Las rohangku lao mamuji Debata Parholong i songon bunga namangerbang dina binsar ari i
Arsak, dosa haporsuhon mago di baen asi-Mi Las niroha namanontong lehon di au Tuhanki
Baris pertama dan baris kedua menggunakan gaya bahasa Paradoks, yaitu teknik pernyataan
yang kelihatan bertentangan kontradiksi, tetapi sesungguhnya tidak. Kalimat baris pertama dan baris kedua ada u
su ti al- alik aitu,
Las rohangku lao mamuji Debata Parholong i mengandung arti bahwa memuji Tuhan dengan sukacita karena Tuhan maha
penyayang. Kalimat baris kedua, songon bunga namangerbang dina binsar ari i mengandung pengertian bahwa bunga mekar karena matahari memberikan cahayanya.
Sude jadijadianMu laut tano dohot langit i angka bintang dohot bulan, nang mata ni ari i
hauma, ladang nang harangan, rura dohot dolok i saluhutna mangendohon, sangap di Tuhan i
Baris pertama sampai baris ketiga menggunakan gaya bahasa Metafora, yaitu teknik
pemakaian kata-kata atau ungkapan untuk melukiskan suatu objek. Kata Sude jadijadianMu sudah merepresentasikan seluruh ciptaan tuhan di bumi ini. Baris terakhir menggunakan gaya
bahasa Klimaks yang merujuk kepada kebesaran Tuhan.
4.2.2.3 Pola Literatur
Universitas Sumatera Utara
Pembahasan mengenai struktur literatur lagu yang merupakan pengelompokan struktur tujuan penciptaan lagu. Ada beberapa macam pola literatur menurut Harry Eskew, yaitu :
1. Itemization atau perincian. Pola ini bertujuan untuk membentuk kesatuan tema dan
pengembangannya. 2.
Dialog. Pola ini memiliki bentuk tanya jawab atau semacam dialog. 3.
Litani. Suatu pola literatur yang mengungkapkan permohonan dan pujian. 4.
Call and response atau panggilan dan tanggapan.
Berdasarkan teo i pola lite atu , lagu Las ‘aha g Lao Ma uji e ggu aka pola lite atu e
Litani . Lagu Las ‘aha g Lao Ma uji e upaka lagu Pujia a g di a ika agi Tuha
atas segala sukacita yang telah diberikan kepada umatnya.
Universitas Sumatera Utara
BAB V PENGGUNAAN
LAGU LA“ ROHANGKU LAO MAMUJI DALAM IBADAH GEREJA HKBP
Dala Ba i i, pe ulis e ahas pe ggu aa lagu Las ‘oha gku Lao Ma uji dala
ibadah yang dilakukan di gereja HKBP. Penulis secara khusus akan mengamati langsung pe akaia lagu Las ‘oha gku Lao Ma uji di ge eja HKBP Hel etia. Adapu alasa pe ulis
mengambil satu sampel penelitian adalah karena seluruh gereja HKBP menggunakan sumber nyanyian yang sama dan juga penentuan nyanyian jemaat yang disesuaikan dengan kalender
gereja HKBP.
5.1 HKBP Di Medan
Sejarah berdirinya gereja HKBP di kota Medan tidak terpisahkan dari perkembangan kota Medan dan daerah-daerah sekitarya terutama Deli Serdang dan Langkat, sebab di daerah
ini sudah berkembang perusahaan-perusahaan tembakau, karet, teh dan lain-lain pada abad 19.
Pada akhir abad ke-19, kantor-kantor perusahaan-perusahaan besar dan kantor Resident Pimpinan pemerintahan Keresidenan Sumatra timur atau Oostkust van
Sumatra dipusatkan di Medan yang kemudian disusul dengan berdirinya kantor Kesultanan Deli. Perkembangan kota Medan menjadi pusat perkantoran secara
Universitas Sumatera Utara
langsung telah membuka lapangan kerja bagi penduduk pribumi. Lapangan kerja yang berupa buruh perkebunan, pegawai pemerintah, pegawai administrasi perusahaan serta
menjadi karyawan toko. Kesempatan yang demikiankemudian memotivasi para pemuda Kristen Batak dari daerah Tapauli berniat untuk merantau ke kota Medan. HKBP Uskup
Agung Sugiopranoto Medan, 2002: 1. Pada tahun 1907 para pemuda kristen Batak sudah mulai merantau ke tanah Deli.
