Analisis Finansial Sustainable utilization strategy on ornamental reef fish resources in Weh Island, Aceh,

besar, sehingga total keuntungan pada kondisi optimum menjadi lebih besar 2 kali lipat dibandingkan tahun 2010. Berdasarkan analisis revenue-cost ratio RC atau rasio pendapatan terhadap biaya didapatkan nilai RC pada tahun 2010 sebesar 2,8 dan pada skenario optimum sebesar 3,8. Nilai RC pada kedua skenario memiliki nilai yang lebih besar dari 1, artinya usaha ini layak untuk dilakukan. Berdasarkan analisis titik impas break even point, didapatkan bahwa pada tingkat pemanfaatan tahun 2010 usaha akan mendapatkan keuntungan apabila total keuntungan pendapatan total dikurangi biaya total telah melewati Rp 31.185.256. Sedangkan pada skenario optimum, titik impas dicapai pada Rp 29.118.495. Lebih kecilnya nilai titik impas pada skenario optimum disebabkan oleh lebih besarnya potensi total pendapatan. Hasil analisis rentabilitas ROI memiliki hasil yang sangat baik pada kedua kondisi, dimana nilainya lebih besar dari 25 87,2 pada tingkat pemanfaatan tahun 2010 dan 200,8 pada skenario optimum. Hal ini menunjukkan bahwa investasi di bidang perikanan ikan hias laut sangat menguntungkan, dimana tingkat pengembalian investasi sangat tinggi, terutama jika pemanfaatan dilakukan pada skenario optimum. Hasil analisis kriteria investasi menunjukan bahwa nilai NPV pada tingkat pemanfaatan 2010 adalah Rp 645.416.008, dan pada skenario optimum adalah Rp 1.828.866.052. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa ada tingkat bunga 14 nilai NPV masih menghasilkan nilai positif bahkan relatif besar pada kedua skenario, artinya investasi di bidang perikanan ikan hias laut layak untuk dilakukan. Instrumen analisis lain yang juga dapat digunakan dalam menentukan kelayakan suatu investasi adalah Net BC. Usaha layak dilakukan apabila memiliki nilai Net BC 1, dan sebaliknya usaha tidak layak dilakukan jika Net BC 1. Berdasarkan hasil analisis didapatkan nilai Net BC yang 1 pada kedua skenario, menyimpulkan bahwa investasi di bidang perikanan ikan hias laut di P. Weh layak untuk dilakukan. Nilai IRR memberikan gambaran mengenai persentase keuntungan yang akan diperoleh setiap tahun atau menunjukkan kemampuan usaha dalam pengembalian bunga jika modal investasi berasal dari pinjaman bank. Pada kondisi nilai IRR = 0, berarti nilai IRR sama dengan besarnya tingkat suku bunga discount factor DF. Jika nilai IRR tingkat suku bunga berarti bahwa usaha layak dilakukan, dan sebaliknya tidak layak dilakukan jika IRR tingkat suku bunga. Hasil analisis menunjukan nilai IRR pada tingkat pemanfaatan tahun 2010 adalah sebesar 0,39 39, dan pada skenario optimum sebesar 0,88 88. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa investasi di bidang perikanan ikan hias laut pada tingkat suku bunga 14 masih menguntungkan. Dari tujuh instrumen analisis kelayakan usaha dan kriteria investasi didapatkan bahwa kegiatan perikanan ikan hias laut memiliki potensi dampak ekonomi yang cukup menguntungkan bagi nelayan di P. Weh jika dimanfaatkan secara optimum. Salah satu instrumen analisis yang menjadi indikator positif adalah nilai keuntungan bersih per tahun yang mencapai Rp 353.461.593. Jika nilai keuntungan bersih per tahun tersebut dibagi merata untuk 22 orang nelayan, maka masing-masing nelayan memiliki pendapatan bersih per bulan sebesar Rp 1.338.059. Meskipun demikian, nilai potensi keuntungan per bulan tersebut masih sedikit berada di bawah nilai upah minimum regional UMR Provinsi Aceh tahun 2011 yaitu sebesar Rp 1.350.000. Nilai ROI yang mencapai lebih dari 100 pada skenario optimum menunjukan bahwa modal investasi akan kembali dalam kurun waktu kurang dari 1 tahun. Selanjutnya berdasarkan tiga instrumen analisis yang digunakan dalam analisis kriteria investasi menunjukan investasi sangat layak untuk dilakukan pada kedua skenario tingkat pemanfaatan. Hal ini menunjukkan peluang untuk menarik investasi dari pihak luar sangat dimungkinkan bagi pengembangan kegiatan pemanfaatan ikan hias laut di P. Weh. Analisis finansial pada kondisi optimum didasarkan atas hasil analisis optimasi, sedangkan pembangunan model optimasi sendiri didasarkan atas hasil analisis kuota tangkapan lestari tahunan. Hal ini menunjukan bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan hias laut pada tingkat lestarinya tetap memberikan manfaat ekonomi yang menguntungkan. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa perikanan ikan hias laut di P. Weh dapat dikelola secara lestari baik dari aspek keberlanjutan sumberdaya maupun keberlanjutan ekonomi.

