Kondisi tanah HASIL DAN PEMBAHASAN

Laut Halmahera Laut Maluku Gambar 14. Peta penggunaan lahan di lokasi penelitian Untuk melakukan analisis bahaya longsor, operasi tumpang susun overlay GIS menggunakan rumusan sebagai berikut; LH = ∑ {0,4 SLP + 0,3 LF + 0,2 ST + 0,1 LU} dimana; LH = Bahaya tanah longsor Landslide Hazard SLP = Kemiringan lereng Slope LF = Bentuklahan Landform ST = Tekstur tanah Soil Tekstur LU = Penggunaan lahan Land use 0,4; 0,3; 0,2; 0,1 merupakan bobot tiap parameter bahaya longsor seperti diuraikan pada metoda penelitian Tabel 9. Pada analisis ini, bahaya tanah longsor dikategorikan dalam empat kelas yaitu; aman, rendah, sedang dan tinggi. Pengkategorian ini berdasarkan nilai interval yang diperoleh dari selisih nilai teratas LH dan nilai terendah LH dibagi jumlah kelas. Hasil analisis bahaya longsor di daerah penelitian disajikan pada Tabel 30. Tabel 30. Kelas bahaya longsor, luasan dan persentasenya di lokasi penelitian Kelas Bahaya Longsor Luasan ha Persentase Aman 1.845 18,2 Rendah 2.410 23,7 Sedang 3.025 29,8 Tinggi 2.850 28,1 Sumber: Data olahan, 2012 Sebagaimana tabel di atas, kelas bahaya tinggi, sedang dan rendah memiliki luasan yang tidak jauh berbeda, kecuali pada kelas aman memilki luasan terkecil. Sebaran kelas bahaya longsor di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 15, dapat dilihat bahwa tiap kategori kelas bahaya longsor memiliki karakteristik lahan yang berbeda berdasarkan parameter bahaya longsor Tabel 31. Kelas aman memiliki luas 1.845 ha atau 18,2 dari total luas wilayah penelitian. Kelas ini didominasi oleh kemiringan lereng 0 – 8 berada pada bentuklahan daratan pantai anthropogenik, gisik pantai dan maar Tolire kecil. Tekstur tanah relatif mendominasi kelas ini adalah pasir, dan penggunaan lahan yang ada di kelas aman yaitu bakau, bandar udara, danau, kawasan reklamasi, pelabuhan, pertamina, PLTD, sarana pendidikan dan permukiman. Kelas rendah memiliki luas 2.410 ha atau 23,7 dari total luas wilayah penelitian. Kemiringan lereng mendominasi kelas ini yaitu lereng 8 – 15, sebagian besar berada pada bentuklahan kawah dan lereng kaki fluvio vulkanik. Tekstur lempung berpasir dan liat berpasir mendominasi kelas ini. Penggunaan lahan terluas pada kelas ini yaitu penambangan batu dan pasir. Kelas sedang memiliki luas 3.025 ha atau 29,8 dari total luas wilayah penelitian. Kemiringan lereng yang mendominasi yaitu 15 - 30 dan 30 - 45, berada pada bentuklahan lereng bawah kerucut vulkanik dan crater maar Laguna. Tekstur tanah yang mendominasi yaitu lempung dan liat dan penggunaan lahan terluas yaitu crater danau, lahan terbuka dan semak. Tabel 31. Kelas bahaya longsor dan karateristik lahan di lokasi penelitian Kelas bahaya longsor Karakteristik lahan Kemiringan lereng Persentase Luas lereng Bentuklahan Persentase luas bentuklahan Tekstur tanah Persentase luas tekstur Penggunaan lahan Persentase luas penggunaan lahan Aman 1. 0 – 8 2. 8 – 15 3. 15 - 30 1. 100 2. 0,001 3. 6,5 1. Aliran lava 2. Daratan pantai anthropogenik 3. Lereng bawah kerucut 4. Lereng kaki kerucut 5. Maar Laguna 6. Maar Tolire besar 7. Maar Tolire kecil 8. Pantai 1. 16,1 2. 100 3. 8,03 4. 49,8 5. 8,2 6. 28,1 7. 81 8. 100 1. Lempung berpasir sandy loam 2. Liat clay 3. Pasir sand 1. 1,3 2. 1,3 3. 85,3 1. Bakau 2. Bandara 3. Benteng wisata 4. Danau 5. Kawasan reklamasi 6. Lahan terbuka 7. PLTD 8. Pelabuhan 9. Permukiman 10. Penambangan batu 11. Penambang pasir 12. Perkebunan tahun 13. Pertamina 14. Sarana pendidikan 15. Semak 1. 100 2. 93,4 3. 100 4. 26,5 5. 100 6. 0,02 7. 100 8. 100 9. 56,8 10. 18,3 11. 15,5 12. 12,6 13. 100 14. 34,1 15. 35 Rendah 1. 8 – 15 2. 15 – 30 3. 30 – 45 4. 45 1. 89,6 2. 29 3. 1,3 4. 