Geomorphological study of ternate island and landslide risk assessments

(1)

STUDI GEOMORFOLOGI PULAU TERNATE DAN

PENILAIAN RESIKO LONGSOR

I K Q R A

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Studi Geomorfologi Pulau Ternate Dan Penilaian Resiko Longsor adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, November 2012 I k q r a


(3)

ABSTRAK

IKQRA. Studi Geomorfologi Pulau Ternate dan Penilaian Risiko Longsor. Dibimbing oleh BOEDI TJAHJONO dan EUIS SUNARTI.

Pulau Ternate merupakan sebuah pulau gunungapi (G. Gamalama) dan menjadi ibukota Kota Ternate. Pulau ini tercatat mempunyai tingkat kepadatan penduduk tertinggi di Provinsi Maluku Utara dengan pertambahan penduduk yang cenderung terus meningkat. Kondisi ini menyebabkan kebutuhan lahan untuk permukiman pun terus ikut bertambah. Perambahan lahan pada lereng-lereng gunungapi dapat memicu terjadinya bencana tanah longsor yang mulai sering terjadi pada dekade terakhir ini di daerah penelitian. Tujuan penelitian ini adalah melakukan studi geomorfologi Pulau Ternate, melakukan analisis bahaya longsor dan risiko longsor. Untuk mencapai tujuan ini citra satelit, yaitu GeoEye (Google Earth) dan citra SRTM (Hillshade), digunakan untuk interpretasi geomorfologi daerah penelitian melalui identifikasi bentuklahan (landform). Bentuklahan selanjutnya digunakan sebagai salah satu parameter untuk analisis bahaya longsor bersama dengan parameter lain seperti kemiringan lereng, tekstur tanah, dan penggunaan lahan. Adapun parameter yang digunakan untuk menilai risiko longsor meliputi bahaya longsor dan kerentanan elemen risiko. Untuk melakukan analisis bahaya dan risiko longsor dalam penelitian ini digunakan metode pembobotan terhadap masing parameter dan pemberian skor pada masing-masing variabel dari setiap parameter. Keseluruhan data yang diperoleh kemudian dianalisis secara spasial dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis. Hasil penelitian menunjukan bahwa geomorfologi daerah penelitian didominasi oleh bentuklahan vulkanik (71,15%) sesuai dengan morfogenesis Pulau Ternate, sedangkan selebihnya merupakan bentuklahan fluvial 26,1%, marin 2,5%, dan antropogenik 0,25% yaitu berupa reklamasi lahan pantai yang dimanfaatkan sebagai permukiman dan pertokoan. Dari kondisi geomorfologi ini 18,2% dari total luas daerah penelitian tergolong aman dari bahaya longsor, namun 23,7% masuk ke dalam kelas bahaya rendah, 29,8% tergolong ke dalam kelas bahaya sedang, dan 28,1% masuk ke dalam kelas bahaya tinggi. Jika dibandingkan dengan luasan daerah rentan longsor (landslide susceptibility), tampak bahwa perubahan penggunaan lahan di daerah penelitian cukup berpengaruh besar terhadap peningkatan luas daerah bahaya longsor. Untuk analisis risiko longsor didapatkan hasil bahwa 96,3% dari total luas daerah penelitian tergolong tidak berisiko, namun 1,16% tergolong berisiko rendah, 2,2% berisiko sedang, dan 0,44% berisiko tinggi. Di dalam masing-masing kelas risiko ini terdapat 2.0221 unit bangunan pada kelas risiko rendah, 4.041 unit bangunan pada kelas risiko sedang, dan 826 unit bangunan pada kelas resiko tinggi. Luas wilayah dan jumlah bangunan berisiko ini dapat meningkat lagi seiring dengan waktu, sehingga pemantauan terhadap perubahan penggunaan lahan, terutama permukiman, sangat penting dilakukan di daerah penelitian, terutama terkait dengan program pemerintah mengenai mitigasi bencana dan penataan ruang.


(4)

(5)

ABSTRACT

IKQRA. Geomorphological Study of Ternate Island and Landslide Risk Assessments. Under supervision of BOEDI TJAHJONO and EUIS SUNARTI.

Ternate Island is an active volcano (Gamalama Volcano) where the capital city of Ternate Municipality located. The island has however highest population density in compare to other regencies in North Maluku Province. The population tend to grow by time and the demand of land for settlements increase following the population growth. Some of the lower part of volcanic slope has recently been occupied by settlement and unfortunately it triggered landslides in recent days. The purposes of this research are to study geomorphology of Ternate Island and to analyze landslide hazard and risk. To achieve this purposes the satellites imageries, i.e. Geo Eye (Google Earth) and SRTM imagery, were used for geomorphological visual interpretation. The landforms were used as a parameter for landslide hazard analysis along with other parameters such as slope steepnes, soil texture, and land use. The landslide hazard then used together with community vulnerability parameter to analize the landslide risk. In this study, the method of weighting and scoring were applied to each parameter and its variables to assess landslide hazard and risk, and all of data analyzed using Geographic Information Systems. The results showed that the geomorphology of the study area is dominated (71.15%) by volcanic landform following the morphogenesis of Ternate Island, while the rest are fluvial landform (26.1%), marine landform (2.5%), and anthropogenic reclamation landform (0.25%) occupied by settlements and commercial area. Based on geomorphological conditions, 18.2% of study area considered safe area from landslide hazard, but 23.7% classified as low hazard, 29.8% as moderate, and 28.1% as high hazard. In compare to landslide susceptibilty assessment result, it appears that land use changes in the study area are quite a major effect provoking landslide hazard. The result of landslide risk analysis showed that 96.3% of study area is far from risk, but 1.16% classified at low risk, 2.2% at moderate risk, and 0.44% at high risk. In relation of these zones of risk, there are of about 2.0221 houses at low risk area, 4.041 houses at moderate risk area, and 826 houses at high risk area. All these numbers of risk can however be increased by time when the value of each parameter change. Therefore monitoring of land use changes, particularly for residential, is very important for study area, especially in relation to the government mitigation program and spatial planning.

.


(6)

(7)

RINGKASAN

IKQRA. Studi Geomorfologi Pulau Ternate Dan Penilaian Resiko Longsor. Dibimbing oleh BOEDI TJAHJONO dan EUIS SUNARTI.

Pulau Ternate merupakan sebuah pulau yang terbentuk karena proses vulkanik yang muncul dari dasar laut, sehingga sebagian tubuhnya muncul di atas permukaan laut yang dikenal dengan Gunung Gamalama. Keliling pulau Ternate sekitar 48 Km2 dengan kemiringan lereng datar hingga sangat curam dari pantai hingga ke arah puncak gunung. Dari sisi lain, pulau Ternate merupakan pusat pemerintahan Kota Ternate yang tercatat sebagai wilayah dengan tingkat kepadatan penduduk tertinggi di Provinsi Maluku Utara sehingga kebutuhan lahan permukiman terus bertambah. Kondisi ini dapat memicu terjadinya bencana, terutama tanah longsor dan banjir, sehingga dapat menelan korban jiwa dan harta benda. Untuk itu, ditetapkan tujuan penelitian ini adalah; 1) Menganalisis geomorfologi pulau Ternate, 2) Menganalisis bahaya longsor di pulau Ternate, 3) Menganalisis kerentanan elemen resiko longsor dan kapasitas masyarakat di pulau Ternate, dan 4) Menilai dan memetakan resiko longsor di pulau Ternate.

Data yang digunakan dalam menganalisis geomorfologi menggunakan citra Geo Eye (Google Earth) dan SRTM 90 m (Hillshade). Untuk menganalisis bahaya longsor data yang digunakan yaitu data bentuklahan pulau Ternate, kemiringan lereng, tekstur tanah dan penggunaan lahan. Data untuk menganalisis kerentanan elemen resiko yaitu jenis bangunan, kepadatan bangunan dan kepadatan penduduk. Kapasitas masyarakat dinilai berdasarkan pengetahuan dan pengalaman masyarakat mengenai bencana dan sosialisasi atau penyuluhan mengenai bencana. Data untuk menganalisis resiko longsor yaitu data bahaya longsor dan kerentanan elemen resiko sedangkan kapasitas masyarakat dideskripsikan sebagai gambaran kapasitas masyarakat disekitar lokasi longsor.

Kondisi geomorfologi pulau Ternate dianalisis dengan cara menginterpretasi data yang diperoleh melalui identifikasi bentuklahan lokasi penelitian. Interpretasi data bentuklahan berdasarkan aspek morfologi, morfogenesis dan morfokronologis. Pengecekan lapangan juga dilakukan guna memperbaiki kesalahan dalam melakukan interpretasi sehingga bentuklahan yang dihasilkan sesuai dengan kondisi di lapangan dan memberikan informasi dalam menganalisis bahaya longsor.

Bahaya longsor di lokasi penelitian dianalisis dari aspek suseptibilitas dan pemicu longsor dimana tiap parameter diberi nilai dan bobot (scoring and weighting) berdasarkan kontribusi relatif parameter terhadap longsor. suseptibilitas longsor dianalisis dengan menggunakan data kemiringan lereng, bentuklahan dan tekstur tanah guna melihat kondisi alami lokasi penelitian. Aktifitas manusia dapat terlihat dari data penggunaan lahan yang digunakan sebagai faktor pemicu longsor, sehingga dapat teridentifikasi pengaruhnya


(8)

terhadap bahaya longsor. Tiap parameter dilakukan operasi tumpang tindih kemudian dikategorikan menjadi tingkat bahaya longsor berdasarkan nilai intervalnya.

Kerentanan elemen resiko dianalisis hanya pada tingkat bahaya longsor rendah hingga tinggi. Jenis bangunan untuk menilai kerentanan elemen resiko dibagi menjadi dua yaitu rumah penduduk dan fasilitas umum dimana rumah penduduk dikategorikan lebih rentan dibandingkan fasilitas umum. Kepadatan bangunan diperoleh dari jumlah bangunan per luasan area terbangun pada area tersebut, dimana tingkat kepadatan bangunan mencerminkan tingkat kerentanan. Kepadatan penduduk diperoleh dari jumlah penduduk per luas area terbangun di area tersebut. Tingkat kerentanan diperoleh dari hasil operasi tumpang tindih dan nilai intervalnya.

Kapasitas masyarakat dianalisis berdasarkan tanggapan responden terhadap pertanyaan kuesioner. Pemilihan responden diambil secara purposif sampling

yaitu kepada masyarakat yang berada di sekitar wilayah potensi longsor. Tiap pertanyaan pada kuesioner memiliki nilai kemudian nilai tersebut ditabulasi dan dideskripsikan untuk menilai kapasitas masyarakat.

Resiko longsor dihasilkan dari operasi tumpang tindih bahaya longsor, kerentanan elemen resiko dan kapasitas masyarakat. Pengkategorian tingkat resiko longsor berdasarkan pada nilai interval yang dihasilkan dari nilai resiko tertinggi dikurang nilai resiko terendah dibagi tiga kelas resiko. Rumusan yang digunakan untuk perhitungan resiko longsor yaitu bahaya longsor dikalikan dengan kerentanan dan dibagi dengan kapasitas masyarakat.

