angka-angka tersebut di atas. Peningkatan bahaya tampaknya akan cenderung terus bertambah ke arah puncak seiiring dengan dinamika atau aktifitas manusia
yang memanfaatkan lahan dan secara perlahan akan dapat merubah kondisi alami geomorfologi Pulau Ternate.
Perubahan penggunaan lahan pada bekas penambangan batu dan pasir menjadi permukiman dan juga adanya pembangunan akses jalan untuk aktifitas
masyarakat sekitar, akan terus menarik perhatian masyarakat lain untuk membangun dan tinggal di area tersebut. Hal ini secara langsung akan
meningkatkan tingkat kerentanan masyarakat yang tingal di tempat tersebut. Dengan berubahnya karakter bentuklahan melalui pemotongan lereng dan
bertambahnya penghuni di area tersebut, maka bahaya longsor dan kerentanan masyarakat akan terus meningkat, dengan demikian secara langsung pula akan
meningkatkan tingkat resiko di wilayah tersebut.
5.7. Keterbatasan dan keunggulan penelitian
Penentuan resiko longsor tidak dapat dikatakan mudah, terlebih mengenai ketersediaan dan skala data. Begitu pula dengan penelitian ini, terutama
keterbatasan pada parameter penentu bahaya longsor terutama data kondisi tanah menyangkut dengan tekstur tanah, metode pengambilan sampel tanah dan
pemetaannya. Hal inilah yang harus diperbaiki pada penelitian selanjutnya. Penelitian ini pun memiliki keunggulan dalam penentuan resiko yaitu dalam
metode penentuan kerentanan yang riil hingga ke unit bangunan, maka penentuan kerentanan dan resiko longsor dapat diketahui secara langsung kepada objek yang
memiliki kerentanan dan resiko tertentu terhadap longsor. Skala informasi pada metode kerentanan dengan batasan unit bangunan lebih informastif dan detail
dibandingkan dengan metode indeks, sehingga dapat diterapkan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah terutama di tingkat KabupatenKota.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sesuai dengan tujuan penelitian. Adapun kesimpulan penelitian ini yaitu;
1. Pulau Ternate memiliki bentuklahan landform gunungapi. Adapun ciri
bentuklahan tersebut terlihat dari bentuk kerucut dan adanya aliran lava. Bentuklahan gunungapi dapat dibedakan menjadi kawah, tubuh kerucut
vulkanik, aliran lava, maar, dan gisik pantai. Unit bentuklahan ini dapat diidentifikasi dari citra GeoEye dan SRTM.
2. Berdasarkan hasil analisis suseptibilitas longsor, pulau Ternate memiliki 4
kelas yaitu kelas aman dengan luas 1.845 ha, kelas rendah dengan luas 2.410 ha, kelas sedang dengan luas 3.024 ha dan kelas tinggi dengan luas
2.850 ha. Pulau Ternate didominasi oleh kelas suseptibilitas longsor sedang hingga tinggi.
3. Untuk daerah penelitian, 2.410 ha Pulau ternate tergolong ke dalam kelas
bahaya rendah, 3.025 ha ke dalam bahaya sedang, dan 2.850 ha ke dalam kelas bahaya longsor tinggi. Jadi sekitar 28 wilayah Pulau Ternate berada
dalam kelas bahaya longsor tinggi. Faktor utama yang meningkatkan kelas bahaya longsor di daerah penelitian adalah lereng dan penggunaan lahan
yang disertai dengan pemotongan lereng. 4.
Dua kecamatan, yaitu Kecamatan Ternate Selatan dan Kecamatan Ternate Tengah, mempunyai tingkat kerentanan yang tinggi. Di kedua wilayah
tersebut terdapat 4.910 unit rumah dengan sekitar 24.550 jiwa penduduk dengan kerentanan tinggi, sehingga program mitigasi bencana perlu
mendapat prioritas
untuk kedua
kecamatan ini.
Program sosialisasipenyuluhan mengenai pengurangan resiko bencana merupakan
program prioritas untuk peningkatan kapasitas masyarakat. 5.
Metode penilaian kerentanan yang digunakan dalam penelitian ini lebih menekankan hanya pada area yang terkena dampak longsor, meliputi tipe
dan jumlah bangunan, serta jumlah penduduk yang ada di dalamnya. Meskipun skala penelitian ini bersifat semi detil 1:50.000, namun metode
ini diperkirakan lebih aplikatif, terutama untuk Badan Penanggulangan
Bencana Daerah BPBD di level KabupatenKota dalam melakukan penilaian resiko pada skala yang lebih besar 1:25.000 atau 1:10.000,
dikarenakan obyek yang terancam oleh bahaya lebih riil dibandingkan dengan penggunaan metode indeks kerentanan secara administratif. Selain
itu, penerapan program kerja pun lebih tepat sasaran. 6.
Pulau Ternate didominasi oleh kelas resiko longsor kelas sedang, dimana resiko ini meliputi 4.041 unit bangunan yang berada di Kecamatan Ternate
Selatan dan Kecamatan Ternate Tengah. Meskipun yang terancam oleh resiko tinggi relatif kecil, namun potensi peningkatan resiko longsor dari
sedang ke tinggi cukup besar. Oleh sebab itu pemantauan perubahan penggunaan lahan perlu mendapat prioritas untuk Kota Ternate, terutama di
kedua kecamatan tersebut.
6.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian, saran ditujukan untuk perbaikan penelitian dan upaya pengurangan resiko longsor di pulau Ternate. Proses penentuan resiko
bencana longsor di pulau Ternate tidak dapat dikatakan mudah karena masih banyak terdapat kekurangan terutama mengenai data. Upaya yang disarankan
sebagai proses perbaikan hasil penelitian diantaranya yaitu; 1.