Biasanya mereka menernpuh perjalanan dari Balige berjalan kaki sampai ke Haranggaol, kemudian ke Tigaras terus ke Bangun purba dan Tebingtinggi atau ke
Arnhemia Pansurbatu. Dari Tebingtinggi, Bangun Purba atau Pansurbatu sudah dapat naik Kereta Api melalui perkebunan terus sampai ke Medan.
Tahun 1910 orang kristen Batak sudah ada kira-kira 12 Orang yang bekerja dan tinggal di Medan. Mereka inilah menjadi asal muasal pertumbuhan gereja HKBP di kota
Medan. Sekitar Medan daerah Pansurbatu sudah lebih banyak orang kristen Batak yang tinggal di sana dan sudah ada yang berkeluarga, mereka selalu mengalami masalah untuk
beribadah sebagai warga HKBP karena belum ada berdiri gereja HKBP, akhirnya mereka ada yang beribadah di gereja Methodis, ada di gereja Ambon-Gereformerde Kerk dan ada di
gereja Katolik, mereka hanya mengikuti ibadah di sana bukan menjadi anggota jemaat tetap Kruger, 1966:234. Kesulitan yang paling besar bagi mereka adalah bila ada sesama mereka
yang meninggal dunia tidak ada yang memberikan doa penguburanliturgi penguburan. Mengetahui keadaan itu, Ephorus HKBP I.L.Nommensen datang ke Medan untuk
menemui Ds. J. Brink dan Ds.Klaassen, pimpinan dan pelayan di Protestantche Kerk-Medan, untuk membicarakan pelayanan kepada orang-orang kristen Batak termasuk untuk
Universitas Sumatera Utara
mencari pekerjaan maupun tempat ibadah di kota Medan. Ephorus juga bertemu dengan para warga kristen Batak yang ada di Medan dan sekitarnya.
Perkembangan berikutnya, Nommensen membicarakan masalah di atas pada rapat Pendeta di Seminarium Theologia HKBP Sipoholon Tarutung yang diadakan pada bulan
Februari 1912. Peserta rapat menyepakati langkah-langkah untuk melayani kristen Batak yang ada di kota Medan. Sebagai tindak lanjut dari rapat tersebut, Ephorus HKBP
I.L.Nommensen sesuai dengan saran Ds.Klaassen menempatkan seorang Guru jemaat HKBP Josia Hutabarat untuk melayani di Medan sekaligus untuk mengkoordinasikan 30
kepala keluarga kristen Batak di Medan. Guru jemaat Josia Hutabarat telah tiba di Medan tanggal 01 Agustus 1912 dan
tanggal ini dianggap mulai berdirinya HKBP di Medan. Josia Hutabarat mengadakan pertemuan dengan warga kristen Batak dan bertemu juga dengan Ds.J.Brink dan
Ds.Klaassen, Kesepakatan mereka menyimpulkan bahwa warga Kristen Batak HKBP dapat
memakai ruang konsistori Protestantsche Kerk untuk kebaktian minggu pada pukul 15.00
Wib dan untuk kebaktian lainnya. Josia Hutabarat melayani warga sebanyak 30 kepala keluarga dan jemaat ini dibawah naunganpagaran dari Ressort Pematang Siantar yang
dipimpin oleh Pdt. Ed. Muller.
Untuk lebih meningkatkan pelayanan, Josia Hutabarat mendapat dispensasi dari Ephorus HKBP untuk mengikuti sekolah pendeta di Pematang Raya Simalungun tahun
1914 selama dua bulan, atas bimbingan Ds.A.Theis. Setelah ditahbiskan menjadi pendeta maka Pdt. Josia Hutabarat di tempatkan kembali ke tempat semula dengan suatu tugas yaitu
mendirikan gereja HKBP di kota Medan.
Universitas Sumatera Utara
Pdt. Josia Hutabarat mengalami hambatan dalam mencari lahan dan biaya pembangunan gereja. Sampai pada tahun 1915 jumlah uang pembangunan yang terkumpul
sebanyak f. 1593,25 saja Sihombing, 1961:64. Dengan kondisi keuangan yang demikian maka realisasi pembangunan gereja belum dapat dilaksanakan.