Hasil interpretasi geomorfologi pulau Ternate menghasilkan delapan bentuklahan yaitu pantai, maar, aliran lava, lereng kaki, lereng tengah, lereng atas, lereng puncak dan kawah gunungapi. Tipe bentuklahan terluas yaitu lereng bawah kerucut vulkanik yang mencapai 3.160 ha sedangkan terkecil yaitu kawah dengan luas 1,9 ha. Sebagian besar penduduk menempati bentuklahan lereng bawah kerucut vulkanik dengan kemiringan lereng 15 – 30%.

Berdasarkan suseptibilitas longsor (landslide susceptibility), pulau Ternate didominasi oleh kelas rendah dengan luas 2.645 ha atau 26,1% dari total luasan. Dimana kelas tersebut mendominasi bagian tenggara dan selatan pulau. Kelas ini didominasi oleh kemiringan lereng 15 – 45% dan berada di bentuklahan lereng bawah kerucut vulkanik dengan tekstur tanah dominan berupa lempung (loam) dan liat (clay).

Suseptibilitas longsor yang dikombinasikan dengan pemicu longsor dapat menghasilkan bahaya longsor (landslide hazard). Bahaya longsor yang mendominasi pulau Ternate yaitu kelas bahaya longsor sedang dengan luas 3.025 ha atau 29,8% dari total luas wilayah. Kelas ini didominasi oleh kemiringan lereng 15 – 45%, berada pada bentuklahan lereng bawah kerucut vulkanik dan tebing maar Laguna. Tekstur tanah didominasi oleh lempung (loam) dan liat


(9)

(clay) dengan penggunaan lahan terluas yaitu tebing danau, lahan terbuka dan semak.

Berdasarkan analisis bahaya longsor terlihat bahwa penggunaan lahan mempengaruhi tingkat bahaya longsor. Penggunaan lahan yang cenderung mempengaruhinya yaitu penambangan pasir dan batu, semak belukar dan lahan terbuka. Hal ini dapat terlihat dari perbedaan luasan antara suseptibilitas longsor dan bahaya longsor dimana terjadi perubahan luasan pada masing-masing kelas. Hal ini diduga karena pada awalnya kemiringan lereng walaupun miring hingga sangat curam namun memiliki batuan penyusun lereng yang stabil dengan penggunaan lahan perkebunan tahunan yang tidak menyebabkan potensi longsor. Kemudian di area tersebut dilakukan pemangkasan pohon, pemotongan lereng dan penggalian untuk penambangan sehingga proses tersebut dapat merubah stabilitas lereng dan batuan penyusunnya sehingga berpotensi longsor.

Dari hasil analisis parameter kerentanan elemen resiko didapatkan bahwa kelas kerentanan yang mendominasi pulau Ternate adalah kelas kerentanan tinggi.

Pada kelas tersebut terdapat 4.910 unit bangunan atau 70,8% dari total jumlah bangunan dan berada di kecamatan Ternate Tengah dan Ternate Selatan. Kedua kecamatan tersebut dikenali memiliki tingkat kepadatan bangunan dan kepadatan penduduk tinggi.

Berdasarkan tanggapan responden terhadap kuesioner yang diajukan dapat diketahui bahwa pengetahuan masyarakat terhadap bencana sebesar 58,25%, pengalaman bencana sebesar 34% dan sosialisasi atau penyuluhan bencana sebesar 21%. Hal ini menunjukan bahwa sosialisasi atau penyuluhan mengenai bencana perlu ditingkatkan.

Dari hasil analisis resiko longsor di pulau Ternate dididapatkan bahwa kelas resiko longsor yang mendominasi adalah kelas resiko sedang dimana terdapat 4.041 unit bangunan tergolong kelas tersebut. Namun sebanyak 826 unit bangunan masuk dalam ketgori resiko longsor tinggi yang harus diperhatikan. Kelas resiko sedang hingga tinggi ini terdapat di kecamatan Ternate Tengah dan Selatan.

Karakteristik alami atau kondisi geomorfologi pegunungan di Pulau Ternate memiliki lereng datar hingga curam dari bentuklahan gisik pantai hingga ke arah lereng puncak, batuan penyusun lereng yang dihasilkan dari proses vulkanik dalam kondisi stabil sehingga secara alami sesungguhnya sulit terjadi longsor. Namun setelah terjadi perubahan lahan dengan pemotongan lereng maka kondisi batuan penyusun lereng yang stabil berubah dan menyebabkan meningkatnya potensi bahaya dan resiko longsor.


(10)

(11)

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya;

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya


(12)

STUDI GEOMORFOLOGI PULAU TERNATE DAN

PENILAIAN RESIKO LONGSOR

IKQRA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Mitigasi Bencana Kerusakan Lahan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(13)

(14)

Judul Tesis : Studi Geomorfologi Pulau Ternate Dan Penilaian Resiko Longsor

Nama : Ikqra

NIM : A153100011

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Boedi Tjahjono, DEA Prof. Dr. Ir. Euis Sunarti, MS Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Mitigasi Bencana Kerusakan lahan

Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(15)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah berupa tesis ini dapat diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2012 ini ialah Studi Geomorfologi Pulau Ternate Dan Penilaian Resiko Longsor.

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada seluruh pihak yang banyak membantu dalam penyelesaian karya ini, terutama;

1. Dr. Boedi Tjahjono, selaku ketua komisi pembimbing dan Prof. Dr. Euis Sunarti, selaku anggota komisi pembimbing, yang telah memberikan bimbingan, saran, arahan dan motivasi selama pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini.

2. Dr. Baba Barus, selaku ketua program studi Mitigasi Bencana Kerusakan Lahan IPB atas dorongan dan kesempatan dalam mengembangkan pengetahuan penulis selama menempuh pendidikan pascasarjana di IPB. 3. Dr. Komarsa Gandasasmita, selaku penguji luar komisi.

4. Seluruh dosen di program studi Mitigasi Bencana Kerusakan Lahan IPB atas pelajaran yang diberikan.

5. Ibunda Hj. Saonih Mochtar, istri Fadila Ali. S.Sos dan ananda Nazwa Putri Ikqra, atas segala doa restu dan kesabarannya.

6. Yayasan SUPERSEMAR yang membantu dalam tahap penyelesaian akhir studi.

7. Kolega di RFSM atas dukungan dan bantuannya.

8. Rekan-rekan MBK IPB angkatan 2010; Arwan dan Nawir, angkatan 2011; Mba Nina, Siti dan Geges serta seluruh angkatan 2012; Fitrah dan kawan-kawan, atas diskusi-diskusi kita yang menarik. Seluruh pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu atas dukungan dan doanya selama studi ini.

Karya ilmiah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca sebagai masukan dalam upaya pengurangan resiko bencana.

Bogor, November 2012


(16)

(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 18 Januari 1978 sebagai anak pertama dari ayahanda (almarhum) Mochtar Abdurahman dan ibunda Hj. Saonih Mochtar. Lulus dari SMA Negeri 1 Ternate pada tahun 1996 kemudian menyelesaikan pendidikan sarjana di program studi Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi Manado pada tahun 2001. Pada tahun 2010 penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan program magister sains pada program studi Mitigasi Bencana Kerusakan Lahan, Institut Pertanian Bogor.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis berpartisipasi dalam kepanitian dan menghadiri beberapa kegiatan ilmiah di Bogor. Penulis juga membuat artikel opini pada beberapa media cetak yang terbit di Maluku Utara, berpartisipasi sebagai pembicara pada beberapa stasiun radio di Ternate, dan pembicara pada beberapa pertemuan dengan BAPPEDA dan BPBD Kota Ternate menyangkut kajian mengenai bencana.

Pada tahun 2001 hingga 2008 aktif bekerja pada beberapa lembaga kemanusiaan internasional dan tahun 2006 diangkat menjadi tenaga pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Khairun Ternate hingga saat ini.


(18)

(19)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xxi

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 2

Tujuan Penelitian ... 4

Manfaat Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Konsep Geomorfologi ... 5

Tanah Longsor ... 7

Risiko Bencana... 9

Pengurangan risiko bencana ... 12

METODE PENELITIAN ... 15

Lokasi Penelitian ... 15

Waktu Penelitian ... 15

Bahan dan Alat ... 16

Tahapan Penelitian ... 17

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN ... 37

Administrasi dan Posisi Geografis Kota Ternate... 37

Kondisi Fisik Kota Ternate ... 37

Kondisi Sosial Masyarakat Kota Ternate ... 41

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 47

Geomorfologi Lokasi Penelitian ... 47

Bahaya Longsor (LandslideHazard) di Lokasi Penelitian ... 54

Kerentanan (Vulnerability) Longsor di Lokasi Penelitian ... 75

Kapasitas (Capacity) Masyarakat di Lokasi Penelitian ... 80

Risiko Longsor (Landslide Risk) Longsor di Lokasi Penelitian ... 84

Keterkaitan kondisi geomorfologi Pulau Ternate terhadap Bahaya dan resiko longsor ... 88

Keterbatasan dan keunggulan penelitian ... 89

KESIMPULAN DAN SARAN ... 91

Kesimpulan ... 91

Saran ... 92

DAFTAR PUSTAKA ... 95


(20)

(21)

xvii

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Kepadatan penduduk menurut Kabupaten/Kota di Provinsi

Maluku Utara ... 2

2. Klasifikasi tipe bencana ... 10

3. Matriks jadwal kegiatan penelitian Tahun 2012 ... 16

4. Data dan kaitannya dengan tujuan penelitian ... 16

5. Urutan parameter suseptibilitas longsor dan hasil perhitungan bobot yang dinormalkan ... 22

6. Bobot dan skor parameter suseptibilitas longsor di lokasi penelitian ... 24

7. Nilai interval dan kelas suseptibilitas longsordi lokasi penelitian ... 26

8. Urutan parameter bahaya longsor dan bobot yang dinormalkan ... 28

9. Bobot dan skor parameter bahaya longsor di lokasi penelitian ... 29

10. Nilai interval kelas bahaya longsor di lokasi penelitian ... 31

11. Tingkat kepadatan bangunan di lokasi penelitian ... 32

12. Tingkat kepadatan penduduk di lokasi penelitian ... 33

13. Nilai bobot kerentanan (vulnerability) elemen risiko longsor di lokasi penelitian ... 33

14. Nilai interval kelas kerentanan elemen resiko di lokasi penelitian ... 34

15. Nilai interval kelas resiko longsor di lokasi penelitian ... 35

16. Satuan endapan batuan gunungapi Gamalama dan luasannya ... 39

17. Jumlah penduduk, kepadatan dan persentasenya per kecamatan di Kota Ternate ... 41

18. Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin per kecamatan di pulau Ternate ... 42