0,3 1. Aliran lava 2. Kawah 3. Lereng bawah kerucut 4. Lereng kaki fluvio 5. Crater maar Laguna 6. Crater maar Tolire besar 7. Crater maar Tolire kecil 1. 53,6 2. 99,7 3. 31,1 4. 46,4 5. 6,3 6. 17,7 7. 21 1. Lempung loam 2. Lempung berdebu silt loam 3. Lempung berliat clay loam 4. Lempung berpasir sandy loam 5. Liat clay 6. Liat berpasir sandy clay 7. Pasir sand 1. 15,8 2. 1,1 3. 4,5 4. 95,5 5. 3,7 6. 79,8 7. 13,8 1. Bandara 2. Danau 3. Hutan 4. Lahan terbuka 5. Permukiman 6. Penambangan batu 7. Penambang pasir 8. Perkebunan tahun 9. Sarana pendidikan 10. Semak 1. 6,5 2. 2,9 3. 0,3 4. 19,6 5. 41 6. 81,6 7. 80,3 8. 29,4 9. 59,5 10. 32,7 68 Lanjutan Tabel 31. Kelas bahaya longsor dan karateristik lahan di lokasi penelitian Kelas bahaya longsor Karakteristik lahan Kemiringan lereng Persentase Luas lereng Bentuklahan Persentase luas bentuklahan Tekstur tanah Persentase luas tekstur Penggunaan lahan Persentase luas penggunaan lahan Sedang 1. 8 – 15 2. 15 – 30 3. 30 – 45 4. 45 1. 1,4 2. 70,8 3. 85,6 4. 3,06 1. Aliran lava 2. Lereng atas kerucut 3. Lereng bawah kerucut 4. Lereng kaki fluvio 5. Lereng puncak kerucut 6. Lereng tengah kerucut 7. Crater maar Laguna 8. Crater maar Tolire besar 1. 27,7 2. 0,91 3. 87,6 4. 3,8 5. 10,7 6. 0,4 7. 85,4 8. 53,9 1. Lempung loam 2. Lempung berdebu silt loam 3. Lempung berliat clay loam 4. Lempung berpasir sandy loam 5. Liat clay 6. Liat berpasir sandy clay 7. Pasir sand 1. 84,1 2. 18,5 3. 28,1 4. 2,8 5. 63,4 6. 2,3 7. 0,02 1. Danau 2. Hutan 3. Lahan terbuka 4. Permukiman 5. Penambangan batu 6. Penambang pasir 7. Perkebunan tahun 8. Sarana pendidikan 9. Semak 1. 69,8 2. 18,3 3. 57,8 4. 1,8 5. 0,02 6. 4,3 7. 45 8. 6,7 9. 28,4 Tinggi 1. 30 – 45 2. 45 1. 12,8 2. 96,7 1. Aliran lava 2. Lereng atas kerucut 3. Lereng bawah kerucut 4. Lereng kaki kerucut 5. Lereng puncak kerucut 6. Lereng tengah kerucut 1. 2,4 2. 28,2 3. 58,2 4. 0,004 5. 89,1 6. 23,3 1. Lempung Loam 2. Lempung berdebu silt loam 3. Lempung berliat clay loam 4. Liat clay 5. Liat berpasir sandy clay 1. 0,4 2. 81 3. 67,3 4. 24 5. 15,7 1. Danau 2. Hutan 3. Lahan terbuka 4. Perkebunan tahunan 5. Semak belukar 1. 0,7 2. 81,6 3. 22,6 4. 12,8 5. 2,6 Sumber: Data analisis 2012 69 Kelas tinggi memiliki luas 2.860 ha atau 28,2 dari total luas wilayah penelitian. Kemiringan lereng yang mendominasi yaitu lereng 45. Kelas ini berada secara dominan pada bentuklahan lereng bawah kerucut vulkanik dan lereng puncak kerucut vulkanik. Tekstur tanah yang mendominasi kelas ini meliputi lempung berdebu dan lempung berliat. Penggunaan lahan yang mendominasi yaitu hutan, perkebunan tahunan, lahan terbuka dan semak belukar. Laut Halmahera Laut Maluku Gambar 15. Peta bahaya longsor di lokasi penelitian Dari uraian tersebut dapat dilihat bahwa kemiringan lereng secara relatif mempengaruhi bahaya longsor. Ini terbukti dari persentase luasan kelas bahaya longsor yang relatif tinggi kelas sedang hingga tinggi mempunyai kemiringan lereng 15. Kemiringan lereng tersebut mendominasi bentuklahan dari lereng bawah kerucut vulkanik hingga lereng puncak kerucut vulkanik yang terbentuk dari material piroklastik sebagai hasil dari erupsi vulkanik gunungapi Gamalama. Penggunaan lahan di lokasi penelitian yang cenderung memicu terjadinya longsor didominasi oleh penambangan pasir dan batu, lahan terbuka serta semak belukar. Lahan terbuka dapat dengan mudah melongsorkan material longsoran karena tidak mempunyai penahan tambahan seperti akar dari tanaman sebagai unsur shear strength. Penambangan pasir dan batu dapat memicu longsor karena pemotongan lereng yang dilakukan dalam kegiatan ini dapat merubah stabilitas lereng. Adapun semak belukar umumnya memiliki sistem perakaran dangkal dan serabut, sehingga pada lereng yang sangat curam fungsi akar kurang membantu shear strength dari lereng