analisis kuantitatif berdasarkan metode standar yang digunakan pada Laboratorium Pengujian Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (BALITTRO).

3.5.6 Analisis Data Data fitokimia

Data fitokimia daun handeuleum dianalisis dengan membandingkan secara visual antara aksesi yang satu dengan aksesi lainnya.

Data morfologi

Data morfologi diuji menggunakan analisis sidik ragam. Apabila berbeda nyata, dilanjutkan dengan uji Tukey dengan bantuan program SAS v 9.0. Uji kenormalan data menggunakan metode Saphiro-Wilk. Uji korelasi antar karakter morfologi dan fitokimi dilakukan berdasarkan persamaan Pearson. Uji kenormalan dan korelasi dilakukan dengan program MINITAB 14. Hasil sidik ragam (Tabel 3.2) digunakan untuk menduga nilai ragam fenotipe, ragam genetik, dan ragam lingkungan.

Tabel 3.2. Analisis sidik ragam (Annichiarico 2002)

Sumber keragaman Db KT E(KT)

Ulangan r-1

-Aksesi g-1 M2 σ2e + r(σ2g + σ2gl + σ2gm + σ2glm)

Galat (r-1)(g-1) M1 σ2e


(46)

26

Pendugaan ragam genetik adalah sebagai berikut:

σ2

e = ragam lingkungan = Kuadrat Tengah Galat (KTG) = M1

σ2

g = ragam genetik = (M2 – M1) / r

σ2

p = σ2g + σ2e

Pendugaan nilai heritabilitas arti luas dihitung berdasarkan analisis ragam (Allard 1966) dengan persamaan berikut:

h2bs = (σ2G / σ2P) x 100% dimana:

h2bs = heritabilitas arti luas

σ2

G = ragam genetik

σ2

P = ragam fenotipe

3.6 Hasil dan Pembahasan

3.6.1 Karakter Morfologi

Morfologi tanaman merupakan karakter yang berperan dalam proses pencarian inang oleh serangga (Schoonhoven et al. 2005). Hal tersebut diduga juga berlaku pada interaksi antara tanaman handeuleum dengan D. bisaltide sebagai hama. Bentuk tajuk tanaman dan warna bagian tertentu dari tanaman dapat menjadi stimulan atau deterrent bagi serangga. Karakter morfologi yang diduga berperan dalam proses penerimaan D. bisaltide terhadap tanaman handeuleum adalah luas area daun total, warna tanaman, serta kerapatan trikoma pada daun tanaman handeuleum.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa trikoma tanaman handeuleum berada di permukaan daun bagian bawah. Bentuk trikoma pada 13 aksesi serupa, yakni rambut dengan posisi tegak atau agak miring. Hal ini sesuai dengan deskripsi Schoonhoven et al. (2005) bahwa bentuk trikoma tanaman bervariasi, salah satunya berbentuk rambut. Keragaan trikoma 13 aksesi handeuleum ditampilkan pada Gambar 3.1.


(47)

27


(48)

28 Hasil uji kenormalan sebaran data menunjukkan bahwa karakter kerapatan trikoma dan luas area daun total menyebar normal (Lampiran 2 dan Lampiran 3). Berdasarkan pengamatan, kerapatan trikoma pada 13 aksesi bervariasi. Luas area daun total 13 aksesi tidak berbeda nyata, tetapi, bila diurutkan, aksesi 3 (1 020.17 cm2) dan aksesi 8 (1 027.86 cm2) merupakan aksesi dengan luas area daun total terluas, sedangkan aksesi 1 (403.42 cm2) dan aksesi 12 (514.10 cm2) merupakan aksesi dengan luas area daun total tersempit. Luas area daun total dan kerapatan trikoma masing-masing aksesi ditampilkan pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3 Luas area daun total dan kerapatan trikoma 13 aksesi handeuleum Aksesi Luas area daun total (cm2) Kerapatan trikoma/ 0.038 mm2