19. Pertanian, industri, perdagangan, transportasi dan kemiskinan per kecamatan di pulau Ternate ... 44


(22)

xviii

20. Jumlah rumah penduduk menurut kualitas per kecamatan di

pulau Ternate ... 45 21. Jumlah sekolah dan tempat ibadah per kecamatan di pulau Ternate ... 45 22. Panjang jalan menurut status jalan per kecamatan di pulau Ternate ... 46 23. Jenis bentuklahan (landform) pulau Ternate dan luasannya ... 48 24. Kemiringan lereng, kelas dan luas lereng di lokasi penelitian ... 55 25. Sebaran kemiringan lereng pada bentuklahandi pulau Ternate ... 55 26. Tekstur tanah dan luasannya di pulau Ternate ... 58 27. Kelas suseptibilitas longsor, luasan dan persentasenya

di lokasi penelitian ... 60 28. Kelas suseptibilitas longsordan karakteristik lahannya di

lokasi penelitian ... 62 29. Jenis penggunaan lahan Kota Ternate, luas dan persentasenya ... 65 30. Kelas bahaya longsor luasan dan persentasenya

di lokasi penelitian ... 67 31. Kelas bahaya longsor dan karakteristik lahannya

di lokasi penelitian ... 68 32. Rasio frekuensi pada kelas bahaya longsor di

lokasi penelitian ... 73 33. Gambaran titik longsor di lokasi penelitian ... 74 34. Jumlah bangunan pada kelas bahaya longsor di lokasi penelitian ... 76 35. Kelas kerentanan bangunan, jumlah bangunan dan

persentasenya di lokasi penelitian ... 78 36. Kelas kerentanan elemen risiko per kecamatan dan gambaran

jumlah bangunan ... 79 37. Parameter dan variabel kapasitas masyarakat, tanggapan responden

dan persentasenya di lokasi penelitian ... 82 38. Kelas risiko longsor (landslide risk), nilai interval dan tipe bangunan

di lokasi penelitian ... 85 39. Tingkat risiko longsor dan jumlah bangunan per kecamatan


(23)

xix

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Klasifikasi Tanah Longsor ... 9 2. Lokasi Penelitian ... 15 3. Diagram Alir Penelitian ... 18 4. Grafik Luas Kecamatan di Kota Ternate ... 37 5. Peta Geologi Lokasi Penelitian ... 40 6. Grafik Kelompok Umur per Kecamatan di Lokasi Penelitian ... 42 7. Grafik Laju Pertumbuhan Penduduk per Kecamatan di Kota Ternate ... 43 8. Citra Pulau Ternate ... 48 9. (a, b) Kawah Gunung Gamalama; (c, d) Batuan aliran lava;

(e) Daratan anthropogenik (f) Maar Tolire Besar dan Tolire Kecil;

(g) Maar Laguna; (h) Gisik Pantai ... 53 10.Peta Bentuklahan (landform) di Lokasi Penelitian ... 54 11.Peta Kemiringan Lereng di Lokasi Penelitian ... 56 12.Peta Tekstur Tanah di Lokasi Penelitian ... 59 13. Peta Suseptibilitas longsordi Lokasi Penelitian ... 63 14.Peta Penggunaan Lahan di Lokasi Penelitian ... 66 15.Peta Bahaya longsor (Landslide Hazard) di Lokasi Penelitian ... 70 16.Grafik perbedaan luas wilayah rentan longsor (landslide susceptibility)

dan bahaya longsor (landslide hazard) di lokasi penelitian ... 71 17.Titik Longsor Aktual di Lokasi Penelitian ... 72 18.Peta Sebaran Bangunan dan Kelas Bahaya Longsor di Lokasi Penelitian. 77 19.Peta Kerentanan bangunan dan Contoh Rumah penduduk

di Lokasi Penelitian ... 79 20.Sebaran Responden di Lokasi Penelitian ... 82


(24)

xx

21. Grafik Tanggapan Responden Terhadap Parameter

Kapasitas Masyarakat di Lokasi Penelitian ... 84 22.Peta Resiko kelas Longsor di Lokasi Penelitian ... 86 23.Matriks Resiko Bencana ... 88


(25)

xxi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Data Curah Hujan Kota Ternate Periode 2000 – 2010 ... 99 2. Data Gempa Bumi Terasa di Kota Ternate ... 100 3. Contoh Lembar Kuesioner untuk Masyarakat ... 101 4. Dokumentasi penelitian di Pulau Ternate ... 103


(26)

(27)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Indonesia berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik besar, yaitu Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik, sehingga Indonesia merupakan bagian dari lintasan sabuk vulkanik dunia yang memanjang dari Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Kepulauan Banda, Sulawesi, hingga ke Maluku Utara. Berdasarkan karakteristik geotektonik ini, maka Indonesia tergolong wilayah yang mempunyai geodinamik aktif. Hal tersebut dapat dipahami bahwa wilayah negara ini sesungguhnya tergolong pada wilayah yang sensitif terhadap bencana alam, apalagi jika pengelolaan lingkungan tidak berjalan dengan baik serta tanpa didasari oleh pemahaman terhadap karakteristik geografi dan geologi yang ada.

Maluku Utara merupakan salah satu bagian dari busur vulkanik yang memiliki empat gunungapi aktif tipe A, yaitu G. Dukono, G. Gamkonora, G. Gamalama, dan G. Kie Besi (Anonimous, 1979). G. Gamalama merupakan gunungapi aktif di Maluku Utara yang terletak di Pulau Ternate, memiliki keliling sekitar 48 Km2, berbentuk lingkaran dengan jari-jari 5,8 Km, dan mempunyai ketinggian 1.669 m. Tipe batuan yang terbentuk oleh gunungapi ini adalah basalt, andesit, andesit piroksin yang mengandung olivin, dan diabas (Hamidi dan Kusumadinata, 1979). Pada periode November - Desember 2011, gunungapi Gamalama dalam periode aktif dan telah menyemburkan abu vulkanik dengan ketinggian kolom letusan lebih dari 1,5 Km. Proses pengungsian terhadap sebagian penduduk telah dilakukan untuk menghindari adanya korban.

Dari sisi lain, Pulau Ternate merupakan pusat pemerintahan Kota Ternate. Kota ini secara umum memiliki topografi perbukitan dan pegunungan dengan kemiringan lereng bervariasi dari 8% di lereng bawah hingga 40% ke arah puncak G. Gamalama. Sebelum tahun 2000, sekitar 84% dari seluruh kelurahan di Kota Ternate berada pada wilayah datar (BPS Kota Ternate, 2008) atau dapat dikatakan sebagian besar penduduk bertempat tinggal di wilayah pesisir. Namun pada saat sekarang ketika jumlah penduduk di Kota Ternate telah bertambah, maka pola persebaran permukiman pun telah mengalami perubahan. Pada tahun 2008 jumlah penduduk Kota Ternate mencapai 172.041 jiwa dan pada tahun 2011 mencapai 176.084 jiwa. Dengan angka ini nampaknya trend pertumbuhan demografi akan


(28)

2

terus bertambah di waktu mendatang. Berdasarkan data kependudukan kabupaten/kota di Provinsi Maluku Utara (Tabel 1), maka pulau ini tercatat sebagai wilayah yang mempunyai tingkat kepadatan penduduk tertinggi di Provinsi Maluku Utara.

Tabel 1. Kepadatan penduduk menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Maluku Utara

Kabupaten/Kota Luas Daerah

(Km2)

Luas Daratan (Km2)

Jumlah Penduduk

Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km2) Halmahera Barat Halmahera Tengah Halmahera Selatan Halmahera Utara Halmahera Timur Ternate Tidore Kepulauan Kepulauan Sula 14.235,66 8.381,48 40.263,72 24.983,32 14.202,02 5.795,40 13.857,20 24.082,30 2.612,24 2.276,83 8.779,32 5.447,30 6.506,20 250,85 9.564,00 9.632,92 97.971 34.821 192.312 194.778 69.912 185.705 82.302 34.821 38 15 22 36 11 741 9 14

Sumber : BPS Provinsi Maluku Utara, 2010

1.2. Perumusan Masalah

Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk di Pulau Ternate, persebaran wilayah permukiman pun mulai berubah. Wilayah berbukit dan bergunung yang semula merupakan lahan perkebunan (pala, cengkeh, dan kelapa), sekarang mulai dirambah, sehingga sebagian dari padanya mulai berubah menjadi wilayah permukiman. Proses alam seperti hujan, sebelum tahun 2000 dirasakan berjalan normal tanpa menimbulkan bencana, namun saat sekarang sudah sering menimbulkan bencana. BPBD Kota Ternate (2011) mencatat bahwa pada tahun 2009 telah terjadi 6 kejadian bencana alam berupa banjir, tanah longsor, angin puting beliung yang telah menimbulkan 191 kerusakan rumah (dari ringan hingga berat), 6 orang luka, 265 orang mengungsi, dan merusakkan saluran drainase di dua lokasi. Kemudian pada tahun 2010, terjadi 11 kejadian bencana alam berupa banjir, tanah longsor, angin puting beliung dan kebakaran rumah yang menimbulkan 50 kerusakan rumah (ringan hingga berat), 1 orang meninggal, 2 orang luka berat, 1 rumah sakit rusak berat, serta 2 akses jalan tertutup. Pada tahun 2011 telah terjadi erupsi gunungapi Gamalama yang diikuti dengan banjir


(29)

3

lahar dingin yang menimbulkan korban jiwa sebanyak 7 orang dan kerugian material sekitar 25 milyar.

Berdasarkan pengamatan penulis, bencana alam yang terjadi di pulau ini, terutama tanah longsor dan banjir, tampaknya mengiringi fenomena klimatik (hujan) dan perubahan penggunaan lahan terutama yang berlangsung di wilayah perbukitan. Untuk itu fenomena perubahan penggunaan lahan di pulau ini sudah waktunya untuk dikaji dengan lebih seksama beserta dampak yang ditimbulkannya. Perubahan kebutuhan lahan tampak semakin meningkat pada saat ini untuk membangun permukiman, perkantoran, fasilitas umum, dan infrastruktur lainnya. Hal ini disebabkan, wilayah yang mempunyai topografi datar tidak pernah bertambah luasannya maka sangat wajar jika pengembangan wilayah di pulau ini akhirnya merambah ke wilayah perbukitan meskipun mempunyai kemiringan lereng yang cukup terjal.

Berkaitan dengan kondisi topografi yang berat ini, maka pemotongan-pemotongan lereng tidak dapat dihindari guna menyesuaikan tata letak bangunan atau alasan yang lainnya. Kondisi ini tentunya dapat merubah kestabilan lereng sehingga dapat meningkatkan potensi bencana tanah longsor. Hasilnya resiko bencana tanah longsor pun menjadi meningkat, sehingga perlu tindakan - tindakan penanggulangan yang harus dipersiapkan. Oleh karena itu pengelolaan kebencanaan di pulau ini perlu ditingkatkan baik secara kelembagaan maupun secara teknis.

Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa kajian resiko bencana (risk disaster) merupakan hal yang penting untuk dilakukan, termasuk yang lebih mendasar seperti kajian bahaya proses-proses alam (natural hazard) dan juga tingkat kerentanan masyarakat terhadap bencana (vulnerability) (Carter, 1991). Kajian bahaya tanah longsor sering didekati melalui suseptibilitas longsor seperti curah hujan, bentuklahan terutama dari aspek lereng (slope) baik dari aspek keterjalan, panjang, maupun arah lereng (aspect), serta faktor-faktor lain seperti penggunaan lahan, batuan induk, jenis tanah dan kegempaan (Verstappen, 1983; Selby, 1985; Bloom, 1979). Adapun untuk pendugaan terhadap tingkat kerentanan perlu didekati dengan kondisi demografi, sosial, ekonomi, infrastruktur, serta kapasitas pemangku kepentingan (stakeholders) dalam menghadapi bencana.


