Kondisi tanah HASIL DAN PEMBAHASAN
Laut Halmahera
Laut Maluku
Gambar 14. Peta penggunaan lahan di lokasi penelitian
Untuk melakukan analisis bahaya longsor, operasi tumpang susun overlay GIS menggunakan rumusan sebagai berikut;
LH = ∑ {0,4 SLP + 0,3 LF + 0,2 ST + 0,1 LU}
dimana; LH = Bahaya tanah longsor Landslide Hazard
SLP = Kemiringan lereng Slope LF
= Bentuklahan Landform ST
= Tekstur tanah Soil Tekstur LU = Penggunaan lahan Land use
0,4; 0,3; 0,2; 0,1 merupakan bobot tiap parameter bahaya longsor seperti diuraikan pada metoda penelitian Tabel 9.
Pada analisis ini, bahaya tanah longsor dikategorikan dalam empat kelas yaitu; aman, rendah, sedang dan tinggi. Pengkategorian ini berdasarkan nilai
interval yang diperoleh dari selisih nilai teratas LH dan nilai terendah LH dibagi jumlah kelas. Hasil analisis bahaya longsor di daerah penelitian disajikan pada
Tabel 30.
Tabel 30. Kelas bahaya longsor, luasan dan persentasenya di lokasi penelitian Kelas Bahaya Longsor
Luasan ha Persentase
Aman 1.845
18,2 Rendah
2.410 23,7
Sedang 3.025
29,8 Tinggi
2.850 28,1
Sumber: Data olahan, 2012
Sebagaimana tabel di atas, kelas bahaya tinggi, sedang dan rendah memiliki luasan yang tidak jauh berbeda, kecuali pada kelas aman memilki luasan terkecil.
Sebaran kelas bahaya longsor di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 15, dapat dilihat bahwa tiap kategori kelas bahaya longsor memiliki karakteristik
lahan yang berbeda berdasarkan parameter bahaya longsor Tabel 31. Kelas aman memiliki luas 1.845 ha atau 18,2 dari total luas wilayah
penelitian. Kelas ini didominasi oleh kemiringan lereng 0 – 8 berada pada
bentuklahan daratan pantai anthropogenik, gisik pantai dan maar Tolire kecil. Tekstur tanah
relatif mendominasi kelas ini adalah pasir, dan penggunaan lahan
yang ada di kelas aman yaitu bakau, bandar udara, danau, kawasan reklamasi,
pelabuhan, pertamina, PLTD, sarana pendidikan dan permukiman. Kelas rendah memiliki luas 2.410 ha atau 23,7 dari total luas wilayah
penelitian. Kemiringan lereng mendominasi kelas ini yaitu lereng 8 – 15,
sebagian besar berada pada bentuklahan kawah dan lereng kaki fluvio vulkanik. Tekstur lempung berpasir dan liat berpasir mendominasi kelas ini. Penggunaan
lahan terluas pada kelas ini yaitu penambangan batu dan pasir. Kelas sedang memiliki luas 3.025 ha atau 29,8 dari total luas wilayah
penelitian. Kemiringan lereng yang mendominasi yaitu 15 - 30 dan 30 - 45, berada pada bentuklahan lereng bawah kerucut vulkanik dan crater maar
Laguna. Tekstur tanah yang mendominasi yaitu lempung dan liat dan penggunaan lahan terluas yaitu crater danau, lahan terbuka dan semak.
Tabel 31. Kelas bahaya longsor dan karateristik lahan di lokasi penelitian Kelas
bahaya longsor
Karakteristik lahan Kemiringan
lereng Persentase
Luas lereng
Bentuklahan Persentase
luas bentuklahan
Tekstur tanah Persentase
luas tekstur
Penggunaan lahan Persentase
luas penggunaan
lahan
Aman 1.
0 – 8 2.
8 – 15 3.
15 - 30 1.
100 2.
0,001 3.
6,5 1.
Aliran lava 2.