Seiring dengan perjalanan waktu, jemaat HKBP yang ada di kota Medan semakin bertambah banyak sehingga ibadah yang dilakukan di konsistori Protestantsche Kerk tidak
mampu menanmpung seluruh jemaat yang datang untuk beribadah. Berdasarkan hasil musyawarah penetua gereja HKBP dengan pimpinan
Gereformerde Kerk maka warga HKBP dapat memakai gedung Gereformerde Kerk di
Residentweg 18 sekarang Jl. Diponegoro untuk kebaktian pada pukul 16.00 yang berlangsung sejak awal tahun 1919 sampai dengan tahun 1928.
Pada tahun 1919 jumlah orang-orang kristen Batak di kota Medan telah ada sebanyak 200 Orang. Hal ini menjadi faktor kuat untuk mendirikan sebuah gereja di Medan. Pada
pertengahan tahun 1925 orang-orang kristen Batak di Medan telah memperingati hari lahirnya gereja Huria Kristen Batak istilah HKBP digunakan sejak tahun 1929: Hutauruk,
1986:32. Pada akhir tahun 1925 mereka pindah dari Gereformerde Kerk dan menumpang di Methodist boys school. Di sinilah diadakan peringatan berdirinya gereja HKB di kota
Medan. Pada tahun 1927 usaha untuk mendirikan gereja HKB muncul dari anggota jemaat,
pada saat itu Dr.Y.Warneck yang menjadi Ephorus HKB, beliau datang ke Medan untuk meminta lahan pertapakan gereja kepada Geemente Walikota. Pihak Geemente
Universitas Sumatera Utara
menyetujui dan memberikan pilihan yaitu di Bali Straat atau di Hugo de Vrieslaan Jl.CokroaminotoJl.Uskup Agung Sugiopranoto.
Penentuan lokasi untuk membangun gereja rupanya mengakibatkan terjadinya konflik di antara jemaat HKB yang pada akhirnya pihak Geemente mencabut Ketetapannya
pada tgl.03.Juli 1927. Sekelompok orang yang tidak senang atas keputusan Pucuk Pimpinan HKB kemudia memisahkan diri dan mendirikan gereja baru yaitu Gereja Mission
Batak pada tanggal. 17 Juli 1927. Suatu ketika, dua orang kulit putih yang dermawan dari
kantor Geemente membeli pertapakan di Hugo de Vrieslaan dan menyerahkannya kepada jemaat Huria Kristen Batak HKB melalui Rheinische Zending.
Pada tanggal 25 September 1927 oleh Pdt. Yohannes Hendricies Hemmers meletakkan batu pertama bangunan gereja HKB Medan di Jl. Hugo de Vrieslaan sekarang
Jl.Uskup Agung Sugiopranoto no.8. Delapan bulan kemudian, bangunan gereja HKB telah selesai didirikan dan kemudian diresmikan dimasuki yang dipimpin oleh Ephorus HKB
DR.J.Warneck pada tanggal 20 Mei 1928 dengan nama jemaat HKB MEDAN. Setelah
diresmikan, warga HKB tidak lagi menggunakan gedung Gereformerde Kerk sebagai tempat beribadah. HKBP Uskup Agung Sugiopranoto, 2002 : 8.
Ephorus HKBP, Dr. J. Warneck kemudian menempatkan seorang pendeta Jerman disamping Pdt. Willy Sinaga pengganti Pdt. Josia Hutabarat yang sudah melayani
sebelumnya di Medan. Pada Sinode Agung HKBP tanggal 23-24 Oktober 1935 di Sipoholon, HKBP Medan
dikukuhkan menjadi Ressort, yang diberi nama Ressort Medan yang dipimpin seorang Pendeta Ressort yaitu Pdt.Justin Sihombing. Pada saat itu jumlah anggota jemaat
Universitas Sumatera Utara
mencapai 5000 Orang. Gereja -gereja yang menjadi cabangpagarannya adalah HKBP Pansurbatu, Belawan, Labuhan Deli, Binjai, Kuala, Lubuk Pakam, Perbaungan, Sungai Karang
dan Pangkalan Brandan. Pada tahun 1937 HKBP Medan merayakan Jubelium 25 tahun. Melihat perkembangan
HKBP yang cepat dan gedung gereja tidak dapat lagi menampung anggota jemaat dalam kebaktian minggu mendorong HKBP Medan untuk mencari lahan pertapakan baru. Ketika itu,
Mr. Jaidin Purba menjabat sebagai Walikota Medan, beliau memberikan pertapakan gereja di Jl.Sudirman seluas 5.425 m2 kepada HKBP Medan seharga Rp 35.383,- yaitu pada tanggal 18
Juli 1952 HKBP Distrik Medan Aceh, 2001 : 31. Melalui kerjasama dan usaha bersama seluruh anggota jemaat HKBP Medan dengan Majelis, gereja baru dibangun dan
diresmikandiompoi pada tanggal 17 April 1955 oleh Ompui Ephorus HKBP Pdt. Dr Justin Sihombing.
