Tingkat dan Pola Pemanfaatan Ikan Hias Laut di Pulau Weh
sehingga menghambat pertumbuhan karang baru maupun karang dewasa. Menurut Hoey dan Belwood 2009 tingginya tekanan terhadap ikan herbivora akibat
kegiatan penangkapan ikan hias dapat menurunkan aktivitas herbivora yang akan mengakibatkan pergeseran fase dari komunitas karang menjadi komunitas alga
coral-algal phase shift. Menurut Obura dan Grimsditch 2009 ikan karang memiliki kontrol
terhadap komunitas bentik. Dalam konteks pemulihan ekologi ecological recovery
dan kelentingan resilience ikan herbivora terbukti memiliki peran penting tertentu. Green dan Belwood 2009 mengidentifikasi dan
mengelompokan ikan herbivora ke dalam 6 kelompok yang lebih detail berdasarkan fungsi ekologisnya yang dikenal dengan istilah kelompok fungsional
functional group, dimana masing-masing memiliki peran ekologis tertentu di ekosistem terumbu karang.
Bellwood et al
. 2006 melakukan kajian pada 45 spesies ikan herbivora untuk mengidentifikasi sifat kelompok fungsional dari masing-masing spesies dan
mengukur kemampuan mereka dalam membatasi pertumbuhan makro alga. Mereka menemukan bahwa kelompok ikan kakak tua Scaridae dan surgeonfish
Acanthuridae hanya memiliki peran dalam menjaga kestabilan kelimpahan makro alga, dan tidak berperan dalam memperbaiki kondisi daerah terumbu
karang yang telah mengalami pergeseran menjadi dominansi makro alga. Dari sebanyak 45 spesies yang dikaji hanya Platax pinnatus yang memiliki
kemampuan untuk membantu mengembalikan kondisi terumbu karang yang telah didominasi oleh makro alga, dan sisanya hanya berperan dalam menjaga
pertumbuhan alga tetap rendah di ekosistem terumbu karang yang masih baik. Hal ini menunjukan bahwa spesies yang utama dimanfaatkan oleh nelayan P. Weh
yaitu A. leucosternon perlu diatur tingkat pemanfaatannya untuk mencegah terjadinya perubahan fase ekosistem terumbu karang menjadi ekosistem yang
didominasi makro alga akibat menurunnya fungsi ekologis dari kelompok ikan herbivora.
Lebih jauh Hoey dan Bellwood 2009 dalam pengelempokan functional group
mengemukakan bahwa spesies Naso sp. merupakan jenis perambah browser yang diduga memiliki peran ekologis yang sama dengan Platax
pinnatus . Menurut Green dan Belwood 2009 ikan jenis perambah secara
konsisten memakan jenis makro alga, dimana mereka memiliki peran yang penting dalam mengurangi pertumbuhan alga serta memiliki peran kritis dalam
mengembalikan kondisi terumbu karang yang telah didominasi oleh alga. Meskipun tingkat pemanfaatan spesies Naso lituratus masih tergolong rendah
8,9 dari kuota, akan tetapi spesies ini memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan alga di terumbu karang serta memiliki kemampuan
dalam membantu mengembalikan kondisi terumbu karang yang telah didominasi alga, sehingga perlu perhatian khusus untuk mengendalikan tingkat
pemanfaatannya. Perubahan iklim merupakan sumber ancaman baru terhadap terumbu karang
yang berpotensi mengakibatkan kematian karang dalam jumlah besar akibat peningkatan suhu air laut dan peningkatan rata-rata muka laut sea level rise
Green dan Belwood 2009. Dengan adanya kondisi ini maka perhatian terhadap fungsi ekologis ikan dalam pengelolaan perikanan terumbu karang menjadi sangat
penting untuk memastikan tetap terjaganya kelentingan ekosistem terumbu karang coral reef resilience.
