Kerentanan Vulnerability elemen resiko longsor di Lokasi Penelitian

penanggulangan resiko longsor di Kota Ternate berupa pembuatan tanggul penahan lereng yang berpotensi longsor, agar pemerintah tidak mengeluarkan ijin galian C yang dapat merusak, dan menyediakan lahan untuk permukiman sehingga masyarakat tidak merambah hutan untuk dijadikan permukiman. Sebagaimana uraian di atas, terlihat bahwa kapasitas responden dari aspek pengetahuan lebih tinggi dibandingkan aspek lainnya. Parameter sosialisasipenyuluhan kebencanaan terendah, hal ini menunjukan bahwa sosialisasipenyuluhanpelatihan kebencanaan harus menjadi program prioritas di Kota Ternate sebagai upaya peningkatan kapasitas Gambar 21. Gambar 21. Grafik tanggapan responden terhadap parameter kapasitas masyarakat di lokasi penelitian.

5.5. Resiko longsor landslide risk di lokasi penelitian

Banyak para ahli telah mengembangkan formulasi dalam menilai resiko bencana. Secara umum resiko bencana merupakan kombinasi dari bahaya hazard dan kerentanan vulnerability. Selain faktor tersebut, kemampuan capacity individu maupun kelompok juga menjadi penentu dalam penilaian resiko Varnes, 1984; Carter, 1992; Davidson, 1997; Smith, 2001; Bollin, 2003; Wisner et al, 2004. Pada penelitian ini, perhitungan resiko longsor tidak memasukan kapasitas masyarakat karena tingkat kapasitas masyarakat seragam namun hal tersebut tidak mencerminkan seluruh kapasitas masyarakat di Pulau Ternate. Pada penelitian ini, resiko bencana terutama longsor dianalisis berdasarkan rumusan dari Bakornas PB 2007 yang terdapat di bab metoda penelitian. Setelah diketahui parameter resiko bencana tanah longsor seperti bahaya Hazard, Pengetahuan Pengalaman Sosialisasipenyuluh an Series1 58,25 34 21 10 20 30 40 50 60 Ju m lah t an g g ap an re sp o n d e n te rh ad ap p ar am e te r kerentanan Vulnerability, dan kapasitas, maka dapat ditentukan tingkat resiko di lokasi penelitian. Namun demikian perlu dicatat bahwa khusus dalam penelitian ini parameter kapasitas tidak dipakai untuk menilai tingkat resiko disebabkan data kapasitas yang diperoleh masih belum mencukupi untuk dapat mewakili kondisi riil kapasitas masyarakat setempat. Untuk itu, resiko hanya dinilai dari aspek bahaya longsor dan kerentanan msyarakat terhadap bencana. Dalam penelitian ini, resiko longsor dikategorikan menjadi tiga kelas yaitu rendah, sedang dan tinggi, dan hasil penilaian resiko longsor yang telah dilakukan disajikan pada Tabel 38. Tabel 38. Kelas resiko longsor landslide risk, dan Jumlah bangunan di lokasi penelitian Kelas resiko longsor Jumlah bangunan unit Persentase Rendah 2.021 29,4 Sedang 4.041 58,5 Tinggi 826 12,1 Sumber : Hasil analisis, 2012 Sebagaimana tabel di atas, terlihat bahwa di dalam kelas resiko longsor rendah terdapat 2.021 unit bangunan. Pada kelas resiko sedang terdapat 4.041 unit bangunan dan pada kelas resiko tinggi terdapat 826 unit bangunan. Dengan demikian terlihat bahwa di pulau Ternate secara dominan bangunan berada pada kelas resiko longsor sedang. Gambaran sebaran kelas resiko longsor yang dihasilkan disajikan pada Gambar 22. Dari gambar tersebut, terlihat bahwa kelas resiko longsor rendah terdapat rumah penduduk dan fasilitas umum yang berada pada bentuklahan lereng kaki kerucut vulkanik di kelas bahaya longsor rendah dengan kepadatan bangunan dan kepadatan penduduk rendah. Kondisi ini dapat memberikan gambaran bahwa area tersebut banyak