Geomorfologi lokasi penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN

56 Laut Halmahera Laut Maluku Gambar 11. Peta kemiringan lereng di lokasi penelitian b. Bentuklahan Landform Bentuklahan dapat memberikan gambaran dalam melakukan penilaian bahaya tanah longsor. Longsor dapat terjadi pada bentuklahan berlereng miring hingga sangat curam seperti perbukitan atau pegunungan ataupun kondisi yang dapat merubah bentuklahan menjadi berbukit dengan lereng curam. Oleh karena lokasi penelitian termasuk di dalam bentuklahan bergunung, maka wilayah ini sangat berpotensi untuk terjadi longsor. Selain aspek morofologi tersebut, aspek lain seperti morfogenesi proses terbentuknya bentuklahan, kronologi terutama proses pelapukan, dan litologi yang menyusun bentuklahan juga sangat menentukan potensi terjadinya longsor. Banyak penduduk pulau Ternate bermukim pada bentuklahan lereng kaki fluvio-vulkanik dan dataran pantai. Pada periode 10 tahun terakhir, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, wilayah permukiman kian bertambah dan cenderung menuju ke arah wilayah lereng bawah kerucut vulkanik. Bentuklahan lereng bawah vulkanik yang berlereng miring hingga sangat curam sesungguhnya memiliki struktur batuan yang kompak disamping bervegetasi, sehingga dengan 57 kondisi ini sulit untuk terjadi longsor. Konversi lahan sering terjadi bermula dari lahan bervegetasi kemudian menjadi pertambangan pasir, dan setelah pertambangan berhenti maka lokasi tersebut berubah menjadi permukiman. Dengan adanya kegiatan penambangan maka telah banyak dilakukan pemotongan-pemotongan lereng yang berakibat pada berubahnya struktur batuan yang semula kompak, kini menjadi labil terhadap longsor. Selain itu, pada bentuklahan lereng kaki vulkanik yang berbatasan dengan pantai di sebelah tenggara Pulau Ternate terdapat beberapa area yang berlereng sangat curam namun dijadikan area pemukiman. Kondisi ini sangat beresiko bagi penduduk setempat jika lereng tersebut mengalami longsor atau abrasi.

c. Kondisi tanah

Kondisi tanah yang digunakan pada penelitian ini adalah tekstur tanah. Tekstur tanah dapat menjadi penyebab longsor karena tekstur tanah dapat bersifat licin sehingga mengurangi daya tahan lereng shear strength untuk bertahan pada posisinya. Dengan demikian pada saat terjadi hujan, terjadi penambahan beban yang meningkatkan daya luncur material tanah pada lereng shear strees yang dipicu oleh gravitasi serta didukung oleh turunnya daya tahan lereng oleh tekstur tanah liat. Selain itu, tekstur tanah liat yang terdapat di lapisan bawah permukaan tanah dapat membentuk lapisan kedap air. Lapisan ini berfungsi sebagai bidang luncur atau bidang gelincir slide bed-plane di bawah permukaan tanah yang menyebabkan longsor. Hal ini sesuai dengan pendapat Sitorus 2006 bahwa tekstur liat clay relatif kedap air sehingga dapat membentuk bidang luncur, terutama pada lahan yang berlereng agak curam hingga curam. Kondisi tanah pulau Ternate pada umumnya relatif bertekstur lempung berliat clay loam, lempung loam dan pasir sand. Tanah dengan tekstur lempung berliat memiliki luas 3.250 ha 0,32 dari total luas wilayah, tekstur lempung 2.200 ha 0,22 dan tekstur pasir 2.110 ha 0,21. Tekstur tanah yang paling kecil luasannya yaitu tekstur liat dengan luas 100 ha 0,009 Tabel 26. Berdasarkan luasannya maka pulau Ternate didominasi oleh tekstur lempung berliat dan lempung. 