Komposisi jenjang rantai makanan dan kelompok fungsional dari 77 spesies ikan hias laut yang potensial disajikan pada Gambar 22 dan 23. Secara
keseluruhan bahwa sumberdaya ikan hias laut di P. Weh terdistribusi secara hampir merata ke berbagai kelompok jenjang rantai makanan dan kelompok
fungsional.
Gambar 22 Komposisi jenjang rantai makanan trophic level 77 spesies ikan hias laut di P. Weh.
Bentik invertivora
17 Karnivora
7 Koralivora
13 Detrivora
4 Herbivora
19 Omnivora
23 Planktivora
17
Bentik invertivora
14 Browser
1 Karnivora
7 Detritivora
4 Grazer
17 Obligate
and facultative
coral feeder
13 Omnivora
23 Planktivora
17 Scrapper
1 Sessile
invertebrate feeder
3
Gambar 23 Komposisi kelompok fungsional functional group 77 spesies ikan hias laut di P. Weh.
Dari perspektif ketersediaan sumberdaya berdasarkan model surplus produksi, secara umum tingkat pemanfaatan ikan hias laut masih berada di bawah
potensi lestarinya, kecuali untuk jenis Acanthurus leucosternon. Salah satu permasalahan dalam kegiatan perikanan ikan hias laut adalah
ukuran tangkap yang cenderung lebih kecil dari ukuran layak tangkap. Menurut Hutchings dan Baum 2005 ukuran layak tangkap biasanya mengacu pada ukuran
ikan pada pertama kali matang gonad length at first maturity. Meskipun data panjang ikan hasil tangkapan tidak dicatat selama penelitian, tetapi berdasarkan
pengamatan langsung di lapangan, ukuran ikan yang ditangkap umumnya berkisar antara 6 - 12 cm, dimana lebih kecil dari ukuran length at first maturity. Menurut
Wood 2001b, hal tersebut diakibatkan karena banyak ikan muda maupun juvenil memiliki pola warna yang lebih menarik dibandingkan ikan dewasa. Lebih lanjut
Chan dan Sadovy 1998 mengestimasi bahwa sekitar 56 dari biota hias yang dijual adalah juvenil, dimana menurut Wood 2001b hal ini akan mempercepat
laju penurunan populasi dan ketidakseimbangan ekosistem. Sebaran ukuran length at first maturity
dari 19 spesies ikan hias laut yang dimanfaatkan disajikan pada Tabel 20.
Adanya kekhawatiran terhadap keberlanjutan sumberdaya ikan hias laut yang diakibatkan oleh penangkapan ikan-ikan yang berusia muda berukuran
kecil mungkin dapat dijembatani oleh pendekatan yang dilakukan dalam menduga MSY dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini, pendugaan MSY
dibedakan berdasarkan kelompok ukuran, dimana hanya dilakukan pada kelompok ukuran ikan yang ditangkap dan bukan pada keseluruhan populasi.
Oleh karena itu nilai dugaan MSY yang dihasilkan diharapkan akan lebih baik karena spesifik pada kelompok ukuran ikan yang umum dimanfaatkan oleh
nelayan. Hal ini sesuai dengan Garcia et al. 1989 yang menyatakan bahwa kajian MSY harus dilakukan pada kelompok ukuran atau umur yang sama dan
tidak mengikutsertakan kelompok ukuran yang tidak dimanfaatkan oleh suatu kegiatan perikanan.