digunakan sebagai area permukiman dan pusat aktifitas lainnya seperti aktifitas ekonomi dan perkantoran. Namun, area ini perlu diwaspadai karena dengan meningkatnya jumlah penduduk, kebutuhan lahan akan semakin meningkat, sehingga berpotensi meningkatkan resiko longsor. Kelas resiko longsor sedang didominasi oleh rumah penduduk yang berada pada bentuklahan lereng bawah kerucut vulkanik di kelas bahaya longsor rendah dengan kepadatan bangunan dan penduduk tinggi. Pada kelas ini juga terdapat fasilitas umum yang berada pada kelas bahaya sedang hingga tinggi dengan kepadatan bangunan sedang. Rumah penduduk dan fasilitas umum banyak tersebar di tenggara Pulau Ternate. Lahan pada kelas ini diwaktu mendatang berpotensi meningkat menjadi kelas resiko tinggi, jika tambang-tambang batu dan pasir yang terdapat banyak ditempat ini kelak akan berubah menjadi permukiman, seperti kecenderungan yang ada saat ini di daerah penelitian. Perlu diperhatikan bahwa kecenderungan perkembangan wilayah permukiman di daerah penelitian cenderung mengarah ke arah hulu pegunungan, sehingga upaya pemotongan lereng pun dimungkinkan akan terus terjadi. Gambar 22. Peta kelas resiko longsor di lokasi penelitian Kelas resiko tinggi tersebar di wilayah perumahan penduduk yang berada pada bentuklahan lereng bawah kerucut vulkanik, pada kelas bahaya longsor sedang hingga tinggi dan mempunyai kepadatan bangun dan kepadatan penduduk tinggi. Area ini merupakan permukiman baru, sehingga banyak rumah penduduk yang dibangun di bawah tebing yang curam. Secara administratif, kelas resiko rendah banyak terdapat di Kecamatan Pulau Ternate dan Kecamatan Ternate Utara, sedangkan untuk kelas sedang dan tinggi banyak terdapat di Kecamatan Ternate Tengah dan Selatan Tabel 39. Tabel 39. Tingkat resiko longsor dan jumlah bangunan per kecamatan di lokasi penelitian Kecamatan Jumlah bangunan unit di kelas resiko longsor Rendah Sedang Tinggi Pulau Ternate 995 Ternate Utara 934 3 Ternate Tengah 43 1.628 547 Ternate Selatan 49 2.410 279 Jumlah 2.021 4.041 826 Sumber: Hasil analisis, 2012 Berdasarkan persebaran kelas resiko tersebut, Kecamatan Ternate Tengah dan Selatan harus diwaspadai, terutama pada wilayah yang terdapat bangunan pada kelas resiko tinggi dengan jenis bangunan rumah penduduk. Hal ini disebabkan karena kecamatan ini didominasi oleh karakteristik wilayah yang berpotensi longsor, banyak bangunan dengan resiko sedang hingga tinggi, dan mempunyai kepadatan bangunan dan kepadatan penduduk tertinggi. Gambar 23 berikut menyajikan hubungan kelas bahay longsor dengan kelas kerentanan bencana longsor yang akhirnya menghasilkan kelas resiko longsor. Dalam penilaian ini hubungan kelas bahaya dan kerentanan yang sama tinggi akan menghasilkan kelas resiko tinggi, begitu pula untuk hubungan sesama kelas sedang atau rendah, dan juga kombinasi dari berbagai kelas. Dari keterkaitan ini Kota Ternate didominasi oleh bahaya sedang dan kerentanan sedang maka tingkat resiko juga sedang namun berpotensi meningkatkan resiko jika tidak dilakukan suatu upaya pengurangan resiko bencana longsor. Hal paling berpengaruh terhadap resiko bencana pada penelitian ini yaitu rumah penduduk yang berada pada bahaya longsor sedang hingga tinggi dengan kepadatan bangunan dan kepadatan penduduk tinggi. Resiko bencana Bahaya Tinggi Sedang Rendah Rendah Sedang Tinggi Kerentanan Keterangan : Rendah Sedang Tinggi Gambar 23. Matriks resiko bencana