terhadap tarikan gravitasi. Penggunaan lahan di lokasi penelitian yang diduga dapat menghindarkan proses pelongsoran yaitu hutan, perkebunan tahunan. Hutan dan perkebunan tahunan dapat menghindarkan proses longsor Shear strength karena memiliki sistem perakaran pohon yang dalam, sehingga dapat menahan laju longsoran. Jika terjadi hujan pun, tajuk pohon dapat mengurangi energi kinetik butiran hujan yang jatuh menimpa permukaan tanah, sehingga butiran hujan tidak mampu menghancurkan butiran yang berada di permukaan tanah. Perbandingan luasan antara wilayah suseptibilitas dan bahaya longsor disajikan pada Gambar 16, dan dari grafik tersebut dapat dilihat adanya perbedaan luasan dari masing-masing kelas kategori. Sumber: Hasil analisis, 2012 Gambar 16. Grafik perbedaan luas suseptibilitas longsor dan bahaya longsor di lokasi penelitian Pada kelas aman terdapat selisih luas sekitar 800 ha, pada kelas rendah terdapat selisih luas sekitar 740 ha, pada kelas sedang terdapat selisih luas sekitar 1.480 ha dan pada kelas tinggi terdapat selisih 60 ha. Hal ini menggambarkan bahwa terdapat pengaruh yang positip penggunaan lahan pada kelas aman dan Aman Rendah Sedang Tinggi Landslide susceptibility 1845 2410 3025 2850 Landslide hazard 2645 3150 1545 2790 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 rendah, namun muncul pengaruh yang negatif secara signifikan pada kelasa sedang, dan hampir tidak ada perubahan pengaruh pada kelas tinggi. Pengaruh positip dalam hal ini adalah pengaruh penggunaan lahan dapat meningkatkan shear strength, seperti hutan, perkebunan, sedangkan pengaruh negatif menjadi sebaliknya, yaitu menurunkan shear strength lereng, seperti pemotongan lereng, pembukaan lahan, atau yang lainnya. Kejadian tanah longsor di lokasi penelitian Data kejadian aktual longsor di Pulau Ternate diperoleh dengan cara pengamatan langsung di lapangan. Kejadian longsor diamati berdasarkan jejak longsor yang terlihat di lokasi penelitian. Adapun titik dan gambaran longsor aktual di Kota Ternate disajikan pada Gambar 17. Jejak longsor yang dapat teramati pada penelitian ini sebanyak 20 titik longsor. Dimana sebagian besar titik longsoran relatif disebabkan oleh ulah manusia Antropogenik yang merubah kemiringan lereng sehingga dapat membuat lereng lebih berpotensi longsor. Gambar 17. Titik longsor aktual di lokasi penelitian Data titik longsor ini juga dapat digunakan sebagai data dalam menilai peta bahaya longsor yang dibuat dengan menghitung rasio frekuensi FR. Rasio frekuensi adalah perbandingan persentase luas kelas bahaya longsor dengan jumlah titik longsor pada kelas bahaya longsor. Menurut Intarawichian dan Dasananda 2010, nilai FR dapat diinterpretasikan sebagai berikut; antara 0 hingga 0,9 mengindikasikan tidak ada hingga kemungkinan kecil longsoran akan terjadi pada area tersebut, nilai 1 mengindikasikan kemungkinan yang sama akan terjadi pada area tersebut, dan jika 1, kemungkinan besar akan terjadi pada area tersebut. Pada penelitian ini, hasil perhitungan FR disajikan pada Tabel 32. Tabel 32. Rasio frekuensi pada kelas bahaya longsor landslide hazard di lokasi penelitian Kelas Bahaya Longsor Persentase luasan Jumlah titik longsor jumlah titik longsor Rasio Frekuensi Aman 18,1 Rendah 23,8 12 60 2,5 Sedang 29,7 7 35 1,1 Tinggi 28,2 1 5 0,1 Sumber : Data olahan 2012 Sebagaimana tabel tersebut bahwa pada kelas aman bernilai FR = 0. Ini mengindikasikan bahwa pada area ini relatif tidak akan terjadi longsoran karena wilayah ini memiliki karakteristik lahan yang tidak menyebabkan longsor seperti kemiringan lereng datar, tekstur pasir, dan sebagian besar berada pada bentuklahan gisik pantai dan penggunaan lahan sebagian besar pemukiman. Pada kelas bahaya rendah dan sedang masing – masing