Pendekatan lain yang dapat dilakukan sebagai dasar pertimbangan dalam mengkaji strategi pemanfaatan berkelanjutan perikanan ikan hias adalah melalui
kajian sejarah hidup life history. Menurut Jennings et al. 2001, life history adalah hal-hal yang berkenaan dengan pertumbuhan, fekunditas, strategi
reproduksi, dan usia saat suatu organisme mencapai matang gonad age at maturity
. Menurut Winemiller 2005 teori sejarah hidup menjelaskan evolusi dari suatu organisme sebagai respon adaptasi terhadap variasi lingkungan dan
perbedaan mortalitas atau alokasi sumberdaya dalam perkembangannya. Teori sejarah hidup juga memprediksi respon terhadap gangguan dalam skala spasial
maupun temporal Winemiller 2005, dan aplikasinya dalam perikanan adalah terutama untuk memprediksi bagaimana suatu populasi ikan merespon dan pulih
dari suatu upaya eksploitasi Goodwin et al. 2006. Winemiller dan Rose 1992 serta King dan Mcfarlane 2003 membagi
strategi sejarah hidup life history strategy ikan tropis ke dalam tiga kelompok, yaitu:
1 Oportunistik
memiliki sifat cepat dewasa, beberapa kali bereproduksi selama masa pemijahan, pertumbuhan larva yang cepat, dan tingkat pemulihan populasi
yang cepat. Kelompok ini terdiri dari ikan berukuran kecil yang lebih cepat dewasa, ukuran telur kecil, dan pemijahan yang kuntinu sebagai strategi
untuk memulihkan populasinya setelah adanya gangguan atau tingkat mortalitas yang tinggi pada ikan dewasa.
2 Periodik
memiliki sifat pertumbuhan yang lambat, masa hidup yang panjang, lebih lambat mencapai usia dewasa, ukuran tubuh lebih besar, dan fekunditas
tinggi. King dan Mcfarlane 2003 menambahkan bahwa kelompok periodik melakukan pemijahan beberapa kali secara periodik selama masa hidupnya.
3 Ekuilibrium
memiliki sifat tingkat pertumbuhan yang lambat, fekunditas rendah, lambat mencapai dewasa, dan melakukan upaya tertentu untuk menjaga dan
memastikan keberhasilan hidup larvanya parental care. Kelompok ini memiliki kemampuan pemulihan populasi yang lambat, sehingga sangat
rentan terhadap eksploitasi. Musick et al. 2000 menambahkan bahwa pengelolaan pada perikanan multispesies perlu memperhatikan pemanfaatan
kelompok ikan ekuilibrium dengan menerapkan pembatasan jumlah tangkapan kuota.
Sifat-sifat sejarah hidup ikan dapat dilihat dari berbagai aspek, diantaranya i ukuran saat dewasa, ii ukuran maksimum, iii laju pertumbuhan, iv
fekunditas, v usia maksimum, vi ukuran telur, dan vii upaya dalam menjaga kelangsungan hidup larvanya parental investment Winemiller dan Rose 1992;
King dan Mcfarlane 2003. Secara spesifik Jennings et al. 2001 menyatakan bahwa laju pertumbuhan yang dinyatakan dalam koefisien K von-Bertalanffy
dapat menjelaskan sifat sejarah hidup dari suatu spesies ikan. Secara umum, ikan dengan nilai K yang lebih besar memiliki sifat lebih cepat dewasa, output
reproduksi yang tinggi, masa hidup yang lebih pendek, dimana memiliki kemiripan sifat dengan tipe oportunistik. Ikan dengan nilai K yang lebih kecil
memiliki sifat sebaliknya yaitu memiliki ukuran lebih besar dan lebih tua saat mencapai dewasa, output reproduksi lebih rendah, dan masa hidup yang panjang,
dimana memiliki kemiripan sifat dengan tipe periodik atau ekuilibrium. Jenis-jenis ikan hias laut yang dimanfaatkan di P. Weh memiliki sifat
sejarah hidup yang berbeda-beda, salah satunya dapat dilihat dari koefisien laju pertumbuhan K, masa hidup life span, usia saat pertama kali matang gonad
age at first maturity, dan panjang saat pertama kali matang gonad length at first maturity
. Perlu dilakukan kajian secara seksama untuk mengetahui
pengelompokan strategi sejarah hidup yang lebih tepat untuk masing-masing spesies, terutama pada aspek kemampuan reproduksinya. Berdasarkan nilai K
yang disajikan pada Tabel 20 mungkin kita dapat menduga pengelompokan strategi sejarah hidup dari 19 spesies ikan hias laut yang dimanfaatkan di P. Weh.
