Tujuan Hipotesis Kesimpulan IDENTIFIKASI KARAKTER MORFOLOGI DAN KANDUNGAN

21 dikarenakan adanya dual peranan metabolit sekunder tanaman, baik deterrent ataupun stimulan, bagi serangga. Peranan tersebut bergantung pada spesialisasi serangganya. Panda dan Kush 1995; Schoonhoven et al. 2005; serta Alotaiba dan Elsayed 2007 menyatakan bahwa metabolit sekunder umumnya bersifat deterrent bagi serangga generalis, namun justru merupakan stimulan bagi serangga spesialis. Sebagai contoh, iridoid glikosida bersifat deterrent bagi Locusta migratoria Orthophtera: Acridae, tetapi senyawa ini merupakan stimulan bagi Euphydryas editha Lepidoptera: Nymphalidae. Panda dan Kush 1995 menyatakan hal ini dikarenakan serangga spesialis umumnya dapat mendetoksifikasi senyawa yang bersifat toksik. Hasil penelitian Khumaida et al. 2008 pada 38 aksesi tanaman handeuleum menunjukkan bahwa 38 aksesi tersebut memiliki karakter morfologi yang serupa, sedangkan kandungan saponin, tanin, alkaloid, glikosida, flavonoid, steroid, dan triterpenoid bervariasi. Tiga belas aksesi di antaranya memiliki kandungan fitokimia tinggi. Secara teori, penerimaan serangga terhadap tanaman inangnya bergantung pada perbandingan komposisi senyawa kimia yang bersifat stimulan dan deterrent; serta morfologi tanaman tersebut Panda dan Kush 1995; Schoonhoven et al. 2005. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan analisis lebih lanjut terhadap beberapa karakter morfologi serta kandungan fitokimia sebagai langkah identifikasi awal mekanisme resistensi 13 aksesi handeuleum terhadap Doleschallia bisaltide Lepidoptera: Nymphalidae.

3.3 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi beberapa karakter morfologi dan perubahan komposisi senyawa fitokimia antara sebelum dan setelah terserang larva D. bisaltide pada 13 aksesi handeuleum. 22

3.4 Hipotesis

Terdapat perbedaan karakter morfologi pada 13 aksesi handeuleum. Terdapat perubahan komposisi fitokimia pada 13 aksesi handeuleum setelah terserang larva D. bisaltide.

3.5 Metodologi Penelitian

Metodologi penelitian yang digunakan berupa pengamatan pada beberapa karakter morfologi dan fitokimia 13 aksesi handeuleum untuk mengidentifikasi mekanisme resistensi tanaman handeuleum.

3.5.1 Waktu dan Tempat

Pengamatan karakter morfologi dan pengumpulan sampel untuk pengujian fitokimia 13 aksesi tanaman handeuleum dilakukan pada bulan November sampai Desember 2009. Pengambilan sampel fitokimia, karakter morfologi, serta pengujian kandungan metabolit sekunder dan metabolit primer dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik BALITTRO, Bogor. Analisis kandungan pigmen 13 aksesi tanaman handeuleum dilakukan di Laboratorium Research Group Crop Improvement RGCI, Departemen Agronomi dan Hortikultura, IPB. Pengamatan keragaan dan kerapatan trikoma dilakukan di Laboratorium Ekofisiologi, Departemen Agronomi dan Hortikultura, IPB.

3.5.2 Persiapan Tanaman Uji

Tanaman uji yang digunakan berasal dari perbanyakan vegetatif 13 aksesi handeuleum. Tanaman tersebut dipelihara dalam rumah kasa. Selama perawatan, penyiraman dilakukan 2 kali sehari dan diberi pupuk sebulan sekali dengan perbandingan komposisi N:P:K 1:1:1. Untuk pengujian kandungan fitokimia, setiap aksesi handeuleum dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, daun langsung dipanen tanpa diberi perlakuan sebagai sampel daun sebelum terserang. Kelompok kedua, tanaman diinfestasikan larva D. bisaltide selama satu hari kemudian dipanen sebagai sampel daun setelah tanaman terserang. Hal ini mengacu pada pernyataan Rosenthal dan Janzen 1979 bahwa tanaman akan merespon gangguan herbivora dengan memproduksi metabolit sekunder sebagai pertahanan 23 kualitatif minimal 12 jam setelah tanaman tersebut dikonsumsi herbivora. Kedua kelompok sampel tersebut dikeringkan pada suhu 40 o C dan diekstrak sebelum dianalisis. Asal daerah ketigabelas aksesi yang diuji dtampilkan pada Tabel 3.1. Tabel 3.1 Asal dan deskripsi 13 aksesi handeuleum yang diuji Kode Asal Lokasi Bentuk dan warna daun Batang 01 Bogor, Jawa Barat jorong, ungu Ungu 02 Manoko, Jawa Barat jorong, ungu Ungu 03 Jawa Timur jorong, ungu Ungu 04 Kalimantan Tengah jorong, ungu Ungu 05 Kalimantan Selatan jorong, ungu Ungu 06 Soabali 2 Maluku jorong, ungu Ungu 07 Salahutu Maluku jorong, ungu Ungu 08 BTN Maluku jorong, ungu Ungu 09 Angkasa Dok V Jayapura, Papua jorong, ungu Ungu 10 Pegunungan Cyclops Sentani, Papua jorong, ungu Ungu 11 Cigombong Papua jorong, ungu Ungu 12 Menteng Bogor, Jawa Barat lanset, variegata hijau-putih Hijau 13 Malabar Pengalengan, Jawa Barat jorong, ungu Ungu

3.5.3 Persiapan serangga uji

Larva D. bisaltide yang digunakan untuk pengujian merupakan hasil rearing di rumah kaca. Larva serangga ini dipelihara hingga instar III di dalam kotak perbanyakan dan diberi pakan daun handeuleum. Larva D. bisaltide instar III kemudian diletakkan pada tanaman uji untuk memperoleh sampel pada kelompok daun setelah terserang larva D. bisaltide.