bernilai FR = 2,5 dan 1,1. Nilai ini mengindikasikan kemungkinan besar longsor dapat terjadi pada wilayah ini karena kelas tersebut memiliki karakteristik lahan yang dapat menyebabkan longsor, seperti kemiringan lereng yang miring hingga curam, dan penggunaan lahan sebagian besar penambangan galian C dan lahan terbuka. Selain itu, berdasarkan kelas suseptibilitasnya sebagian luasan wilayah ini pada awalnya merupakan kelas aman namun dengan berubahnya karakteristik lahan karena ulah manusia Anthropogenik maka pada saat sekarang menjadi kelas bahaya rendah dan sedang. Pada wilayah inilah yang sepatutnya harus diwaspadai terhadap bahaya longsor, terutama terhadap perubahan penggunaan lahan yang dapat memicu terjadi longsor. Tabel 33 berikut memperlihatkan titi-titik yang mengalami longsor di lokasi penelitian. Tabel 33. Gambaran titik longsor di lokasi penelitian Gambaran titik longsor Keterangan Titik longsor pada koordinat 00 46’05,4’’N dan 127 21’31,3’’E. Kel. Kalumata Kec. Ternate Selatan. Lereng sangat curam yang disebabkan karena pemotongan lereng yang sembarangan. Terdapat 9 rumah di bawah lereng yang rentan. Awalnya penggunaan lahan perkebunan tahunan kemudian berubah menjadi penambangan pasir dan perumahan. Titik longsor pada koordinat 00 46’12,2’’N dan 127 21’15,9’’E. Kel. Kalumata Kec. Ternate Selatan, 200 m dari titik 1. Lereng sangat curam karena pemotongan lereng yang sembarangan. Terdapat 7 rumah di bawah lereng yang rentan. Awalnya penggunaan lahan perkebunan tahunan kemudian berubah menjadi area penambangan pasir dan perumahan Titik longsor 00 48’12,3’’N dan 127 22’55,1’’E. Kelurahan Akehuda Kecamatan Ternate Utara. Lereng sangat curam. Terdapat 5 rumah di bawah lereng yang rentan. Awal penggunaan lahan perkebunan tahunan kemudian beralih menjadi perumahan. Titik longsor 00 47’00,2’’N dan 127 22’20,2’’E. Kelurahan Loto Kecamatan Pulau Ternate. Lereng sangat curam. Longsoran menutupi jalan kolektor primer yang menghubungkan antar kelurahan. Longsoran terjadi pada saat hujan deras. Titik longsor 00 49’47,7’’N dan 127 22’32,1’’E. Kelurahan Taduma Kecamatan Pulau Ternate. Lereng sangat curam. Longsoran memecah tanggul lereng dan menutupi sebagian jalan kolektor primer yang menghubungkan antar kelurahan. Longsoran terjadi pada saat hujan deras Titik longsor 00 47’03,5’’N dan 127 22’06,6’’E. Kelurahan Kayu Merah Kecamatan Ternate Selatan. Lereng sangat curam karena pemotongan lereng. Di atas lahan tersebut terdapat rumah dinas walikota dan pernah longsor dan menutup jalan. Lanjutan Tabel 33. Gambaran titik longsor di lokasi penelitian Gambaran titik longsor Keterangan Titik longsor 00 50’08,3’’N dan 127 17’04’’E. Sekitar danau Tolire Besar, lereng sangat curam. Penggunaan lahan hutan. Longsor terjadi diduga karena hujan yang sangat lebat. Titik longsor 00 48’59,5’’N dan 127 22’55,1’’E. Kelurahan Takome kecamatan Pulau Ternate. Awal penggunaan lahan perkebunan tahunan pada lereng 15 - 30 beralih fungsi menjadi pertambangan batu. Terdapat 3 rumah di atasnya yang rentan. Titik longsor 00 46’21,3’’N dan 127 19’10,3’’E.Kelurahan Kalumata Kecamatan Ternate Selatan, 250 m dari titik 2. Lereng sangat curam karena pemotongan lereng. Awalnya penggunaan lahan perkebunan tahunan kemudian berubah menjadi penambangan pasir. Sumber: olahan, 2012

5.3. Kerentanan Vulnerability elemen resiko longsor di Lokasi Penelitian