Sampai tahun 1951, Ressort Medan adalah satu-satunya Ressort HKBP di Medan dengan jumlah cabangpagaran sebanyak 18 gereja yaitu: HKBP Kampung Besar 06
September 1914, Pansurbatu, Binjai, Belawan, Penara Lubuk Pakam 18 maret 1951, Lubuk Pakam 1952, Pertumbukan, Simpang Limun Medan, Martoba1951, Sidorejo, Simalungun,
Pasar Melintang Lubuk Pakam, Percut, Wonosari 1958, Sukamandi, Pulo Kemiri, Kotarih dan HKBP Tanjung Pura-1963 HKBP Distrik Medan-Aceh,2001 : 13.
Dengan perkembangan jemaat gereja HKBP yang sangat cepat di Medan dan sekitarnya, maka pada tahun 1954 Ressort Medan dimekarkan menjadi tiga Ressort yaitu
Ressort Medan, Ressort Deli HilirMedan Timur dan Ressort Langkat Ibid : 14. Adapun
gereja-gereja yang menjadi anggotacabang Ressort Medan ialah HKBP Jl. Sudirman,
Universitas Sumatera Utara
Simpang limun, Padang bulan, Martoba, Sukarame, Bangun sari, Sei putih dan Pansurbatu.
Gereja-gereja yang menjadi anggotacabang Ressort Deli Hilir ialah HKBP Sidorame, Sidoreja,
Percut, Pulu Brayan, Kampung Baru dan Belawan. Gereja-gereja yang menjadi anggotacabang Ressort Langkat ialah HKBP Pangkalan Brandan, Tanjung Pura, Binjai, Sawit
Seberang dan Tanjung Keling. Selain pemekaran ressort di Medan, telah berdiri pula Ressort Tanah Karo Kabanjahe tahun 1940, Ressort Lawe Sigalagala tahun 1934, Ressort Lawe Diski
tahun 1955, Ressort Serdang tahun 1958, Ressort Simpang Penara tahun 1958, Ressort Belawan I tahun 1958. Atas kerja keras dari Mision BatakZending Batak
telah berdiri pula gereja HKBP di daerah Simalungun seperti di Pematang Raya tahun 1903, di Purbasaribu
tahun 1905 dan di Pematang Siantar tahun 1907. Kemudian, pada Sinode Agung HKBP tgl. 28-30 Nopember 1951 atas permintaan
Ressort Medan, Ressort tanah Karo dan Ressort Langkat maka Sinode Agung memutuskan berdirinya Distrik Medan-Aceh tepatnya pada tanggal 29 Nopember 1951 dan inilah
menjadi hari jadi HKBP Distrik Medan-Aceh, yang dipisahkan dari Distrik Sumatera Timur dan berkedudukan di Jl. Uskup Agung Sugiopranoto-Medan HKBP Distrik Medan Aceh, 2001 :
21. Ressort - ressort yang menjadi anggota Distrik Medan-Aceh ialah Ressort Medan 1927, Ressort Tanah Karo 1940, Ressort Langkat dan Ressort Aceh 1934. Pada tahun
1954 anggota jemaat Distrik Medan-Aceh berjumlah 9.000 Jiwa. Dalam Buku Saratus Taon Huria HKBP Kristen Batak Protestan yang ditulis Ephorus DR.
Justin Sihombing dituliskan bahwa HKBP Medan dibagi dalam empat Resort, yaitu: 1.
Ressort Medan: HKBP Uskup Agung, HKBP Padang Bulan, HKBP Pancur Batu, HKBP Kampung Batubara dan HKBP Jalan Serdang.
Universitas Sumatera Utara
2. Persiapan Ressort Medan I: HKBP Teladan, HKBP Jalan Bakti, HKBP Jalan Wahidin dan
HKBP Pasar I Tembung. 3.
Persiapan Ressort Medan II: HKBP Simpang Limun, HKBP Partoba, HKBP Deli Tua dan HKBP Banjumari.
4. Persiapan Ressort Medan III: HKBP Sei Putih, HKBP Sei Agul, HKBP Sunggal, HKBP
Kampung Lalang, HKBP Helvetia dan HKBP Sei Semayang.