3.5.4 Pengamatan Karakter Morfologi Daun

Pengamatan karakter morfologi dilakukan pada 13 aksesi tanaman handeuleum. Pengamatan dilakukan pada karakter yang diduga berkaitan dengan preferensi aktivitas peletakan telur dan aktivitas makan serangga D. bisaltide. Karakter tersebut meliputi kerapatan trikoma per luas bidang pandang 0.038 mm 2 dan luas daun tanaman handeuleum. Kerapatan trikoma yang diamati adalah trikoma pada bagian tengah sampai ujung permukaan bawah daun kedua yang telah membuka sempurna, Pengamatan dilakukan menggunakan mikroskop dengan luas bidang pandang 0.038 mm 2 . Luas daun tanaman handeuleum diamati dengan metode gravimetri dengan langkah-langkah sebagai berikut: 24 1. Seluruh daun satu tanaman digambar pada kertas milimeter blok 2. Gambar daun dipotong, kemudian ditimbang 3. Sebagai kontrol, kertas dengan luas 580 cm 2 ditimbang 4. Berat po tongan gambar daun dibandingkan dengan berat kertas dengan menggunakan persamaan berikut:

3.5.5 Analisis Kandungan Fitokimia Daun Sebelum dan Setelah Terserang Larva

D.bisaltide

Analisis kandungan fitokimia daun handeuleum dilakukan terhadap beberapa senyawa yang diduga berhubungan dengan mekanisme resistensi tanaman handeuleum terhadap D. bisaltide. Senyawa tersebut terdiri atas alkaloid, saponin, triterpenoid, steroid, flavonoid, tanin, dan glikosida; serat, nitrogen, unsur kalsium, dan C organik; serta kandungan pigmen yakni pigmen klorofil total, karotenoid total, dan antosianin total. Analisis yang dilakukan meliputi : • Analisis kandungan pigmen tanaman Kandungan pigmen tanaman dianalisis dengan metode Sims dan Gamon 2002 menggunakan alat UV spektrofotometer. Konsentrasi Setiap pigmen diidentifikasi pada panjang gelombang yang berbeda-beda, dimana panjang gelombang 663 nm untuk pigmen klorofil a, 647 nm untuk klorofil b, 537 nm untuk antosianin, dan 470 nm untuk pigmen karotenoid. Data hasil pembacaan menggunakan alat UV spektrofotometer kemudian dikonversi ke dalam satuan molm 2 dengan tahapan perhitungan sebagai berikut: Antosianin = 0.01373A537 - 0.00697A647 – 0.002228A663 Klorofil a = 0.01373A663 – 0.000897A537 – 0.003046A663 Klorofil b = 0.02405A647 – 0.004305A537 – 0.005507A663 Sehingga klorofil total dapat dihitung menggunakan persamaan berikut: Klorofil total = 7.15A663-18.71A647 Karotenoid = A470 – 17.1Chl a + Chl b – 9.479antosianin 119.26 Keterangan : Ax merupakan data hasil pembacaan pada panjang gelombang x 25 Untuk mengkonversi konsentrasi pigmen per satuan luas digunakan perhitungan berikut: Pigmenarea = pigmen61000 Luas area daun total dalam m 2 • Analisis metabolit sekunder Analisis yang digunakan merupakan analisis visual berdasarkan kepekatan warna larutan. Data berupa skoring, berdasarkan standar Laboratorium Pengujian Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik BALITTRO. • Analisis selulosa, kalsium, nitrogen, dan C organik Analisis yang dilakukan merupakan analisis kuantitatif berdasarkan metode standar yang digunakan pada Laboratorium Pengujian Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik BALITTRO.