Hasil pengelompokan hanya merupakan dugaan berdasarkan nilai K secara sederhana. Untuk memahami strategi sejarah hidup yang lebih tepat dari masing-
masing spesies perlu dilakukan melalui kajian yang mendalam.
Tabel 20 Parameter-parameter sejarah hidup life history pada 19 spesies ikan hias laut yang dimanfaatkan di P. Weh sumber: Froese dan Pauly
2010
Spe sie s Linf cm
K M
Masa hidup
tahun Usia
matang gonad
tahun Ukuran
panjang gonad cm
Strate gi Se jarah
hidup
Acanthurus leucosternon 56,1
0,25 0,80 11,4
3,4 31,1
P atau E Acanthurus lineatus
39,7 0,18 1,03
15,9 4,0
22,8 P atau E
Acanthurus nigrofuscus 18,0
1,00 1,82 2,8
0,8 11,2
O Acanthurus tennenti
32,5 0,43 1,19
6,6 1,7
19,0 P atau E
Amphiprion clark ii 15,9
0,43 1,99 6,5
1,9 10,0
P atau E Anampses meleagrides
23,2 0,35 1,52
8,1 2,2
14,1 P atau E
Apolemichthys trimaculatus 27,3
0,36 1,35 7,9
2,1 16,3
P atau E Centropyge eibli
15,9 0,6
1,99 4,7
1,3 10,0
P Chaetodon andamanensis
15,9 1,35 1,99
2,1 0,6
10,0 O
Chaetodon auriga 17,4
1,50 1,87 1,9
0,5 10,9
O Chaetodon meyeri
21,2 1,04 1,62
2,7 0,7
12,9 O
Forcipiger flavissimus 23,2
0,95 1,51 3
0,8 14,1
O Gomphosus varius
31,5 0,22 1,22
12,9 3,3
18,5 P atau E
Hemitaurichthys zoster 19,0
1,14 1,75 2,5
0,7 11,8
O Naso lituratus
42,3 0,35 0,98
8,1 2,0
24,1 P atau E
Paracanthurus hepatus 32,5
0,43 1,19 6,6
1,7 19,0
P atau E Pomacanthus imperator
46,9 0,20 0,90
14,2 3,5
23,8 P atau E
Zanclus cornutus 24,2
- 1,47
- -
14,6 -
Keterangan: Linf=panjang asimtotik, K=koefisien laju pertumbuhan von-Bertalanffy, M=mortalitas alami, O=oportunistik, P=periodik, E=ekuilibrium, - = data tidak tersedia.