58 Tabel 26. Tekstur tanah dan luasannya di pulau Ternate Tektur Luasan ha Persentase luas Pasir sands 2.110 0,21 Lempung berpasir sandy loam 1.590 0,15 Lempung loam 2.200 0,22 Lempung berdebu silt loam 760 0,07 Lempung berliat clay loam 3.250 0,32 Liat clay 100 0,009 Liat berpasir sandy clay 120 0,011 Jumlah 10.130 100 Sumber: hasil olahan 2012 Tekstur liat pada lokasi penelitian walaupun luasan terkecil namun perlu diwaspadai karena terdapat pada lereng agak miring hingga miring, berada di sebelah utara landform lereng kaki vulkanik dan lereng bawah kerucut vulkanik. Kondisi ini dapat berpotensi longsor karena liat yang berada di permukaan tanah tidak dapat menyerap air sehingga jika terjadi hujan, maka akan mudah terbentuk limpasan yang membawa partikel lebih halus. Tekstur pasir mendominasi landform pantai dan dataran pantai anthropogenik dengan kemiringan lereng datar hingga landai. Wilayah ini relatif lebih aman dari potensi longsor. Kondisi ini disebabkan, karena tekstur pasir memiliki banyak pori makro atau mempunyai sehingga kapasitas infiltrasi yang tinggi, sehingga jika terjadi hujan akan terinfiltasi ke dalam tanah. Tekstur lempung pada lokasi penelitian banyak berkembang pada landform lereng bawah kerucut vulkanik dan pada kemiringan lereng antara 8 - 30. Lempung merupakan bahan tanah yang mengandung liat dan pasir sehingga jika berada pada area dengan kemiringan lereng miring hingga sangat curam maka fraksi liat dapat memicu terjadinya longsor. Lempung berliat menyebar pada bentuklahan lereng bawah kerucut vulkanik, lereng tengah kerucut vulkanik, dan lereng puncak kerucut vulkanik. Lempung berliat merupakan bahan tanah yang mengandung lebih banyak liat 27 – 40 dan pasir sehingga jika berada pada lereng tengah kerucut vulkanik yang memiliki lereng 30 – 45 maka jika terjadi hujan memicu penggelinciran tanah melalui pengaruh fraksi liat. 59 Tekstur lempung berpasir banyak terbentuk pada bentuklahan kaki fluvio vulkanik dan sedikit sebelah tenggara lereng bawah kerucut vulkanik. Lempung berpasir merupakan bahan tanah yang mengandung lebih banyak pasir 45 dan sedikit liat, maka air hujan akan terinfiltrasi ke bawah permukaan tanah. Untuk mengetahui gambaran spasial dari persebaran tekstur tanah tersebut pada Gambar 12 ditampilkan peta tekstur tanah daerah penelitian. Laut Halmahera Laut Maluku Gambar 12. Peta tekstur tanah lokasi penelitian Berdasarkan kondisi tiga parameter yang telah diuraikan di atas, maka selanjutnya dapat dilakukan analisis suseptibilitas longsor. Analisis dilakukan melalui proses tumpang tindih overlay GIS dari peta kemiringan lereng, peta bentuklahan, dan peta tekstur tanah yang telah dihasilkan dan dengan menggunakan rumus: LS = ∑ {0,5 SLP + 0,33 LF + 0,17 ST} dimana; LS = Landslide Susceptibility SLP = Kemiringan lereng Slope LF = Bentuklahan Landform 60 ST = Tekstur tanah Soil Tekstur 0,5; 0,33; 0,17 merupakan bobot tiap parameter suseptibilitas longsor seperti diuraikan dalam metoda penelitian Tabel 6. Pada penelitian ini, tingkat suseptibilitas longsor dikategorikan dalam empat kelas yaitu; aman, rendah, sedang dan tinggi. Pengkategorian