VII. KINERJA LEMBAGA PENUNJANG PEMASARAN DAN KEBIJAKAN PEMASARAN RUMPUT LAUT
7.1. Kinerja Lembaga Penunjang
Pengembangkan budidaya rumput laut di Kecamatan Mangarabombang membutuhkan suatu wadah sebagai tempat berkumpul dan berorganisasi dalam
menjalankan kegiatan budidaya rumput laut. Dengan demikian mereka dapat mengatasi permasalahan secara bersama baik permasalahan input, teknik
produksi maupun pemasaran serta informasi. Hasil pengamatan di lapangan dan wawancara dengan 150 responden rumput laut, ditemukan beberapa masalah yang
dapat menghambat kegiatan budidaya rumput laut, antara lain:
7.1.1. Pengaturan Pasar
Dengan makin berkembangnya usaha budidaya rumput laut, dikhawatirkan ke depan akan terjadi konflik pemanfaatan ruang perairan laut yang dapat
menyebabkan konflik sosial bahkan mengarah pada pertentangan fisik. Konflik ini dari segi penguasaan areal budidaya, mengingat bahwa laut merupakan open
acces yang berarti dapat digunakan oleh siapa saja dan siapa yang cepat dia yang
dapat, sehingga dapat menyebabkan penguasaan areal budidaya yang tidak merata. Pengaturan dan penataan ruang perairan untuk kegiatan budidaya rumput
laut masih belum ada. Akibatnya, terjadi tumpang tindih dengan kegiatan lain, pertentangan antara sesama anggota masyarakat serta berjangkitnya berbagai
penyakit akibat padatnya aktivitas budidaya rumput laut di lokasi tersebut.
Sementara ini telah dikembangkan penyusunan tata ruang wilayah pesisir KabupatenKota dan Provinsi Perda sedang dalam pembahasan untuk mengatur
keamanan dan kepastian usaha budidaya rumput laut. Untuk melindungi sebuah kawasan pengembangan yang ada di wilayah pesisir, pihak pemerintah daerah
telah mengeluarkan Perda No 162008, tentang pengelolaan wilayah pesisir. Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa Perda tersebut belum berjalan
dengan baik karena penguasaan lahan budidaya masih dikuasai oleh orang-orang tertentu yang memiliki kekuasaan.
Peraturan yang legal untuk menetibkan para pedagang pengumpul dalam pembelian rumput laut belum ada. Walaupun demikian kenyataan di lapangan
menunjukkan bahwa para pedagang pengumpul tidak mempermainkan harga di tingkat nelayanpetani. Harga yang diperoleh nelayanpetani tidak jauh berbeda
dengan harga pasar tetapi disesuaikan dengan kualitas dan volume rumput laut para nelayanpetani rumput laut. Para pedagang pengumpul justru membantu para
nelayanpetani dalam hal permodalan. Dengan adanya pemberian modal, ikatan tersebut membuat para nelayanpetani tidak dapat menjual hasil panenya ke
pedagang pengumpul lainnya.
7.1.2. Informasi Pasar
Kelompok Usaha Bersama KUB merupakan lembaga yang dapat membantu para nelayanpetani rumput laut dalam melakukan budidaya rumput
laut dan pengembangannya. Namun hasil penelitian menunjukkan bahwa: a KUB belum dimanfaatkan secara optimal oleh para nelayanpetani rumput laut,
b lembaga yang terlibat dalam peningkatan kualitas sarana melalui standarisasi,
sertifikasi, pengawasan sistem perbenihan dan sarana lainnya belum ada, c penerapan teknologi budidaya sesuai dengan daya dukung lingkungan belum
diterapkan, dan d penataan pola produksi dan peningkatan kualitas penanganan pasca panen, distribusi dan pemasarannya belum dilakukan. Sehingga belum
berkembangnya kemitraan usaha yang saling melengkapi, saling memperkuat dan saling menguntungkan antara stakeholder Petani, Pembeli, Pemasok Bahan Baku
dan pengambil kebijakan Oleh karena lemahnya kesadaran akan pentingnya standard kualitas
produk yang berkaitan dengan terbatasnya akses informasi, pasar dan kesulitas mengadopsi teknologi, gejolak fluktuasi pasar rumput laut khususnya dalam hal
permintaan dan harga, lemahnya koordinasi kebijakan antar stakeholder mulai di tingkat pusat dan daerah serta lemahnya instrumen kelembagaan produsen
rumput laut pabrikanindustri,eksportir yang berakibat pada mekanisme persaingan cenderung kurang sehat. Sehingga menyebabkan terjadinya masalah
dalam pemasaran rumput laut antara lain: 1 tata niaga yang menguntungkan
petani dan para pelaku pemasaran rumput laut belum terbentuk; 2 segmen pasar dan pengembangan pola distribusi masih terbatas; 3 sistem informasi pasar
masih terbatas; 4 peran dan fungsi kelembagaan dalam mengakses sumber inovasi, pasar, permodalan dan kemitraan dengan pabrikan dan eksportir, antara
lain dengan memfungsikan KUB belum berjalan dengan baik, dan 5 proses pasca panen yang dapat memberikan nilai tambah produk belum dikembangkan.
