Pengelolaan Ikan Hias Laut Melalui Pembatasan Jumlah Tangkapan

keuntungan bagi negara-negara di daerah tropis khususnya bagi desa-desa kecil dan terpencil. Kegiatan ini dapat memberikan lapangan pekerjaan, mempromosikan kegiatan konservasi, dan mengurangi tekanan terhadap sumberdaya ikan dan sumberdaya laut lainnya Helfman 2007. Dari sudut pandang sosial-ekonomi, Dufour 1997 mengkalkulasi bahwa setiap 100.000 ikan yang diekspor dalam perdagangan akuarium telah menciptakan 10-20 lapangan kerja, menghasilkan pendapatan tahunan sebesar US 200.000. Dengan mengekstrapolasi nilai tersebut terhadap 15-40 juta ekor ikan yang diekspor setiap tahunnya, perdagangan dapat mencapai nilai US30 - 60 juta bagi ekonomi lokal, menyerap tenaga kerja sebanyak 1.500 - 3.000 orang.

2.4 Pengelolaan Ikan Hias Laut Melalui Pembatasan Jumlah Tangkapan

Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Gasparini et al. 2005, ada 8 pendekatan yang dapat dilakukan bagi pengelolaan kegiatan perikanan hias, yaitu: 1 pembatasan jenis yang diperdagangkan; 2 memprioritaskan kajian terhadap spesies-spesies yang utama dimanfaatkan; 3 membangun sistem kuota berbasis spesies; 4 pembatasan ukuran; 5 mempromosikan metode panangkapan dan perlakuan penanganan yang baik; 6 melindungi jenis-jenis langka maupun spesies kunci; 7 sistem pencatatan dan pelaporan yang baik oleh penjual; dan 8 membuat panduan lapangan yang berupa foto atau gambar dari spesies-spesies yang dimanfaatkan, untuk membantu pihak-pihak yang melakukan monitoring aktivitas pemanfaatan dan perdagangan. Di Republik Maladewa, berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Edwards 1988 dalam Wood 2001b kuota total sebanyak 100.000 ekor ikan ditetapkan pada tahun 1988 dan 1989. Kuota berbasis spesies pun ditetapkan pada beberapa spesies yang rentan terhadap eksploitasi berlebih atau tingkat pemanfaatannya mendekati MSY. Lebih jauh, Saleem dan Islam 2009 menyatakan bahwa Republik Maladewa menerapkan suatu sistem ketegorisasi dalam menetapkan kuotanya. Kategori A terdiri dari 17 spesies yang dilarang untuk ekspor. Kategori A diantaranya terdiri dari spesies yang memiliki daya tahan rendah di akuarium, seperti Chaetodon meyeri, C. trifasciatus, dan C. triangulum. Kategori B terdiri dari 66 spesies yang memiliki kuota tangkap. Kategori C terdiri dari 71 spesies yang dapat diekspor secara bebas hingga mencapai jumlah total 300.000 ekor. Studi pendugaan stok alami ikan hias laut, harus menjadi pertimbangan utama jika pengambilan terhadap ikan ini terus meningkat secara signifikan. Disamping itu, untuk mencegah kemungkinan terjadinya penangkapan berlebih juga diperlukan pendekatan kehati-hatian precautionary approach untuk menetapkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan kuota terhadap ikan dengan nilai jual tinggi tetapi kelimpahannya rendah Dufour, 1997. Kuota harus ditetapakan berdasarkan spesies seperti penetapan 100, 1.000, atau 10.000 ekor ikan. Kuota tersebut harus ditetapkan setelah verfikasi stok alami yang ada terhadap suatu spesies dan juga mempertimbangkan ancaman atau dampak yang ada jika spesies ikan tersebut diambil Dufour, 1997. Pengelolaan stok ikan dapat diduga dari populasi yang telah diambil, yaitu jumlah total ikan yang ditangkap. Namun demikian, terkadang kelimpahan ikan sangat kontradiktif terhadap pendugaan stok melalui jumlah ikan yang telah diambil. Salah satu prinsip utama dalam pendugaan fluktuasi stok