1 403.42 ±147.12 1.5 ±0.71

2 698.78 ±343.58 7.5 ±9.19

3 1020.17 ±158.60 12.5 ±2.12

4 850.79 ±277.19 11.5 ±0.71

5 898.65 ± 71.51 4.0 ±2.83

6 712.63 ±248.69 7.0 ±0.00

7 901.69 ±272.16 6.5 ±6.36

8 1027.86 ±148.55 7.0 ±7.07

9 670.12 ±181.20 7.0 ±0.00

10 780.32 ± 74.10 1.0 ±1.41

11 869.69 ±147.12 4.0 ±0.00

12 514.10 ±343.59 6.5 ±6.36

13 819.36 ±158.60 2.5 ±3.54

Keterangan: Data±SD

Heritabilitas merupakan suatu parameter yang menentukan seberapa besar suatu karakter dapat diturunkan dari induk kepada keturunannya. Nilai heritabilitas juga mencerminkan seberapa besar peran lingkungan dalam mempengaruhi ekspresi karakter tertentu. Semakin besar nilai heritabilitas, semakin besar potensi suatu karakter diturunkan pada keturunannya. Hal ini menandakan semakin kecil pengaruh lingkungan pada karakter tersebut. Kriteria heritabilitas (%) menurut Stansfield (1983 dalam Komariah et al. 2004) serta Zen dan Bahar (1996) adalah sebagai berikut:

Tabel 3.4 Kriteria Heritabilitas

Nilai duga heritabilitas (%) Kriteria heritabilitas 0 < x < 20 Rendah 20 ≤ x < 50 Sedang


(49)

29 Nilai rekapitulasi sidik ragam pada karakter luas area daun total dan kerapatan trikoma ditampilkan pada Tabel 3.5. Nilai heritabilitas karakter kerapatan trikoma sebesar 21.69%. Nilai heritabilitas untuk karakter luas area daun total adalah 20.89%. Berdasarkan klasifikasi Zen dan Bahar (1996), maka nilai heritabilitas kedua karakter termasuk kategori sedang. Hal ini berarti, kedua karakter ini dapat diturunkan, namun sedikit dipengaruhi lingkungan. Pendugaan ragam genetik (σ2g), ragam fenotipe (σ2p), ragam lingkungannya (σ2e), serta nilai heritabilitas ditampilkan pada Tabel 3.5.

Tabel 3.5 Rekapitulasi sidik ragam, ragam genetik, ragam fenotipe, ragam galat, serta nilai heritabilitas pada karakter luas area daun total dan kerapatan trikoma tanaman handeuleum

Rekapitulasi komponen sidik ragam No Sumber keragaman KT Luas area

daun total

KT Kerapatan trikoma/0.038 mm2

1 Ulangan 46286.176 58.500

2 Aksesi 138910.867 23.955

3 Galat 90898.128 15.417

Komponen Pendugaan Parameter Genetik

No Parameter genetik Luas area daun total Kerapatan trikoma/0.038 mm2

1 Ragam genetik (σ2g) 24006.367 4.269

2 Ragam fenotipe (σ2p) 114904.498 19.686

3 Ragam galat (σ2e) 90898.128 15.417

4 Nilai heritabilitas 20.893S 21.687S

Keterangan : S = sedang; nilai ragam genetik, ragam fenotipe, dan ragam lingkungan diduga berdasarkan sidik ragam Tabel 3.2.

3.6.2 Kandungan Fitokimia

Berdasarkan hasil analisis kualitatif, terdapat perbedaan pola perubahan pada masing-masing jenis metabolit sekunder yang terkandung dalam daun tanaman handeuleum (Tabel 3.6). Schoonhoven et al. (1998) dan Schoonhoven et al. (2005) menyatakan bahwa umumnya akan terjadi peningkatan kandungan metabolit sekunder setelah tanaman terserang hama. Hasil analisis menunjukkan 13 aksesi handeuleum mengandung alkaloid, tanin, steroid, dan glikosida terdeteksi kuat, yang berarti keempat senyawa tersebut terkandung dalam konsentrasi tinggi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Khumaida et al. (2008). Konsentrasi flavonoid dan triterpenoid pada 13 aksesi terdeteksi lemah sampai kuat, sedangkan kandungan saponin bervariasi. Diantara 13 aksesi handeuleum, kandungan saponin


(50)

30 aksesi 12 lebih rendah dibandingkan aksesi lainnya. Perbandingan kandungan metabolit sekunder sebelum dan setelah tanaman terserang larva D. bisaltide

ditampilkan pada Tabel 3.6.