Daratan pantai
anthropogenik 3.
Lereng bawah kerucut 4.
Lereng kaki kerucut 5.
Maar Laguna 6.
Maar Tolire besar 7.
Maar Tolire kecil 8.
Pantai 1.
16,1 2.
100 3.
8,03 4.
49,8 5.
8,2 6.
28,1 7.
81 8.
100 1.
Lempung berpasir sandy loam
2. Liat clay
3. Pasir sand
1. 1,3
2. 1,3
3. 85,3
1. Bakau
2. Bandara
3. Benteng wisata
4. Danau
5. Kawasan reklamasi
6. Lahan terbuka
7. PLTD
8. Pelabuhan
9. Permukiman
10. Penambangan batu
11. Penambang pasir
12. Perkebunan tahun
13. Pertamina
14. Sarana pendidikan
15. Semak
1. 100
2. 93,4
3. 100
4. 26,5
5. 100
6. 0,02
7. 100
8. 100
9. 56,8
10. 18,3
11. 15,5
12. 12,6
13. 100
14. 34,1
15. 35
Rendah 1.
8 – 15 2.
15 – 30 3.
30 – 45 4.
45 1.
89,6 2.
29 3.
1,3 4.
0,3 1.
Aliran lava 2.
Kawah 3.
Lereng bawah kerucut 4.
Lereng kaki fluvio 5.
Crater maar Laguna 6.
Crater maar Tolire besar 7.
Crater maar Tolire kecil 1.
53,6 2.
99,7 3.
31,1 4.
46,4 5.
6,3 6.
17,7 7.
21 1.
Lempung loam 2.
Lempung berdebu silt loam 3.
Lempung berliat clay loam 4.
Lempung berpasir sandy loam
5. Liat clay
6. Liat berpasir sandy clay
7. Pasir sand
1. 15,8
2. 1,1
3. 4,5
4. 95,5
5. 3,7
6. 79,8
7. 13,8
1. Bandara
2. Danau
3. Hutan
4. Lahan terbuka
5. Permukiman
6. Penambangan batu
7. Penambang pasir
8. Perkebunan tahun
9. Sarana pendidikan
10. Semak
1. 6,5
2. 2,9
3. 0,3
4. 19,6
5. 41
6. 81,6
7. 80,3
8. 29,4
9. 59,5
10. 32,7
68
Lanjutan Tabel 31. Kelas bahaya longsor dan karateristik lahan di lokasi penelitian Kelas
bahaya longsor
Karakteristik lahan Kemiringan
lereng Persentase
Luas lereng
Bentuklahan Persentase
luas bentuklahan
Tekstur tanah Persentase
luas tekstur
Penggunaan lahan Persentase
luas penggunaan
lahan
Sedang 1.
8 – 15 2.
15 – 30 3.
30 – 45 4.
45 1.
1,4 2.
70,8 3.
85,6 4.
3,06 1.
Aliran lava 2.
Lereng atas kerucut 3.
Lereng bawah kerucut 4.
Lereng kaki fluvio 5.
Lereng puncak kerucut 6.
Lereng tengah kerucut 7.
Crater maar Laguna 8.
Crater maar Tolire besar 1.
27,7 2.
0,91 3.
87,6 4.
3,8 5.
10,7 6.
0,4 7.
85,4 8.
53,9 1.
Lempung loam 2.
Lempung berdebu silt loam 3.
Lempung berliat clay loam 4.
Lempung berpasir sandy loam
5. Liat clay
6. Liat berpasir sandy clay
7. Pasir sand
1. 84,1
2. 18,5
3. 28,1
4. 2,8
5. 63,4
6. 2,3
7. 0,02
1. Danau
2. Hutan
3. Lahan terbuka
4. Permukiman
5. Penambangan batu
6. Penambang pasir
7. Perkebunan tahun
8. Sarana pendidikan
9. Semak
1. 69,8
2. 18,3
3. 57,8
4. 1,8
5. 0,02
6. 4,3
7. 45
8. 6,7
9. 28,4
Tinggi 1.