5.2 Gereja HKBP Helvetia
Perantauan orang Batak sampai pada Tanah Garapan Helvetia dari PT. PERKEBUNAN IX dan menetap disana. Mereka adalah St. Artinus Situmeang bersama dengan Isteri Boru
Simanungkalit dan dua keluarga tinggal di Jalan Boom. Sedangkan yang tinggal di Jalan Mortir Helvetia terdiri dari lima keluarga. Jadi awalnya hanya delapan keluarga orang Batak yang
tinggal di Helvetia, yaitu: 1.
Keluarga St. Artius Situmeang + Br. Simanungkalit + 2.
Keluarga S. Situmenag +Br. Nababan 3.
Keluarga Pasaribu +Br. Sihombing 4.
Keluarga Simanungkalit +Br. Sipahutar 5.
Keluarga Henok Situmeang +Br. Simanungkalit 6.
Keluarga Panjaitan 7.
Keluarga Nababan +Br. Sihombing + 8.
Keluarga ManaluBr. Situmeang Kedelapan keluarga ini menyebut tanah garapan mereka dengan sebutan Desa Parladangan
Helvetia. Kedelapan keluarga ini setiang minggu harus menempuh jalan yang berbukit-bukit
Universitas Sumatera Utara
dan melewati sawah-sawah serta tanah bekas Perkebunan yang sudah dipenuhi dengan ilalang untuk sampai ke gereja Sei Putih. Lebih kurang mereka menempuh stu jam lamanya berjalan
kaki untuk sampai ke gereja. Seiring dengan perjalanan waktu, makin banyak orang Batak yang bekerja di Tanah
Garapan. Mereka semuanya dengan kompak berjalan bersama setiap minggu untuk beribadah ke gereja HKBP Sei Putih. Melihat ini, Pendeta Kenan Lumbantoruan dan Parhalado
67
HKBP Sei Putih dating mengunjungi orang Batak yang tinggal di daerah Tanah Garapan. Pendeta
tersebut mengatakan agar orang Batak yang tinggal di Tanah Garapan membuat kebaktian minggu di rumah-rumah yang setiap minggunya akan dilayani oleh Parhalado gereja Sei Putih.
Rumah yang pertama kali digunakan sebagai tempat ibadah adalah rumah St. Artinus Situmeang. Awalnya kebaktian ini hanya diikuti oleh 12 keluarga, akan tetapi dikemudian hari
orang Batak semakin banyak yang mengikuti kebaktian sehingga rumah St. Artinus Situmeang tidak mampu menampung jumlah orang yang beribadah.
Kondisi ini kemudian ditindaklanjuti dengan rencana membangun gereja di daerah Helvetia. Rencana tersebut didukung oleh Ibu Pasaribu Br. Rambe orangtua dari St. HOT
PasaribuBr. Doloksaribu dengan memberikan sebidang tanah untuk dijadikan tempat membangun gereja. Karena dana yang minim, orang Batak yang tinggal di sekitar Tanah
Garapan mendirikan bangunan gereja yang sederhana. Setelah gereja dibangun mereka kemudian menggunakannya sebagai tempat beribadah. Untuk melengkapi kekosongan
Parhalado di gereja tersebut, maka dengan sepakat mereka memilih St. Henok Situmeang menjadi Guru Huria. Pada tanggal 07 November 1957 St. Henol Situmeang dan Penetua gereja
disahkan oleh Pendeta dari Gereja Sei Putih sebagai pelayan gereja. Dikemudian hari, Guru
67
Parhalado adalah Penetua-penetua di gereja HKBP
Universitas Sumatera Utara
Huria, Penetua Gereja dan Jemaat gereja memberikan nama gereja yang sudah siap dibangun dengan nama Gereja HKBP Helvetia Medan.
Na a Hel etia se e a a sudah e pu ai seja ah a g ukup pa ja g di a a
a a Hel etia adalah nama Latin dari negara Swiss. Hal ini diawali pada tahun 1865 ada dua orang pemilik perkebunan yang berasal dari Swiss, yaitu Mots dan Breker yang mendirikan
perkebunan tembakau di Deli. Mereka pada awalnya memberikan nama perkebunannya dengan sebutan Konigsgrätz, akan tetapi nama itu kemudian mereka rubah menjadi
Hel etia .
68
5.2.1 Gereja HKBP Helvetia Mendirikan Sekolah