ikan hias laut adalah jumlah larva yang berada di karang, karena hal tersebut sangat mewakili jumlah produksi ikan yang sebenarnya. Dalam perdagangan ikan hias laut pendugaan stok dilakukan berdasarkan jumlah spesimen dan bukan biomassa, sehingga tingkat kolonisasi merupakan teori yang digunakan untuk penentuan batas pengambilan maksimum Dufour, 1997. Namun demikian, untuk beberapa spesies jumlah kolonisasi larva yang terdapat di suatu pulau dalam satu tahun tergantung kepada bagaimana larva tersebut dapat bertahan dengan baik di lautan, sehingga tidak bisa digunakan untuk memprediksi figur pulau lain berdasarkan suatu pulau. Untuk skala waktu dan ruang yang kecil, tingkat kolonisasi lebih mudah diprediksi berdasarkan spesies Dufour, 1997. Pengelolaan perikanan umumnya dilakukan berdasarkan biomassa optimal dan tidak berdasarkan jumlah spesimen hasil tangkapan, sehingga besar kemungkinan jumlah anak ikan yang tertangkap sangat banyak dan 90 akan hilang sebelum dewasa. Pengelolaan seperti ini hanya melindungi jumlah stok ikan dewasa Dufour, 1997. Model perikanan tradisional belum berhasil mengatasi beberapa faktor kesalahan dalam pengelolaan. Para peneliti perikanan kembali menduga bahwa metode konvensional terutama dalam aplikasi untuk spesies dengan pertumbuhan cepat di daerah tropis tidak dapat dirancang dengan dana terbatas untuk melakukan pendugaan secara reguler terhadap populasi ikan target Hodgson dan Ochavillo 2006. Batasan-batasan dari asumsi yang ada pada teori model perikanan dan kurangnya data perdagangan hewan hias, kelimpahan ikan taget yang rendah dan variasi kelas ukuran menjadi suatu peluang untuk mengembangkan model perikanan. Edwards dan Shepherd 1998 mengusulkan pendekatan untuk pemanfataan ikan secara lestari dalam perdagangan akuarium. Mereka melakukan penghitungan kuota berdasarkan densitas kelimpahan ikan yang dihasilkan berdasarkan survei potensi dan populasi ikan karang serta estimasi skala total area kawasan terumbu karang. Berdasarkan fakta bahwa terumbu karang bukan merupakan habitat karang saja, maka kawasan terumbu karang diberikan nilai 0,5 untuk variabilitasnya. Selanjutnya berdasarkan formulasi dari Gulland 1971 yang menyatakan bahwa MSY adalah bagian dari biomassa yang tidak tereksploitasi, MSY diasumsikan tercapai dalam batas 66. Faktor mortalitas alami dengan menggunakan panjang ikan infinity L ∞ dan suhu perairan juga menjadi parameter untuk perhitungan kuota. Sehingga diperoleh persamaan Q = M 0,5 x D 0,5 0,66 dimana Q adalah kuota, M adalah mortalitas alami dan D adalah densitas ikan. Menurut Satriya 2009, pada eksploitasi dengan prinsip kehati-hatian precautionary principle, maka studi tentang jumlah tangkapan yang diperbolehkan JTB mutlak dilakukan pada setiap penelitian pendugaan status suatu perikanan. JTB sendiri berarti besarnya atau banyaknya sumber daya ikan SDI yang boleh ditangkap dengan memperhatikan keamanan kelestariannya di wilayah perikanan Republik Indonesia Kepmentan No.995 KptsIK.210999. Estimasi JTB adalah sebesar 80 dari nilai maximum sustainable yield MSY. Selanjutnya menurut Wiadnya et al. 2006, tujuan kebijakan dan pengelolaan perikanan Indonesia mempertimbangkan prinsip kehari-hatian dengan menetapkan tangkapan sebesar 80 dari MSY. Hal ini tertuang dalam Kepmen KP No Kep. 18Men2002 tentang rencana strategis pembangunan kelautan den perikanan 2001-2004.

2.5 Pendekatan Lain Dalam Pengelolaan Perikanan Ikan Hias Laut