(30)

4

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian mengenai resiko bencana di Pulau Ternate merupakan hal mendasar untuk dilakukan, terutama terhadap bencana yang rutin terjadi di musim hujan salah satunya seperti tanah longsor. Untuk itu dirumuskan beberapa tujuan penelitian sebagai berikut :

1. Menganalisis geomorfologi Pulau Ternate.

2. Menganalisis dan memetakan bahaya longsor di Pulau Ternate.

3. Menganalisis kerentanan elemen resiko dan kapasitas masyarakat di Pulau Ternate

4. Menilai dan memetakan resiko longsor di Pulau Ternate.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain adalah;

1. Bahan informasi kebencanaan terutama tanah longsor bagi masyarakat Kota Ternate.

2. Suatu upaya pengurangan resiko longsor di Kota Ternate.

3. Bahan referensi bagi perguruan tinggi untuk mengembangkan penelitian lebih lanjut untuk jenis kebencanaan yang sama atau yang lainnya.


(31)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep geomorfologi

Terdapat beberapa pengertian mengenai geomorfologi yang dikemukakan oleh para ahli. Menurut Cooke and Doornkamp (1978) geomorfologi adalah ilmu yang mengkaji tentang bentuklahan, khususnya mengenai sifat, asal pembentukan, proses–proses perkembangan dan komposisi materialnya. Verstappen (1983) mendefinisikan geomorfologi merupakan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan pembentukan bentuklahan di permukaan bumi, termasuk di permukaan dan di bawah laut serta menekankan pada pembentukan dan perkembangannya sesuai dengan lingkung disekitarnya. Lebih lanjut, Zuidam dan Concelado (1979) mendefinisikan geomorfologi adalah suatu kajian yang menggambarkan bentuklahan dan proses pembentukannya serta meneliti hubungan antara keduanya.

Menurut Zuidam dan Cancelado (1979) objek kajian utama geomorfologi adalah bentuklahan permukaan bumi baik morfografi maupun morfometri dan proses pembentukan bentuklahan berdasarkan morfologi, proses, kronologi dan aransemen.

Menurut Bloom (1978) bentuklahan didefinisikan sebagai bentuk seluruh permukaan bumi yang dapat diamati oleh observer dimana pengamatan dapat dilakukan dari permukaan bumi maupun foto udara. Bentuklahan juga dapat didefinisikan sebagai bentuk permukaan bumi yang bersifat konstruksional, artinya bentuklahan pada saat ini merupakan hasil dari proses alam sebelumnya. Sebagai contoh, bentuklahan vulkanik berasal dari adanya gaya endogenetik dan perubahan fisik maupun kimia yang terjadi di bagian dalam bumi. Selain itu bentuklahan fluvial yang berasal dari suatu proses yang berkaitan dengan mengalirnya air dan segala akibat dari pengrusakan maupun pembentukannya (Wiradisastra et al, 2002).

Sistem analisis bentuklahan mengacu pada struktur, proses dan waktu. Struktur biasanya mengacu pada hasil dari proses deposisional atau deformasional yang lalu. Misalnya, batuan secara normal terlihat sangat keras dan kokoh namun dapat berubah bentuk jika tergerus aliran air terus menerus dan hasil gerusan batuan tersebut membentuk lapisan batuan yang baru di tempat terakumulasinya.


(32)

6

Proses internal dan eksternal berkontribusi dalam pembentukan bentuklahan. Sebagai contoh, proses tektonik dapat menghancurkan batuan. Selain itu proses erosi air maupun angin dapat membentuk bentuklahan deposisional. Waktu yang tepat dalam mengukur lamanya proses bentuklahan terbentuk sangat sulit ditentukan sehingga hanya didefinisikan dengan tingkatan (stage) atau dalam geologi dinamakan “muda”, “dewasa” dan “tua” (Bloom, 1978).

Bentuklahan juga merupakan bagian dari permukaan bumi yang menjadi obyek kajian dari geomorfologi. Dimana geomorfologi adalah ilmu yang mempelajari bentuklahan yang menyusun permukaan bumi baik yang ada di atas maupun di bawah permukaan laut (Verstappen, 1983).

Lebih lanjut Selby (1985) menyatakan bahwa kajian geomorfologi menekankan pada beberapa aspek seperti genesis dan evolusi bentuklahan serta proses yang menyebabkan perubahan konfigurasi permukaan bumi. Proses perubahan bentuklahan berasal dari proses endogenetic dan proses eksogenetic. Proses endogenik adalah gaya dari dalam bumi seperti gaya-gaya tektonik, magmatisme, vulkanisme, orogenesa dan epirogenesa. Gejala tektonik adalah aktifitas yang berasal dari pergerakan lempeng-lempeng kerak bumi (lithosphere) dimana tumbukan antar lempeng dapat menghasilkan gempa bumi, pembentukan pegunungan (orogenesa) dan aktifitas gunung api (volcanism). Hasil pengaruh gejala tektonik pada permukaan bumi yaitu terbentuknya rangkaian bentuklahan seperti pegunungan dan perbukitan, cekungan, dataran tinggi, tebing terjal dan kelurusan sungai. Adapun gejala magmatis adalah segala aktifitas magma yang berasal dari dalam bumi. Hasil pengaruh gejala magmatisme berupa vulkanik pada permukaan bumi adalah terbentuknya bentuklahan tubuh gunung api termasuk di dalamnya kawah, kerucut gunungapi, dike, bocca, kerucut parasit maupun medan lava (Bloom, 1978; Selby, 1985). Dari semua proses tersebut, hasil pengaruh gejala tektonik dan vulkanik kemudian mengalami proses-proses eksogenik seperti pelapukan, pembentukan tanah, erosi, sedimentasi dan longsor. Dengan demikian jelas bahwa sifat dan ciri setiap bentuklahan di permukaan bumi berbeda-beda sesuai dengan proses pembentukannya.

Kemudian Wiradisastra et al (2002) menyatakan bahwa geomorfologi masih dapat dianggap sebagian besar ilmu geologi dan lebih cenderung mengaitkan


(33)

7

bentuklahan dengan lingkungan fisik (physical environment) kehidupan manusia tapi dengan penekanan pada usaha manusia dalam memanfaatkan bentuklahan. Dan yang tidak terpisahkan dari ilmu geologi yaitu petrologi yang membahas mengenai asal dan cara pemerian dari batuan.

Sehingga kajian mengenai pengaruh proses pembentukan bentuklahan menyangkut material penyusun bentuklahan. Pada material yang relatif resisten, bentuklahan yang terbentuk mempunyai ciri konfigurasi permukaan yang kasar demikian sebaliknya pada materi penyusun bentuklahan yang bersifat kurang resisten akan membentuk bentuklahan dengan ciri konfigurasi permukaan yang halus (Guthric and Evans, 2004 dalam Sartohadi, 2007).

Dengan demikian kajian bentuklahan dapat diinterpretasikan mengenai sifat dan ciri material penyusun bentuklahan serta proses yang telah menimbulkan perubahan pada bentuklahan dari waktu ke waktu (Kuhn et al., 2004 dalam

Sartohadi, 2007).

Proses yang menyertai bentuklahan diantara yaitu tanah longsor. Longsor biasanya terjadi pada bentuklahan perbukitan atau pegunungan dengan kemiringan lereng miring hingga sangat curam.

2.2. Tanah Longsor

Zuidam dan Concelado (1979) mendefinisikan longsor sebagai gerakan material tanah atau batuan menuruni lereng yang disebabkan adanya interaksi faktor pemicu (air hujan dan jenis tutupan lahan) yang bersifat aktif sehingga mempengaruhi material penyusun tanah yang terjadi dalam kondisi lereng dan geologi tertentu dan terjadi secara cepat.

Menurut Sitorus (2006) tanah longsor di Indonesia sering terjadi di malam atau pagi hari pada lahan yang berlereng. Tanah longsor sebenarnya merupakan fenomena alam yang mencari keseimbangan baru akibat adanya gangguan atau faktor yang mempengaruhinya sehingga menyebabkan terjadinya pengurangan kuat geser (shear strength) serta peningkatan tegangan geser tanah (shear stress). Tanah longsor dapat disebabkan oleh faktor alam dan manusia. Faktor alam yang menjadi penyebab longsor adalah: (1) curah hujan, (2) sifat fisik tanah, (3) kemiringan lereng, (4) sedimen yang tidak kompak (unconsolidated), (5) batuan penyusun tanah, (6) kedalaman solum tanah (kedalaman pelapukan batuan), (7)


(34)

8

aktivitas gempa, (8) kegiatan kegunungapian dan (9) degradasi lingkungan (Marsaid, 2002; Atzeni et al., 2003).

Selain itu, berbagai macam aktifitas manusia yang dapat merubah topografi, dapat memberikan pengaruh positif maupun negatif terhadap lahan yang ditempatinya. Salah satu pengaruh negatif yang mungkin terjadi adalah proses tanah longsor. Semakin besar usaha manusia diatas lahan yang miring untuk memenuhi kebutuhan hidupnya maka akan meningkatkan resiko terjadinya tanah longsor.

Lebih lanjut Karnawati (2005) mengidentifikasikan faktor yang mempengaruhi terjadi tanah longsor di Indonesia yaitu faktor pengontrol dan faktor pemicu. Faktor pengontrol longsor diantaranya adalah kondisi geomorfologi (kemiringan lereng), kondisi geologi, kondisi tanah, kondisi iklim, kondisi hidrologi dan penggunaan lahan. Namun sebagai faktor pengontrol longsor belum akan terjadi apabila tidak ada proses atau kondisi yang memicu longsor. Faktor pemicu adalah proses yang merubah kondisi lereng dari kondisi rentan longsor menjadi benar-benar longsor. Faktor pemicu longsor di Indonesia adalah infiltrasi air hujan, getaran, dan aktifitas manusia.

Tanah longsor biasanya terjadi pada bentuklahan (landform) yang berlereng seperti perbukitan atau pegunungan dan perubahannya (Suryolelona, 2005; Verstappen, 1983; Selby 1985) sehingga informasi bentuklahan menjadi sangat penting dalam melakukan penilaian terhadap tanah longsor. Arsyad (2006) menyatakan bahwa salah satu syarat terjadinya longsor yaitu lereng yang curam sehingga volume tanah dapat bergerak atau meluncur ke bawah.

Varnes (1975) dalam Selby (1985) mengklasifikan longsoran berdasarkan tipe gerakan dan tipe material (Gambar 1).


(35)

9

Gambar 1. Klasifikasi tanah longsor (Varnes, 1975 dalam Selby, 1985)

2.3. Resiko Bencana

Bencana merupakan rangkaian peristiwa yang telah terjadi sehingga dapat mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan/atau faktor non alam sehingga mengakibatkan timbulnya korban manusia, kerusakan, kerugian dan dampak psikologis. Dari sini tersirat bahwa bencana mengandung makna 1) gangguan yang serius terhadap fungsi masyarakat; 2) kerugian besar pada manusia, harta benda dan lingkungannya; 3) masyarakat yang mengalaminya tak mampu menanggulangi gangguan tersebut apabila hanya mengandalkan kekuatan sendiri.

Besaran kerusakan, kerugian, banyaknya korban dan luasan yang terkena bencana dapat digunakan sebagai indikator penilaian tipe bencana. El-Hak (2008)


(36)

10

mengklasifikasikan tipe bencana berdasarkan korban manusia (meninggal, hilang atau luka) dan/atau luasan area yang terkena bencana (Tabel 2).