ini berdasarkan pada nilai interval yang diperoleh dari selisih nilai teratas LS dan nilai terendah LS dibagi jumlah kelas. Hasil analisis suseptibilitas longsor untuk daerah penelitian disajikan pada Tabel 27. Tabel 27. Kelas suseptibilitas longsor, luasan dan persentasenya di lokasi penelitian Kelas suseptibilitas longsor Luasan ha Persentase luas Aman 2.645 26,1 Rendah 3.150 31,1 Sedang 1.545 15,2 Tinggi 2.790 27,5 Total 10.130 100 Sumber: Data olahan, 2012 Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa luasan terbesar dari suseptibilitas longsor berada pada kelas rendah, sedangkan luasan terkecil berada pada kelas sedang. Adapun gambaran spasial suseptibilitas longsor di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 13. Dari gambaran tersebut dapat dilihat bahwa tiap kategori kelas kerentanan longsor memiliki karakteristik lahan yang berbeda Tabel 28. Pada penelitian ini, kelas aman berada di sebelah utara, timur, tenggara dan barat daya pulau Ternate, memiliki luas 2.645 ha atau 26,11 dari total luas wilayah penelitian. Kelas ini didominasi oleh kemiringan lereng 0 - 8, bentuklahan gisik pantai, dataran pantai anthropogenik dan lereng kaki fluvio dan tekstur pasir. Kelas ini terbentuk karena pada area ini lereng yang datar tidak dapat membentuk bidang luncur. Kelas rendah memiliki luas 3.150 ha atau 31,1 dari luas wilayah penelitian dan menyebar mengelilingi pulau Ternate. Kelas ini didominasi oleh kemiringan lereng 8 – 15 dengan luas 89,5 dari total luas lereng ini. Sebagian 61 besar berada pada bentuklahan aliran lava dan lereng kaki fluvio vulkanik. Tekstur tanah yang mendominasi yaitu lempung berpasir sandy loam. Kelas sedang memiliki luas 1.545 ha atau 15,25 dari total luas wilayah, mendominasi bagian tenggara dan selatan Pulau Ternate, berada pada kemiringan lereng 15 atau miring hingga sangat curam. Untuk kemiringan lereng 15 - 30 mencakup area seluas 1.587 ha, untuk kemiringan lereng 30 - 45 seluas 1.277,5 ha dan untuk kemiringan lereng 45 seluas 65,5 ha. Kelas ini mendominasi bentuklahan lereng bawah kerucut vulkanik dengan luas 2.031 ha, dengan tekstur tanah yang mendominasi kelas ini yaitu lempung loam dan liat clay. Kelas tinggi memiliki luas 2.790 ha atau 27,5 dari total luas wilayah penelitian. Kelas tinggi ini berada pada kemiringan lereng 30 - 45 seluas 159 ha dan kemiringan lereng 45 seluas 2.701 ha. Kelas ini secara dominan berada pada bentuklahan lereng puncak kerucut vulkanik. Tekstur tanah yang mendominasi kelas ini adalah tekstur lempung berdebu dan tekstur lempung berliat dengan luas 2.186 ha. Tingginya potensi longsor pada area ini diduga karena lapisan permukaan tanah mengandung liat yang relatif tidak dapat menyerap air ke lapisan bawah dan mempunyai kemiringan lereng sangat curam atau 45 sehingga jika terjadi hujan akan dapat langsung meluncurkan massa tanah. Sebagaimana uraian di atas bahwa suseptibilitas longsor di lokasi penelitian relatif dipengaruhi oleh kondisi geomorfologi suatu wilayah terutama kemiringan lereng. Hal ini sesuai dengan pendapat Bloom, 1978; Verstappen, 1983; Varnes, 1984 bahwa kemiringan lereng merupakan hal penting yang dapat mempengaruhi terjadi longsor karena sebagai bidang luncur dan biasanya longsoran terjadi pada wilayah yang berbukit dengan lereng sangat terjal, namun ini tergantung pula pada interaksi antara lereng dan faktor lainnya. Tabel 28. Kelas suseptibilitas longsor dan karakteristik lahannya di lokasi penelitian Kelas kerentanan longsor Karakteristik lahan Lereng Persentase Luas lereng Landform Persentase luas landform Tekstur tanah Persentase luas tekstur tanah Aman 1. 