Kerentanan dapat ditinjau dari segi fisik dan sosial. Kerentanan fisik direpresentasikan dalam bentuk rumahbangunan, infrastruktur dan karakter fisik lainnya yang ada dipermukaan bumi yang bermanfaat bagi manusia. Faktor yang mempengaruhi kerentanan fisik dalam penelitian ini antara lain dilihat dari aspek struktur bangunan, tipe bangunan, lokasi dan kekuatan struktur bangunan. Kerentanan sosial direpresentasikan pada keadaan manusia, yang mencakup usia, jenis kelamin, latar belakang pendidikan, latar belakang ekonomi atau faktor lain yang dapat menyebabkan mereka berada dalam kondisi rentan. Nilai kerentanan vulnerability dapat dinyatakan dalam bentuk angka, yaitu 0 nol yang diartikan sebagai kondisi tidak mengalami kehancuran hingga angka 1 satu yang menyatakan kondisi kehancuran atau kehilangan secara keseluruhan Varnes, 1984. Kerentanan juga dapat dinilai dari aspek lain seperti i nilai moneter, dimana harga suatu aset digambarkan sebagai biaya perbaikan suatu aset jika mengalami kehancuran, ii nilai kepentingan aset, dimana nilai aset bisa tergantikan dan tidak bisa tergantikan, dan iii nilai manfaat, dimana nilai mencerminkan besarnya manfaat suatu aset. Dalam hal ini jiwa manusia termasuk ke dalam nilai yang tidak dapat dihitung atau tergantikan van Western, Soeter and Rengers, 1993. Kerentanan juga dapat dinilai secara deskriptif, terutama kerentanan infrastruktur, seperti i kerusakan kecil minor dimana fungsi dari suatu bangunan atau jalan tidak terlalu berpengaruh dan kerusakannya dapat diperbaiki secara cepat dengan pembiayaan murah, ii kerusakan sedang medium, dimana fungsi dari suatu bangunan atau jalan sangat berpengaruh sehingga jika rusak maka perbaikan kerusakan akan memakan waktu lama serta pembiayaan lebih besar, iii kerusakan total major, dimana bangunan atau jalan tidak dapat berfungsi lagi karena hancur total dan rekonstruksi sangat dibutuhkan van Westen, Soeters and Rengers, 1993. Pada penelitian ini, penilaian kerentanan mengacu pada hal tersebut di atas yaitu mempertimbangkan aspek deskriptif atas jenis baangunan, posisi bangunan, kepadatan bangunan, kepadatan penduduk serta manfaat suatu aset kemudian diberikan bobot berdasarkan rumusan yang terdapat pada metoda penelitian. Dari hasil pengamatan, terdapat 25.039 unit bangunan di lokasi penelitian yang masuk dalam wilayah kelas bahaya longsor aman, rendah, sedang dan tinggi. Bangunan tersebut terdiri dari 24.426 rumah dan 613 fasilitas umum Tabel 34. Tabel 34. Jumlah bangunan pada kelas bahaya longsor di lokasi penelitian Kelas bahaya longsor Jumlah bangunan unit Jumlah total Rumah Fasilitas umum Aman 17.013 450 17.463 Rendah 6.958 151 7.109 Sedang 451 12 463 Tinggi 4 4 Jumlah 24.426 613 25.039 Sumber : Hasil analisis 2012 Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa jumlah bangunan terbanyak terletak di kelas aman, yaitu sebanyak 17.463 unit dan paling sedikit terletak di kelas bahaya longsor tinggi yaitu sebanyak 4 unit. Berdasarkan jenis bangunan, jumlah rumah penduduk terbanyak terletak di kelas aman sebanyak 17.013 unit. dan paling sedikit terletak di kelas bahaya longsor tinggi yaitu sebanyak 4 unit. Jumlah fasilitas umum terbanyak juga terletak di kelas aman, yaitu sebanyak 450 unit, dan paling sedikit terletak di kelas bahaya longsor rendah yaitu 12 unit. Gambaran sebaran bangunan pada kelas bahaya longsor di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 18. Gambar 18. Peta sebaran bangunan kiri dan kelas bahaya longsor di lokasi penelitian kanan Kerentanan elemen resiko longsor di lokasi penelitian hanya dianalisis pada kelas bahaya longsor rendah, sedang dan tinggi. Hal ini disebabkan kelas tersebut memiliki karakteristik lahan yang berpotensi longsor atau terkena longsoran. Kelas aman tidak dianalisis karena area tersebut tidak berpotensi terjadi longsor atau terkena longsoran, sehingga wilayah ini dari aspek tata ruang dimungkinkan sesuai untuk wiayah permukiman, pusat pemerintahan, dan aktifitas ekonomi masyarakat Pulau Ternate. Tingkat kerentanan untuk daerah penelitian dikategorikan berdasarkan nilai interval kerentanan elemen resiko