Tabel 2. Klasifikasi tipe bencana

Cakupan bencana Tipe bencana Indikator (orang atau Km2) Scope I

Scope II Scope III Scope IV Scope V

Bencana Ringan Bencana Menengah Bencana Besar Bencana Sangat besar Bencana Sangat besar sekali

< 10 atau < 1 10-100 atau 1 - 10 100-1000 atau 10–100 1000-104 atau 100-1000 > 104 atau >1000 Sumber: Gad-El_Hak (2008)

Resiko bencana (risk disaster) adalah kemungkinan dari satu bencana yang terjadi sehingga menyebabkan tingkat kerugian yang khusus. Resiko perlu di kaji sehingga dapat menetapkan besarnya kerugian yang sudah diestimasi dan itu dapat diantisipasi di suatu wilayah (UNDRO, 1992).

Banyak para ahli telah mengembangkan formulasi dalam menilai resiko bencana. Dan secara umum resiko bencana merupakan kombinasi dari bahaya (hazard) dan kerentanan (vulnerability). Namun selain faktor tersebut, eksposur (exposure) dan kemampuan (capacity) individu maupun kelompok juga menjadi penentu dalam penilaian resiko (Varnes, 1984; Carter, 1992; Davidson, 1997; Smith, 2001; Bollin, 2003; Wisner et al, 2004).

Menurut Van Western, Soeters and Rengers (1993) bahwa tujuan menilai resiko secara substansi berbeda antara bahaya longsor dan penilaian terhadap bahaya lainnya. Penilaian resiko tanah longsor bertujuan untuk menentukan perkiraan tingkat kehilangan jiwa, korban luka, kehancuran properti dan kerugian kegiatan eknomi yang disebabkan oleh kejadian longsor. Resiko longsor adalah atribut dari suatu unsur dan tidak berdasarkan pada unsur tersebut berada. Pada wilayah yang sama, banyak unsur mungkin berbeda tipe atau tingkat kerentanan terhadap bahaya. Sebagai contoh, penduduk di wilayah pantai tentunya berbeda tingkat kerentanannya dengan penduduk di sekitar lereng yang terganggu untuk resiko longsor. Pada saat menilai kerawanan longsor atau bahaya, hal yang menarik terdapat pada kemiringan lereng atau unit peta dimana longsoran dapat terjadi. Langkah dalam menilai resiko longsor yaitu tentukan informasi resiko


(37)

11

longsor pada seputaran lereng yang terganggu dan membuat zona pada wilayah yang rawan longsor.

Bahaya (Hazard)

Menurut UN/ISDR (2009) bahaya adalah potensi kehancuran fisik dan aktifitas manusia yang menyebabkan hilangnya nyawa atau terluka, kehancuran harta benda, gangguan sosial dan ekonomi atau degradasi lingkungan. Bahaya dapat digolongkan dalam kondisi yang terpendam (latent) yang menggambarkan ancaman dan dapat disebabkan oleh alam (geologi, hidrometeorologi dan biologi) atau aktifitas manusia (degradasi lingkungan dan bahaya teknologi).

Pendugaan bahaya tanah longsor dapat diketahui dari faktor penyebab bahaya tanah longsor seperti geologi, tanah, penggunaa lahan, kelerengan dan hidrologi (faktor lingkungan) serta faktor pemicu seperti gempa bumi dan hujan yang dapat dianalisis secara spasial untuk menghasilkan peta bahaya tanah longsor (van Western, Soeters and Rengers, 1993).

Kerentanan (Vulnerability)

Kerentanan adalah suatu kondisi dari suatu komunitas atau masyarakat yang mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman. Tingkat kerentanan dapat ditinjau dari kerentanan fisik, sosial dan ekonomi (Carter, 1992).

Secara lebih rinci Bakornas PB (2007) menjabarkan bahwa kerentanan fisik di Indoensia yaitu suatu kondisi fisik yang rawan terhadap faktor bahaya tertentu. Kondisi kerentanan ini dapat dilihat dari berbagai indikator seperti: persentase kawasan terbangun, kepadatan bangunan, persentase bangunan konstruksi darurat, jaringan listrik, rasio panjang jalan, jaringan telekomunikasi, jaringan PDAM dan jalan KA.

Kerentanan sosial menggambarkan kondisi tingkat kerapuhan sosial dalam menghadapi bahaya. Beberapa indikator kerentanan sosial yaitu kepadatan penduduk, laju pertumbuhan penduduk, persentase usia tua-balita dan penduduk wanita.

Kerentanan ekonomi menggambarkan suatu kondisi tingkat kerapuhan ekonomi dalam menghadapi ancaman bahaya. Beberapa indikator kerentanan


(38)

12

ekonomi yaitu persentase rumah tangga yang bekerja di sektor rentan terhadap PHK dan persentase rumah tangga miskin.

Eksposur (exposure)

Menurut Davidson dan Shah (1997) eksposur merupakan komponen dari resiko. Betapa pun besarnya suatu bahaya tidak ada artinya tanpa eksposur populasi dan infrastruktur karena tidak ada kerusakan ataupun kerugian yang dialami sehingga seberapa besar eksposur sebesar itu pula resiko. Komponen eksposur terdiri dari populasi, ekonomi, infrastruktur dan sosial-politik.

Eksposur populasi dapat dinilai dari jumlah dan distribusi pemukiman serta eksistensi populasi dalam suatu wilayah. Eksposur ekonomi menggambarkan aliran ekonomi dalam suatu wilayah seperti tipe, tujuan barang, besaran transaksi dan lainnya. Penilaian eksposur ekonomi dapat dilihat dari sektor pertanian, pertambangan, konstruksi, transportasi dan lainnya. Fisik eksposur dapat dinilai dari jumlah, ukuran, sebaran dan nilai dari suatu infrastruktur. Nilai suatu infrastruktur tergantung pada biaya tenaga kerja dan material konstruksi.

Kapasitas (Capasity)

Menurut Bollin, et al (2003) kapasitas adalah kekuatan dan sumber daya yang tersedia dalam suatu masyarakat atau organisasi yang dapat mengurangi tingkat resiko atau dampak dari bencana. Kapasitas merupakan penilaian untuk mengukur tindakan pencegahan, persiapan, respon dalam tanggap darurat serta upaya rehabilitasi dan rekonstruksi dalam menghadapi bencana. Penilaian kapasitas mencakup kesiapan pemerintah dan non pemerintah, seperti penetapan wilayah rawan bencana dan perencanaan program pengurangan resiko bencana. Selain kapasitas pemerintah dan non pemerintah, sektor swasta, media, dan perguruan tinggi juga sangat penting dalam pengurangan resiko bencana.

2.4. Pengurangan resiko bencana

Dalam upaya penanggulangan bencana, terdapat tahapan paradigma kebencanaan mulai dari 1) konsep konvensional yang menganggap bencana hanya fokus pada pemberian bantuan (relief) dan kedaruratan (emergency respons); 2) konsep mitigasi bencana yang tujuannya lebih mengarah kepada identifikasi daerah rawan bencana, identifikasi pola yang dapat menimbulkan kerawanan dan


(39)

13

kegiatan struktural maupun non-struktural dan 3) konsep pengurangan resiko bencana yang merupakan perpaduan dari paradigma tehnis dan ilmiah dengan memperhatikan faktor sosial, ekonomi dan politik dalam perencanaan pengurangan bencana yang bertujuan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengelola dan menekan resiko terjadinya bencana (Bakornas PB, 2007).

Menurut Bakornas PB (2007) bahwa tahapan mitigasi bencana tanah longsor adalah: (1) identifkasi wilayah rawan bencana dengan membuat peta yang menyajikan informasi visual tentang tingkat kerawanan bencana alam di suatu wilayah, sebagai masukan kepada masyarakat dan atau pemerintah sebagai dasar untuk melakukan pembangunan, (2) melakukan penyelidikan dengan mempelajari penyebab dan dampak dari suatu bencana sehingga dapat digunakan dalam perencanaan penanggulangan bencana, (3) melakukan penyelidikan pada saat dan telah terjadi bencana sehingga dapat diketahui penyebab dan cara penanggulangannya, (4) melakukan pemantauan di daerah rawan bencana, (5) mengadakan sosialisasi dengan memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang bencana alam tanah longsor dan akibat yang ditimbulkannya.

Kaitannya dengan pengurangan resiko bencana, pada konferensi Tingkat Menteri se Asian ke-5 di Yogayakarta pada tahun 2012 (Deklarasi Yogyakarta), menghasilkan tujuh rekomendasi terkait dengan pengurangan risko bencana; (1) Mengintegrasikan upaya penanggulangan bencana dengan adaptasi perubahan iklim, juga pelibatan kalangan yang rentan dampak bencana seperti anak – anak, perempuan, lansia dan orang dengan keterbatasan fisik, (2) Pentingnya kajian terhadap resiko finansial akibat bencana. Dukungan finansial mencukupi untuk masyarakat lokal perlu diupayakan dengan mengidentifikasikan lembaga yang potensial menjadi donor, (3) Pengurangan resiko bencana perlu melibatkan komunitas lokal dan menguatkan tata kelolanya dengan mempertimbangkan kearifan lokal, (4) Pentingnya membangunan ketahanan masyarakat lokal, (5) Capaian pasca 2015 dan cara efektif yang dapat terukur mengenai kemampuan pemerintah, keterlibatan publik dan pengetahuan masyarakat tentang cara evakuasi bencana, (6) Pengurangan faktor – faktor resiko bencana, (7) mengkaji issu – issu lain dalam Hyogo Framework of Action (HFA).


(40)

(41)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Ternate yang mencakup 4 kecamatan, yaitu Kecamatan Ternate Utara, Kecamatan Ternate Selatan, Kecamatan Ternate Tengah dan Kecamatan Pulau Ternate (Gambar 2). Adapun penetapan Pulau Ternate sebagai lokasi penelitian berdasarkan pertimbangan bahwa:

1. Pulau Ternate sebagai ibu kota pemerintahan sehingga memiliki jumlah penduduk terbanyak dibandingkan dengan pulau lain di Kota Ternate.

2. Pulau Ternate memiliki karakter wilayah berbukit dan bergunung yang umumnya rentan terhadap proses longsor.

Gambar 2. Lokasi penelitian. 3.2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan yang mencakup beberapa tahap, dimulai dari persiapan, penulisan proposal hingga penulisan tesis. Tiap tahapan dibutuhkan waktu sekitar 1 – 2 bulan seperti yang disajikan pada Tabel 3.


(42)

16

Tabel 3. Matriks jadwal kegiatan penelitian Tahun 2012

Kegiatan Bulan ke-

I II III IV V VI

Persiapan dan proposal

Pengolahan dan interpretasi data Analisis data awal

Kerja lapangan Analisis data akhir Tesis

3.3. Bahan dan Alat

Bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini antara lain literatur yang berkaitan dengan geomorfologi dan managemen kebencanaan, peta tematik, citra satelit, kuesioner, serta bahan-bahan lain yang menunjang penelitian. Bahan yang digunakan menyangkut dengan data yang berkaitan dengan tujuan penelitian (Tabel 4).

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah perangkat keras dan perangkat lunak komputer, seperti Microsoft Office, Software GIS, Global Positioning system (GPS), printer dan alat tulis menulis lainnya.