3.5.6 Analisis Data Data fitokimia

Data fitokimia daun handeuleum dianalisis dengan membandingkan secara visual antara aksesi yang satu dengan aksesi lainnya. Data morfologi Data morfologi diuji menggunakan analisis sidik ragam. Apabila berbeda nyata, dilanjutkan dengan uji Tukey dengan bantuan program SAS v 9.0. Uji kenormalan data menggunakan metode Saphiro-Wilk. Uji korelasi antar karakter morfologi dan fitokimi dilakukan berdasarkan persamaan Pearson. Uji kenormalan dan korelasi dilakukan dengan program MINITAB 14. Hasil sidik ragam Tabel 3.2 digunakan untuk menduga nilai ragam fenotipe, ragam genetik, dan ragam lingkungan. Tabel 3.2. Analisis sidik ragam Annichiarico 2002 Sumber keragaman Db KT EKT Ulangan r-1 - Aksesi g-1 M2 σ 2 e + r σ 2 g + σ 2 gl + σ 2 gm + σ 2 glm Galat r-1g-1 M1 σ 2 e Keterangan: db = derajat bebas; KT = kuadrat tengah; EKT = Nilai harapan dari Kuadrat Tengah 26 Pendugaan ragam genetik adalah sebagai berikut: σ 2 e = ragam lingkungan = Kuadrat Tengah Galat KTG = M1 σ 2 g = ragam genetik = M2 – M1 r σ 2 p = σ 2 g + σ 2 e Pendugaan nilai heritabilitas arti luas dihitung berdasarkan analisis ragam Allard 1966 dengan persamaan berikut: h 2 bs = σ 2 G σ 2 P x 100 dimana: h 2 bs = heritabilitas arti luas σ 2 G = ragam genetik σ 2 P = ragam fenotipe 3.6 Hasil dan Pembahasan 3.6.1 Karakter Morfologi Morfologi tanaman merupakan karakter yang berperan dalam proses pencarian inang oleh serangga Schoonhoven et al. 2005. Hal tersebut diduga juga berlaku pada interaksi antara tanaman handeuleum dengan D. bisaltide sebagai hama. Bentuk tajuk tanaman dan warna bagian tertentu dari tanaman dapat menjadi stimulan atau deterrent bagi serangga. Karakter morfologi yang diduga berperan dalam proses penerimaan D. bisaltide terhadap tanaman handeuleum adalah luas area daun total, warna tanaman, serta kerapatan trikoma pada daun tanaman handeuleum. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa trikoma tanaman handeuleum berada di permukaan daun bagian bawah. Bentuk trikoma pada 13 aksesi serupa, yakni rambut dengan posisi tegak atau agak miring. Hal ini sesuai dengan deskripsi Schoonhoven et al. 2005 bahwa bentuk trikoma tanaman bervariasi, salah satunya berbentuk rambut. Keragaan trikoma 13 aksesi handeuleum ditampilkan pada Gambar 3.1. 27 Gambar 3.1 Keragaan trikoma 13 aksesi handeuleum. 28 Hasil uji kenormalan sebaran data menunjukkan bahwa karakter kerapatan trikoma dan luas area daun total menyebar normal Lampiran 2 dan Lampiran 3. Berdasarkan pengamatan, kerapatan trikoma pada 13 aksesi bervariasi. Luas area daun total 13 aksesi tidak berbeda nyata, tetapi, bila diurutkan, aksesi 3 1 020.17 cm 2 dan aksesi 8 1 027.86 cm 2 merupakan aksesi dengan luas area daun total terluas, sedangkan aksesi 1 403.42 cm 2 dan aksesi 12 514.10 cm 2 merupakan aksesi dengan luas area daun total tersempit. Luas area daun total dan kerapatan trikoma masing-masing aksesi ditampilkan pada Tabel 3.3. Tabel 3.3 Luas area daun total dan kerapatan trikoma 13 aksesi handeuleum Aksesi Luas area daun total cm 2 Kerapatan trikoma 0.038 mm 2 1 403.42 ±147.12 1.5 ±0.71 2 698.78 ±343.58 7.5 ±9.19 3 1020.17 ±158.60 12.5 ±2.12 4 850.79 ±277.19 11.5 ±0.71 5 898.65 ± 71.51 4.0 ±2.83 6 712.63 ±248.69 7.0 ±0.00 7 901.69 ±272.16 6.5 ±6.36 8 1027.86 ±148.55 7.0 ±7.07 9 670.12 ±181.20 7.0 ±0.00 10 780.32 ± 74.10 1.0 ±1.41 11 869.69 ±147.12 4.0 ±0.00 12 514.10 ±343.59 6.5 ±6.36 13 819.36 ±158.60 2.5 ±3.54 Keterangan: Data±SD Heritabilitas merupakan suatu parameter yang menentukan seberapa besar suatu karakter dapat diturunkan dari induk kepada keturunannya. Nilai heritabilitas juga mencerminkan seberapa besar peran lingkungan dalam mempengaruhi ekspresi karakter tertentu. Semakin besar nilai heritabilitas, semakin besar potensi suatu karakter diturunkan pada keturunannya. Hal ini menandakan semakin kecil pengaruh lingkungan pada karakter tersebut. Kriteria heritabilitas menurut Stansfield 1983 dalam Komariah et al. 2004 serta Zen dan Bahar 1996 adalah sebagai berikut: Tabel 3.4 Kriteria Heritabilitas Nilai duga heritabilitas Kriteria heritabilitas 0 x 20 Rendah 20 ≤ x 50 Sedang 50 ≤ x Tinggi 29 Nilai rekapitulasi sidik ragam pada karakter luas area daun total dan kerapatan trikoma ditampilkan pada Tabel 3.5. Nilai heritabilitas karakter kerapatan trikoma sebesar 21.69. Nilai heritabilitas untuk karakter luas area daun total adalah 20.89. Berdasarkan klasifikasi Zen dan Bahar 1996, maka nilai heritabilitas kedua karakter termasuk kategori sedang. Hal ini berarti, kedua karakter ini dapat diturunkan, namun sedikit dipengaruhi lingkungan. Pendugaan ragam genetik σ 2 g , ragam fenotipe σ 2 p , ragam lingkungannya σ 2 e , serta nilai heritabilitas ditampilkan pada Tabel 3.5. Tabel 3.5 Rekapitulasi sidik ragam, ragam genetik, ragam fenotipe, ragam galat, serta nilai heritabilitas pada karakter luas area daun total dan kerapatan trikoma tanaman handeuleum Rekapitulasi komponen sidik ragam No Sumber keragaman KT Luas area daun total KT Kerapatan trikoma 0.038 mm 2 1 Ulangan 46286.176 58.500 2 Aksesi 138910.867 23.955 3 Galat 90898.128 15.417 Komponen Pendugaan Parameter Genetik No Parameter genetik Luas area daun total Kerapatan trikoma 0.038 mm 2 1 Ragam genetik σ 2 g 24006.367 4.269 2 Ragam fenotipe σ 2 p 114904.498 19.686 3 Ragam galat σ 2 e 90898.128 15.417 4 Nilai heritabilitas 20.893 S 21.687 S Keterangan : S = sedang; nilai ragam genetik, ragam fenotipe, dan ragam lingkungan diduga berdasarkan sidik ragam Tabel 3.2.