longsor. Hasil analisis menunjukan bahwa sebanyak 1.011 unit bangunan memiliki kelas kerentanan rendah, 1.014 unit bangunan kelas kerentanan sedang dan 4.910 unit bangunan kelas kerentanan tinggi 70,8. Hasil penilaian kerentanan bangunan ini selanjutnya disajikan pada Tabel 35. Tabel 35. Kelas kerentanan bangunan, jumlah bangunan dan persentasenya di lokasi penelitian. Kelas kerentanan Jumlah bangunan Persentase Rendah 1.011 14,57 Sedang 1.014 14,6 Tinggi 4.910 70,8 Sumber: Hasil analisis 2012 Jika dilihat berdasarkan wilayah administrasi, Kecamatan Pulau Ternate memiliki 969 unit rumah dan 21 unit fasilitas umum yang berada pada kelas kerentanan rendah. Hal ini disebabkan karena bangunan berada pada wilayah yang memiliki kepadatan bangunan rendah sekitar 440 unitKm 2 dan kepadatan penduduk rendah sekitar 2.153 jiwaKm 2 . Unttuk Kecamatan Ternate Utara terdapat 919 unit rumah penduduk berada di kelas kerentanan sedang dan sebanyak 21 unit fasilitas umum berada di kelas kerentanan rendah. Hal ini disebabkan karena bangunan berada di wilayah yang memiliki kepadatan bangunan sedang yaitu 915 unitKm 2 dan kepadatan penduduk sedang yaitu 4.461 jiwaKm 2 . Di Kecamatan Ternate Tengah, terdapat 2.186 unit rumah penduduk sebanyak berada di kelas kerentanan tinggi dan sebanyak 43 unit fasilitas umum berada di kelas kerentanan sedang. Hal ini disebabkan karena bangunan tersebut berada di wilayah kepadatan bangunan dan kepadatan penduduk tinggi. Di Kecamatan Ternate Selatan, terdapat 2.724 unit rumah penduduk sebanyak berada di kelas kerentanan tinggi dan sebanyak 52 unit fasilitas umum berada di kelas kerentanan sedang. Hal ini disebabkan karena bangunan tersebut berada pada wilayah kepadatan bangunan dan kepadatan penduduk tinggi. Hasil analisis kelas kerentanan elemen resiko longsor ini untuk tiap kecamatan disajikan pada Tabel 36 dan gambarannya disajikan pada Gambar 19. Tabel 36. Kelas kerentanan elemen resiko per kecamatan dan gambaran jumlah bangunan. Kecamatan Kelas kerentanan Jumlah bangunan unit Pulau Ternate Rendah 990 Ternate Utara Rendah 21 Sedang 919 Ternate Tengah Sedang 43 Tinggi 2.186 Ternate Selatan Sedang 52 Tinggi 2.724 Sumber : Hasil analisis, 2012 Gambar 19. Peta kerentanan bangunan dan contoh rumah penduduk di lokasi penelitian Berdasarkan uraian di atas, kelas kerentanan elemen resiko longsor di lokasi penelitian didominasi oleh kerentanan tinggi terutama di Kecamatan Ternate Tengah dan Ternate Selatan yaitu sebanyak 4.910 unit rumah penduduk. Kondisi ini sesuai dengan pengamatan di lokasi penelitian, bahwa lokasi tersebut banyak dilakukan penambangan atau galian tipe C. Pada lokasi ini kemudian dibuat lahan permukiman dan selanjutnya akan dibangun fasilitas umum seperti sekolah dan masjid. Banyak penduduk memilih lokasi ini sebagai permukiman karena harga lahan relatif lebih murah, akses jalan sudah tersedia, sehingga dapat menjangkau perkantoran, sekolah dan pasar dengan lebih mudah. Berdasarkan perubahan lahan ini, maka wilayah ini menjadi berpotensi meningkatkan kerentanan, terutama aspek fisik infrastruktur dan penduduk yang semakin bertambah. Untuk kelas kerentanan sedang, terutama di Kecamatan Ternate Utara, juga perlu diwaspadai karena di wilayah ini berpotensi menjadi kelas kerentanan tinggi jika jumlah bangunan terus bertambah terutama rumah penduduk. Potensi peningkatan kelas kerentanan di area ini dapat terjadi karena terdapat beberapa lokasi yang sudah dijadikan lahan terbuka untuk permukiman. Selain itu, terdapat pula lahan baru sebagai area penambangan pasir yang dapat menjadi penyebab penambahan penduduk disekitarnya atau pendatang baru dari daerah sekitar Ternate untuk menjadi pekerja tambang pasir sehingga hal tersebut dapat merubah karakteristik lahan.