30 – 45 2.
45 1.
12,8 2.
96,7 1.
Aliran lava 2.
Lereng atas kerucut 3.
Lereng bawah kerucut 4.
Lereng kaki kerucut 5.
Lereng puncak kerucut 6.
Lereng tengah kerucut 1.
2,4 2.
28,2 3.
58,2 4.
0,004 5.
89,1 6.
23,3 1.
Lempung Loam 2.
Lempung berdebu silt loam
3. Lempung berliat clay
loam 4.
Liat clay 5.
Liat berpasir sandy clay 1.
0,4 2.
81 3.
67,3 4.
24 5.
15,7 1.
Danau 2.
Hutan 3.
Lahan terbuka 4.
Perkebunan tahunan
5. Semak belukar
1. 0,7
2. 81,6
3. 22,6
4. 12,8
5. 2,6
Sumber: Data analisis 2012
69
Kelas tinggi memiliki luas 2.860 ha atau 28,2 dari total luas wilayah penelitian. Kemiringan lereng yang mendominasi yaitu lereng 45. Kelas ini
berada secara dominan pada bentuklahan lereng bawah kerucut vulkanik dan lereng puncak kerucut vulkanik. Tekstur tanah yang mendominasi kelas ini
meliputi lempung berdebu dan lempung berliat. Penggunaan lahan yang mendominasi yaitu hutan, perkebunan tahunan, lahan terbuka dan semak belukar.
Laut Halmahera
Laut Maluku
Gambar 15. Peta bahaya longsor di lokasi penelitian
Dari uraian tersebut dapat dilihat bahwa kemiringan lereng secara relatif mempengaruhi bahaya longsor. Ini terbukti dari persentase luasan kelas bahaya
longsor yang relatif tinggi kelas sedang hingga tinggi mempunyai kemiringan lereng 15. Kemiringan lereng tersebut mendominasi bentuklahan dari lereng
bawah kerucut vulkanik hingga lereng puncak kerucut vulkanik yang terbentuk dari material piroklastik sebagai hasil dari erupsi vulkanik gunungapi Gamalama.
Penggunaan lahan di lokasi penelitian yang cenderung memicu terjadinya longsor didominasi oleh penambangan pasir dan batu, lahan terbuka serta semak
belukar. Lahan terbuka dapat dengan mudah melongsorkan material longsoran karena tidak mempunyai penahan tambahan seperti akar dari tanaman sebagai
unsur shear strength. Penambangan pasir dan batu dapat memicu longsor karena pemotongan lereng yang dilakukan dalam kegiatan ini dapat merubah stabilitas
lereng. Adapun semak belukar umumnya memiliki sistem perakaran dangkal dan serabut, sehingga pada lereng yang sangat curam fungsi akar kurang membantu
shear strength dari lereng terhadap tarikan gravitasi. Penggunaan lahan di lokasi penelitian yang diduga dapat menghindarkan
proses pelongsoran yaitu hutan, perkebunan tahunan. Hutan dan perkebunan tahunan dapat menghindarkan proses longsor Shear strength karena memiliki
sistem perakaran pohon yang dalam, sehingga dapat menahan laju longsoran. Jika terjadi hujan pun, tajuk pohon dapat mengurangi energi kinetik butiran hujan yang
jatuh menimpa permukaan tanah, sehingga butiran hujan tidak mampu menghancurkan butiran yang berada di permukaan tanah.
Perbandingan luasan antara wilayah suseptibilitas dan bahaya longsor disajikan pada Gambar 16, dan dari grafik tersebut dapat dilihat adanya perbedaan
luasan dari masing-masing kelas kategori.