3.6.2 Kandungan Fitokimia

Berdasarkan hasil analisis kualitatif, terdapat perbedaan pola perubahan pada masing-masing jenis metabolit sekunder yang terkandung dalam daun tanaman handeuleum Tabel 3.6. Schoonhoven et al. 1998 dan Schoonhoven et al. 2005 menyatakan bahwa umumnya akan terjadi peningkatan kandungan metabolit sekunder setelah tanaman terserang hama. Hasil analisis menunjukkan 13 aksesi handeuleum mengandung alkaloid, tanin, steroid, dan glikosida terdeteksi kuat, yang berarti keempat senyawa tersebut terkandung dalam konsentrasi tinggi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Khumaida et al. 2008. Konsentrasi flavonoid dan triterpenoid pada 13 aksesi terdeteksi lemah sampai kuat, sedangkan kandungan saponin bervariasi. Diantara 13 aksesi handeuleum, kandungan saponin 30 aksesi 12 lebih rendah dibandingkan aksesi lainnya. Perbandingan kandungan metabolit sekunder sebelum dan setelah tanaman terserang larva D. bisaltide ditampilkan pada Tabel 3.6. Tabel 3.6 Kandungan metabolit sekunder daun tanaman handeuleum sebelum dan setelah terserang larva D. bisaltide Aksesi status serangan Metabolit Sekunder Alkaloid Tanin Saponin Tri terpenoid Steroid Flavonoid Glikosida 1 Sebelum 4 4 3 1 3 3 4 Setelah 4 4 4 1 - 2 4 2 Sebelum 4 4 3 1 4 3 4 Setelah 4 4 4 1 1 1 4 3 Sebelum 4 4 4 2 3 3 4 Setelah 4 4 4 2 1 1 4 4 Sebelum 4 4 3 1 4 2 4 Setelah 4 4 3 1 3 1 4 5 Sebelum 4 4 3 2 3 2 4 Setelah 4 4 4 3 1 1 4 6 Sebelum 4 4 3 2 3 2 4 Setelah 4 4 4 2 1 1 4 7 Sebelum 4 4 4 2 3 2 4 Setelah 4 4 4 1 3 1 4 8 Sebelum 4 4 4 2 3 3 4 Setelah 4 4 4 1 3 2 4 9 Sebelum 3 4 4 2 3 2 4 Setelah 3 4 4 2 2 1 3 10 Sebelum 3 4 4 1 4 2 4 Setelah 4 4 4 1 3 2 3 11 Sebelum 3 4 4 2 3 1 4 Setelah 3 4 4 1 3 2 4 12 Sebelum 4 4 2 1 4 2 4 Setelah 4 4 4 1 1 1 3 13 Sebelum 4 4 3 1 1 1 4 Setelah 4 4 4 3 1 1 3 Keterangan: 4 = terdeteksi kuat sekali, 3 = terdeteksi kuat, 2 = terdeteksi lemah, 1 = terdeteksi sangat lemah, - = tidak terdeteksi Terdapat beberapa strategi tanaman dalam memproduksi metabolit sekunder. Berdasarkan sistem produksi oleh tanaman, terdapat senyawa yang diproduksi secara konstitutif dan inducible. Suatu senyawa termasuk dalam kelompok konstitutif apabila senyawa tersebut diproduksi tanaman secara terus menerus, tanpa bergantung 31 pada ada atau tidaknya stres lingkungan. Senyawa golongan inducible adalah senyawa yang diproduksi atau berhenti diproduksi bila tanaman mengalami stres lingkungan. Dalam proses pelepasannya, senyawa dibagi menjadi dua kelompok, yakni senyawa yang dilepas secara konstitutif dan inducible. Senyawa yang dilepas secara konstitutif adalah senyawa yang selalu dikeluarkan tanaman baik ada atau tidaknya stres lingkungan, sedangkan senyawa yang dilepas secara inducible adalah kelompok senyawa yang dilepaskan ke lingkungan hanya pada kondisi tertentu. Senyawa yang dilepas secara konstitutif adalah senyawa yang diproduksi secara konstitutif, sedangkan senyawa yang dilepas secara inducible dapat merupakan senyawa yang diproduksi secara konstitutif maupun inducible. Pada penelitian ini, kandungan fitokimia digolongkan berdasarkan proses produksi, bukan regulasi pelepasannya. Hasil analisa kandungan sampel daun handeuleum setelah terserang larva D. bisaltide menunjukkan konsentrasi alkaloid, tanin, dan glikosida cenderung tidak mengalami perubahan. Panda dan Kush 1995 menyatakan bahwa alkaloid umumnya diproduksi, kemudian dialokasikan dalam jaringan tanaman yang rentan terhadap serangan harbivora. Aniszewski 2007 menyatakan alkaloid diproduksi tanaman dan dikompartementasi di dalam vakuola, sehingga Vilarino dan Ravetta 2007 dapat menyatakan bahwa alkaloid diproduksi tanaman secara konstitutif. Namun Vilarino dan Ravetta 2007 menambahkan bila tanaman mengalami stress, seperti akibat serangan herbivora, konsentrasi alkaloid dapat meningkat. Hasil penelitian Vilarino dan Ravetta 2007 diperkuat oleh hasil penelitian Vazquez-Flota et al. 2004 yang menunjukkan bahwa aplikasi etilen dan asam jasmonat dapat menstimulasi peningkatan konsentrasi alkaloid pada Catharanthus roseus . Hasil penelitian ini juga dipertegas oleh Gaines 2004 pada kultur jaringan. Berdasarkan penjabaran tersebut, dapat disimpulkan bahwa senyawa alkaloid pada tanaman handeuleum diproduksi secara konstitutif, namun dikonjugasikan atau disimpan pada bagian tertentu untuk mencegah autotoksisitas pada tanaman. Karenanya, tidak terdapat perubahan konsentrasi setelah tanaman terserang larva D. bisaltide . Berdasarkan hasil analisis, secara umum glikosida tidak mengalami perubahan setelah tanaman terserang. Diduga senyawa ini diproduksi tanaman secara 32 konstitutif. Hal ini didukung pernyataan Hogedal dan Molgaard 2000 dalam Beninger dan Cloutier 2008 bahwa umumnya produksi glikosida dalam tanaman bersifat konstitutif. Glikosida merupakan salah satu senyawa yang diketahui bersifat deterrent bagi banyak serangga. Akan tetapi, berdasarkan studi literatur, senyawa ini dapat disequisterasi oleh sejumlah serangga spesialis Vickery dan Vickery 1981. Hasil penelitian Pereyra dan Bowers 1988, begitu juga dengan Bowers dan Stamp 1997 menunjukkan hal tersebut juga berlaku bagi famili Nymphalidae. Berdasarkan hal tersebut, diduga D. bisaltide menggunakan kandungan glikosida yang terkandung dalam tanaman sebagai salah satu sidik jari untuk menemukan inangnya. Kandungan saponin, triterpenoid, steroid, dan flavonoid mengalami perubahan konsentrasi. Pada 13 aksesi handeuleum, kandungan flavonoid cenderung mengalami penurunan konsentrasi. Kandungan saponin cenderung mengalami peningkatan konsentrasi. Konsentrasi triterpenoid pada daun setelah terserang tidak memiliki pola tertentu. Pada aksesi 1, 2, 4, 6, 9, 10, dan 12 konsentrasi triterpenoid tidak mengalami perubahan, pada aksesi 5 dan 13 konsentrasi triterpenoid meningkat, pada aksesi 7, 8, dan 11 konsentrasi triterpenoid dalam daun menurun. Konsentrasi steroid umumnya mengalami penurunan setelah tanaman terserang. Pada aksesi 1, penurunan yang terjadi sangat drastis. Senyawa ini tidak terdeteksi terdapat dalam jaringan kelompok daun setelah tanaman terserang. Diduga konsentrasi steroid menjadi sangat rendah pada sampel daun setelah terserang, sehingga tidak terdeteksi pada pengujian secara kualitatif. Diantara keempat senyawa tersebut, banyak literatur yang menyebutkan bahwa steroid, saponin, dan triterpenoid bersifat deterrent bagi serangga Vickery dan Vickery 1981; Schoonhoven et al. 2005; Brielmann et al. 2006, sedangkan untuk flavonoid, Panda dan Kush 1995 menyatakan bahwa senyawa ini dapat menarik perhatian serangga. