Komunikasi Naratif Kitab Bula Malino Dan Pesan Dakwah Dalam Baris 332-383

(1)

DAN PESAN DAKWAH DALAM BARIS 332-383

Skirpsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S. Kom.I)

Oleh

La Ode Chusnul Huluk NIM: 109051000058

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PERNYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1435 H/2014 M


(2)

(3)

(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini telah dicantumkan sesuai ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian terbukti bahwa karya ini bukan karya asli peneliti atau merupakan hasil jiplakan dari orang lain, maka saya bersedia menerima konsekuensi sesuai yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 28 September 2014


(5)

i La Ode Chusnul Huluk

Komunikasi Naratif Kitab Bula Malino dan Pesan Dakwah dalam Baris 332-383 Kitab Kabanti Bula Malino adalah syair yang ditulis oleh Muhammad Idrus Kaimuddin pada tahun 1824 M, sebagai bentuk upaya melestarikan kebudayaan Islam di masa itu. Dalam perkembangan kajiannya, kitab ini megandung ajaran-ajaran dakwah serta ajaran religionitas. Salah satu syair agama Sultan Buton ke-29 tersebut memuat tentang cerita manusia yang pasti akan mati sehingga menasehati dirinya agar cenderung pada kebajikan dan jauh dari kemungkaran untuk sebuah tujuan menjadi manusia yang husnul khatimah.

Dari pernyataan di atas, muncul pertanyaan penelitian, bagaimana narasi dakwah dalam cerita pengarang dalam kitab tersebut? Bagaimana rangkaian atau relasi petanda perstiwa dalam narasi kitab tersebut dilihat dari karakteristik narasi? Apa pesan dakwah dalam baris 332-383 dalam kitab yang berbentuk tulisan aksara arab-wolio tersebut. Adapaun tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana aktan Greimas dalam narasi kitab dan mengetahui pesan dakwah apa yang terkandung dalam baris 332-383.

Teori yang digunakan dalam pembahasan ini adalah Model Atan Algridas Julian Greimas yang akan melihat enam petanda dan bagaimana keterkaitan tanda tersebut dalam narasi yang koheren serta bersifat logis dalam kitab yang dikaji. Komunikasi naratif tersebut akan memunculkan peran-peran apa saja dalam syair agama tersebut. Sedangkan metodologi yang digunakan dalam pembahasan skripsi ini adalah kualitatif, yaitu melakukan wawancara langsung kepada para praktisi syair juga pemegang naskah syair tersebut. Kemudian mengumpulkan, menyusun, menerjemahkan kembali dan menganalisis naskah kitab tersebut.

Upaya Idrus, sebagai narator, menulis rangkaian nasehat untuk dirinya yang relevan dengan perintah QS Ali Imran [3]: 104 mengenai amar ma’ruf dan nahi munkar. Kita Bula Malino memuat rangkaian narasi yang mempunyai koherensi dengan logika kehidupan nyata yang mana alur narasinya tidak acak (random). Secara terstruktur dan teratur penulis kitab menarasikan perjalanan manusia agar mencapai tujuan husnul khatimah. Sehingga, pembaca akan terkonstruk masuk ke dalam isi kitab yang narasinya memukau tersebut.

Kabanti Bula Malino merepresentasikan dakwah melalui narasi dalam tulisan kitab kepada masyarakat buton. Media dakwah dalam bentuk kitab ini sudah merambah ke masyarakat baik berbentuk buku transliterasi maupun dalam bentuk kaset VCD. Bukti kefamiliaran syair tersebut diperkuat dengan adanya kajian dalam bentuk buku. Namun, seyogyanya kitab tersebut dapat diformulasikan dengan gerakan dakwah masa kini hingga bisa dikembangkan dalam bentuk Ebook bahkan menjadi sebuah aplikasi telepon genggam “Andrioid”.


(6)

Bismillahhirahmanirrahim

Alhamdulillah serta rasa syukur yang besar peneliti panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan limpahan nikmat yang begitu banyak. Sehingga dengan segala ridho Allah SWT peneliti dapat merampungkan skripsi ini. Tanpa semua nikmat yang diberikan oleh-Nya, penelitian dan penyusunan penelitian ini mungkin takkan selesai.