Tabel 3.6 Kandungan metabolit sekunder daun tanaman handeuleum sebelum dan setelah terserang larva D. bisaltide

Aksesi status serangan

Metabolit Sekunder Alkaloid Tanin Saponin

Tri

terpenoid Steroid Flavonoid Glikosida

1 Sebelum 4 4 3 1 3 3 4

Setelah 4 4 4 1 - 2 4

2 Sebelum 4 4 3 1 4 3 4

Setelah 4 4 4 1 1 1 4

3 Sebelum 4 4 4 2 3 3 4

Setelah 4 4 4 2 1 1 4

4 Sebelum 4 4 3 1 4 2 4

Setelah 4 4 3 1 3 1 4

5 Sebelum 4 4 3 2 3 2 4

Setelah 4 4 4 3 1 1 4

6 Sebelum 4 4 3 2 3 2 4

Setelah 4 4 4 2 1 1 4

7 Sebelum 4 4 4 2 3 2 4

Setelah 4 4 4 1 3 1 4

8 Sebelum 4 4 4 2 3 3 4

Setelah 4 4 4 1 3 2 4

9 Sebelum 3 4 4 2 3 2 4

Setelah 3 4 4 2 2 1 3

10 Sebelum 3 4 4 1 4 2 4

Setelah 4 4 4 1 3 2 3

11 Sebelum 3 4 4 2 3 1 4

Setelah 3 4 4 1 3 2 4

12 Sebelum 4 4 2 1 4 2 4

Setelah 4 4 4 1 1 1 3

13 Sebelum 4 4 3 1 1 1 4

Setelah 4 4 4 3 1 1 3

Keterangan: 4 = terdeteksi kuat sekali, 3 = terdeteksi kuat, 2 = terdeteksi lemah, 1 = terdeteksi sangat lemah, - = tidak terdeteksi

Terdapat beberapa strategi tanaman dalam memproduksi metabolit sekunder. Berdasarkan sistem produksi oleh tanaman, terdapat senyawa yang diproduksi secara konstitutif dan inducible. Suatu senyawa termasuk dalam kelompok konstitutif apabila senyawa tersebut diproduksi tanaman secara terus menerus, tanpa bergantung


(51)

31 pada ada atau tidaknya stres lingkungan. Senyawa golongan inducible adalah senyawa yang diproduksi atau berhenti diproduksi bila tanaman mengalami stres lingkungan.

Dalam proses pelepasannya, senyawa dibagi menjadi dua kelompok, yakni senyawa yang dilepas secara konstitutif dan inducible. Senyawa yang dilepas secara konstitutif adalah senyawa yang selalu dikeluarkan tanaman baik ada atau tidaknya stres lingkungan, sedangkan senyawa yang dilepas secara inducible adalah kelompok senyawa yang dilepaskan ke lingkungan hanya pada kondisi tertentu. Senyawa yang dilepas secara konstitutif adalah senyawa yang diproduksi secara konstitutif, sedangkan senyawa yang dilepas secara inducible dapat merupakan senyawa yang diproduksi secara konstitutif maupun inducible. Pada penelitian ini, kandungan fitokimia digolongkan berdasarkan proses produksi, bukan regulasi pelepasannya.

Hasil analisa kandungan sampel daun handeuleum setelah terserang larva D. bisaltide menunjukkan konsentrasi alkaloid, tanin, dan glikosida cenderung tidak mengalami perubahan. Panda dan Kush (1995) menyatakan bahwa alkaloid umumnya diproduksi, kemudian dialokasikan dalam jaringan tanaman yang rentan terhadap serangan harbivora. Aniszewski (2007) menyatakan alkaloid diproduksi tanaman dan dikompartementasi di dalam vakuola, sehingga Vilarino dan Ravetta (2007) dapat menyatakan bahwa alkaloid diproduksi tanaman secara konstitutif. Namun Vilarino dan Ravetta (2007) menambahkan bila tanaman mengalami stress, seperti akibat serangan herbivora, konsentrasi alkaloid dapat meningkat.