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Wink 2006 yang dipertegas oleh hasil penelitian Kristina dan Mardiningsih 2008 yang menyebutkan bahwa adanya flavonoid dapat menarik perhatian D. polibete untuk meletakkan telur pada daun tanaman handeuleum. Pada penelitian ini, aksesi 12 memiliki kandungan flavonoid yang rendah. Kandungan senyawa ini menurun setelah tanaman terserang larva D. bisaltide. Kandungan flavonoid pada aksesi 1 relatif tinggi. Walaupun 33 setelah daun terserang kandungan senyawa ini menurun, tetapi konsentrasinya masih lebih tinggi dibandingkan aksesi 12 Tabel 3.7. Perubahan komposisi senyawa steroid, flavonoid, saponin, dan triterpenoid setelah tanaman terserang mengindikasikan bahwa senyawa tersebut diproduksi tanaman secara inducible, yang berarti konsentrasi senyawa tersebut akan berubah setelah tanaman terserang herbivora. Perubahan ini terjadi akibat herbivora mengeluarkan elicitor, berupa saliva herbivora Southwood 1996; Felton 2008; State 2009, Saliva serangga mengandung glucose oxidase. Senyawa inilah yang merupakan elicitor yang dikenali tanaman sebagai sinyal adanya bahaya. State 2009 menambahkan bahwa senyawa ini pula yang menyebabkan respon yang berbeda antara tanaman yang terserang herbivora dengan kerusakan mekanis lainnya, seperti dirusak menggunakan gunting. Sinyal tersebut akan mengaktifkan lintasan transduksi pada tanaman yang kemudian mengaktifkan gen-gen untuk memproduksi senyawa pertahanan lebih banyak atau lebih sedikit Memelink 2009. Persentase perubahan kandungan metabolit sekunder dihitung berdasarkan persamaan berikut: Persen perubahan metabolit skeunder = [skor akhir-skor awalskor awal] x 100 Persentase peningkatan kandungan metabolit sekunder daun tanaman handeuleum ditampilkan pada Tabel 3.7. 34 Tabel 3.7 Persentase perubahan kandungan metabolit sekunder pada daun 13 aksesi handeuleum Aksesi Peningkatan kandungan metabolit sekunder Alkaloid Tannin Saponin Flavonoid Trierpenoid Steroid Glikosida 1 33.3 -33.3 -100 2 33.3 -66.7 -75 3 -66.7 -66.7 4 33.3 -50 -25 5 33.3 -50 50 -66.7 6 33.3 -50 -66.7 7 -50 -50 8 -33.3 -50 9 -50 -33.3 -25 10 33.3 -25 -25 11 100 -50 12 100 -50 -25 -25 13 33.3 200 -75 -25 Serangga terbang seperti imago lepidoptera menggunakan indera penciuman dan pengelihatan selama proses pencarian inang Smith 1989. Sensor pengelihatan serangga tersebut sensitif terhadap panjang gelombang tertentu yang diserap pigmen tanaman. Karena itu, warna tanaman merupakan faktor yang turut menentukan penerimaan serangga, selain kandungan metabolit sekunder. Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukan analisis pigmen. Pada penelitian ini analisis pigmen dilakukan untuk total antosianin, total klorofil, dan total karotenoid. Antosianin merupakan pigmen yang berwarna kuat dan menyebabkan hampir semua variasi warna merah, ungu, dan biru dalam daun, bunga, dan buah tumbuhan tinggi Harborne 1987, Guo et al. 2008. Klorofil merupakan pigmen yang menyebabkan warna hijau, sedangkan karotenoid merupakan pigmen penyebab warna merah, oranye, dan kuning pada bagian tumbuhan Cuttriss et al. 2007. Berdasarkan hasil analisis pada daun sebelum terserang, kandungan pigmen antosianin tertinggi terdapat pada aksesi 5, 7, dan 8, sedangkan terendah terdapat pada aksesi 1 dan 9. Kandungan klorofil tertinggi terdapat pada aksesi 3, 5, dan 13, sedangkan kandungan terrendah terdapat pada aksesi 6 dan 12. Kandungan karotenoid tertinggi terdapat pada aksesi 13, sedangkan terendah terdapat pada aksesi 6 dan 9 Tabel 3.8. 35 Tabel 3.8 Perbandingan kandungan pigmen 13 aksesi handeuleum sebelum dan setelah terserang larva D. bisaltide. Aksesi Pigmen molm 2 Antosianin Klorofil Karotenoid Sebelum Setelah Sebelum Setelah Sebelum Setelah 1 0.620 0.708 0.342 0.424 0.225 0.277 2 0.476 0.617 0.391 0.233 0.223 0.232 3 0.391 0.509 0.391 0.440 0.224 0.268 4 0.259 0.494 0.242 0.292 0.154 0.218 5 0.373 0.817 0.414 0.687 0.225 0.407 6 0.312 0.423 0.355 0.331 0.197 0.208 7 0.313 0.429 0.307 0.387 0.196 0.229 8 0.600 0.673 0.502 0.402 0.301 0.302 9 0.453 0.496 0.512 0.390 0.278 0.240 10 0.375 0.532 0.437 0.458 0.244 0.272 11 0.130 0.076 0.566 0.559 0.246 0.245 12 0.457 0.272 0.520 0.274 0.285 0.175 13 0.620 0.708 0.342 0.424 0.225 0.277 Serangan larva D. bisaltide menyebabkan penurunan kandungan klorofil pada aksesi 1-11, tetapi menyebabkan hal sebaliknya pada aksesi 12 dan 13. Hasil analisis menunjukkan adanya peningkatan pigmen karotenoid pada daun handeuleum pada aksesi 1-9, dan 11, sedangkan pada aksesi 10, 12, dan 13 justru sebaliknya Gambar 3.2. Gambar 3.2 Grafik persentase perubahan kandungan antosianin, klorofil, dan karotenoid pada 13 aksesi tanaman handeuleum setelah tanaman terserang larva D. bisaltide. Keterangan: Data merupakan rataan ± SE. 36 Hasil analisis pigmen pada 13 aksesi menunjukkan kandungan antosianin dan karotenoid pada daun setelah terserang larva D. bisaltide secara umum mengalami peningkatan, kecuali pada aksesi 3, 9, 10, 12, dan 13 Gambar 3.2 yang justru mengalami penurunan. Peningkatan konsentrasi pigmen antosianin berkisar 9-118 , sedangkan peningkatan karotenoid berkisar 4-80 . Peningkatan kedua jenis pigmen mengindikasikan bahwa keduanya tidak hanya berfungsi sebagai pewarna, tetapi juga berperan dalam sistem resistensi tanaman handeuleum terhadap D. bisaltide. Hal ini didukung oleh pernyataan Guo et al. 2008 dan Currtiss et al. 2008 bahwa selain sebagai pigmen, antosianin dan karotenoid juga bersifat antibiosis. Lebih lanjut Guo et al. 2008 menyatakan bahwa biosintesis kedua pigmen ini bersifat inducible . Salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah pelukaan akibat aktivitas herbivora. Kandungan klorofil total secara umum meningkat pada daun tanaman setelah terserang larva kecuali pada aksesi 10 dan 13. Peningkatan terbesar terjadi pada aksesi 6, yakni sebesar 80.95, sedangkan penurunan kandungan klorofil terbesar terjadi pada aksesi 13, yaitu sebesar 38.72 Tabel 3.9 dan Gambar 3.2. Hasil analisis menunjukkan adanya indikasi bahwa kandungan klorofil berkorelasi dengan nitrogen Tabel 3.10. