12
ekonomi yaitu persentase rumah tangga yang bekerja di sektor rentan terhadap PHK dan persentase rumah tangga miskin.
Eksposur exposure
Menurut Davidson dan Shah 1997 eksposur merupakan komponen dari resiko. Betapa pun besarnya suatu bahaya tidak ada artinya tanpa eksposur
populasi dan infrastruktur karena tidak ada kerusakan ataupun kerugian yang dialami sehingga seberapa besar eksposur sebesar itu pula resiko. Komponen
eksposur terdiri dari populasi, ekonomi, infrastruktur dan sosial-politik. Eksposur populasi dapat dinilai dari jumlah dan distribusi pemukiman serta
eksistensi populasi dalam suatu wilayah. Eksposur ekonomi menggambarkan aliran ekonomi dalam suatu wilayah seperti tipe, tujuan barang, besaran transaksi
dan lainnya. Penilaian eksposur ekonomi dapat dilihat dari sektor pertanian, pertambangan, konstruksi, transportasi dan lainnya. Fisik eksposur dapat dinilai
dari jumlah, ukuran, sebaran dan nilai dari suatu infrastruktur. Nilai suatu infrastruktur tergantung pada biaya tenaga kerja dan material konstruksi.
Kapasitas Capasity
Menurut Bollin, et al 2003 kapasitas adalah kekuatan dan sumber daya yang tersedia dalam suatu masyarakat atau organisasi yang dapat mengurangi
tingkat resiko atau dampak dari bencana. Kapasitas merupakan penilaian untuk mengukur tindakan pencegahan, persiapan, respon dalam tanggap darurat serta
upaya rehabilitasi dan rekonstruksi dalam menghadapi bencana. Penilaian kapasitas mencakup kesiapan pemerintah dan non pemerintah, seperti penetapan
wilayah rawan bencana dan perencanaan program pengurangan resiko bencana. Selain kapasitas pemerintah dan non pemerintah, sektor swasta, media, dan
perguruan tinggi juga sangat penting dalam pengurangan resiko bencana.
2.4. Pengurangan resiko bencana
Dalam upaya penanggulangan bencana, terdapat tahapan paradigma kebencanaan mulai dari 1 konsep konvensional yang menganggap bencana hanya
fokus pada pemberian bantuan relief dan kedaruratan emergency respons; 2 konsep mitigasi bencana yang tujuannya lebih mengarah kepada identifikasi
daerah rawan bencana, identifikasi pola yang dapat menimbulkan kerawanan dan
13
kegiatan struktural maupun non-struktural dan 3 konsep pengurangan resiko bencana yang merupakan perpaduan dari paradigma tehnis dan ilmiah dengan
memperhatikan faktor sosial, ekonomi dan politik dalam perencanaan pengurangan bencana yang bertujuan meningkatkan kemampuan masyarakat
untuk mengelola dan menekan resiko terjadinya bencana Bakornas PB, 2007. Menurut Bakornas PB 2007 bahwa tahapan mitigasi bencana tanah
longsor adalah: 1 identifkasi wilayah rawan bencana dengan membuat peta yang menyajikan informasi visual tentang tingkat kerawanan bencana alam di suatu
wilayah, sebagai masukan kepada masyarakat dan atau pemerintah sebagai dasar untuk melakukan pembangunan, 2 melakukan penyelidikan dengan mempelajari
penyebab dan dampak dari suatu bencana sehingga dapat digunakan dalam perencanaan penanggulangan bencana, 3 melakukan penyelidikan pada saat dan
telah terjadi bencana sehingga dapat diketahui penyebab dan cara penanggulangannya, 4 melakukan pemantauan di daerah rawan bencana, 5
mengadakan sosialisasi dengan memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang bencana alam tanah longsor dan akibat yang ditimbulkannya.
Kaitannya dengan pengurangan resiko bencana, pada konferensi Tingkat Menteri se Asian ke-5 di Yogayakarta pada tahun 2012 Deklarasi Yogyakarta,
menghasilkan tujuh rekomendasi terkait dengan pengurangan risko bencana; 1 Mengintegrasikan upaya penanggulangan bencana dengan adaptasi perubahan
iklim, juga pelibatan kalangan yang rentan dampak bencana seperti anak – anak,
perempuan, lansia dan orang dengan keterbatasan fisik, 2 Pentingnya kajian terhadap resiko finansial akibat bencana. Dukungan finansial mencukupi untuk
masyarakat lokal perlu diupayakan dengan mengidentifikasikan lembaga yang potensial menjadi donor, 3 Pengurangan resiko bencana perlu melibatkan
komunitas lokal dan menguatkan tata kelolanya dengan mempertimbangkan kearifan lokal, 4 Pentingnya membangunan ketahanan masyarakat lokal, 5
Capaian pasca 2015 dan cara efektif yang dapat terukur mengenai kemampuan pemerintah, keterlibatan publik dan pengetahuan masyarakat tentang cara
evakuasi bencana, 6 Pengurangan faktor – faktor resiko bencana, 7 mengkaji
issu – issu lain dalam Hyogo Framework of Action HFA.
III. METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Ternate yang mencakup 4 kecamatan, yaitu Kecamatan Ternate Utara, Kecamatan Ternate Selatan, Kecamatan Ternate
Tengah dan Kecamatan Pulau Ternate Gambar 2. Adapun penetapan Pulau Ternate sebagai lokasi penelitian berdasarkan pertimbangan bahwa:
1. Pulau Ternate sebagai ibu kota pemerintahan sehingga memiliki
jumlah penduduk terbanyak dibandingkan dengan pulau lain di Kota Ternate.
2. Pulau Ternate memiliki karakter wilayah berbukit dan bergunung
yang umumnya rentan terhadap proses longsor.
Gambar 2. Lokasi penelitian.
3.2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan yang mencakup beberapa tahap, dimulai dari persiapan, penulisan proposal hingga penulisan tesis. Tiap tahapan
dibutuhkan waktu sekitar 1 – 2 bulan seperti yang disajikan pada Tabel 3.
Pulau Ternate Provinsi Maluku Utara