Hasil penelitian Vilarino dan Ravetta (2007) diperkuat oleh hasil penelitian Vazquez-Flota et al. (2004) yang menunjukkan bahwa aplikasi etilen dan asam jasmonat dapat menstimulasi peningkatan konsentrasi alkaloid pada Catharanthus roseus. Hasil penelitian ini juga dipertegas oleh Gaines (2004) pada kultur jaringan. Berdasarkan penjabaran tersebut, dapat disimpulkan bahwa senyawa alkaloid pada tanaman handeuleum diproduksi secara konstitutif, namun dikonjugasikan atau disimpan pada bagian tertentu untuk mencegah autotoksisitas pada tanaman. Karenanya, tidak terdapat perubahan konsentrasi setelah tanaman terserang larva D. bisaltide.

Berdasarkan hasil analisis, secara umum glikosida tidak mengalami perubahan setelah tanaman terserang. Diduga senyawa ini diproduksi tanaman secara


(52)

32 konstitutif. Hal ini didukung pernyataan Hogedal dan Molgaard (2000 dalam Beninger dan Cloutier 2008) bahwa umumnya produksi glikosida dalam tanaman bersifat konstitutif. Glikosida merupakan salah satu senyawa yang diketahui bersifat deterrent bagi banyak serangga. Akan tetapi, berdasarkan studi literatur, senyawa ini dapat disequisterasi oleh sejumlah serangga spesialis (Vickery dan Vickery 1981). Hasil penelitian Pereyra dan Bowers (1988), begitu juga dengan Bowers dan Stamp (1997) menunjukkan hal tersebut juga berlaku bagi famili Nymphalidae. Berdasarkan hal tersebut, diduga D. bisaltide menggunakan kandungan glikosida yang terkandung dalam tanaman sebagai salah satu sidik jari untuk menemukan inangnya.

Kandungan saponin, triterpenoid, steroid, dan flavonoid mengalami perubahan konsentrasi. Pada 13 aksesi handeuleum, kandungan flavonoid cenderung mengalami penurunan konsentrasi. Kandungan saponin cenderung mengalami peningkatan konsentrasi. Konsentrasi triterpenoid pada daun setelah terserang tidak memiliki pola tertentu. Pada aksesi 1, 2, 4, 6, 9, 10, dan 12 konsentrasi triterpenoid tidak mengalami perubahan, pada aksesi 5 dan 13 konsentrasi triterpenoid meningkat, pada aksesi 7, 8, dan 11 konsentrasi triterpenoid dalam daun menurun. Konsentrasi steroid umumnya mengalami penurunan setelah tanaman terserang. Pada aksesi 1, penurunan yang terjadi sangat drastis. Senyawa ini tidak terdeteksi terdapat dalam jaringan kelompok daun setelah tanaman terserang. Diduga konsentrasi steroid menjadi sangat rendah pada sampel daun setelah terserang, sehingga tidak terdeteksi pada pengujian secara kualitatif.

Diantara keempat senyawa tersebut, banyak literatur yang menyebutkan bahwa steroid, saponin, dan triterpenoid bersifat deterrent bagi serangga (Vickery dan Vickery 1981; Schoonhoven et al. 2005; Brielmann et al. 2006), sedangkan untuk flavonoid, Panda dan Kush (1995) menyatakan bahwa senyawa ini dapat menarik perhatian serangga. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Wink (2006) yang dipertegas oleh hasil penelitian Kristina dan Mardiningsih (2008) yang menyebutkan bahwa adanya flavonoid dapat menarik perhatian D. polibete untuk meletakkan telur pada daun tanaman handeuleum. Pada penelitian ini, aksesi 12 memiliki kandungan flavonoid yang rendah. Kandungan senyawa ini menurun setelah tanaman terserang larva D. bisaltide. Kandungan flavonoid pada aksesi 1 relatif tinggi. Walaupun


(53)

33 setelah daun terserang kandungan senyawa ini menurun, tetapi konsentrasinya masih lebih tinggi dibandingkan aksesi 12 (Tabel 3.7).