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hirota dan Kato 2001 menyatakan bahwa kandungan klorofil berkorelasi positif dengan kandungan nitrogen tanaman. Semakin tinggi kandungan nitrogen tanaman, semakin tinggi pula kandungan klorofil tanaman tersebut. Nitrogen merupakan salah satu unsur yang paling dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan larva serangga. Hasil penelitian Scriber 1979 pada 22 spesies ordo Lepidoptera menunjukkan bahwa tingginya kandungan air dan nitrogen dalam jaringan daun merupakan kunci penting yang menentukan perkembangan larva. Lou dan Baldwin 2004 mengemukakan bahwa bagi tanaman sendiri, nitrogen dan karbon merupakan unsur penting dalam pembentukan sistem resistensi tanaman terhadap herbivora. Nitrogen digunakan pada lintasan sinyal tanaman terhadap herbivora. Hasil analisis menunjukkan indikasi adanya peningkatan CN rasio pada daun handeuleum apabila terjadi serangan Gambar 3.3. 37 Gambar 3.3 Grafik perbandingan kandungan CN rasio pada pada daun 13 aksesi handeuleum sebelum dan setelah terserang larva D. bisaltide. Keterangan: Data merupakan rataan ± SE. Gambar 3.3 memperlihatkan bahwa serangan larva D. bisaltide pada daun handeuleum menyebabkan penurunan konsentrasi baik pada C organik maupun nitrogen. Akan tetapi, karena besarnya persentase penurunan nitrogen lebih tinggi dibandingkan besarnya penurunan konsentrasi C organik, maka CN rasio pada tanaman meningkat. Judkins dan Wander 1949 menyatakan bahwa serangan hama mempengaruhi status nitrogen dalam tubuh tanaman. Hasil penelitian Newingham et al. 2007 menunjukkan bahwa aktivitas makan herbivora meningkatkan alokasi nitrogen dalam tubuh tanaman. Hal ini serupa dengan hasil yang disampaikan Schwachtje dan Baldwin 2008 bahwa serangan herbivora pada tanaman mengurangi konsentrasi nitrogen dan C organik. Hasil ini bertolak belakang dengan hasil penelitian Bazot et al. 2005 yang menunjukkan bahwa serangan defoliator menyebabkan kenaikan persentase C organik, penurunan persentase nitrogen, dan peningkatan CN rasio dalam tubuh tanaman. Besarnya perubahan kandungan C organik, nitrogen, dan CN rasio pada jaringan daun tanaman handeuleum ditampilkan pada Gambar 3.4. 38 Gambar 3.4 Besarnya perubahan kandungan unsur C dan N pada tanaman handeuleum setelah terserang larva D. bisaltide. Gambar 3.5 Grafik perbandingan kandungan kalsium pada daun 13 aksesi handeuleum sebelum dan setelah terserang larva D. bisaltide. 39 Gambar 3.5 menunjukkan adanya perbandingan kandungan kalsium sebelum dan setelah tanaman terserang. Peningkatan kandungan kalsium setelah tanaman terserang mengindikasikan bahwa unsur ini diserap tanaman secara inducible. Hal ini bertolak belakang dengan hasil penelitian Ruiz et al. 2002 pada tanaman Pancratium sickenbergeri penyerapan kalsium cenderung bersifat konstitutif dibandingkan inducible. Hasil penelitian ini serupa dengan hasil penelitian Molano- Flores 2001 pada Sida rhombifolia yang menunjukkan aktivitas makan herbivora pada tanaman akan meningkatkan pembentukan kristal kalsium. Schwachtje dan Baldwin 2008 menyatakan bahwa kalsium merupakan bahan baku untuk membentuk CaOx Kalsium oksalat. Senyawa ini berupa kristal yang dapat membuat tumpul mandibel serangga menggigit mengunyah. Karenanya, unsur kalsium merupakan salah satu unsur yang berperan penting dalam sistem resistensi tanaman terhadap herbivora. Gambar 3.6 Grafik perbandingan kandungan serat pada daun 13 aksesi handeuleum sebelum dan setelah terserang larva D. bisaltide. Besarnya penambahan atau pengurangan serat tidak signifikan Gambar 3.6. Hal ini mengindikasikan bahwa serangan D. bisaltide tidak mempengaruhi kandungan serat pada daun tanaman handeuleum. Ringkasan besarnya persentase perubahan kandungan metabolit sekunder, pigmen tanaman, dan metabolit primer pada tanaman handeuleum setelah terserang larva D. bisaltide ditampilkan pada Tabel 3.9. 40 Tabel 3.9 Persentase pertambahan konsentrasi fitokimia 13 aksesi handeuleum Aksesi Persentase perubahan kandungan fitokimia tanaman handeuleum Anto Kloro Karo Alka Tannin Sapo Flavo Terpen Stero Gliko C N CN Ca Serat 1 14.21 24.06 23.3 50 -50 -150 -2.45 -29.08 37.55 34.62 2.64 2 - - - 50 -100 -150 -1.54 -23.66 28.98 29.76 6.42 3 29.57 -40.5 4.21 -100 -100 7.93 -20.41 35.61 57.32 0.21 4 29.97 12.52 19.57 50 -50 -50 -3.40 -16.62 15.86 24.30 -9.26 5 90.7 20.89 41.23 50 -50 50 -100 -6.98 -21.33 18.25 24.00 -6.86 6 118.8 66.17 80.95 50 -50 -100 -8.59 -15.51 8.19 82.54 0.28 7 35.61 -6.77 5.64 -50 -50 5.43 -25.89 42.25 138.00 2.56 8 37.18 26.13 16.77 -50 -50 -4.41 -30.73 38.00 73.77 -25.73 9 12.1 -19.9 0.5 -50 -50 -50 -5.28 -23.04 23.07 94.44 -1.45 10 9.38 -23.83 -13.61 50 -50 -50 -9.23 -30.48 30.56 91.94 -3.07 11 41.87 4.77 11.51 50 -50 0.95 -20.89 27.60 79.66 1.88 12 -41.73 -1.27 -0.25 100 -50 -50 -50 -1.44 -28.90 38.63 120.34 7.57 13 -40.41 -47.32 -38.72 50 100 -150 -50 -3.68 -32.84 43.41 87.67 -16.62 Keterangan : Anto= antosianin, Kloro= klorofil, Karo= karotenoid, Alka= Alkaloid, Sapo= saponin, Gliko= Glikosida, C=karbon organik, N= Nitrogen, CN= rasio CN, Ca= kalsium; tanda -= pengurangan kandungan fitokimia x dalam daun tanaman handeuleum.

