2009 menyatakan lebih lanjut bahwa perubahan kognitif yang paling penting pada masa remaja adalah peningkatan pemfungsian
eksekutif yang melibatkan aktivitas kognitif tingkat tinggi seperti penalaran, pengambilan keputusan, pemantauan berpikir kritis dan
memantau perkembangan kognitif orang.
24
Beberapa ahli menjelaskan perkembangan kognitif dapat mempengaruhi rencana masa depan remaja. Hal ini karena masa
remaja berada dalam tahap formal operation. Dalam tahap ini remaja kemampuan metakognisi remaja berkembang dan
kemampuan ini sangat memungkinkan remaja untuk memikirkan kemungkinan yang terjadi dimasa depan dalam pencapaian tujuan
dan memberikan solusinya. Kematangan kognitif sangat erat kaitannya dengan kemampuan intelektual menjadi salah satu faktor
individu yang mempengauhi orientasi masa depan. 2.
Faktor Eksternal Berikut ini adalah faktor-faktor keksternal yang dapat mempengaruhi
orientasi masa depan: -
Jenis kelamin, berdasarkan tinjauan literatur ditemukan adanya perbedaan jenis kelamin yaang signifikan antara domain-domain
pada orientasi masa depan, tetapi pola perbedaan yang muncul akan berubah seiring berjalannya waktu. Perempuan lebih
berorientasi ke arah masa depan keluarga sedangkan laki-laki lebih berorieentasi ke arah masa depan karir.
- Status sosial ekonomi. Kemiskinan dan status sosial ekonomi yang
rendah berkaitan dengan perkembangan orientasi masa depan yang menyebabkannya menjadi terbatas. Individu yang memiliki latar
belakang status sosial ekonomi yang tinggi cenderung untuk memiliki pemikiran mengenai masa depan karir yang lebih jauh
dibandingkan individu dengan latar belaang sosial ekonomi rendah.
24
John. W. Santrock, op.cit, h. 349
- Usia. Pada remaja wanita yang duduk dibangku sekolah menengah
pertama, menengah ke atas dan kuliah menemukan terdapat perbedaan orientasi masa depan berdasarkan kelompok usia pada
semua dominan kehidupan prospektif karir, keluarga dan pendidikan.
- Teman sebaya dalam konteks ini, teman sebaya dapat
mempengaruhi orientasi masa depan dengan cara yang bervariasi. Teman sebaya berarti teman sepermainan dengan jenjang usia yang
sama dan berada pada tingkat perkembangan yang sama, dimana teman sebaya dapat saling bertukar informasi pada pemikiran
mengenai tugas perkembangannya. Kelompok teman sebaya peer group
juga memberikan
individu kesempatan
untuk membandingkan tingkah lakunya dengan temannya yang lain.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa kehadiran teman sebaya dalam situasi pengambilan risiko meningkatkan kemungkinan
bahwa remaja akan membuat keputusan berisiko. Salah satu pandangan
menyatakan bahwa
kehadiran teman
sebaya mengaktifkan sistem reward otak, terutama jalur dopaminnya.
25
Remaja perlu lebih banyak kesempatan untuk melatih dan mendiskusikan pengambilan keputusan yang tealistis. Banyak
keputusan duia nyata mengenai hal-hal seperti seks, narkoba, dan mengemudi ugal-ugalan terjadi dalam suasanayang menekan yang
mencakup pembatasan waktu dan keterlibatan emosional. Salah satu strategi untuk meningkatkan pengambilan keputusan remaja
dalam keadaan seperti itu adalah untuk memberi lebih banyak kesempatan bagi mereka untuk terlibat dalam permainan peran dan
pemecahan masalah kelompok. -
Hubungan dengan orang tua. Semakin positif hubungan orang tua dengan remaja maka akan semakin mendorong remaja memikirkan
masa depan. Keluarga merupakan model bagi remaja dan
25
Ibid., h. 353
merupakan wadah yang tepat dalam menyelesaikan tugas perkembangan yang sedang dihadapi ataupun akandihadapi.