Pembuatan data pemicu bahaya longsor di pulau Ternate seperti curah hujan dan kegempaan, sehingga informasi bahaya longsor pun lebih baik.
2. Pencatatan informasi kejadian longsor yang terjadi, baik longsoran yang
menimbulkan korban maupun tidak menimbulkan korban. 3.
Perbaikan data kondisi tanah seperti tekstur tanah dan kedalaman tanah termasuk metode pengambilan sampel dan pemetaannya.
4. Penambahan parameter kerentanan aspek ekonomi di area berpotensi
longsor sehingga peta kerentanan elemen resiko dapat lebih komprehensif. Upaya pengurangan resiko di pulau Ternate harus dilakukan secara
bersama-sama antara masyarakat, lembaga pemerintahan eksekutif, legislatif dan yudikatif, lembaga sosial dan sektor swasta. Upaya tersebut seyogyanya
dirumuskan berdasarkan akar permasalahan sehingga tindakan pengurangan resiko dilakukan untuk memecahkan akar permasalahan. Dari penelitian ini
diidentifikasikan beberapa akar permasalahan seperti 1 tidakkurang tersedianya
informasi yang lengkap dan akurat mengenai zona potensi tanah longsor, ciri lahan yang berpotensi longsor dan gejala awal longsoran akan terjadi; 2 kurang
tersedianya informasi mengenai langkah-langkah penanggulangan dan tindakan darurat jika terjadi gejala tanah longsor; 3 tidak tersedianya informasi resiko
tanah longsor; 3 keperdulian dan kesadaran masyarakat terhadap antisipasi bencana tanah longsor; 4 tidak ada payung hukum dalam pelaksanaan
pengurangan resiko. Kegiatan pengurangan resiko yang disarankan kepada seluruh pihak dapat
dilakukan dalam beberapa tahapan yaitu tahapan pencegahan bencana pra bencana, kesiapsiagaan, dan pasca bencana. Pada tahapan pecegahan bencana
seperti penelitian untuk pengendalian tanah longsor, pemetaan dan analisa tingkat resiko tanah longsor, sosialisasi hasil pemetaan, penghijauan, pendidikan dan
pemberdayaan masyarakat, penentuan dan sosialisasi jalur evakuasi, penetapan dan penegakan peraturan pengembangan wilayah, rekayasa tehnis dan vegetatif
dalam upaya mencegah tanah longsor pada lereng yang telah kritis atau kombinasinya, dan pemerataan penduduk.
Pada tahapan kesiapsiagaan, hal yang disarankan yaitu 1 pemantauan dan peringatan dini terhadap gejala tanah longsor seperti munculnya retakan pada
tanah atau lantai dan tembok bangunan, terdapat amblesan, miringnya pohon atau tiang pada lereng, munculnya mata air pada lereng secara tiba-tiba; 2 pemantauan
secara detail terhadap curah hujan terlebih pada intensitas hujan tinggi selama 3 jam atau lebih; 3 membangun sistem jaringan informasi.
Pada tahapan pasca bencana, hal yang disarankan yaitu 1 pengamanan lokasi longsoran agar tidak dikerumuni banyak orang yang tidak berkompeten; 2
relokasi sementara penduduk yang terkena longsoran; 3 perbaikan lereng pada lokasi longsoran; 4 penerapan rekayasa tehnis atau vegetatif; 5 mencegah
pembangunan atau pengembangan pada lereng yang telah terjadi longsor.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Edisi kedua. Cetakan kedua. Bogor. IPB Press
Atzeni, C., P. Canuti, N. Nasagli, D. Leva, G. Luzi, S. Moretti, M. Pieraccini, A.Sieber, and D. Tarchi. 2003. A Portable Device for Landslide Monitoring
Using Radar Interferometry. Landslides News. 1415: 13-15. [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Kota Ternate. 2011. Monografi
Kota Ternate. Ternate. Maluku Utara. [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Kota Ternate. 2010. Monografi
Kota Ternate. Ternate. Maluku Utara. [BPBD] Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Ternate. 2011. Data
Kebencanaan Kegiatan Asean Regional Forum Disaster Relief Exercises ARF DiR ex. Ternate. Maluku Utara.
[BPS] Biro Pusat Statistik Kota Ternate. 2011. Kota Ternate Dalam Angka. Ternate. Maluku Utara.
[BPS] Biro Pusat Statistik Kota Ternate. 2010. Kota Ternate Dalam Angka. Ternate. Maluku Utara.
[BPS] Biro Pusat Statistik Provinsi Maluku Utara. 2009. Maluku Utara Dalam Angka. Maluku Utara.
[BAKORNAS PB] Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana, 2007. Pengenalan karateristik bencana dan upaya mitigasinya di Indonesia.
[BNPB] Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2012. Deklarasi Yogyakarta. AMCDRR. http:www.bnpb.go.idwebsiteaspberita_list.asp?id=1063.
Bollin, C., Cardenas, C., Hahn, H., Vatsa., 2003. Disaster Risk Management By Communities and Local Government. Inter-America Development Bank.
New York Avenue.
Barus, B. 1999. Pemetaan Bahaya Longsor Berdasarkan Klasifikasi Statistik Peubah Tunggal Menggunakan SIG. Bogor. Jurusan Ilmu Tanah dan
Lingkungan 2:7-6. Bloom, A.L. 1979. Geomorphology. A Systematic Analysis of Late Cenozoic
Landforms. Prentice Hall of India. New Delhi. Cooke, R.U. and Doornkamp., P. 1978. Geomorfology in Environmental
Management. A New Introduction. Clarendon. Oxford. 140p. Carter, W.N. 1991
. Disaster Management: A Disaster manager’s Handbook. Asian Development Bank. Manila.