3.6.3 Korelasi antar karakter morfologi dan fitokimia tanaman

Analisis korelasi menunjukkan bahwa klorofil dan karotenoid berkorelasi negatif nyata dengan antosianin, sedangkan korelasi antara keduanya bersifat positif. Nitrogen berkorelasi negatif sangat nyata dengan nilai CN, luas area daun total dan kerapatan trikoma. Nilai CN berkorelasi nyata positif dengan triterpenoid, luas area daun total, dan kerapatan trikoma. Saponin berkorelasi nyata positif dengan luas area daun total. Triterpenoid berkorelasi negatif sangat nyata dengan kandungan steroid. Hasil analisis korelasi antar karakter morfologi dan fitokimia tanaman handeuleum ditampilkan pada Tabel 3.10. Roy 2000 menyatakan bahwa korelasi menggambarkan keeratan hubungan antara satu karakter dengan karakter lainnya. Lebih jauh Roy 2000 yang dipertegas oleh Mattjik dan Sumertajaya 2002 menyatakan bahwa bila nilai korelasi antara dua peubah mendekati -1 atau 1 menunjukkan bahwa hubungan antara kedua peubah tersebut sangat erat. Berdasarkan analisis korelasi, nilai yang mendekati -1 atau 1 terdapat pada korelasi antara ketiga jenis pigmen tanaman yang dianalisis, N dan CN rasio, serta antara triterpenoid dan steroid. Pigmen tanaman saling mendominasi untuk menimbulkan warna tertentu pada bagian tubuh tumbuhan, karenanya wajar bila hubungan antara ketiga jenis pigmen tanaman yang diuji menunjukkan korelasi yang sangat kuat. Klorofil dan karotenoid berkorelasi negatif nyata dengan antosianin, sedangkan korelasi antara keduanya bersifat positif. Produksi antosianin bertolak belakang dengan klorofil, dan penentu di antara keduanya adalah suhu. Pada suhu yang tinggi tanaman akan memproduksi klorofil lebih banyak dibandingkan antosianin. Oleh karena itu, bila varietas yang sama ditanam di dua ketinggian berbeda, maka tanaman yang ditanam di daerah yang lebih rendah cenderung berwarna lebih hijau dibandingkan tanaman yang tumbuh di daerah yang lebih tinggi. Korelasi antara karotenoid dan klorofil bernilai nyata positif. Secara fisiologis dapat dijelaskan bahwa produksi karotenoid akan seiring dengan produksi klorofil, karena bagi tanaman, karotenoid tidak hanya berfungsi sebagai pigmen tetapi juga pelindung agar klorofil tidak terdegradasi akibat fotooksidasi Wattimena 23 Mei 2010. Komunikasi pribadi. 42 Tabel 3.10 Korelasi antar karakter morfologi dan fitokimia pada tanaman handeuleum Antosianin Klorofil Karotenoid C organik Nitrogen CN Kalsium Serat Alkaloid Saponin Flavo Tterpen Steroid Luas daun Klorofil -0.99 Karotenoid -0.89 0.83 C organik -0.19 0.14 0.33 Nitrogen -0.29 0.30 0.25 0.53 CN 0.25 -0.27 -0.13 -0.13 -0.91 Ca 0.30 -0.32 -0.21 -0.52 -0.43 0.25 Serat 0.06 -0.15 0.31 0.00 0.01 -0.03 0.23 Alkaloid -0.05 0.04 0.07 -0.57 -0.15 -0.11 0.41 0.36 Saponin 0.48 -0.50 -0.33 0.12 -0.29 0.38 -0.33 0.14 -0.53 Flavonoid 0.38 -0.38 -0.36 -0.40 0.02 -0.21 0.14 0.28 0.38 0.12 Triterpenoid 0.20 -0.25 0.02 0.11 -0.47 0.60 -0.25 0.13 -0.10 0.55 0.11 Steroid -0.52 0.54 0.35 0.01 0.27 -0.30 0.19 -0.06 0.00 -0.46 -0.37 -0.84 luas daun 0.10 -0.16 0.16 -0.14 -0.57 0.58 0.15 0.52 0.05 0.58 -0.02 0.54 -0.19 Trikoma -0.05 0.05 -0.12 -0.22 -0.65 0.66 -0.00 0.23 0.12 0.44 0.33 0.32 -0.11 0.42 Keterangan : Korelasi menggunakan metode Pearson. nyata pada taraf 5, sangat nyata pada taraf 1. Flavo = flavonoid; tterpen = triterpenoid Tanin dan glikosida tidak dapat dikorelasikan karena tidak terdapat keragaman data b k b r D y n k k m Nilai k belakang, ya kandungan C besar diban rasio menjad Korela Dalam prose seringkali m yang satu d sekunder lai namun mem konsentrasi konsentrasi metabolit se korelasi anta akni sebesar C organik da dingkan C di lebih besa asi antara t es produksin memiliki jalu dapat merup innya. Metab miliki lintasa satu jenis m metabolit s ekunder ditam Gambar ara kandung r -0.91. CN an nitrogen d akan menye ar. Karena itu triterpenoid nya, lintasan ur lintasan t pakan turuna bolit sekund an yang berb metabolit seku sekunder lai mpilkan pad r 3.7 Lintasa Sumb gan N dan C rasio merup dalam jaring ebabkan fak u, nilai CN dan steroid n metabolism terkait denga an atau kela der ini juga d beda. Hal in under akan m innya Csek da Gambar 3. an biosintesi ber: Cseke et a CN rasio ter pakan perban gan tanaman ktor pembag rasio akan m d dapat dij me jenis meta an jenis lain anjutan dari dapat memil nilah yang m menurunkan ke et al. 20 .7. is metabolit al. 2006 rgolong erat ndingan anta . Penurunan gi pada perh meningkat. elaskan seb abolit sekun nnya. Metab i jalur lintas liki prekurso menyebabkan n atau turut m 06. Lintasa sekunder 4 t dan bertola ara persentas n N yang lebi hitungan CN bagai beriku nder yang sat bolit sekunde san metabol or yang sam n peningkata meningkatka an biosintes 43 ak se ih N ut. tu er lit ma, an an sis 44 Pada tabel 3.10 nampak bahwa triterpenoid memiliki nilai korelasi yang nyata, tinggi, dan bertolak belakang dengan steroid, yakni -0.84. Apabila dikaitkan dengan jalur lintasan metabolismenya Gambar 3.7, steroid merupakan senyawa turunan dari triterpenoid, sehingga dalam prosesnya tanaman dapat memilih untuk menghentikan proses hanya sampai terbentuk triterpenoid atau merombak triterpenoid yang telah terbentuk untuk memproduksi steroid. Hasil analisis menunjukkan bahwa konsentrasi steroid cenderung mengalami penurunan setelah tanaman terserang larva D. bisaltide. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar triterpenoid yang dihasilkan tidak digunakan tanaman untuk membentuk steroid.