5.4. Kapasitas masyarakat di lokasi penelitian

Pada saat ini paradigma kebencanaan adalah paradigma pengurangan resiko dimana pendekatan ini memandang masyarakat merupakan subjek penanggulangan bencana dalam proses pembangunan. Kapasitas masyarakat pada penelitian ini mengacu pada Bollin 2003 bahwa kapasitas merupakan kemampuan dan pengetahuan stakeholder dalam mengambil tindakan mitigasi, persiapan, respon, rehabilitasi dan rekonsruksi terhadap bencana. Pentingnya menilai kapasitas, menurut Sunarti et al 2009 bahwa besarnya resiko dan dampak bencana selain dipengaruhi oleh besarnya bahaya, juga dipengaruhi oleh kapasitas manusia dalam meminimalkan resiko sebelum bencana, mengelola resiko pada saat bencana, dan mengelola resiko setelah terjadinya bencana. Hal tersebut ditunjang oleh pembelajaran penanggulangan bencana dimana ketangguhan masyarakat menentukan efektfitas penanggulangan bencana. Pada penelitian ini, penilaian kapasitas hanya pada kapasitas masyarakat karena masyarakat sebagai penerima manfaat dari realisasi program pemerintah dan lembaga sosial, serta subjek atau pelaku dalam pengurangan resiko bencana. Hal ini sejalan dengan Bollin dan Hidajat 2006 bahwa penilaian kapasitas masyarakat sangat penting dalam strategi pengurangan resiko bencana, bahkan menurut Sutrisno 2007 dalam Sunarti et al 2009 bahwa penanggulangan bencana harus berorientasi kepada manusianya. Selanjutnya, penilaian kapasitas masyarakat dilakukan melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner kepada responden. Penentuan responden dilakukan secara random purposif sampling, yaitu pengambilan sampel secara acak pada wilayah tertentu berdasarkan tujuan. Pada penelitian ini, diperoleh responden sebanyak 19 orang yang berada di sekitar area yang terdapat titik longsor. Responden yang tersebar pada kelas bahaya longsor aman sebanyak 4 orang, rendah 9 orang dan sedang 6 orang. Responden tersebut terdiri dari berbagai latar belakang pendidikan, umur dan pekerjaan. Adapun sebaran responden disajikan pada Gambar 20. Indikator yang digunakan dalam penilaian kapasitas masyarakat yaitu mengenai pengetahuan kebencanaan, pengalaman kebencanaan dan sosialisasipenyuluhan kebencanaan yang pernah diikuti. Pengetahuan masyarakat mengenai kebencanaan dinilai dari beberapa variabel yaitu pengetahuan mengenai bahaya tanah longsor, penyebab longsor, kesiapan dalam menghadapi bencana, seperti jalur evakuasi dan tempat pengungsian. Pengalaman masyarakat mengenai kebencanaan berdasarkan beberapa variabel yaitu pernah mengalami bencana alam, pernah mengalami bencana alam berupa tanah longsor dan mengetahui lokasi bencana terutama tanah longsor. Variabel pelatihan kebencanaan yaitu mengikuti sosialisasipenyuluhan kebencanaan, pelaksana sosialisasipenyuluhan, upaya yang perlu dilakukan untuk mengurangi bencana dan upaya pencegahan bencana terutama longsor. Adapun tanggapan responden terhadap variabel yang digunakan dalam menilai kapasitas masyarakat tersebut disajikan pada Tabel 37. Gambar 20. Sebaran responden di lokasi penelitian Tabel 37. Parameter dan variabel kapasitas masyarakat, tanggapan responden dan persentasenya di lokasi penelitian No Parameter kapasitas masyarakat Tanggapan responden Persentase Pengetahuan 1. Mengetahui arti bahaya 19 100 2. Mengetahui arti tanah longsor 16 84,2 3. Mengetahui faktor penyebab longsor 6,3 32,9 5. Mengetahui jalur evakuasi 11 57,9 6. Mengetahui tempat pengungsian 6 31,6 Pengalaman 1. Pernah mengalami bencana 19 100 2. Pernah mengalami kejadian longsor 2 10,5 3. Mengetahui lokasi longsor 13 68,4 Sosialisasipenyuluhan kebencanaan 1. Pernah mendengar pencegahan bencana 10 52,6 2. Pernah mengikuti sosialisasipenyuluhan kebencanaan 6 31,6 3. Mengetahui upaya untuk pengurangan resiko bencana 5 26,3 Sumber : Hasil analisis 2012 Sebagaimana tersaji pada tabel di atas, seluruh responden mengetahui arti bahaya dan pernah mengalami bencana namun hanya sebagian yang pernah mendengar