Perubahan komposisi senyawa steroid, flavonoid, saponin, dan triterpenoid setelah tanaman terserang mengindikasikan bahwa senyawa tersebut diproduksi tanaman secara inducible, yang berarti konsentrasi senyawa tersebut akan berubah setelah tanaman terserang herbivora. Perubahan ini terjadi akibat herbivora mengeluarkan elicitor, berupa saliva herbivora (Southwood 1996; Felton 2008; State 2009), Saliva serangga mengandung glucose oxidase. Senyawa inilah yang merupakan elicitor yang dikenali tanaman sebagai sinyal adanya bahaya. State (2009) menambahkan bahwa senyawa ini pula yang menyebabkan respon yang berbeda antara tanaman yang terserang herbivora dengan kerusakan mekanis lainnya, seperti dirusak menggunakan gunting. Sinyal tersebut akan mengaktifkan lintasan transduksi pada tanaman yang kemudian mengaktifkan gen-gen untuk memproduksi senyawa pertahanan lebih banyak atau lebih sedikit (Memelink 2009). Persentase perubahan kandungan metabolit sekunder dihitung berdasarkan persamaan berikut:

Persen perubahan metabolit skeunder = [(skor akhir-skor awal)/skor awal] x 100% Persentase peningkatan kandungan metabolit sekunder daun tanaman handeuleum ditampilkan pada Tabel 3.7.


(54)

34 Tabel 3.7 Persentase perubahan kandungan metabolit sekunder pada daun 13 aksesi handeuleum

Aksesi Peningkatan kandungan metabolit sekunder (%)

Alkaloid Tannin Saponin Flavonoid Trierpenoid Steroid Glikosida

1 0 0 33.3 -33.3 0 -100 0

2 0 0 33.3 -66.7 0 -75 0

3 0 0 0 -66.7 0 -66.7 0

4 0 0 33.3 -50 0 -25 0

5 0 0 33.3 -50 50 -66.7 0

6 0 0 33.3 -50 0 -66.7 0

7 0 0 0 -50 -50 0 0

8 0 0 0 -33.3 -50 0 0

9 0 0 0 -50 0 -33.3 -25

10 33.3 0 0 0 0 -25 -25

11 0 0 0 100 -50 0 0

12 0 0 100 -50 0 -25 -25

13 0 0 33.3 0 200 -75 -25

Serangga terbang seperti imago lepidoptera menggunakan indera penciuman dan pengelihatan selama proses pencarian inang (Smith 1989). Sensor pengelihatan serangga tersebut sensitif terhadap panjang gelombang tertentu yang diserap pigmen tanaman. Karena itu, warna tanaman merupakan faktor yang turut menentukan penerimaan serangga, selain kandungan metabolit sekunder. Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukan analisis pigmen. Pada penelitian ini analisis pigmen dilakukan untuk total antosianin, total klorofil, dan total karotenoid. Antosianin merupakan pigmen yang berwarna kuat dan menyebabkan hampir semua variasi warna merah, ungu, dan biru dalam daun, bunga, dan buah tumbuhan tinggi (Harborne 1987, Guo et al. 2008). Klorofil merupakan pigmen yang menyebabkan warna hijau, sedangkan karotenoid merupakan pigmen penyebab warna merah, oranye, dan kuning pada bagian tumbuhan (Cuttriss et al. 2007). Berdasarkan hasil analisis pada daun sebelum terserang, kandungan pigmen antosianin tertinggi terdapat pada aksesi 5, 7, dan 8, sedangkan terendah terdapat pada aksesi 1 dan 9. Kandungan klorofil tertinggi terdapat pada aksesi 3, 5, dan 13, sedangkan kandungan terrendah terdapat pada aksesi 6 dan 12. Kandungan karotenoid tertinggi terdapat pada aksesi 13, sedangkan terendah terdapat pada aksesi 6 dan 9 (Tabel 3.8).


(1)

Lampiran 1.