Sumber: Hasil analisis, 2012
Gambar 16. Grafik perbedaan luas suseptibilitas longsor dan bahaya longsor di lokasi penelitian
Pada kelas aman terdapat selisih luas sekitar 800 ha, pada kelas rendah terdapat selisih luas sekitar 740 ha, pada kelas sedang terdapat selisih luas sekitar
1.480 ha dan pada kelas tinggi terdapat selisih 60 ha. Hal ini menggambarkan bahwa terdapat pengaruh yang positip penggunaan lahan pada kelas aman dan
Aman Rendah
Sedang Tinggi
Landslide susceptibility 1845
2410 3025
2850 Landslide hazard
2645 3150
1545 2790
500 1000
1500 2000
2500 3000
3500
rendah, namun muncul pengaruh yang negatif secara signifikan pada kelasa sedang, dan hampir tidak ada perubahan pengaruh pada kelas tinggi. Pengaruh
positip dalam hal ini adalah pengaruh penggunaan lahan dapat meningkatkan shear strength, seperti hutan, perkebunan, sedangkan pengaruh negatif menjadi
sebaliknya, yaitu menurunkan shear strength lereng, seperti pemotongan lereng, pembukaan lahan, atau yang lainnya.
Kejadian tanah longsor di lokasi penelitian
Data kejadian aktual longsor di Pulau Ternate diperoleh dengan cara pengamatan langsung di lapangan. Kejadian longsor diamati berdasarkan jejak
longsor yang terlihat di lokasi penelitian. Adapun titik dan gambaran longsor aktual di Kota Ternate disajikan pada Gambar 17.
Jejak longsor yang dapat teramati pada penelitian ini sebanyak 20 titik longsor. Dimana sebagian besar titik longsoran relatif disebabkan oleh ulah
manusia Antropogenik yang merubah kemiringan lereng sehingga dapat membuat lereng lebih berpotensi longsor.
Gambar 17. Titik longsor aktual di lokasi penelitian Data titik longsor ini juga dapat digunakan sebagai data dalam menilai peta
bahaya longsor yang dibuat dengan menghitung rasio frekuensi FR. Rasio
frekuensi adalah perbandingan persentase luas kelas bahaya longsor dengan jumlah titik longsor pada kelas bahaya longsor.
Menurut Intarawichian dan Dasananda 2010, nilai FR dapat diinterpretasikan sebagai berikut; antara 0 hingga 0,9 mengindikasikan tidak ada
hingga kemungkinan kecil longsoran akan terjadi pada area tersebut, nilai 1 mengindikasikan kemungkinan yang sama akan terjadi pada area tersebut, dan
jika 1, kemungkinan besar akan terjadi pada area tersebut. Pada penelitian ini, hasil perhitungan FR disajikan pada Tabel 32.
Tabel 32. Rasio frekuensi pada kelas bahaya longsor landslide hazard di lokasi penelitian
Kelas Bahaya Longsor
Persentase luasan
Jumlah titik longsor
jumlah titik longsor
Rasio Frekuensi
Aman 18,1
Rendah 23,8
12 60
2,5 Sedang
29,7 7
35 1,1
Tinggi 28,2
1 5
0,1
Sumber : Data olahan 2012
Sebagaimana tabel tersebut bahwa pada kelas aman bernilai FR = 0. Ini mengindikasikan bahwa pada area ini relatif tidak akan terjadi longsoran karena
wilayah ini memiliki karakteristik lahan yang tidak menyebabkan longsor seperti kemiringan lereng datar, tekstur pasir, dan sebagian besar berada pada
bentuklahan gisik pantai dan penggunaan lahan sebagian besar pemukiman. Pada kelas bahaya rendah dan sedang masing
– masing bernilai FR = 2,5 dan 1,1. Nilai ini mengindikasikan kemungkinan besar longsor dapat terjadi pada
wilayah ini karena kelas tersebut memiliki karakteristik lahan yang dapat menyebabkan longsor, seperti kemiringan lereng yang miring hingga curam, dan
penggunaan lahan sebagian besar penambangan galian C dan lahan terbuka. Selain itu, berdasarkan kelas suseptibilitasnya sebagian luasan wilayah ini pada
awalnya merupakan kelas aman namun dengan berubahnya karakteristik lahan karena ulah manusia Anthropogenik maka pada saat sekarang menjadi kelas
bahaya rendah dan sedang. Pada wilayah inilah yang sepatutnya harus diwaspadai terhadap bahaya longsor, terutama terhadap perubahan penggunaan lahan yang
dapat memicu terjadi longsor. Tabel 33 berikut memperlihatkan titi-titik yang mengalami longsor di lokasi penelitian.
