Arifin akhirnya mencebur lebih dalam ke dunia film menjadi sutradara. Film perdananya Suci Sang Primadona 1977, melahirkan
pendatang baru: Joice Erna, yang memenangkan Piala Citra sebagai Aktris Terbaik FFI 1978. Sekitar 10 film disutradarai setelah itu. Tiga di antaranya
merupakan doku-drama yang diangkat dari kisah nyata: Serangan Fajar tentang Serangan Umum 1 Maret di Yogyakarta, Pengkhianatan G-30-
SPKI Kudeta PKI yang gagal dan Jakarta 66 demonstrasi mahasiswa 1966. Serangan Fajar memperoleh gelar film terbaik pada 1982.
Pengkhianatan yang hampir setiap tahun diputar di televisi, memperoleh Citra untuk penulisan skenario terbaik pada 1985.
7
Seperti karya-karya teaternya hampir semua film Arifin kental bernuansakan ke-Indonesiaan. Dalam arti selalu menggali nilai-nilai
tradisional milik bangsa untuk dipentaskan dalam sebuah film, selalu menggali idiom-idiom yang berbau tradisi.
3.3 Pemikiran Arifin C. Noer
Kesenian yang diusung Arifin C. Noer lebih membeberkan persoalan- persoalan, membuka persoalan dan jarang sekali secara global menunjukkan
jalan keluar, membeberkan kebenaran-kebenaran, pengalaman-pengalaman, memeberikan kebaktiannya kepada hidup dan kepada masyarakat.
Lakon-lakon yang ditawarkan penuh dengan isyarat pemecahannya. Semua naskah drama Arifin selalu berbicara tentang kaum marjinal.
Contohnya Ozone, kritiknya terhadap abad ke-20 memang tidak bicara langsung. Dia perlakukan Ozone sebagai isu, dia menjelaskan bahwa akibat
dari peperangan, lingkungan hidup, bumi jadi melepuh. Pada abad ke-20 “Ozone” itu baru isyarat-isyarat tentu saja isyarat-isyarat yang ia berikan ini
harapan akan direspon berupa penelitian-penelitian akan berupa lanjutan dari pikiran-pikirannnya, mungkin jauh lebih lengkap apa yang ia sajikan.
Sesuatu yang ingin ia sampaikan bagaimana dengan teater, ia ingin membagi pengalaman-pengalaman manusiawi untuk orang lain dalam bahasa
keindahan lewat bahasa teater. Merupakan sebagian pegalaman kemanusiaan
7
Republika, Op.Cit, h. 6
yang ia tuangkan di dalam lakon-lakonnya, misalnya pengalaman ekonomi yang kemudian ia tuangkan ke dalam karya-karyanya.
Ia juga seorang realistik, bahwa ia dan teaternya tentu saja mempunyai kekuatan yang sangat terbatas untuk bisa mempengaruhi masyarakat atau
dunia. Naskah dama protes sosialnya yang ber-setting kehidupan orang susah dan tersingkir, seperti pencopet, pelacur, orang-orang kolong, buruh pabrik,
dikemasnya dalam pementasan yang satire dan kocak. Betapa timpang masyarakat Indonesia yang visinya adalah visi ekonomi melulu. Skala
prioritas pembangunan harus diselaraskan kembali dengan memperhatikan dasar politik kebudayaan Indonesia.
Arifin mengawinkan lenong, stambul, boneka marionet, wayang kulit maupun golek, serta melodi pesisiran pantai Jawa, ke dalam teater
modern. Tak aneh pula jika kemudian karya Arifin sangat kuat dalam bentuk. Baginya kesenian itu sendiri ataupun karya seni itu sendiri diciptakan bukan
berdasarkan pada kebohongan, tetapi berdasar pada pemahaman atas kehidupan yang dialami si pengkarya seni tersebut.
Arifin memiliki dua profil yang terpenting. Pertama ia pecinta masyarakat dimana ia hidup, kedua ia suka sekali bergulat dengan persoalan
keagamaan, ke Tuhanan. Tercium sekali jiwa ke-Tuhanan Arifin mulai dengan karyanya yangg berjudul “Sumur Tanpa Dasar”.
Menurut Sides
Sudyarto dalam
Dokumentasi HB.
Jassin mengemukakan bahwa karya Arifin ini adalah suatu realisme Sosial, tetapi
juga realisme relijius. Sebab teater telah dipilih oleh Arifin untuk tempat khotbah. Hanya Arifin tidak mau khotbah yang terlalu memuakkan, karena
tidak bisa atau sulit dimengerti. Arifin pilih dakwah dengan bahasa awam, namun manusiawi.
8
Arifin telah menemukan cara dakwah yang tersendiri. Dakwah yang akan mendekatkan para pemeluk agama dengan agamanya, para Insan dengan
Allahnya. Kiranya bisa dikemmbalikan kepada latar belakang di mana Arifin dibesarkan. Alam pikiran yang meliputi daerah Arifin besar adalah alam
8
Sides Sudyarto, Teater sebagai Kebaktiann, Dokumen HB. Jassin, Jakarta: Siwalan 3