sosialisasi pencegahan bencana. Dari aspek pengetahuan, sebanyak 84,2 responden mengetahui arti longsor namun hanya 32,9 responden yang mengetahui penyebab longsor. Sebanyak 57,9 responden mengetahui jalur evakuasi namun hanya 31,6 mengetahui tempat pengungsian. Dari hasil wawancara lebih lanjut dengan responden, pengetahuan mengenai arti bahaya, longsor dan penyebabnya diketahui melalui media massa seperti TV, koran dan radio, namun untuk jalur evakuasi, masyarakat mengetahui dari persepsi sendiri mengenai jalur yang aman menuju tempat pengungsian. Untuk tempat pengungsian juga diketahui dari persepsi responden sendiri terhadap wilayah yang aman seperti di lapangan, masjid atau sekolah yang jauh dari tempat kejadian bencana. Berdasarkan aspek pengalaman masyarakat, menunjukan bahwa seluruh responden pernah mengalami kejadian alam namun hanya sebanyak 10,5 responden yang pernah mengalami kejadian longsor, dan sebanyak 68,4 responden mengetahui lokasi longsor. Kejadian alam yang pernah dialami responden diantaranya yaitu gunung api dan abu vulkanik yang terjadi secara merata di lokasi penelitian. Ada 2 responden yang pernah hampir mengalami longsor karena rumahnya berada di pinggiran tebing sehingga tebing tersebut terkikis oleh banjir namun tidak ada korban jiwa dan kerusakan, sebab longsor hanya mengikis sedikit di bagian belakang rumah. Responden yang mengetahui lokasi titik longsor karena jarak rumahnya berdekatan dengan titik longsor. Hal ini sejalan dengan hasil pemetaan bahaya longsor di lokasi penelitian yang termasuk kelas bahaya rendah. Berdasarkan aspek sosialisasipenyuluhan kebencanaan menunjukan bahwa sebanyak 52,6 responden pernah mendengar mengenai pencegahan bencana, sumber informasi responden umumnya berasal dari radio dan pamflet yang disebarkan oleh pemerintah. Sebanyak 31,6 responden pernah mengikuti sosialisasipenyuluhan yang dilaksanakan oleh pemerintah dan lembaga non pemerintah baik itu di Kelurahan dan Kota dan beberapa responden mengikuti kegiatan ini dalam bentuk simulasi Tsunami. Sebanyak 26,3 responden mengetahui upaya yang dilakukan untuk pengurangan resiko bencana. Berdasarkan wawancara lebih lanjut, responden mengusulkan upaya penanggulangan resiko longsor di Kota Ternate berupa pembuatan tanggul penahan lereng yang berpotensi longsor, agar pemerintah tidak mengeluarkan ijin galian C yang dapat merusak, dan menyediakan lahan untuk permukiman sehingga masyarakat tidak merambah hutan untuk dijadikan permukiman. Sebagaimana uraian di atas, terlihat bahwa kapasitas responden dari aspek pengetahuan lebih tinggi dibandingkan aspek lainnya. Parameter sosialisasipenyuluhan kebencanaan terendah, hal ini menunjukan bahwa sosialisasipenyuluhanpelatihan kebencanaan harus menjadi program prioritas di Kota Ternate sebagai upaya peningkatan kapasitas Gambar 21. Gambar 21. Grafik tanggapan responden terhadap parameter kapasitas masyarakat di lokasi penelitian.

5.5. Resiko longsor landslide risk di lokasi penelitian

Banyak para ahli telah mengembangkan formulasi dalam menilai resiko bencana. Secara umum resiko bencana merupakan kombinasi dari bahaya hazard dan kerentanan vulnerability. Selain faktor tersebut, kemampuan capacity individu maupun kelompok juga menjadi penentu dalam penilaian resiko Varnes, 1984; Carter, 1992; Davidson, 1997; Smith, 2001; Bollin, 2003; Wisner et al, 2004. Pada penelitian ini, perhitungan resiko longsor tidak memasukan kapasitas masyarakat karena tingkat kapasitas masyarakat seragam namun hal tersebut tidak mencerminkan seluruh kapasitas masyarakat di Pulau Ternate. Pada penelitian ini, resiko bencana terutama longsor dianalisis berdasarkan rumusan dari Bakornas PB 2007 yang terdapat di bab metoda penelitian. Setelah diketahui parameter resiko bencana tanah longsor seperti bahaya Hazard, Pengetahuan Pengalaman Sosialisasipenyuluh an Series1 58,25 34 21 10 20 30 40 50 60 Ju m lah t an g g ap an re sp o n d e n te rh ad ap p ar am e te r