Tabel 4. Data dan kaitannya dengan tujuan penelitian

Data Sumber Tujuan

Batas administrasi Peta administras Kota

Ternate 1:50.000. Bappeda Kota Ternate

1. Menganalisis geomorfologi Pulau Ternate

2. Memetakan bahaya longsor di Pulau Ternate

Lereng SRTM 90 m DEM

Bentuklahan SRTM 90 m Hillshade, Geo

Eye Google Earth (2

Desember 2010)

Tekstur tanah Pengamatan lapang, unit

lahan

Penggunaan lahan Peta tutupan lahan Kota

Ternate 1:25.000. Bappeda Kota Ternate

Geologi Peta geologi Pulau Ternate

1:25.000.Pusat Vulkanologi Bandung

Curah hujan BMKG Kota Ternate


(43)

17

Lanjutan Tabel 4. Data dan kaitannya dengan tujuan penelitian

Data Sumber Tujuan

Jenis bangunan Bappeda Kota Ternate

Menganalisis kerentanan longsor di Pulau Ternate

Kepadatan penduduk BPS Kota Ternate

Kepadatan bangunan Kalkulasi

Pengetahuan

Kuesioner Menganalisis kapasitas

masyarakat Pulau Ternate Pengalaman

Sosialisasi/penyuluhan bencana

Bahaya longsor

Hasil analisis Menganalisis dan memetakan resiko longsor di Pulau Ternate

Kerentanan

Kapasitas masyarakat

3.4. Tahapan Penelitian

Tahapan penelitian mencakup lima tahap, yaitu persiapan, pengolahan dan interpretasi data, analisis data awal, kerja lapang, analisis data akhir dan penulisan tesis. Tahapan penelitian dapat digambarkan dalam diagram alir seperti yang disajikan pada Gambar 3.

3.4.1. Persiapan

Persiapan penelitian bertujuan untuk merencanakan dan mempersiapkan kegiatan penelitian seperti pembuatan proposal penelitian, studi pustaka, pengumpulan data, penyusunan kuesioner dan surat ijin penelitian.

3.4.2. Pengolahan dan interpretasi data

Pada tahapan ini, data yang terkumpul kemudian diolah dan untuk citra satelit dilakukan interpretasi, yaitu suatu kegiatan penafsiran terhadap objek-objek pada citra (satelit atau foto udara) tanpa adanya sentuhan fisik terhadap obyek yang ditafsir (Lillesand dan Kiefer, 1990). Untuk mengolah dan interpretasi data digunakan software sistem Informasi Geografis (SIG) yaitu ArcGIS 9.3. Pada tahapan ini dihasilkan peta-peta tentatif kemirngan lereng, bentuklahan dan penggunaan lahan.


(44)

18

Gambar 3. Diagram alir penelitian

Hillshade

I Persiapan

II Pengolahan dan interpretasi data

III Analisis data awal

IV Kerja Lapang

V Analisis data akhir

IV

Persiapan

SRTM DEM

Peta Penggunaan lahan (jpeg)

Skor dan bobot 1. Peta lereng

2. Peta bentuklahan 3. Peta penggunaan

lahan Peta Lereng Peta Bentuklahan Peta Penggunaan lahan Reklasifikas Majority

Registrasi Digitasi Interpretasi

Deliniasi

Peta Tekstur tanah

Validasi lapang

Peta unit lahan

Tekstur tanah overlay

overlay 1. Kepadatan

bangunan 2. Jenis bangunan 3. Kepadatan

penduduk

Kerentanan Kapasitas masyarakat

1. Pengetahuan bencana 2. Pengalaman

bencana 3. Sosialisasi

Pembobotan (weighting)

Peta longsor tentatif/peta kerja

Peta Kerentanan longsor Peta kapasitas masyarakat

1. Peta lereng 2. Peta bentuklahan 3. Peta tekstur tanah 4. Peta penggunaan

lahan

Peta bahaya longsor

overlay

Peta Resiko Longsor

Penulisan Tesis Google Earth


(45)

19

a. Kemiringan Lereng

Data kemiringan lereng Pulau Ternate diperoleh dari data SRTM (Shuttle

Radar Topographic Mission) resolusi 90 m yang kemudian diolah menjadi DEM

(Digital Elevation Model). SRTM DEM 90 m ini equivalen dengan skala 1:32.000 (Suleman, 2012). Prosedur pengolahan datanya yaitu, pertama data SRTM 90 m dipotong sesuai dengan batas area yang akan digunakan (area of interest), dalam hal ini yaitu Pulau Ternate, kemudian dilakukan konversi proyeksi data ke sistem koordinat UTM (Universal Transverse Mercator) yaitu Zone 52 North. Dengan

software GIS data tersebut kemudian dianalisis menggunakan tools surface analysist, slope dan dipilih satuan kemiringan lereng dalam persen. Hasil yang diperoleh kemudian direklasifikasi menjadi lima klas yaitu 0 – 8%, 8 – 15%, 15 – 30%, 30 – 45% dan >45%. Hasil yang diperoleh ini kemudian dikonversi menjadi data vektor berupa shp.

b. Bentuklahan (Landform)

Data bentuklahan diperoleh dari interpretasi data DEM dari citra SRTM. Pertama, data disajikan dalam visualisasi Hillshade agar dapat menonjolkan morfologinya, kemudian dilakukan interpretasi secara visual. Citra Geo Eye yang diunduh dari Google Earth dipakai pula untuk interpretasi ini terutama untuk membantu melihat katerkaitan antara bentuklahan dan penutupan lahan. Bentuklahan di lokasi penelitian diidentifikasi berdasarkan aspek morfologi, morfogenesis, morfokronologi dan litologi. Dalam hal ini, aspe k morfologi terkait dengan bentuk dan ukuran bentuklahan; aspek morfogenesis terkait dengan proses pembentukan bentuklahan; aspek morfokronologis terkait dengan tahapan atau kronologi pembentukan bentuklahan; dan litologi terkait dengan material penyusun maupun struktur yang membentuk morfologi bentuklahan.

c. Penggunaan/tutupan lahan

Data tipe penutupan/penggunaan lahan diperoleh dari Peta Tutupan Lahan Kota Ternate skala 1 : 25.000 tahun 2010 dari Bappeda Kota Ternate. berhubung data ini dalam bentuk file jpeg, maka perlu dilakukan proses registrasi dan penyesuaian sistem proyeksi dan digitasi dengan sofware GIS. Data yang diperoleh selanjutnya di-update dengan citra Geo Eye dari Google Earth tahun


(46)

20

2010 dan selanjutnya dilakukan validasi untuk mengetahui kebenaran hasil interpretasi pada saat kerja lapangan.

d. Kondisi Tanah

Dalam penelitian ini penetapan kondisi tanah dibatasi hanya pada penetapan tekstur tanah dengan metode penetapan kualitatif. Penetapan kelas tektur tanah di lapang didasari oleh pedoman Soil survey staff (1975) yaitu merasakan butiran bahan tanah dengan tangan atau dipirid dengan jari (Rachim, 2007). Beberapa kelas tekstur utama diuraikan sebagai berikut;

Pasir (Sand); Bahan tanah lepas dan berbutir tunggal dapat segera dilihat dan dirasakan. Jika kering, piridan di tangan menyebabkan bahan jatuh sebagian bila tekanan dihentikan. Jika lembab, piridan dapat membentuk lapisan yang jika disentuh akan hancur.

Lempung berpasir (Sandy loam); bahan tanah banyak mengandung pasir, cukup debu dan sedikit liat. Jika kering diremas, bahan akan membentuk lapisan yang segera akan jatuh sebagian. Bila lembab dipirid, lapisan dapat terbentuk dan bertahan baik tanpa pecah.

Lempung (loam); bahan mengandung pasir, debu dan liat relatif sama. Bila kering, jika dipirid akan membentuk lapisan yang bertahan baik. Jika lembab, lapisan terbentuk dan terpelihara tanpa pecah.

Lempung berdebu (silt loam); bahan tanah mengandung pasir sedang dan sedikit liat. lebih dari setengah partikel debu. Jika kering bahan akan tampak menggumpal tapi mudah dipecahkan. Jika basah, bahan dapat bergerak bersama dan membubur. Jika lembab, dipirid antara ibu jari dan telunjuk tidak terbentuk pita, dan nampak pecah-pecah.

Lempung berliat (clay loam); Bila lembab, dipirid antara ibu jari dan telunjuk akan terbentuk pita tipis yang mudah pecah. Jika lembab, dapat membentuk lapisan yang bertahan baik, jika diremas dalam telapak tangan akan mudah pecah. Liat (clay); Bila kering membentuk gumpalan sangat keras dan bila basah akan plastis hingga sangat plastis dan lekat sampai sangat lekat. Jika lembab, dipirid dengan ibu jari dan telunjuk akan terbentuk pita yang panjang dan fleksibel.

Titik sampel tanah yang digunakan untuk menentukan tekstur tanah, diambil pada setiap unit bentuklahan, kemiringan lereng dan lokasi jejak longsor, namun


(47)

21

karena kondisi topografi Pulau Ternate pada bentuklahan lereng atas kerucut vulkanik yang memiliki lereng curam sulit ditempuh (tidak ada aksesibilitas) maka sampel tekstur tanah hanya diambil pada batas antara lereng tengah dan lereng bawah kerucut vulkanik. Untuk lereng atas digunakan pendekatan dengan memakai data sekunder, yaitu data tanah dari Peta Sistem Lahan skala 1: 250.000. Pada lokasi longsor, sampel tekstur tanah diambil dari bagian bawah penampang longsor, dimana pada kondisi alami sebelum longsor bagian tersebut merupakan horison bawah permukaan dari lapisan tanah. Pada saat penentuan tekstur di lapang, bagian ini terkadang sulit diambil secara ideal, karena seringkali sudah tercampur dengan tanah bagian atas, sehingga ada kemungkinan tercampur antara tekstur permukaan tanah dan bawah permukaan.

3.4.3.Analisis data awal

Pada tahapan ini analisis dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran suseptibilitas longsor tentatif daerah penelitian, dimana peta yang dihasilkan selanjutnya digunakan sebagai salah satu peta kerja selama kerja lapang dan sekaligus untuk divalidasi kebenarannya.

Analisis suseptibilitas longsordi lokasi penelitian

Suseptibilitas longsor (landslide susceptibility) menggambarkan kondisi alami dari fisik lahan yang berpotensi atau rentan untuk terjadi longsor. Faktor-faktor yang menentukan suseptibilitas adalah Faktor-faktor-Faktor-faktor alami yang bersifat pasif, seperti lereng (kemiirngan, aspek), batuan (jenis, struktur), dan tingkat pelapukan batuan atau tanah, sedangkan jika faktor-faktor tersebut ditambah dengan faktor pemicu lain yang bersifat dinamik, seperti curah hujan, gempa, penggunaan lahan, infrastruktur dan saluran drainase (hidrologi), maka akan menggambarkan kondisi kerawanan longsor atau bahaya longsor (landslide hazard) dari suatu wilayah (Tjahjono dan Barus, 2010). Senada dengan hal tersebut, menurut Karnawati (2005) faktor pemicu dinamis ini diantaranya adalah curah hujan, gempa, hidrologi dan aktifitas manusia.