Secara teoritis, pada kasus perikanan ikan hias laut yang selalu menangkap ikan muda atau juvenil, kelompok periodik dan ekuilibrium diduga lebih mampu
bertahan untuk menjaga populasinya akibat kegiatan penangkapan. Ikan dewasa pada kelompok periodik dan ekuilibrium akan terus melakukan pemijahan dan
menghasilkan generasi ikan yang baru, selama ikan-ikan dewasa tidak ditangkap, dan penangkapan ikan muda dijaga pada jumlah yang aman. Hal ini diperkuat
oleh hasil kajian yang dilakukan oleh Birkeland dan Dayton 2005 yang menunjukan bahwa organisme yang lebih tua pada suatu populasi ikan
menghasikan larva yang memiliki daya kelulusan hidup survival yang lebih baik dibanding organisme yang lebih muda. Selain itu fungsi-fungsi ekologis seperti
pemakan makro alga browser pada ikan Naso lituratus maupun spesies lainnya lebih optimum pada organisme yang lebih besar atau dewasa Barkeley dan
Dayton 2005. Meskipun ikan tipe oportunistik memiliki kemampuan pemulihan populasi yang cepat, akan tetapi pembatasan jumlah tangkapan melalui kuota
perlu tetap diterapkan, terutama pada kelompok ukuran yang biasa ditangkap. Kendala utama dalam membangun kajian dan pengelolaan perikanan
berbasis ekosistem adalah kebutuhan untuk mengikutsertakan begitu banyak spesies, dimana sebagian besar belum pernah dilakukan kajian. Pemahaman
mengenai parameter life history akan memberikan titik awal untuk kerangka pengelolaan. Dengan mengelompokkan spesies berdasarkan sifat-sifat sejarah
hidupnya akan membantu memahami dinamika populasi suatu spesies dan hubungannya dengan lingkungan dan kegiatan perikanan. Mengkaji dan
mengelola sumberdaya ikan berdasarkan strategi sejarah hidup merupakan faktor yang penting terkait pendekatan ekosistem dalam perikanan ecosystem approach
to fisheries King dan Mcfarlane 2003, khususnya dalam pemanfaatan
sumberdaya ikan hias laut dimana metode pengkajian stok yang masih memiliki keterbatasan serta adanya masalah ukuran ikan yang ditangkap.
Pola penangkapan ikan hias yang dilakukan oleh nelayan P. Weh sangat ditentukan oleh jumlah permintaan order. Jumlah ikan yang ditangkap oleh
masing-masing nelayan atau unit penangkapan biasanya merupakan pembagian merata dari total permintaan. Perikanan ikan hias dikelola secara berkelompok
dan sedapat mungkin masing-masing nelayan mendapatkan hasil atau pendapatan yang sama. Pola seperti ini yang membedakan antara perikanan ikan hias dengan
jenis perikanan lainnya yang umumnya selalu berusaha untuk memaksimalkan hasil tangkapan.
Fenomena pola penangkapan tersebut dapat terlihat dari pola hubungan yang linier antara total hasil tangkapan ikan botana biru dan jumlah trip per
bulannya Gambar 24. Persamaan linier yang dibentuk oleh hubungan antara hasil tangkapan dan jumlah trip per bulan menunjukan nilai koefisien determinasi
R
2
sebesar 0,979, dan signifikan pada selang kepercayaan 95. Hal ini
menunjukan bahwa persamaan tersebut mampu menjelaskan sebesar 97,9 hubungan antara hasil tangkapan dan jumlah trip per bulan. Pola hubungan yang
linier tersebut menunjukan bahwa rata-rata hasil tangkapan per trip CPUE cenderung konstan.
y = 50.62x ‐ 83.09
R² = 0.979
500 1000
1500 2000
2500 3000
10 20
30 40
50 60
To ta
l T a
ng k
a pa
n ind.
Jumlah Trip
Gambar 24 Hubungan linier antara total tangkapan botana biru dan jumlah trip per bulan.
Berdasarkan diagram boxplot Gambar 25, sebaran nilai CPUE yang dinyatakan dalam satuan hasil tangkapan per trip ind.trip
-1
memiliki nilai pemusatan 51 Q1=48, Q3=55. Rata-rata jumlah hasil tangkapan ikan botana
biru per trip adalah 51,7 ekor. Dari 359 data hasil tangkapan, ditemukan beberapa data pencilan. Data pencilan ini diduga diakibatkan oleh perbedaan jumlah ABK
dalam unit penangkapan saat penangkapan dilakukan sehingga hasil tangkapan dalam satu unit kapal menjadi lebih besar.
Total tangkapan ikan botana biru selama 12 bulan pada tahun 2010 bervariasi, dimana jumlah tertinggi terjadi pada bulan Januari, Juli, Oktober, dan
Desember. Bulan Agustus dan September memiliki total tangkapan yang rendah karena pada bulan tersebut merupakan bulan puasa dimana nelayan tidak
melakukan kegiatan penangkapan Gambar 26. Karena pola tangkapan ikan hias laut khususnya botana biru sangat ditentukan oleh permintaan, maka fluktuasi
hasil tangkapan bulanan juga menggambarkan pola permintaannya.