Formula menurut Dr. Beda Schramm Khasiat: untuk batu pasir dalam empedu

Kandungan: Daun remujung 7 g

Daun handeuleum 7 g

Kejibeling 7 g

Gampurwatu 7 g

Daun ngokilo 7 g

Brambang gunung 10 g Empu kunci diparut 5 g

Jiok-kui (Cinn. zeylanicum) 3 g

Daun sendokan 5 g

Air 60 ml

Aplikasi: Direbus agak lama dan diminum sewaktu tidak makan Khasiat: untuk sakit limpa

Kandungan: Perasan temu lawak 6 g Daun pare hutan 2 g

Daun handeuleum 4 g

Daun jombang 3 g

Daun mimba 2 g

Pegagan 4 g

Sembung 4 g

Air 400 ml

Aplikasi: Direbus dan diminum (untuk pemakaian sehari)

Khasiat: Tekanan darah tinggi

Kandungan: Daun pegagan 60 g Daun selamagi 20 g Daun handeuleum 15 g

Labu putih 50 g

Daun meniran 30 g

Daun kejibeling 15 g Daun Sembunglegi 30 g

Sagamanis 90 g

Air 500 ml

Aplikasi: Direbus dan diminum (untuk pemakaian dua hari)

Khasiat: Demam karena malaise

Kandungan: Temu hitam (diparut) 10 g Daun handeuleum (ditumbuk) 7 g Mah huang (Ephedra sinica) (ditumbuk) 7 g

Air mendidih 200 ml


(2)

Khasiat: Dysmenorrhe dan amenorrhea

Kandungan: Daun handeuleun (ditumbuk) 6 g

Daun iler 7 g

Daun srigading (Nyctantes arbor – tristis)

15 g Kencur (diparut) 20 g Biji jintan hitam (Nigelia sativa)

dihaluskan

8 g

Kunyit 7 g

Asam trengguli 10 g

Air 450 ml

Aplikasi: Direbus dan diminum untuk sehari Khasiat: Anti kolelitiasis (batu empedu)

Kandungan: Daun handeuleum 10 g

Pegagan 10 g

Daun sembunglegi 10 g

Kencur 30 g

Temulawak 70 g

Remujung 15 g

Daun pepaya muda 5 g

Sangkobak 5 g

Daun kajibeling 5 g

Kunyit 10

Daun ngokilo 25 g

Ketumbar 10 g

Air 300 ml

Aplikasi: Direbus dan diminum sewaktu perut kosong

Khasiat: Untuk kholik karena ginjal

Kandungan: Catatan : daun dalam keadaan basah

Daun handeuleum 7 g

Daun ngokilo 7 g

Daun duduk 10 g

Daun meniran 7 g

Daun ki urat sendokan (Plantago major) 7 g

Herba agrimone 3 g

Remujung 9 g

Air panas 500 ml

Aplikasi: Diaduk dan diminum sehari

Khasiat: Untuk ginjal yang bengkak dan panas

Kandungan: Daun handeuleum 5 g

Daun meniran 3 g

Daun ngokilo (Strobilanthes crispus) 9 g Catatan : daun – daun dalam keadaan


(3)

basah

Daun remujung 5 g

Daun sangkobak 7 g

Daun duduk (Desmodium triquertrum) 6 g

Air 500 ml

Aplikasi: Direbus dan diminum untuk sehari Formula Kloppenburgh – Varteegh

Khasiat: Untuk obat wasir

Kandungan: Daun handeuleum 7 lembar

Air 2 gelas

Aplikasi: Direbus sampai tinggal separo Khasiat: Untuk obat wasir

Kandungan: Daun handeuleun 1 ons Daun urat segar 1 ons

Air 2 botol anggur Aplikasi: Direbus sampai tinggal separo

Khasiat: Untuk obat wasir

Kandungan: Daun handeuleum 1 genggam besar Tempu wiyang (Senecio sonhifolium) Beberapa batang Bawang merah Beberapa biji

Adas 3 biji

Pulasari Setengah jari

Daun dan akar pegagan 1 genggam besar Air 1 botol anggur Aplikasi: Direbus sampai tinggal separo

Khasiat: Untuk batu empedu

Kandungan: Daun handeuleum 7 lembar Daun enyoh kebo (Strobilanthes

crispus)