3.7 Kesimpulan

Berdasarkan penjabaran sebelumnya, kesimpulan yang dapat ditarik adalah 1. Terdapat variasi pada karakter luas area daun total, keragaan dan kerapatan trikoma, serta kandungan fitokimia 13 aksesi tanaman handeuleum. 2. Serangan D. bisaltide mempengaruhi komposisi pigmen tanaman, senyawa alkaloid, tanin, triterpenoid, flavonoid, steroid, glikosida, dan saponin 13 aksesi tanaman handeuleum. Begitu pula dengan konsentrasi rasio CN, kalsium dan serat pada tanaman. 3. Produksi senyawa tanin, alkaloid, dan glikosida diduga bersifat konstitutif, sedangkan triterpenoid, flavonoid, saponin, dan steroid diduga diproduksi tanaman secara inducible. 4. Serangan D. bisaltide cenderung meningkatkan produksi pigmen dalam tubuh tanaman. Demikian juga dengan CN rasio dan penyerapan kalsium. 5. Terdapat korelasi yang erat antara antosianin, klorofil, dan karotenoid; N dan CN rasio; serta antara triterpenoid dan steroid.

BAB IV STUDI PREFERENSI PELETAKAN TELUR OLEH IMAGO

BETINA D. bisaltide PADA TIGA BELAS AKSESI HANDEULEUM

4.1 Abstrak

Doleschallia bisaltide merupakan hama penting yang tidak saja menurunkan hasil panen simplisia daun handeuleum secara kualitas, tetapi juga kuantitas. Pada serangga Lepidoptera, performa larva instar awal ditentukan oleh aktivitas peletakan telur oleh induknya. Dengan demikian, aktivitas peletakan telur oleh imago D. bisaltide dapat dijadikan parameter untuk menentukan tingkat resistensi 13 aksesi handeuleum. Pada penelitian ini, dilakukan pengujian 13 aksesi handeuleum untuk mengetahui tingkat resistensi setiap aksesi terhadap D. bisaltide berdasarkan preferensi peletakan telur oleh imago betina D. bisaltide. Penelitian menggunakan rancangan tersarang. Tiga periode bulan, yakni Mei-Juni 2009, Juni-Juli 2009, dan November-Desember 2009 merupakan petak utama, dan 13 aksesi handeuleum merupakan anak petak. Aksesi dan ulangan tersarang pada petak utama. Penelitian dilakukan di BALITTRO. Hasil pengujian Tukey n=39, p0.001 menunjukkan bahwa jumlah telur yang diletakkan pada periode November-Desember lebih banyak, diikuti periode Juni-Juli dan Mei-Juni. Pengujian pada 13 aksesi menunjukkan bahwa preferensi peletakan telur imago pada aksesi 12 lebih rendah dan berbeda dengan aksesi lainnya. Preferensi tertinggi terdapat pada aksesi 1, 5, dan 9. Senyawa antosianin, klorofil, saponin, dan CN rasio pada tanaman handeuleum mempengaruhi preferensi peletakan telur D.bisaltide. Seleksi resistensi tanaman handeuleum berdasarkan aktivitas peletakan telur dapat dilakukan berdasarkan kandungan klorofil tanaman tersebut. D. bisaltide cenderung menggunakan tingginya kandungan glikosida, alkaloid, dan tanin pada tanaman handeuleum sebagai petunjuk untuk meletakkan telur. Berdasarkan aktivitas peletakan telur, aksesi 12 diduga merupakan aksesi tahan, sedangkan aksesi 1, 5, dan 9 adalah aksesi rentan. Kata Kunci: Preferensi peletakan telur, klorofil, seleksi resistensi, fitokimia handeuleum. Abstract Doleschallia bisaltide is an important pest which can decrease yield of caricature plant simplicias, not only its quality, but also its quantity. In Lepidopteran, first instar larval performance is determined by adult oviposition activity. Therefor, adult’s oviposition can be used as a parameter to determine resistance level of 13 accession of caricature plant. In this research, the examination to 13 caricature plant accession was conducted in order to find out the resistance level of each accession to D. bisaltide based on oviposition preference of adult. The experiment used nested design. Three period of May-June 2009, June-July 2009, and