5.6. Keterkaitan kondisi geomorfologi Pulau Ternate terhadap bahaya dan

resiko longsor. Kondisi geomorfologi Pulau Ternate secara alami memiliki potensi yang rendah untuk terjadi longsor, hal ini dikarenakan Pulau Ternate memiliki bentuklahan gunungapi. Karakteristik tubuh gunungapi pada dasarnya adalah tersusun dari material gunungapi, sehingga dapat berupa endapan piroklastik, aliran lava, ataupun aliran lahar, dan dapat berupa hasil dari suatu aliran atau jatuhan material letusan. Dengan demikian secara alami pula material tersebut akan tertumpuk hingga membentuk suatu relief perbukitan dan pegunungan dengan kemiringan lereng yang relatif stabil sesuai dengan karakter ukuran material yang diendapkan. Oleh sebab itu pada dasarnya bentuklahan yang menyusun tubuh gunungapi ini mempunyai kestabilan lereng yang normal atau dalam ambang batas normal meskipun tampak miring. Longsor umumnya baru terjadi pada tubuh gunungapi jika terdapat penambahan beban, seperti deposisi material piroklastik baru, atau kandungan air yang berasal dari hujan, dan tidak adanya faktor penahan seperti vegetasi, batuan atau lainnya. Dengan demikian, jika luas kelas suseptibilitas longsor di daerah penelitian lebih didominasi oleh kelas aman dan rendah 57,2 , atau kelas rendah hingga sedang 46.3 , maka kondisi ini menjadi hal yang cukup wajar. Namun demikian perubahan kondisi gemorfologi oleh manusia yang ada saat ini telah sedikit merubah bahaya longsor di Pulau Ternate, dimana 53.7 wilayahnya tergolong ke dalam kelas bahaya rendah hingga sedang dibandingkan dengan kelas suseptibilitasnya yang hanya 46.3 . Adapun untuk kelas tinggi terdapat sedikit kenaikan, yaitu dari kelas suseptibilitas tinggi seluas 27,5 menjadi kelas bahaya tinggi seluas 28,1 . Pemotongan lereng dan perubahan penggunaan lahan pada dasarnya merupakan faktor utama terhadap kenaikan angka-angka tersebut di atas. Peningkatan bahaya tampaknya akan cenderung terus bertambah ke arah puncak seiiring dengan dinamika atau aktifitas manusia yang memanfaatkan lahan dan secara perlahan akan dapat merubah kondisi alami geomorfologi Pulau Ternate. Perubahan penggunaan lahan pada bekas penambangan batu dan pasir menjadi permukiman dan juga adanya pembangunan akses jalan untuk aktifitas masyarakat sekitar, akan terus menarik perhatian masyarakat lain untuk membangun dan tinggal di area tersebut. Hal ini secara langsung akan meningkatkan tingkat kerentanan masyarakat yang tingal di tempat tersebut. Dengan berubahnya karakter bentuklahan melalui pemotongan lereng dan bertambahnya penghuni di area tersebut, maka bahaya longsor dan kerentanan masyarakat akan terus meningkat, dengan demikian secara langsung pula akan meningkatkan tingkat resiko di wilayah tersebut.

5.7. Keterbatasan dan keunggulan penelitian

Penentuan resiko longsor tidak dapat dikatakan mudah, terlebih mengenai ketersediaan dan skala data. Begitu pula dengan penelitian ini, terutama keterbatasan pada parameter penentu bahaya longsor terutama data kondisi tanah menyangkut dengan tekstur tanah, metode pengambilan sampel tanah dan pemetaannya. Hal inilah yang harus diperbaiki pada penelitian selanjutnya. Penelitian ini pun memiliki keunggulan dalam penentuan resiko yaitu dalam metode penentuan kerentanan yang riil hingga ke unit bangunan, maka penentuan kerentanan dan resiko longsor dapat diketahui secara langsung kepada objek yang memiliki kerentanan dan resiko tertentu terhadap longsor. Skala informasi pada metode kerentanan dengan batasan unit bangunan lebih informastif dan detail dibandingkan dengan metode indeks, sehingga dapat diterapkan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah terutama di tingkat KabupatenKota.