Asumsi umum dalam teori pembelajaran sosial menyatakan bahwa orang tua yang memberikan penghargaan positif terhadap anak-
anaknya dan konsisten dalam praktek sosialisasi mengarahkan anaknya memiliki harapan yang positif mengenai dunia luar,
mempercayai orang lain, yakin akan kemampuannya sendii danoptimis. Kondisi keluarga dan interaksi antara orang tua dengan
anak mempengaruhi orientasi masa depan setidak-tidaknya dalam tiga hal pertama orang tua menetapkan standar normatif, sekaligus
mempengaruhi perkembangan minat, nilai, dan tujuan hidup anaknya. Ketiga dukungan orang tua membantu anak untuk
mengembangkan sikap optimis dan internal terhadap masa depan.
2.1.5 Peranan Sosial Keluarga
Dalam suatu keluarga biasanya terdapat tipe yang berbeda-beda. Misalnya dalam keluarga Jerman, seorang ayah adalah yang berkuasa.
Sedangkan keluarga Negro seorang ibulah yang berkuasa. Demikian juga di dalam hubungan kulturnya terdapat perbedaan-perbedaan. Contohnya
dalam keluarga Katholik berbeda dengan keluarga Protestan dalam pengajarannya. Begitupun Orang Jawa mengajar anaknya dengan bahasa
Jawa, sedangkan orang Perancis mengajarnya anak dengan bahasa Perancis, dan sebagainya.
Masyarakat bermula terdiri atas keluarga kecil yakni suatu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Pada keluarga kecil ini anak-anak
lebih banyak menikmati segi sosial ekonomi, dan lebih banyak diperhatikan oleh orang tuanya dan yang terpenting adalah agar anak
mendapatkan kualitas yang baik. Probbins dalam buku Abu Ahmadi membagi susunan keluarga menjadi 3 bagian, yakni:
1. Keluarga yang bersifat otoriter : Perkembangan anak itu semata-mata
ditentukan oleh orang tuanya. Sifat pribai anak yang otoriter biasanya
suka menyendiri, mengalami kemunduran kematangannya, ragu-ragu di dalam semua tindakan, serta lambat berinisiatif.
2. Keluarga demokrasi : Sikap pribadi anak lebih dapat menyesuaikan
diri, sifatnya fleksibel, dapat menguasai diri, mau menghargai pekerjaan orang lain, menerima kritik dengan terbuka, aktif di dalam
hidupnya, emosi lebih stabil, serta mempunyai rasa tanggung jawab. 3.
Keluarga yang liberal : Anak-anak bebas bertindak dan berbuat. Sifat- sifat dari keluarga ini biasanya agresif, tak dapat bekerja sama dengan
orang lain, sukar menyesuaikan doro, emosi kurang stabil serta mempunyai sifat selalu curiga.
26
2.2 HAKIKAT LAKONDRAMA
2.2.1 Pengertian LakonDrama
Istilah drama berasal dari kata drame Perancis yang digunakan untuk menjelaskan lakon-lakon tentang kehiduoan kelas menengah. Drama
adalah salah satu bentuk seni yang bercerita melalui percakapan dan action tokoh-tokohnya. Percakapan atau dialog itu sendiri bisa diartikan sebagai
action.
27
Pendapat mengenai pengertian drama menurut Sudjiman dalam Wahyudi Siswanto menyatakan bahwa drama adalah karya sastra yang
bertujuan menggambarkan kehidupan dengan mengemukakan tikaian dan emosi lewat lakuan dan dialog.
28
Sebagai sebuah bentuk karya sastra, penyajian drama berbeda dengan bentuk kesusastraan lainnya, misalnya cerpen dan novel. Novel
dan cerpen masing-masing menceritakan kisah yang melibatkan tokoh- tokoh melalui kombinasi antara dialog dan narasi dan merrupakan karya
yang dicetak. Sebuah drama pada hakikatnya hanya terdiri atas dialog. Mungkin dalam drama ada pertunjuk pementasan, namun petunjuk ini
sebenarnya hanya dijadikan pedoman oleh sutradara dan pemain. Oleh
26
Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2007, h. 112
27
Endah Tri Priyatni, Membaca Sastra Dengan Ancangan Literasi Kritis, Jakarta: Bumi Aksara. 2010, h. 182
28
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, Jakarta: Grasindo:2008, h. 163
karena itu, dialog para tokoh dalam drama disebut sebagai teks utama dan petunjuk lakuannya disebut teks sampingan.