Gambar 2
Gambar 2
Dari yang terc
lokasi pen bulan dila
bahwa ma kawasan k
5 Diagram leucoste
500 1000
1500 2000
2500 3000
To tal
ta ng
k a
pa n
i nd.
6 Varias fungsi
i total 505 t catat inform
nangkapan akukan di d
asih kurang konservasi y
m boxplot se ernon
jum
si jumlah to dari permin
trip yang te masi lokasi
ditemukan dalam kaw
gnya kepatu yang ada G
ebaran nilai mlah data = 3
otal tangkap ntaan pada t
ercatat selam daerah pe
bahwa seb wasan konse
uhan nelaya Gambar 27.
CPUE ikan 359.
pan bulanan tahun 2010.
ma 12 bulan enangkapan
besar 42,8 ervasi KKL
an ikan hia n botana bir
n ikan bota .
n, hanya seb nnya. Berd
dari tota LD. Hal
as P. Weh ru Acanthu
ana biru se
banyak 194 asarkan seb
al trip selam ini menunj
terhadap a
urus
ebagai
4 trip baran
ma 12 jukan
aturan
Berdasarkan lokasi penangkapan fishing ground, tercatat bahwa daerah Anoi Itam KKLD, serta Ujung Seuke dan Paya Keuneukai daerah pemanfaatan
merupakan lokasi yang paling banyak dijadikan lokasi penangkapan Gambar 28.
. Gambar 27 Perbandingan persentase dari jumlah total trip di wilayah KKLD dan
daerah pemanfaatan jumlah trip = 194.
5 10
15 20
25 30
35 40
45
U jung
Se uke
An o
i It a
m Re
u te
u k
Be n
te n
g T
e upi
n Ba
d a
U jung
K a
re ung
Pa ya
K e
une ka
i Ba
lo h
a n
Ba n
g a
u
B a
lik G
unung Go
a Sa
ra n
g K
e une
uka i
Ja b
o i
B e
u raw
an g
Ca lo
k Ja
b o
i
KKLD Pemanfaatan
Ju m
la h
Tr ip
Gambar 28 Jumlah trip yang tercatat selama 12 bulan di masing-masing lokasi penangkapan.
Aturan yang diterapkan di dalam kawasan KKLD antara lain adalah pembatasan penggunaan alat tangkap perikanan tertentu di sekitar wilayah
ekosistem terumbu karang, antara lain jaring, pukat dan alat bantu penangkapan berupa kompresor, yang didasarkan pada aturan adat melaut setempat BAPPEDA
2010. Kawasan KKLD terbagi kedalam 3 zona yaitu zona inti, zona perikanan
42,8 57,2
0.0 10.0
20.0 30.0
40.0 50.0
60.0 70.0
80.0 90.0
100.0
KKLD Daerah
Pemanfaatan
tot a
l tri
p
berkelanjutan, dan zona pemanfaatan DKPP 2010. Wilayah pesisir timur P. Weh ditetapkan sebagai kawasan KKLD dengan tujuan untuk memberikan
dukungan politis dan kebijakan terhadap pelaksanaan Hukum Adat Laut dan kelembagaan Panglima Laut yang telah berlangsung sejak lama di wilayah
tersebut Mukminin et al. 2010. Berdasarkan analisis kelimpahan sumberdaya ikan karang, kawasan KKLD
memiliki rata-rata kelimpahan lebih tertinggi dibandingkan kawasan TWAL dan daerah pemanfaatan yang tidak dikelola Gambar 14. Lebih jauh Campbell et al.