5 lembar

Kastroli 2 sendok makan

air 2 gelas kecil

Aplikasi: Direbus sampai tinggal separo Khasiat: Untuk batu empedu

Kandungan: Daun handeuleum 7 lembar

Daun remujung 1 genggam

Bawang gunung 2 buah

Kayu manis cina 1 jari Empu kunyit 1 jari

Air 2 botol anggur Aplikasi: Bahan dicacah halus dan direbus sampai

separo


(4)

kotor

Kandungan: Daun handeuleum 7 – 9 lembar

Temulawak 1 iris

Air 2 gelas kecil

Aplikasi: Direbus sampai air tinggal separo Formulasi Sudarman M dan Harsono RM

Khasiat: Untuk bisul

Kandungan: Handeuleum 6 lembar

Daun calincing 5 buah Daun meniran kerbau 1/3 genggam

Daun nagka ¼ genggam

Daun maja 6 lembar

Gula enau 3 jari

Air bersih 4 gelas minum Aplikasi: Bahan dicuci dan dipotong-potong

seperlunya kemudian direbus sehingga tinggal ¾-nya, sesudah suam-suam kuku disaring, diminum 2 kali sehari ¾ gelas minum

Formulasi dari Bimantoro

Khasiat: Untuk obat luar pada pembengkakan dan bisul

Kandungan: Daun handeuleum Secukupnya

Air kelapa Secukupnya


(5)

Lampiran 2 Kurva kenormalan jumlah trikoma handeuleum berdasarkan Saphiro-Wilk

Lampiran 3 Kurva kenormalan karakter luas area daun total berdasarkan Saphiro-Wilk


(6)

Lampiran 4 Korelasi antar karakter morfologi dan fitokimia pada tanaman handeuleum dengan aktivitas peletakan telur dan aktivitas makan D, bisaltide

Telur Anto Kloro Karo C N C/N Ca Serat Alkaloid Saponin Flavo Tterpen Steroid Luas daun

Trikoma Anto 0.71**

Kloro -0.74** -0.99**

Karo -0.51 -0.89** 0.83** C 0.03 -0.19 0.14 0.33

N -0.52 -0.29 0.30 0.25 0.53

C/N 0.63* 0.25 -0.27 -0.13 -0.13 -0.91** Ca 0.37 0.30 -0.32 -0.21 -0.52 -0.43 0.25

Serat 0.16 0.06 -0.15 0.31 0.00 0.01 -0.03 0.23

Alkaloid -0.38 -0.05 0.04 0.07 -0.57 -0.15 -0.11 0.41 0.36

Saponin 0.62 0.48 -0.50 -0.33 0.12 -0.29 0.38 -0.33 0.14 -0.53

Flavo -0.02 0.38 -0.38 -0.36 -0.40 0.02 -0.21 0.14 0.28 0.38 0.12

Tterpen 0.31 0.20 -0.25 0.02 0.11 -0.47 0.60* -0.25 0.13 -0.10 0.55 0.11

Steroid -0.26 -0.52 0.54 0.35 0.01 0.27 -0.30 0.19 -0.06 0.00 -0.46 -0.37 -0.84**

luas daun 0.28 0.10 -0.16 0.16 -0.14 -0.57* 0.58* 0.15 0.52 0.05 0.58* -0.02 0.54 -0.19

Trikoma 0.49 -0.05 0.05 -0.12 -0.22 -0.65* 0.66* -0.00 0.23 0.12 0.44 0.33 0.32 -0.11 0.42 Makan -0.13 -0.36 0.40 0.18 0.44 0.13 0.09 -0.36 -0.72** -0.69* -0.09 -0.52 0.03 0.07 0.43 -0.25

Keterangan : Korelasi menggunakan metode Pearson. * nyata pada taraf 5%, ** sangat nyata pada taraf 1%.

Anto = antosianin; kloro = klorofil; karo = karotenoid; C = karbon organik; N = nitrogen; Ca = kalsium; Flavo = flavonoid Tanin dan glikosida tidak dapat dikorelasikan karena tidak terdapat keragaman data