Shalawat teriring taslim senatiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW dan seluruh keluarga, para sahabat, dan para pengikutnya, yang telah mengalirkan syiar dakwah hingga terasa sampai saat ini. Proses perkembangan gerakan dakwah pada zamannya menjadi inspirasi sejumlah ulama untuk menulis dan membukukannya pada konteks dakwah masa khilafah hingga saat ini.

Kabanti Bula Malino merupakan Karya Agung Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin di Buton pada tahun 1824 M. Pesan dakwah yang berkaitan dengan amar ma’ruf dan nahi munkar dalam syair tersebut menjadi encoding peneliti terhadap formulasi gerakan dakwah masa kini.

Masyarakat Buton beserta peneliti merasa penting untuk mengkaji kitab Bula Malino. Sebab, budaya kabanti ini sangat diyakini sebagai ajaran religionitas paripurna pada masa kesultanan Buton. Kitab tersebut akan sangat bermanfaat bagi masyarakat Buton khususnya jika telah bertranformasi menjadi Ebook atau bahkan bisa dibuat dalam aplikasi Android seperti Al-Qur’an dan Hadits.


(7)

iii

tua kedua Ayahanda La Ode Chalid dan (almh) Ibunda Wa Ode Zafia. Dengan segala keberkahan dari Allah SWT sehingga do’a yang terus mengalir, dukungan yang tak pernah padam baik moral maupun materil, serta kasih sayang dari keduanya yang begitu besar menjadi motor penggerak untuk lebih optimis.

Teruntuk Ibu Syahadah Saudara kandung, (Kak Wa Ode Alfiati Kalsum, Kak Zahid Alqaf, Kak Wahyu Hidayat, Kak Iman Wahyuddin, Kak Muh. Tsauban, Kak Wahiduddin Ridha, Kak Wa Ode Istqomah, dan Adik Ahmad Maqbulah), yang lebih dari sekedar membantu, bahkan mendukung peneliti seperti mentari pagi yang membawa aura spirit tiap hari, sehingga skripsi ini bisa terselesaikan.

Atas usainya pendidikan S-1, penelitian, dan penulisan skripsi ini, saya berhutang budi dan ingin menyampaikan juga ucapan terima kasih yang sebebsar-besarnya kepada beberpa individu yaitu:

1. Keluarga Besar Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidyataullah Jakarta yang telah memberikan khazanah keilmuan dalam pendidikan, keorganisasian, dan wawasan kemahasiswaan penulis selama ini, yaitu: Dr. H. Arief Subhan, M.A (Dekan FIDKOM), Dr. Suparto, S M.Ed, Ph.D (Wadek I), Drs. Jumroni, M. Si (Wadek II), Drs. Sunandar Ibnu Noor, M.A (Wadek III), Rahmat Baikhaky, M.A (Kajur KPI), Fita Faturokhmah, M. Si (Sekjur KPI), serta para Dosen lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu.


(8)

ini selesai dengan baik.

3. Segenap Staf Perpustakaan Utama UIN Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah memberikan pelayanan yang memuaskan sehingga membantu peneliti menyelesaikan skripsi ini. 4. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Baubau dan Kabupaten Buton,

serta Bapak Syaifuddin, Bapak Lambalangi dan Ibu Hj. Siti Suhura, terutama Bapak Almujazi yang telah meluangkan waktunya untuk mempermudah peneliti mendapatkan data dan informasi yang relevan dengan penelitian ini.

5. Buat sahabat sekaligus sebagai keluarga Peneliti (di Jakarta) yaitu, Kak Falah Sabirin, Kak Rasid Ante Amiruddin, Kak Sabir Laluhu, Kak Hamid Munier, Kak Samnur Abdullah, Kak Kasman, Kak La Ode Syahril, Harsin Hamid, Muh. Awaluddin, Mujahidin Nur, Yudi Asfar, serta rekan-rekan Himpunan Pemuda Pelajar Mahasiswa Indonesia Buton (HIPPMIB) Bersatu-Jakarta lainnya, dan juga buat Abdul Hanafi yang lebih dari pekerjaan Tukang Ojek telah membuat peneliti lebih dari sekedar terbantu hingga skripsi ini selesai.