5.6 Analisis Pemasaran

Pemasaran ikan hias laut yang berasal dari P. Weh secara umum dilakukan melalui dua tingkatan pelaku pemasaran, yaitu pengepul dan eksportir. Eksportir utama yang menampung ikan hias laut dari P. Weh adalah eksportir yang berdomisili di Medan. Perkembangan terakhir diketahui bahwa sejak awal 2011, salah satu pengepul mulai memasarkan produk ikan hias yang berasal dari P. Weh ke eksportir yang berdomisili di Bali. Meskipun demikian, informasi mengenai jenis dan jumlah ikan hias yang dipasarkan pengepul di Banda Aceh kepada eksportir di Medan dan Bali tidak diketahui. Selanjutnya, tidak ada informasi bahwa pengepul memasarkan produk ikan hias dari P. Weh untuk memenuhi permintaan pasar lokal maupun eksportir yang berdomisili di kota lain. Pola umum yang berlaku, para pengepul biasanya juga mensuplai ikan untuk kebutuhan pasar domestik. dan tidak menutup kemungkinan pola yang sama terjadi di Aceh. Perlu dilakukan kajian yang lebih spesifik untuk mempelajari pola dan jalur pemasaran yang dilakukan oleh pihak pengepul. Berdasarkan analisis marjin pemasaran diketahui bahwa rata-rata marjin terbesar diperoleh oleh eksportir, yaitu sebesar 248,3 dari harga beli, sedangkan pengepul rata-rata mendapatkan marjin 32,2 dari harga beli. Salah satu permasalahan yang umum terjadi di negara-negara produsen ikan hias laut adalah rendahnya pendapatan atau nisbah marjin bagi nelayan. Kondisi ini disebabkan oleh sistem pemasaran yang berlaku di dalam pemasaran produk ikan hias laut. Nelayan umumnya tidak memiliki posisi tawar yang baik dalam menentukan harga karena nelayan memiliki ketergantungan yang tinggi kepada pihak pengepul dan tidak memiliki alternatif lain dalam memasarkan ikan hasil tangkapannya. Konsekuensi yang terjadi adalah penentuan harga ikan di tingkat nelayan tidak mengikuti mekanisme pasar yang adil, tetapi ditentukan oleh pengepul atau eksportir. Masalah ini akan semakin terasa jika jalur pemasaran dari nelayan ke eksportir cukup panjang, dimana pembagian marjin keuntungan untuk nelayan akan semakin rendah Wood 2001b. Menurut Rubec et al. 2001, sekitar 85 dari harga yang dibayar oleh eksportir jatuh ke pihak pengepul, sedangkan nelayan hanya mendapatkan nisbah sebesar 15. Isu mengenai aspek sosial ekonomi yang umum terjadi di perikanan ikan hias laut perlu dijembatani melalui sebuah pengelolaan perikanan ikan hias laut yang lebih menyeluruh. Salah satu hal yang perlu dilakukan adalah perlakuan yang adil bagi nelayan serta pemberian insentif kepada nelayan untuk menjaga dan mengelola sumberdaya alam mereka. Karena informasi mengenai komponen biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh pihak pengepul dan eksportir tidak diketahui, maka analisis nisbah marjin tidak dapat dilakukan. Analisis nisbah marjin diperlukan untuk mengetahui bagaimana efisiensi dari suatu sistem pemasaran. Salah satu indikator efisiennya suatu sistem pemasaran adalah meratanya penyebaran nisbah marjin keuntungan diantara pelaku pemasaran Sihombing 2005. Kajian yang lebih mendalam mengenai analisis pemasaran dan nisbah marjin merupakan aspek yang penting bagi penelitian-penelitian selanjutnya. Meskipun tidak ada informasi komponen biaya, relatif tingginya marjin keuntungan yang diperoleh oleh eksportir diduga salah satunya dipengaruhi oleh tingginya biaya pemasaran dan operasional. Alasan lain diduga sebagai kompensasi resiko karena pihak eksportir umumnya adalah pihak yang memiliki resiko terbesar dalam jalur pemasaran ikan hias laut. Resiko yang dapat dialami oleh eksportir diantaranya kerugian yang besar akibat ditolaknya produk ikan hias oleh negara importir akibat masalah perizinan atau adanya resiko keterlambatan pembayaran oleh lembaga importir. Resiko lainnya yang mungkin terjadi adalah terjadinya ketidakstabilan pasar ekspor sehingga eksportir mengalami kerugian karena turunnya permintaan sedangkan eksportir tetap harus mengeluarkan biaya operasional fasilitas penampungan ikan.

5.7 Strategi Pemanfaatan Ikan Hias Laut di Pulau Weh

Berdasarkan hasil analisis SWOT menggunakan matriks faktor-faktor strategi internal dan eksternal yang disajikan pada Tabel 16 dan 17, teridentifikasi bahwa strategi pemanfaatan sumberdaya ikan hias laut di P. Weh lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor internal kekuatan dan kelemahan dibandingkan faktor-faktor eksternalnya peluang dan ancaman. Hal tersebut terlihat dari nilai total skor faktor internal 3,1 yang lebih besar dari faktor eksternal 2,9.