Jika dicermati secara seksama, drama mempunyai dua aspek esensial, yaitu aspek cerita dan aspek pementasan yang berhubungan
dengan seni lakon atau teater. Apabila dirinci lebih dalam lagi, sebenarnya drama memiliki tiga dimensi, yaitu sastra, gerakan, dan ujaran. Oleh
sebab itu, naskah drama tidak disusun khusus untuk dibaca seperti novel atau cerpen, tetapi lebih dari itu dalam penciptaan naskah drama sudah
dipertimbangkan aspek-aspek pementasannya. Di samping istilah drama ditemukan juga istilah teater atau
theatre bahasa Inggris. Meskipun kedua istilah tersebut dari asal katanya berbeda, namun dalam bahasa Indonesia, kedua istilah tersebut tidak
dibedakan. Drama dan teater adalah sebuah lakon yang dipentaskan baik dengan naskah atau tanpa naskah.
29
Dalam kenyataan
tidak semua
karya drama
ternyata berkesempatan untuk dipentaskan. Kesempatan dan di berbagai tempat.
Sebaliknya, banyak pula karya drama yang berhenti sebagai semata-mata bacaan, tanpa pernah dipentaskan sama sekali. Drama cenderung lebih
tepat untuk dibaca saja, meskipun secara verbal juga memperlihatkan adanya cakapan dan petunjuk pemanggungan, lazim disebut sebagai closet
drama atau “drama baca” dalam istilah Indonesia.
Sebagai istilah “drama” dan “teater” ini datang atau kita pinjam dari khazanah kebudayaan Barat. Secara lebih khusus, asal kedua istilah
ini adalah dari kebudayaan atau tradisi bersastra di Yunani. Pada Awalnya di Yunani baik “drama” maupun “teater” muncul dari rangkaian upacara
keagamaan, suatu ritual pemujaan terhadap para dewa.
30
Banyak pementasan drama yang tidak didasarkan pada karya drama tertentu, melainkan berdasaran novel, cerpen, puisi, atau bahkan
lagu. Namun demikian, jika kembali kepada pengertian umum yang
29
Endah Tri Priyatni, op.cit., h. 185
30
Melani Budianta, dkk., Memabaca Sastra, Magelang: Indonesia Tera. 2003, h. 99
bahkan kemudian juga menjadi semacam pembeda dengan genre prosa dan puisi misalnya, maka niscaya akan diperoleh jatidiri dari drama itu,
bahwa drama telah diniatkan dari awal oleh penulisnya sebagai karya sastra yang sesungguhnya dimaksudkan untuk dipertunjukkan.
Drama tidak dapat diperlukan sebagai puisi ketika mencoba mendekatinya, karena puisi penekanannya sebagai suatu hasil cipta intuisi
imajnasi penyair.
31
Kekhususan drama disebabkan tujuan drama ditulis pengarangnya tidak hanya berhenti sampai pada tahap pembeberan
peristiwa untuk dinikmati secara artistik imajinatif oleh para pembacanya, namun mesti diteruskan untuk kemungkinan dapat dipertontonkan dalam
suatu penampilan gerak dan perilaku konkret yang dapat disaksikan. Kekhususan drama inilah yang kemudian menyebabkan pengertian drama
sebagai suatu genre sastra lebih terfokus sebagai suatu karya yang lebih berorientasi kepada seni pertunjukan, dibandingkan sebagai genre sastra.
Sebagai sebuah genre sastra, drama memungkinkan ditulis dalam bahasa yang memikat dan mengesankan. Drama dapat ditulis oleh
pengarangnya dengan mempergunakan bahasa seagaimana sebuah sajak. Penuh iramaa dan kaya akan bunyi yang indah, namun sekkaligus
menggambarkan watak-watak manusia secara tajam, serta menampilkan peristiwa yang penuh kesuspenan.
32
Satu hal yang tetap menjadi ciri lakondrama adalah bahwa kemungkinan itu harus disampaikan dalam bentuk dialog-dialog dari para
tokoh. Akibat dari hal inilah maka seandainya seorang pembaca yang membaca suatu teks drama tanpa menyaksikan pementasan drama tersebut
mau tidak mau harus membayangkan jalur peristiwa di atas pentas. Pementasan sebagai satu dimensi lain dari drama, memberikan kekuatan
sekaligus kelemahan bagipenikmat untuk menangkap makna yang terdapat pada teks. Kekuatannya terletak pada visualisasi langsung, kelemahannya
31
Hassanuddin, WS, Drama Karya Dalam Dua Dimensi, Bandung: Angkasa. 1996, h. 1
32
Ibid., h. 5