0 – 8 2. 8 – 15 3. 15- 30 1. 99,03 2. 44,65 3. 1,5 1. Gisik pantai 2. Maar Tolire kecil 3. Maar Laguna 4. Aliran lava 5. Daratan pantai anthropogenik 6. Lereng kaki fluvio vulkanik 7. Lereng bawah kerucut vulkanik. 1. 100 2. 90,1 3. 8,2 4. 31,4 5. 100 6. 72,3 7. 12,3 1. Lempung loam 2. Lempung berdebu silt loam 3. Lempung berliat clay loam 4. Lempung berpasir sandy loam 5. Pasir sandy 6. Liat clay 1. 0,07 2. 0,1 3. 0,1 4. 8,8 5. 87,7 6. 1,5 Rendah 1. 8 – 15 2. 15 – 30 3. 30 - 45 1. 89,5 2. 39,9 3. 1,3 1. Aliran lava 2. Maar Tolire kecil 3. Maar Laguna 4. Lereng bawah kerucut vulkanik 5. Lereng kaki fluvio vulkanik 1. 55,1 2. 9,9 3. 6,4 4. 28,6 5. 46,4 1. Lempung loam 2. Lempung berdebu silt loam 3. Lempung berliat clay loam 4. Lempung berpasir sandy loam 5. Pasir sandy 6. Liat clay 7. Liat berpasir sandy clay 1. 17,8 2. 4,3 3. 5 4. 88,7 5. 11,3 6. 3,5 7. 80,3 Sedang 1. 15 – 30 2. 30 – 45 3. 45 1. 60,1 2. 87,6 3. 2,4 1. Aliran lava 2. Kawah 3. Maar Tolire besar 4. Maar Laguna 5. Lereng atas kerucut vulkanik 6. Lereng bawah kerucut vulkanik 7. Lereng kaki fluvio vulkanik 1. 13,5 2. 100 3. 71,5 4. 85,4 5. 0,9 6. 40 7. 3,1 1. Lempung loam 2. Lempung berdebu silt loam 3. Lempung berliat clay loam 4. Lempung berpasir sandy loam 5. Pasir sandy 6. Liat clay 7. Liat berpasir sandy clay 1. 80,4 2. 15,3 3. 27,5 4. 2,8 5. 0,5 6. 86,5 7. 4,3 Tinggi 1. 30- 45 2. 45 1. 12,4 2. 97,8 1. Lereng atas kerucut vulkanik 2. Lereng tengah kerucut vulkanik 3. Lereng puncak kerucut vulkanik 1. 28,2 2. 23,3 3. 89,1 1. Lempung loam 2. Lempung berliat clay loam 3. Lempung berdebu silt loam 4. Liat clay 5. Liat berpasir sandy clay 1. 1,6 2. 67,3 3. 80,9 4. 0,8 5. 12 Sumber: Data analisis 2012 62 Kondisi wilayah yang berbukit di lokasi penelitian berasal dari penimbunan bahan piroklastik dan aliran lava dari erupsi gunungapi secara terus menerus terutama pada bagian lereng puncak kerucut vulkanik hingga lereng bawah kerucut vulkanik. Aliran lava dari arah puncak gunung ke bagian bawah yang terjadi pada saat letusan Gunung Kekau atau Bukit Melayu sehingga terjadi pengikisan pada dinding lereng diduga dapat menyebabkan keterjalan lereng jika erosi pada pinggiran aliran lava terus berlangsung. Adapun wilayah yang mempunyai lereng agak landai merupakan hasil proses deposisi endapan lahar maupun piroklastik. Berdasarkan hasil analisis ini, dapat disimpulkan bahwa Pulau Ternate relatif memiliki karakteristik wilayah yang rentan susceptible terhadap longsor, dimana hampir separuh dari wilayah penelitian 43 berada pada kelas suseptibilitas sedang hingga tinggi. Laut Halmahera Laut Maluku Gambar 13. Peta suseptibilitas longsor di lokasi penelitian Pemicu longsor Pemahaman arti pemicu longsor dalam penelitian ini adalah adanya suatu faktor yang bersifat mempercepat proses terjadinya longsor, sehingga faktor ini menyebabkan suatu kondisi topografi yang secara alami dalam keadaan rentan