6. Tak terlupakan dalam benak serta sanubari peneliti, yaitu luapan terima kasih kepada Pondok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid Baubau (Buton) sebagai lembaga pendidikan pertama yang mengajarkan banyak tentang filsafat keislaman, hingga saat ini. Juga terimakasih kepada (alm) KH. Syahruddin Saleh, MA, Keluarga H. Sabirin, Pondok Pesantren, KH.


(9)

v

Faisal Islami Ust. Amir, Para pengajar, dan seluruh santri Pndok Pesantren Al-Syaikh Abdul Wahid Baubau. Dari lingkungan dan pendidikan lembaga inilah cakrawala wawasan dan intelektual awal tentang keislaman dan keindonesiaan peneliti peroleh.

7. Terimaksih juga untuk Siti Musfiroh, (alm) Ahmad Riyadh Firdaus, dan Muhammad Rifki serta teman Jurusan KPI B 2009 dan KKS DIMENSI 2012 di Desa Tolandona Matanaeo Buton Sulawesi Tenggara dengan segala upaya silaturrahmi teman-teman sehingga peneliti makin optimis menyelesaikan skripsi ini.

8. Terimakasih buat HMI, sebagai awal perjalanan peneliti dalam memahami pergerakan sebagai insan yang produktif. LPM Institute UIN Jakarta, sebagai ibu yang mengajarkan cara menulis dengan baik. LAPMI Ciputat, adalah rumah singgah peneliti untuk mengenal jurnalistik secara praktis. KONTRAS Music FIDKOM, telah mendukung dan mendo’akan peneliti, juga sebagai ruang ekspresi kegamangan untuk mencurahkan hasrat musik.

Penelti


(10)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penlitian ... 6

E. Metodologi Penelitian ... 6

1. Pendekatan Kualitatif ... 6

2. Paradigma Penelitian ... 6

3. Metode Penelitian... 7

4. Subjek dan Objek Penelitian ... 7

5. Teknik Pengumpulan Data ... 7

6. Teknis Analisis Data ... 9

7. Waktu dan Tempat Penelitian ... 9

F. Tinjauan Pustaka ... 9

G. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Syair Di Nusantara ... 12

1. Sejarah Perkembangan Syair ... 12

B. Syair-syair yang Muncul di Buton ... 21

1. 1. Mengenal Aksara ... 24

C. Syair Sebagai Media Dakwah ... 25

1. Dakwah dan Objek Kajiannya ... 25

2. Metode Dakwah ... 28


(11)

vii

4. Materi Dakwah ... 36

D. Semiotik dalam Syair ... 40

1. Semiotika ... 40

2. Semiotika dalam Studi Sastra Narasi ... 42

E. Komunikasi Naratif dan Sastra ... 47

1. Karakteristik Narasi ... 47

F. Aktan Algridas Greimas dalam Narasi ... 50

1. Enam Aktan Greimas ... 52

BAB III KITAB KABANTI BULA MALINO A. Mengenal Syair Bula Malino ... 56

B. Penulis Kabanti Bula Malino ... 58

C. Bentuk Pengamalan Kabanti ... 59

1. Masa Kesultanan ... 59

2. Masa Pasca Kesultanan (Modern) ... 60

D. Naskah-naskah Kabanti yang Sudah Diperoleh ... 61

BAB IV PEBAHASAN DAN ANALISIS SYAIR A. Analisis Narasi Model Aktan Greimas ... 64

1. Aktan Subjek ... 64

2. Aktan Objek ... 68

3. Aktan Destiator (Pengirim) ... 70

4. Aktan Receiver (Penerima) ... 71

5. Aktan Adjuvant (Pendukung) ... 74

6. Aktan Traitor (Penghambat) ... 85

B. Pesan Dakwah dalam Syair Bula Malino pada Baris 332-383 94 1. Pesan Dakwah pada Baris 332-343 ... 94

2. Pesan Dakwah pada Baris 344-359 ... 95

3. Pesan Dakwah pada Baris 360-379 ... 101

4. Pesan Dakwah pada Baris 380-383 ... 103

C. Kitab Bula Malino dalam Gerakan Dakwah Masa Kini ... 104

1. Faktor Pendukung ... 106


(12)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 214 B. Saran ... 217

DAFTAR PUSTAKA


(13)

ix

Tabel 2.1 Perbedaan Narasi Ekspositoris dan Sugestif

Tabel 4.1 Aktan Subjek

Table 4.2 Aktan Objek

Tabel 4.3 Aktan Destonator (Pengirim) Tabel 4.4 Aktan Receiver (Penerima) Tabel 4.5 Aktan Adjuvant (Pendukung) Tabel 4.6 Aktan Traitor (Penghambat) Table 4.7 Tanda-tanda dalam Baris 332-383