2008 menyatakan bahwa biomassa ikan karang ditemukan lebih tinggi di kawasan KKLD dibandingkan kawasan lainnya. Perbedaan juga ditemukan
dalam hal struktur jenjang rantai makanan antar kawasan pengelolaan. Di kawasan TWAL dan KKLD dimana memiliki penutupan karang keras hidup live coral
cover dan keragaman jenis karang tertinggi, jenis ikan yang berasosiasi erat
dengan karang Chaetodontidae dan Pomacentridae memiliki biomassa yang lebih tinggi dibandingkan daerah pemanfaatan yang tidak terdapat pengelolaan.
Tren perbedaan kelimpahan dan biomassa antar kawasan pengelolaan mengindikasikan adanya pengaruh positif dari kontrol pengelolaan terhadap
kelimpahan dan biomassa ikan karang. Biomassa ikan ukuran kecil berukuran 5- 15 cm yang ditemukan lebih tinggi di kawasan pengelolaan TWAL dan KKLD
diduga menjadi indikator adanya proses rekrutmen ikan yang lebih baik di kedua kawasan tersebut. Selain itu adanya larangan penggunaan alat tangkap jaring
diduga menjadi penyebab adanya perbedaan struktur populasi ikan karang antar kawasan pengelolaan di P. Weh Campbell et al. 2008.
Telah banyak penelitian yang mengkonfirmasi bahwa daerah perlindungan laut marine reserve telah membantu meningkatkan jumlah stok, ukuran ikan,
dan output reproduksi dari kelompok ikan target bagi perikanan. Populasi ikan meningkat secara cepat dalam rentang waktu 2-3 tahun setelah suatu daerah
perlindungan laut diimplementasikan. Pertumbuh populasi ikan bahkan terus berlanjut hingga rentang periode tertentu, khususnya bagi spesies ikan yang
berumur panjang. Daerah perlindungan laut telah memberikan manfaat bagi hampir seluruh ikan ekonomis penting, krustasea, moluska, dan ekinodermata dari
berbagai kelompok taksonomi Gell dan Roberts 2003.
Dampak lain dari daerah perlindungan laut DPL bagi perikanan adalah adanya spillover, yaitu penyebaran larva, juvenil, maupun ikan dewasa ke daerah
diluar DPL. Kajian yang dilakukan oleh Abesamis dan Russ 2005 membuktikan bahwa spillover pada spesies Naso vlamingii terjadi meskipun dalam rentang jarak
yang relatif dekat 300-500 meter. Hasil penelitian yang dilakukan Filho dan Maura 2008 membuktikan adanya spillover pada ikan Epinephelus maculatus,
Plectropomus leopardus , Chlorurus microrhinos, dan Scarus ghobban, dengan
rantang jarak penyebaran antara 510-6000 meter. Mengacu pada dua hasil penelitian tersebut, keberadaan daerah perlindungan laut TWAL dan KKLD di
P. Weh diduga dapat memberikan manfaat positif dalam menjaga keberlanjutan sumberdaya ikan bagi perikanan, termasuk perikanan ikan hias laut. Meskipun
begitu, perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam mengenai jarak dan pola penyebaran dari jenis-jenis ikan hias laut di P. Weh untuk mengetahui dampak
dari daerah perlindungan laut di P. Weh terhadap keberlanjutan sumberdaya ikan hias laut.
Dari segi aspek teknis alat tangkap, jaring ikan hias yang digunakan nelayan P. Weh memiliki ukuran mata jaring yang relatif terlalu besar. Hal ini terlihat dari
lebih seringnya ikan-ikan terperangkap di jaring dengan cara tersangkut di bagian insangnya gilled. Hal ini sering kali mengakibatkan luka pada tubuh ikan target.
Selain itu, banyaknya ikan-ikan non-target yang terperangkap dengan cara gilled menyebabkan proses penangkapan menjadi tidak efisien karena nelayan harus
melepaskan ikan-ikan tersebut dari jaring sebelum melakukan proses penangkapan berikutnya, dimana proses ini kadang mengakibatkan kerusakan
pada jaring.