Hal tersebut menyebabkan posisi tawar nelayanpetani rumput laut di Kecamatan Mangarabombang cukup lemah dihadapan pedagangpembeli dan perantara
diakibatkan karena lemahnya kualitas SDM dan kelembagaan kelompok tani.
7.1.3. Penyuluhan dan Pelatihan
Lembaga yang melakukan pembinaan dan pengembangan usaha pemasaran rumput laut dilakukan oleh Kelompok Usaha Bersama KUB dan
Koperasi serta anggota Asosiasi rumput laut tidak difungsikan oleh para nelayanpetani rumput laut. Selain itu, belum ada forum koordinasi
pengembangan rumput laut yang dapat memberi dukungan terhadap kajian dan pengembangan tehnologi rumput laut, sertifikasi dan pengawasan pembudidaya,
perbenihan, mutupengolahan mulai dari hulu hingga ke hilir belum ada. Karena itu pembinaan dan pelatihan yang dilakukan di tingkat nelayanpetani rumput laut
di Kecamatan Mangarabombang selama ini belum menyentuh secara keseluruhan. Hal ini disebabkan masih terbatasnya nelayanpetani rumput laut yang dapat
mengakses informasi tersebut. Pelatihan tentang budidaya rumput laut dan transfer teknologi tepat guna di Kecamatan Mangarabombang dilakukan oleh
Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Takalar dan Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros beserta LSM.
7.1.4. Sumber Dana
Lembaga keuangan mikro yang ada dengan tujuan melayani kebutuhan modal para nelayanpetani rumput laut secara mudah, murah dan efisien belum
menyentuh para nelayanpetani rumput laut yang ada di lokasi penelitian. Fakta ini dapat terlihat dari 72.05 persen para nelayanpetani rumput laut yang terikat
dengan para pedagang pengumpul untuk memperoleh modal. Sebanyak 12.67 persen nelayanpetani rumput laut yang tergabung dalam KUB ”Mitra Pesisir”
mendapat bantuan modal dari UPKMP Bina Bahari sebagai modal budidaya
rumput laut sebesar masing-masing Rp 10 juta dengan bunga 0.8 persen per bulan dengan jangka waktu 2 tahun pada tahun 2006. Oleh karena lembaga keuangan
yang ada masih memiliki persepsi resiko yang tinggi dalam pengembangan usaha rumput laut, maka masalah-masalah yang dijumpai dari segi sumber dana antara
lain; 1 Keterlibatan pemerintah dalam penyediaan infra struktur dan unit-unit pengolahan di sentra-sentra produksi belum tampak; 2 Peran pemerintah dalam
mendukung penguatan modal fasilitas kredit di bidang budidaya rumput laut masih kurang diakses karena kurangnya informasi; 3 Dukungan permodalan
antara lain melalui stimulan penguatan modal dirasakan masih belum memenuhi kebutuhan para nelayanpetani rumput laut, karena yang dapat mengakses terbatas
pada nelayanpetani yang tergabung dalam KUB atau kelompok lain yang terkait; 4 Industri rumput laut yang terpadu, terutama di sentra produksi rumput laut
untuk memudahkan para nelayanpetani rumput laut menjual langsung hasil panenya belum ada.
7.2. Implikasi Kebijakan