Infrastruktur KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

54 Laut Halmahera Laut Maluku Gambar 10. Peta bentuklahan Landform di lokasi penelitian

5.2. Bahaya longsor landslide hazard di lokasi penelitian

Bahaya longsor dapat terjadi karena interaksi antara suseptibilitas longsor dan faktor pemicu longsor. Suseptibilitas longsor umumnya merupakan fenomena alam seperti kemiringan lereng, kondisi geologi, kondisi tanah, landform dan hidrologi. Pemicu longsor dapat berupa proses alami, non alami ataupun kombinasi keduanya seperti curah hujan, getaran dan aktifitas manusia. Untuk mendapatkan gambaran bahaya longsor, maka dilakukan analisis terpadu antara suseptibilitas longsor dan parameter pemicu longsor. Suseptibilitas longsor Landslide susceptibility Pada penelitian ini parameter suseptibilitas longsor dibedakan menjadi tiga, yaitu kemiringan lereng, bentuklahan dan kondisi tanah di lokasi penelitian. Longsor biasa terjadi pada wilayah dengan bentuklahan berbukit dan bergunung. Hal tersebut disebabkan, karena bentuklahan berbukit dan bergunung memiliki kemiringan lereng miring hingga sangat curam, terlebih lagi pada kondisi tanah yang mempunyai infiltrasi rendah seperti liat dapat menyimpan air sampai jenuh, membentuk bidang luncur yang dapat meluncurkan material yang berada di atasnya. 55

a. Kemiringan lereng

Kemiringan lereng di lokasi penelitian dibagi menjadi lima kelas. Berdasarkan operasi calculate geometry GIS didapatkan bahwa kemiringan lereng terluas di lokasi penelitian adalah kelas sangat curam dengan luas 2.760 ha atau 27,2 dari total luas wilayah penelitian. Luasan terkecil adalah pada kelas curam dengan luas 1.460 ha 14,4 Tabel 24. Dari tabel tersebut dapat dikatakan bahwa pulau Ternate lebih didominasi oleh kemiringan lereng berbukit dan sangat curam sehingga kondisi ini membuat pulau Ternate berpotensi longsor. Gambaran kemiringan lereng di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 11. Tabel 24. Kemiringan lereng, kelas dan luas lereng di lokasi penelitian Kemiringan lereng Kelas Luasan ha Persentase – 8 Datar – landai 1.850 18,3 8 – 15 Landai – agak miring 1.730 17,1 15 – 30 Miringberbukit 2.330 23 30 – 45 Curam 1.460 14,4 45 Sangat curam 2.760 27,2 Jumlah 10.130 100 Sumber: Data olahan 2012 Sebaran kemiringan lereng tersebut dapat menjadi salah satu penciri bentuklahan vulkanik kepulauan, dimana pulau Ternate memiliki kelas kemiringan lereng dari datar hingga sangat curam, mulai dari bentuklahan gisik pantai hingga lereng puncak vulkanik. Secara rinci keberadaan kemiringan lereng pada bentuklahan di pulau Ternate disajikan Tabel 25. Tabel 25. Sebaran kemiringan lereng pada bentuklahan di pulau Ternate Kemiringan lereng Bentuklahan – 8 Tersebar pada landform gisik pantai, dataran pantai anthropgenik dan lereng kaki vulkanik. 8 – 15 Umumnya berada pada landform lereng kaki vulkanik dan lereng bawah kerucut vulkanik. 15 – 30 Tersebar pada landform lereng kaki fluvio vulkanik, lereng bawah kerucut vulkanik dan sedikit pada lereng atas kerucut vulkanik. 30 – 45 Pada umumnya tersebar pada lereng bawah vulkanik, lereng tengah kerucut vulkanik dan sedikit pada lereng atas kerucut vulkanik. 45 Mendominasi landform lereng bawah kerucut vulkanik, lereng tengah kerucut vulkanik, lereng atas kerucut vulkanik dan lereng puncak vulkanik terutama pada sebelah barat dari crater. Sumber: Data olahan 2012 56 Laut Halmahera Laut Maluku Gambar 11. Peta kemiringan lereng di lokasi penelitian b. Bentuklahan Landform Bentuklahan dapat memberikan gambaran dalam melakukan penilaian bahaya tanah longsor. Longsor dapat terjadi pada bentuklahan berlereng miring hingga sangat curam seperti perbukitan atau pegunungan ataupun kondisi yang dapat merubah bentuklahan menjadi berbukit dengan lereng curam. Oleh karena lokasi penelitian termasuk di dalam bentuklahan bergunung, maka wilayah ini sangat berpotensi untuk terjadi longsor. Selain aspek morofologi tersebut, aspek lain seperti morfogenesi proses terbentuknya bentuklahan, kronologi terutama proses pelapukan, dan litologi yang menyusun bentuklahan juga sangat menentukan potensi terjadinya longsor. Banyak penduduk pulau Ternate bermukim pada bentuklahan lereng kaki fluvio-vulkanik dan dataran pantai. Pada periode 10 tahun terakhir, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, wilayah permukiman kian bertambah dan cenderung menuju ke arah wilayah lereng bawah kerucut vulkanik. Bentuklahan lereng bawah vulkanik yang berlereng miring hingga sangat curam sesungguhnya memiliki struktur batuan yang kompak disamping bervegetasi, sehingga dengan