2.4 Interaksi Tanaman dengan Serangga
Interaksi antara tanaman dengan herbivora mendominasi lingkungan terestrial di bumi. Interaksi antara keduanya tidak selalu merugikan. Beberapa
serangga berperan sebagai penyerbuk, terutama imago ordo Lepidoptera dan imago Hymenoptera dari famili Apidae. Akan tetapi, sebagian besar herbivora
umumnya menimbulkan kerugian pada tanaman karena menyebabkan penurunan produktivitas tanaman. Hal ini terjadi akibat hilangnya bagian tanaman karena
dikonsumsi serangga. Dalam interaksi antara tanaman dan serangga, dikenal serangga yang
bersifat monofag, oligofag, dan polifag Schoonhoven et al. 1998; Schoonhoven et al.
2005. Price 1997 menyatakan bahwa suatu serangga bersifat monofag karena dalam genomnya tidak menghasilkan kombinasi enzim yang dapat
mematahkan mekanisme pertahanan tanaman yang bukan inangnya. Serangga ini umumnya memproduksi sejumlah besar enzim untuk menetralkan racun pada
sumber makanan mereka. Smith 1989 dan Price 1997 menyatakan serangga polifag umumnya memproduksi enzim nonspesifik yang dikenal dengan nama
microsomal mixed-function oxidaces MFO untuk menyesuaikan diri dengan
banyak senyawa yang berpotensi menjadi sumber makanan mereka. Jermy 1984 mengklasifikasikan monofag dan oligofag dalam golongan spesialis, sedangkan
polifag digolongkan ke dalam generalis. Salah satu contoh serangga dengan sifat makan spesialis adalah D. bisaltide.
Interaksi tanaman-herbivora, seperti yang terjadi pada handeuleum dengan D. bisaltide
dapat terjadi akibat kombinasi antara faktor morfologi tanaman, kimia, dan fenologi Chew dan Rodman 1979. Beberapa hasil penelitian menunjukkan
terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi imago dalam memilih inang untuk meletakkan telur. Faktor tersebut di antaranya kerapatan tanaman inang pada
suatu populasi, keberadaan nektar sebagai bahan makanan imago Wiklund dan Hrberg 1978; Murphy et al. 1984; Brommer dan Fred 1999, jenis dan konsentrasi
senyawa kimia Mitchell dan Heath 1987; Pereyra dan Bowers 1988, seperti konsentrasi nitrogen Wolfson 1980; Letoumeau dan Fox 1989.
Herbivora yang berbeda akan memiliki strategi makan yang berbeda untuk memperoleh nutrisi dari inang mereka Howe dan Jander 2007; Jander dan Howe
2008. Price 1997 menyatakan bahwa kontak kemoreseptor antara serangga dan tanaman inangnya merupakan penciri utama suatu serangga untuk menentukan
tanaman inang yang cocok baginya. Rosenthal dan Janzen 1979 menyatakan bahwa serangga juga memilih tanaman inang berdasarkan adanya senyawa yang
diperlukan serangga untuk melangsungkan hidupnya serta rendahnya kadar senyawa toksik pada tanaman tersebut.
Selain penanda kimia, bentuk dan warna daun suatu tanaman juga dapat menarik perhatian imago untuk meletakkan telur mereka pada tanaman tersebut
Gilbert 1975; Rausher 1978; Stanton 1982. Hasil penelitian Kristina dan Mardiningsih 2008 menunjukkan bahwa imago D. bisaltide memilih warna daun
untuk meletakkan telurnya. Serangga ini lebih menyukai jenis handeuleum yang berwarna ungu dibandingkan yang berwarna hijau. Lebih lanjut Kristina dan
Mardiningsih 2008 menyatakan bahwa warna ungu pada daun handeuleum disebabkan oleh tingginya kandungan flavonoid. Panda dan Kush 1995
menyatakan bahwa flavonoid dapat menarik serangga. Wink 2006 mengemukakan bahwa flavonoid, senyawa volatil, atau terpenoid dapat menarik
serangga untuk melakukan polinasi atau peletakan telur pada tanaman tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa aksesi handeuleum yang berwarna lebih ungu,
dengan asumsi kandungan flavonoid yang tinggi, akan lebih rentan terhadap serangan D. bisaltide dibandingkan aksesi yang sedikit mengandung senyawa
flavonoid. Lev-Yadun et al. 2004 menyatakan bahwa serangga akan memilih tanaman yang cocok dengan warna tubuhnya, sehingga dapat membantu
kamuflase. Hal ini bermanfaat sebagai tempat berlindung dari musuh alaminya. Di sisi lain, untuk mencegah kerusakan yang ditimbulkan serangga fitofag,
tanaman juga membangun pertahanan dengan menghasilkan senyawa metabolit sekunder. Metabolit sekunder merupakan senyawa yang diproduksi sebagian
besar tanaman untuk mencegah atau meminimalisasi kerusakan akibat serangan serangga Pujiasmanto et al. 2007. Senyawa tersebut dapat berupa senyawa
repellent, deterrent, toksik, atau atraktan bagi musuh alami herbivora Panda dan Kush 1995. Keberadaan musuh alami diharapkan dapat mengontrol populasi
serangga di lingkungan tersebut Zhu-Salzman et al. 2008 sehingga kerusakan yang ditimbulkan tidak sampai menurunkan produktivitas tanaman. Berenbaum et
al. 1989 menyatakan bahwa peranan metabolit sekunder dalam interaksi
tanaman inang dengan serangga fitofag juga bergantung pada fisiologi dan populasi serangga. Selain menggunakan metabolit sekunder, terdapat beberapa
mekanisme lain yang digunakan tanaman untuk mempertahankan diri, di antaranya morfologi dan keragaman genetik tanaman.
Wahlberg et al. 2005 mengemukakan bahwa geografi mempengaruhi fenotipe dan fisiologi tanaman dan herbivora. Inang di tempat tertentu akan
memiliki jenis hama tertentu yang berbeda dengan daerah lainnya, walaupun mereka satu spesies. Janz et al. 2006 mengemukakan, semakin beragam genetik
suatu spesies tumbuhan, semakin beragam pula spesies serangga yang menyerang tumbuhan tersebut. Hal yang sama juga berlaku pada handeuleum sehingga
varietas handeuleum yang memiliki tingkat resistensi yang lebih tinggi dapat dirakit dengan memanfaatkan keragaman genetik dari setiap aksesi handeuleum
dari tempat yang berbeda. Selain usaha tanaman untuk mengurangi serangan herbivora, lingkungan juga memiliki pengaruh yang besar terhadap serangan
herbivora pada tanaman. Lingkungan dengan kadar CO
2
yang tinggi dalam udara dapat meningkatkan serangan hama Srivastava, et al. 2002.
2.5 Mekanisme Resistensi Tanaman Terhadap Hama