Tabel 33. Gambaran titik longsor di lokasi penelitian Gambaran titik longsor
Keterangan Titik
longsor pada
koordinat 00
46’05,4’’N dan 127 21’31,3’’E. Kel.
Kalumata Kec. Ternate Selatan. Lereng sangat curam yang disebabkan karena
pemotongan lereng yang sembarangan. Terdapat 9 rumah di bawah lereng yang
rentan.
Awalnya penggunaan
lahan perkebunan tahunan kemudian berubah
menjadi penambangan
pasir dan
perumahan. Titik longsor pada koordinat 00
46’12,2’’N dan 127
21’15,9’’E. Kel. Kalumata Kec. Ternate Selatan, 200 m dari titik 1. Lereng
sangat curam karena pemotongan lereng yang sembarangan. Terdapat 7 rumah di
bawah lereng yang rentan. Awalnya penggunaan lahan perkebunan tahunan
kemudian
berubah menjadi
area penambangan pasir dan perumahan
Titik longsor
00 48’12,3’’N
dan 127
22’55,1’’E. Kelurahan
Akehuda Kecamatan Ternate Utara. Lereng sangat
curam. Terdapat 5 rumah di bawah lereng yang rentan. Awal penggunaan lahan
perkebunan tahunan kemudian beralih menjadi perumahan.
Titik longsor
00 47’00,2’’N
dan 127
22’20,2’’E. Kelurahan
Loto Kecamatan Pulau Ternate. Lereng sangat
curam. Longsoran menutupi jalan kolektor primer
yang menghubungkan
antar kelurahan. Longsoran terjadi pada saat
hujan deras.
Titik longsor
00 49’47,7’’N
dan 127
22’32,1’’E. Kelurahan Taduma Kecamatan Pulau Ternate. Lereng sangat curam. Longsoran
memecah tanggul lereng dan menutupi sebagian jalan kolektor primer yang menghubungkan
antar kelurahan. Longsoran terjadi pada saat hujan deras
Titik longsor
00 47’03,5’’N
dan 127
22’06,6’’E. Kelurahan Kayu Merah Kecamatan Ternate Selatan. Lereng sangat
curam karena pemotongan lereng. Di atas lahan tersebut terdapat rumah dinas
walikota dan pernah longsor dan menutup jalan.
Lanjutan Tabel 33. Gambaran titik longsor di lokasi penelitian Gambaran titik longsor
Keterangan Titik
longsor 00
50’08,3’’N dan
127 17’04’’E. Sekitar danau Tolire Besar,
lereng sangat curam. Penggunaan lahan hutan. Longsor terjadi diduga karena hujan
yang sangat lebat.
Titik longsor
00 48’59,5’’N
dan 127
22’55,1’’E. Kelurahan
Takome kecamatan
Pulau Ternate.
Awal penggunaan lahan perkebunan tahunan
pada lereng 15 - 30 beralih fungsi menjadi pertambangan batu. Terdapat 3
rumah di atasnya yang rentan.
Titik longsor
00 46’21,3’’N
dan 127
19’10,3’’E.Kelurahan Kalumata
Kecamatan Ternate Selatan, 250 m dari titik 2. Lereng sangat curam karena
pemotongan lereng. Awalnya penggunaan lahan
perkebunan tahunan
kemudian berubah menjadi penambangan pasir.
Sumber: olahan, 2012