Dalam penelitian ini parameter suseptibilitas longsor disesuaikan dengan ketersediaan data dan skala yang dihasilkan. Tiga parameter lahan yang digunakan untuk menilai suseptibilitas longsor pada penelitian ini adalah kemiringan lereng,


(48)

22

bentuklahan (landform), dan tekstur tanah. Penilaiannya (assesment) dilakukan dengan cara pembobotan dan pemberian skor terhadap parameter yang digunakan dan didasarkan pada kontribusi relatif tiap parameter (besarnya potensi) tiap parameter terhadap proses longsor. Pembobotan pada penelitian ini merujuk pada rumusan yang digunakan oleh Davidson dan Shah (1997) sebagai berikut;

n – rj +1

Wj = ... 1 ∑(n – rj + 1)

dimana Wj adalah nilai bobot yang dinormalkan, n adalah jumlah parameter (1,2,3...n) dan rj adalah posisi urutan parameter. Adapun hasil perhitungan pembobotan untuk suseptibilitas tersaji pada Tabel 5 di bawah ini;

Tabel 5. Urutan parameter suseptibilitas longsor dan hasil perhitungan bobot yang dinormalkan

Parameter Urutan (rj) (n- rj+1) Bobot (Wj)

Kemiringan lereng 1 3 0,5

Bentuklahan (Landform) 2 2 0,33

Tekstur tanah 3 1 0,17

Jumlah 6 1

Ket: n = 3

Urutan posisi parameter suseptibilitas longsor ditentukan seperti tersaji pada Tabel 5; pertama adalah kemiringan lereng, yang kedua bentuklahan, dan yang ketiga tekstur tanah. Urutan ini ditentukan berdasarkan pada besarnya pengaruh relatif tiap parameter terhadap proses longsor.

Kemiringan lereng dianggap paling besar pengaruhnya terhadap proses longsor karena dapat berfungsi sebagai bidang luncur, dimana semakin besar kemiringan lereng maka akan semakin mudah pula (labil) tanah dan batuan yang berada di permukaan lereng tersebut menerima pengaruh gaya tarik bumi. Oleh sebab ittu longsor hanya dapat terjadi pada lereng-lereng miring hingga curam, namun tidak pernah terjadi pada lereng-lereng yang datar hingga landai. Kemiringan lereng sesungguhnya merupakan bagian morofologi bentuklahan (morfometri), namun karena sifatnya yang sangat dominan terhadap proses longsor, maka parameter ini disendirikan.


(49)

23

Bentuklahan berada pada urutan kedua dari parameter suseptibilitas longsor karena memiliki beberapa karakter yang berpengaruh terhadap longsor. Selain parameter lereng yang sudah disendirikan seperti tersebut di atas, parameter morfologi bentuklahan yang lain seperti relief dan elevasi juga banyak berpengaruh terhadap proses longsor. Termasuk juga parameter morfogenesis (proses pembentukan bentuklahan), kronologi (tahapan pembentukan bentuklahan), dan litologi (material dan struktur batuan penyusun bentuklahan), semuanya menyumbang terhadap proses terjadinya longsor. Relief dan elevasi bentuklahan banyak berpengaruh terhadap persebaran curah hujan yang dapat berfungsi sebagai pemicu longsor. Bentuklahan yang bersifat erosional atau denudasional juga lebih berpotensi longsor daripada bentuklahan deposisional, dan bentuklahan yang secara kronologis telah lama mengalami proses pelapukan akan lebih banyak pula menyediakan bahan longsoran, sedangkan material batuan klastik suatu bentuklahan akan lebih mudah mengalami longsor daripada batuan yang lebih masif, apalagi jika mempunyai struktur perlapisan batuan yang miring. Dengan demikian karakter pada setiap bentuklahan akan memberikan sumbangan relatif yang berbeda terhadap proses longsor. Oleh karena itu, mengacu pada perbedaan karakter pada setiap bentuklahan, maka setiap bentuklahan diberikan skor yang berbeda.

Tekstur tanah diberi urutan ketiga karena tekstur tanah bukan sebagai penentu utama longsor, namun lebih bersifat sebagai penentu kondisional, yaitu berpengaruh secara tidak langsung terhadap longsor. Jika terdapat perlapisan tanah atau batuan yang mempunyai tekstur liat dan mempunyai kemiringan perlapisan tanah/batuan yang tidak datar (miring atau curam), maka sifat liat tersebut jika tercampur dengan air akan menjadi licin dan dapat meluncurkan material tanah atau batuan yang membebani di atasnya. Oleh sebab itu, skor tekstur tanah juga dibedakan berdasarkan besarnya kandungan liat.

Pemberian skor terhadap parameter berkisar dari angka nol, yang diartikan tidak berpotensi sebagai penyebab longsor, hingga angka lima yang diartikan sebagai penentu longsor pada tingkat teratas. Adapun nilai bobot dan skor parameter suseptibilitas longsor disajikan pada Tabel 6.


(50)

24

Tabel 6. Bobot dan skor parameter suseptibilitas longsor di lokasi penelitian

Parameter Bobot Skor Nilai (bobot x skor)

Lereng (%):  0 – 8  8 – 15  15 – 30  30 – 45  >45 0,5 0 1 2 3 4 0 0,5 1 1,5 2 Bentuklahan:

 Kawah, dataran pantai anthropogenik, gisik, Maar dan Lereng kaki fluvio vulkanik

 Aliran lava

 Lereng bawah kerucut vulkanik  Lereng atas kerucut vulkanik

 Lereng tengah dan lereng puncak kerucut vulkanik 0,33 0 1 2 3 4 0 0,33 0,66 0,99 1,32 Tekstur Tanah

 Pasir (sand)

 Lempung berpasir (sandy loam)

 Lempung (loam)

 Lempung berliat (clay loam), Lempung berdebu (silt loam)

 Liat (clay)

0,17 1 2 3 4 5 0,17 0,34 0,51 0,68 0,85

Keterangan: 0 = tidak berpengaruh; 1 = sangat rendah; 2 = rendah; 3 = sedang; 4= tinggi; 5 = sangat tinggi

Kemiringan lereng 0 – 8% (datar-landai) diberi skor nol karena pada kemiringan tersebut tidak memicu terjadinya longsor, sebaliknya pada kemiringan lereng > 45% (sangat curam) diberi skor empat karena bersifat sangat labil terhadap longsor.

Bentuklahan gisik pantai, lereng kaki fluvio-vulkanik, dasar kawah, daratan pantai anthropogenik dan maar diberi skor nol karena merupakan bentuklahan deposisional, terbentuk dari akumulasi material lereng di atasnya. Aliran lava merupakan bentuklahan deposisional namun memiliki lereng yang agak miring.


(51)

25

Bentuklahan ini diberi skor satu (rendah) karena memiliki material penyusun (batuan) yang masif dan keras, tanah yang terbentuk sangat tipis, sehingga sangat kecil pengaruhnya terhadap longsor. Lereng bawah kerucut vulkanik merupakan bentuklahan denudasional diberi skor dua (agak rendah), dikarenakan memiliki lereng yang juga agak miring, namun di atas bentuklahan ini proses pelapukan dikategorikan cukup intensif, tanah yang terbentuk juga relatif tebal, dan umumnya kaya bahan liat dari abu vulkanik. Lereng atas kerucut vulkanik merupakan bentuklahan denudasional diberi skor tiga karena meskipun memiliki kemiringan lereng yang curam, namun material penyusunnya masih sering terbaharui oleh bahan-bahan lepas piroklastik (permeable) hasil letusan gunungapi, sehingga proses pelapukan kurang intensif, pengaruhnya terhadap longsor dikategorikan sedang. Lereng tengah kerucut vulkanik merupakan bentuklahan denudasional diberi skor empat karena memiliki lereng miring hingga sangat curam, proses pelapukan lebih intensif daripada lereng di atasnya, sehingga lebih banyak mengandung liat berasal dari abu vulkanik. Lereng puncak kerucut vulkanik juga diberi skor empat karena memiliki kemiringan lereng yang lebih terjal daripada bagian lereng di bawahnya. Meskipun material penyusunnya berupa bahan-bahan piroklastik baru yang permeable dan belum terlapukkan secara berarti, namun material ini akan mudah dilongsorkan oleh karena kemiringannya.

Tekstur tanah pasir (sand) diberikan skor satu (sangat rendah) karena pengaruhnya terhadap proses longsor sangat rendah dan bersifat meloloskan air, namun sebaliknya tekstur liat diberi skor lima (sangat tinggi) karena bersifat licin dan dapat meluncurkan material yang menjadi beban di atasnya. Lapisan liat bersifat kedap air (permeable layer) dikenal sebagai bidang luncur dari beban tanah di atasnya (shear stress). Adapun untuk tekstur lempung (loam) diberikan skor dua (sedang) karena merupakan tekstur yang mempunyai kandungan fraksi pasir, debu, dan liat yang relatif sama.

Berdasarkan hasil analisis terhadap masing-masing parameter (lereng, bentuklahan dan tekstur tanah) maka berikutnya dapat dihasilkan peta dari masing-maisng parameter tersebut. Dari peta-peta tersebut selanjutnya dapat dilakukan analisis kerentanan longsor melalui operasi tumpang tindih (overlay)


(52)

26

GIS dengan menggunakan rumusan seperti yang digunakan oleh Hadmoko et al

(2010), seperti berikut di bawah ini;

LS = ∑ {W (SLP) + W (LF) + W (ST)} ... 2 dimana LS adalah suseptibilitas longsor, SLP adalah kemiringan lereng (Slope), LF adalah bentuklahan (Landform), ST adalah tekstur tanah (Soil Tekstur) dan W adalah bobot parameter yang dinormalkan.

Tingkat suseptibilitas longsor dikategorikan menjadi 4 kelas yaitu aman, rendah, sedang dan tinggi, dan penentuan kelas suseptibilitas didasarkan pada nilai interval yang diperoleh dari persamaan berikut (Dibyosaputro, 1999) yaitu:

Nilai tertinggi – nilai terendah

Interval LS = ... 3 Jumlah kelas

Berdasarkan perhitungan bobot dan skor dari parameter di atas, maka nilai tertinggi adalah 4,17 dan nilai terendah adalah 0,17 sehingga diperoleh nilai interval LS = 1. Nilai interval kelas suseptibilitas longsor selanjutnya disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Nilai interval kelas suseptibilitas longsor di lokasi penelitian

Nilai interval Kelas suseptibilitas longsor

0,17 – 1,17 Aman

1,18 – 2,18 Rendah

2,19 – 3,19 Sedang

3,19 – 4,17 Tinggi

Sumber: Hasil analisis, 2012

3.4.4. Kerja lapang

Kerja lapangan bertujuan untuk mencocokan kebenaran atau melakukan validasi terhadap peta-peta tentatif yang dihasilkan, yaitu peta lereng, peta bentuklahan, peta penggunaan lahan dan peta suseptibilitas longsor. Dengan kerja lapang ini kesalahan interpretasi dapat dikoreksi dan juga pemahaman terhadap faktor-faktor bentuklahan, baik yang terlihat pada citra maupun di lapangan, dapat dimengerti dengan lebih seksama. Dengan demikian peta bahaya longsor yang dihasilkan diharpkan akan lebih mendekati kondisi lapang.


