Karya Arifin C. Noer
yang ia tuangkan di dalam lakon-lakonnya, misalnya pengalaman ekonomi yang kemudian ia tuangkan ke dalam karya-karyanya.
Ia juga seorang realistik, bahwa ia dan teaternya tentu saja mempunyai kekuatan yang sangat terbatas untuk bisa mempengaruhi masyarakat atau
dunia. Naskah dama protes sosialnya yang ber-setting kehidupan orang susah dan tersingkir, seperti pencopet, pelacur, orang-orang kolong, buruh pabrik,
dikemasnya dalam pementasan yang satire dan kocak. Betapa timpang masyarakat Indonesia yang visinya adalah visi ekonomi melulu. Skala
prioritas pembangunan harus diselaraskan kembali dengan memperhatikan dasar politik kebudayaan Indonesia.
Arifin mengawinkan lenong, stambul, boneka marionet, wayang kulit maupun golek, serta melodi pesisiran pantai Jawa, ke dalam teater
modern. Tak aneh pula jika kemudian karya Arifin sangat kuat dalam bentuk. Baginya kesenian itu sendiri ataupun karya seni itu sendiri diciptakan bukan
berdasarkan pada kebohongan, tetapi berdasar pada pemahaman atas kehidupan yang dialami si pengkarya seni tersebut.
Arifin memiliki dua profil yang terpenting. Pertama ia pecinta masyarakat dimana ia hidup, kedua ia suka sekali bergulat dengan persoalan
keagamaan, ke Tuhanan. Tercium sekali jiwa ke-Tuhanan Arifin mulai dengan karyanya yangg berjudul “Sumur Tanpa Dasar”.
Menurut Sides
Sudyarto dalam
Dokumentasi HB.
Jassin mengemukakan bahwa karya Arifin ini adalah suatu realisme Sosial, tetapi
juga realisme relijius. Sebab teater telah dipilih oleh Arifin untuk tempat khotbah. Hanya Arifin tidak mau khotbah yang terlalu memuakkan, karena
tidak bisa atau sulit dimengerti. Arifin pilih dakwah dengan bahasa awam, namun manusiawi.
8
Arifin telah menemukan cara dakwah yang tersendiri. Dakwah yang akan mendekatkan para pemeluk agama dengan agamanya, para Insan dengan
Allahnya. Kiranya bisa dikemmbalikan kepada latar belakang di mana Arifin dibesarkan. Alam pikiran yang meliputi daerah Arifin besar adalah alam
8
Sides Sudyarto, Teater sebagai Kebaktiann, Dokumen HB. Jassin, Jakarta: Siwalan 3
pikiran yang percaya kepada anutan Taqlid sambil tidak menutup kemungkinan untuk berijtihad.
“Dalam bidang pemikiran barangkali saya termasuk agak terbelakang. Setidak-tidaknya saya tidak termasuk orang yang
tangkas dalam mengungkapkan fikiran-fikiran. Sejak 1972 setahun setelah saya menulis Kapai-Kapai, saya mulai betul-betul menyadari
bahwa teater yang saya bangga-banggakan sebenarnya teater pinjaman atau teater cangkokan. Memang bagaimanapun juga saya
tidak akan pernah mengingkari keadan ini , namun sebagai orang yang berfikir sehat saya harus memikirkan dan merenungkannya
secara seksama. Paling tidak saya harus selalu mempelajarinya sejauh
mana teater
semacam ini
mampu merefleksikan
masyarakatnya.”
9
Dari ungkapannya di atas jelas bahwa Arifin adalah orang yang peduli dengan sekitarnya. Bahkan hampir semua karyanya berlandaskan kehidupan
asli masyarakat di Indonesia. Protes sosialnya yang bersetting kehidupan orang susah dan tersingkir, seperti pencopet, pelacur, orang-orang kolong,
buruh pabrik, namun dikemasnya dalam pementasan yang satire dan kocak. Teaternya juga akrab dengan publik. Ia masukkan unsur-unsur lenong,
stambul, boneka marionet, wayang kulit maupun golek, dan melodi pesisir untuk mencuatkan protes sosial secara transendental, kocak, dan religius.
Arifin adalah salah satu ujung tombak perangkat lunak dalam peta teater Indonesia modern. Ia sudah membawa pembaharuan dalam penulisan lakon
dan pencarian idiom pengucapan panggung. Karya-karyanya bahkan sudah keluar dari konvensi penulisan teater Barat dan idiom-idiom pentasnya
merupakan usaha pencarian celah-celah baru yang berkiblat pada tradisi teater Indonesia.
9
Sinar Harapan, op.cit, h. 8