(53)

27

Pada tahap ini juga dilakukan pengumpulan data primer, seperti lokasi titik-titik longsor (kkordinat geografis), tekstur tanah, data kerentanan elemen resiko, dan data kapasitas masyarakat dalam menghadapi suatu resiko. Data infrastruktur meliputi data jumlah bangunan sedangkan data sosial berupa data jumlah penduduk. Data infrastruktur diperoleh dari Bappeda Kota Ternate namun diperbaharui dengan menggunakan citra GeoEye dari Google Earth, sedangkan data sosial-demografis diperoleh dari BPS Kota Ternate. Data kapasitas masyarakat diperoleh melalui penyebaran kuesioner (Lampiran 3), dimana kuesioner terdiri dari beberapa bagian yaitu; (i) lokasi reponden dan waktu wawancara; (ii) identitas responden; (iii) kondisi hunian yang dimiliki; (iv) kapasitas masyarakat terhadap bencana; (v) pertanyaan lain yang belum tergali dari kuesioner. Data kapasitas masyarakat terhadap bencana meliputi pengetahuan kebencanaan, pengalaman kebencanaan dan pelatihan/sosialisasi/penyuluhan kebencanaan dimana tiap indikator memiliki beberapa variabel. Dalam hal ini terdapat dua jenis pertanyaan tiap variabel yaitu pertanyaan yang dijawab “Ya” (disertai penjelasannya) atau “Tidak” dan pertanyaan yang membutuhkan jawaban lebih dari satu. Penentuan responden dilakukan dengan cara purposif sampling

yaitu dipilih hanya masyarakat yang berada di sekitar titik longsor saja, dengan asumsi bahwa mereka lebih mengenal bahaya longsor dan resikonya. Hasil validasi lapangan dan informasi yang terkumpul kemudia dijadikan sebagai bahan untuk analisis data akhir.

3.4.5. Analisis data akhir

Pada tahapan ini, pertama-tama dilakukan koreksi terhadap data yang tidak benar atau salah dalam interpretasi, seperti lereng, data bentuklahan dan kedua berdasarkan data yang sudah terkoreksi tersebut dan data primer dilakukan analisis akhir berupa penilaian tingkat bahaya dan resiko longsor di daerah penelitian.

a. Analisis bahaya longsor di lokasi penelitian

Pada penelitian ini, parameter bahaya longsor disesuaikan dengan ketersediaan data dan skala yang dapat dihasilkan. Parameter bahaya longsor meliputi suseptibilitas (kemiringan lereng, bentuklahan, kondisi tanah) dan aktifitas manusia yang direpresentasikan dalam penggunaan lahan. Faktor dinamis


(54)

28

lain, seperti curah hujan atau gempa, tidak digunakan untuk menilai bahaya longsor karena data yang tersedia kurang mencukupi. Data curah hujan untuk Kota Ternate hanya terdapat pada satu titik stasiun saja, yaitu di Bandara Kota Ternate (Lampiran 1). Dengan demikian data yang ada tidak memungkinkan untuk dapat membuat peta persebaran curah hujan, sedangkan pemodelan curah hujan berdasarkan elevasi tidak dilakukan dalam penelitian ini dikarenakan di wilayah penelitian diperkirakan terdapat wilayah yang mempunyai curah hujan yang lebih besar (hujan orografis) dan yang lebih kecil (daerah bayangan hujan) pada elevasi yang sama, sehingga pemodelan dimaksud di atas dianggap kurang mewakili kondisi yang sebenarnya. Selain itu terdapat pertimbangan lain bahwa masyarakat Pulau Ternate yang terancam oleh longsor (wilayah permukiman) berada pada ketinggian antara 0 mdpl – 300 mdpl dimana pada ketinggian tersebut diperkirakan atau diasumsikan mempunyai curah hujan yang relatif sama (merata di Pulau Ternate). Demikian pula dengan parameter kegempaan, walaupun data tersebut sesungguhnya tersedia (Lampiran 2), namun tidak data yang ada tidak dapat digunakan untuk alat analisis penentuan bahaya longsor, dikarenakan penulis tidak menemukan metode dari penelitian-penelitian sebelumnya yang memanfaatkan data gempa untuk menilai bahaya longsor. Walaupun telah diketahui dengan banyak bukti bahwa gempa berpengaruh terhadap longsor, seperti yang terjadi di beberapa tempat di tanah air.

Metoda untuk menilai bahaya longsor mirip dengan suseptibilitas, yaitu dengan pembobotan dan skor dari masing-masing parameter. Parameter yang digunakan untuk menganalisis bahaya longsor yaitu suseptibilitas longsor ditambah dengan parameter penggunaan lahan. Pembobotan untuk parameter bahaya longsor juga menggunakan rumus 1, dan nilai bobot tiap parameter yang dihasilkan disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Urutan parameter bahaya longsor dan bobot yang dinormalkan

Parameter bahaya longsor Urutan (rj) (n- rj+1) Bobot (Wj)

Kemiringan lereng 1 4 0,4

Bentuklahan (Landform) 2 3 0,3

Tekstur tanah 3 2 0,2

Penggunaan lahan 4 1 0,1

Jumlah 10 1


(1)

Lampiran 2. Data gempa bumi terasa di Kota Ternate

Tabel rekapan gempa bumi terasa di pulau Ternate selama tahun 2010

Tanggal Waktu

(WIT) Epicenter SR Keterangan 31 Januari 00:59:49 2.17 N – 126.69 E 5.4 Pusat gempa di laut

11 Febuari 05:46:45 1.00 N – 126.37 E 5.6 Pusat gempa di laut Ternate 14 Maret 09:57:47 1.58 N – 128.20 E 7.0 Pusat gempa di selat Obi 26 Maret 02:53:46 0.57 N – 126.89 E 5.1 Pusat gempa di laut 3 April 08:15:32 0.44 N – 126.32 E 5.3 Pusat gempa di laut 5 April 19:05:48 0.27 N – 125.02 E 6.3 Pusat gempa di laut

15 April 10:08:38 0.49 N – 127.85 E 4.2 Pusat gempa di pulau Ternate

24 April 16:41:03 1.85 N – 128.16 E 6.4 Pusat gempa di laut Obi 16 Mei 09:33:10 0.34 N – 124.66 E 6.0 Pusat gempa di laut

26 Mei 17:22:07 2.52 N – 128.65 E 4.7 Pusat di utara pulau Morotai 09 Juni 17:57:42 2.00 N – 127.13 E 5.8 Pusat gempa di laut

03 Agustus 21:08:26 1.26 N – 126.38 E 6.4 Pusat di pulau Batang Dua 09 September 17:06:34 2.35 N – 126.15 E 6.0 Pusat gempa di laut Maluku 29 Oktober 15:19:13 2.82 N – 128.32 E 5.0 Pusat di laut utara Morotai 28 November 03:11:14 3.79 N – 128.02 E 6.0 Pusat di laut utara Morotai Sumber: BPBD Kota Ternate, 2010


(2)

Lampiran 3. Contoh Lembar Kuesioner untuk Masyarakat

QUESTIONER UNTUK MASYARAKAT

Hari/tanggal :

Posisi (koordinat) :

Kecamatan :

Kelurahan :

A. Identitas Responden

1. Nama responden :

2. Pendidikan :

3. Umur :

4. Pekerjaan :

5. Penghasilan :

6. Jumlah anggota keluarga : 0 –14 (…..), 15 –64 (….), 65+ (…..) B. Kondisi hunian

7. Luas rumah (M2) : 8. Jarak bangunan dari tebing : 9. Jarak rumah dari jalan : 10. Jarak rumah dari tempat evakuasi : 11. Kondisi bangunan : C. Pengetahuan mengenai kebencanaan

12. Apakah Bapak/Ibu mengetahui arti BAHAYA? a. Ya, darimana………..

b. Tidak

13. Apakah Bapak/Ibu mengetahui tanah longsor? a. Ya, darimana………..

b. Tidak

14. Apa yang menjadi faktor penyebab bencana terutama tanah longsor? 1. Manusia 2. Alam 3. Lingkungan

4. Interaksi ketiganya 5. Tidak tahu

15. Apakah Bapak/Ibu sudah mempunyai kesiapan dalam menghadapi bencana? a. Ya, sebutkan………

b. Tidak

16. Apakah Bapak/Ibu mengetahui jalur evakuasi jika terjadi bencana? a. Ya, sebutkan………..

b. Tidak

17. Apakah Bapak/Ibu mengetahui tempat pengungsian jika terjadi bencana? a. Ya, sebutkan………

b. Tidak

D. Pengalaman mengenai kebencanaan

18. Apakah Bapak/Ibu pernah mengalami bencana alam terutama tanah longsor? a. Pernah b. Tidak

19. Apakah Bapak/Ibu mengetahui resiko bencana alam terutama tanah longsor?

a. Ya b. Tidak

20. Apakah Bapak/Ibu mengetahui lokasi sekitar yang beresiko terhadap bencana terutama tanah longsor?


(3)

E. Pelatihan kebencanaan

21. Apakah Bapak/Ibu pernah mendengar atau mengetahui Pencegahan bencana? a. Pernah, darimana………

b. Tidak

22. Apakah Bapak/Ibu pernah mengikuti sosialisasi/penyuluhan tentang kebencanaan?

a. Pernah b. Tidak

23. Jika pernah, siapakah yang melaksanakan?

a. Pemerintah b. LSM c. Lainnya, sebutkan……… 24. Apakah Bapak/Ibu mengetahui atau pernah mendengar peta bahaya longsor?

a. Ya b. Tidak

25. Jika jawaban di atas, “Ya” apakah peta tersebut mudah dimengerti?

a. Ya b. Tidak

26. Jika jawaban di atas, “Tidak” (ditunjukan peta bahaya yang dibuat) apakah peta

tersebut mudah dimengerti? a. Ya b. Tidak

27. Apakah peta bahaya tanah longsor sesuai dengan keadaan dilapangan? a. Sesuai b. Tidak Sesuai

28. Apakah Bapak/Ibu mengetahui upaya yang perlu dilakukan untuk mengurangi bencana terutama tanah longsor?

a. Ya, sebutkan………. b. Tidak

29. Apakah ada upaya dalam pencegahan bencana terutama tanah longsor? a. Ya, sebutkan upaya apa dan siapa yang melakukan………. b. Tidak

Hal lain yang dapat digali dari responden:

……… ... Hal yang perlu disampaikan dalam upaya pencegahan bencana terutama tanah longsor? ... ... Note:

1. Pertanyaan nomor 1 – 6 adalah identitas responden.

2. Pertanyaan nomor 7 – 11 adalah konfirmasi data kondisi hunian pada parameter kerentanan fisik infrastruktur.

3. Pertanyaan nomor 12 – 23 adalah untuk penilaian parameter kapasitas masyarakat, skor 1 untuk jawaban Ya/pernah dan skor 0 untuk Tidak. Pada pertanyaan no.14, jika jawaban Tidak tahu skor 0 dan lainnya 0,25.

4. Pertanyaan nomor 24 – 27 adalah informasi peta longsor yang telah dibuat. Pertanyaan nomor 28 dan 29 untuk menggali saran dari masyarakat dalam upaya penanggulangan bencana.


(4)

Lampiran 4. Dokumentasi Penelitian di pulau Ternate

Titik longsor dan pengamatan tekstur tanah di lapang

Pengambilan koordinat titik longsor dan validasi lapang


(5)

Titik longsor di pinggir jalan yang dapat menutup akses jalan

Wawancara dengan BPBD dan presentase penelitian ke Bappeda Kota Ternate

Upaya pemotongan lereng dengan alat berat


(6)

Contoh petunjuk jalur evakuasi tsunami dan letusan gunungapi di Kota Ternate

Upaya pengurangan resiko bencana gunungapi yaitu peta rawan gunungapi dan

tanggul penahan banjir lahar di Kota Ternate.