(14)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manuskrip Kabanti di Buton bisa dibilang dalam status jaga, kepedulian secara ilmiah tentang kabanti sudah menipis bahkan belum berkembang pesat. Bukan hanya itu, pemahaman bahwa semua kabanti yang ditulis oleh Ulama dahulu di Buton merupakan upaya penyampaian dakwah tidak lagi urgent dibahas. Entah karena kurangnya keterpanggilan hati atau efek dari globalisasi informasi, yang jelas, jika naskah-naskah agama ini tidak diselamatkan maka akan menjadi dongeng dan rumor belaka. Maksud diselamatkan adalah perlunya dikembangkan serta dikaji dengan pendekatan-pendekatan tertentu hingga menjadi warisan budaya keagamaan yang bisa digunakan dalam gerakan dakwah kontemporer (masyarakat perkotaan).

Syair atau nyanyian tradisional merupakan hasil budaya Islam yang memiliki pengaruh tertentu terhadap masyarakat dan umat beragama. Di seluruh nusantara, masing-masing daerah memiliki tradisi yang berbeda. Hampir seluruh daerah di Indonesia mengandung tradisi nyanyian atau syair daerah. Tari saman dengan nyanyian bahasa Aceh adalah salah satu contoh. Ulama-ulama di nusantara juga melanjutkan syiar dengan caranya masing-masing. Seperti halnya Kabanti (syair) Buton yang ditulis oleh Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin.

Kabanti merupakan nyanyian atau syair tertulis yang tersimpan dan terjaga oleh masyarakat Buton hingga saat ini. Kabantai Wolio atau syair buton telah


(15)

menjadi tradisi nyanyian daerah di kalangan masyarakat.1 Dalam kamus wolio (wolio dictionary) oleh J.C. Anceaux, kabanti bermakna puisi syair, nyanyian, sajak.2 Sehingga, Kabanti ini berbentuk syair yang dinyanyikan.

Pada masa keemasan Islam di Kesultanan Buton, dimana saat Idrus Kaimuddin menjabat sebagai Sultan, Seni Budaya Islam berbentuk kabanti mulai diperkenalkan kepada masyarakat. Seni Budaya Islam di Buton pada masa itu dimaksudkan sebagai sarana dakwah Islam. Tiga bentuk seni budaya yang dikembangkan pada masa itu adalah. Pertama, Kabanti Wolio atau Syair Buton, Muhammad Idrus Kaimuddin membuat syair tidak kurang dari 30 judul. Antara lain yang terkenal adalah Bula Malino (purnama yang cerah). Beberapa penyair ternama juga membuat kabanti di masa itu, termasuk Hatibi Bula dengan judul Anjonga Yinda Malusa (pakaian yang tidak bakal rusak).3

Kabanti merupakan bagian dari sastra Buton yang mana tulisannya berbentuk buri wolio (tulisan wolio) dengan model aksara Arab (bahasa Wolio). Dalam hal ini, kabanti termasuk dalam karya yang bersifat sufistik. Sebagaimana dikutip dalam buku Sejarah Kebudayaan Islam Sulawesi Tenggara (Dr. Supriyanto, MA; 2009), terdapat dua jenis tradisi sastra Buton yaitu sastra tulisan dan lisan. Namun, di era modern ini, kabanti sungguh hampir tidak punya nilai

1

Sebenarnya nama Buton hanya lazim digunakan orang luar untuk sebutan Kesultanan Buton. Penduduk setempat terbiasa menggunakan sebutan Wolio. Yunus, Menafsir Ulang Sejarah dan Budaya Buton, (2011: 379).

2

J. C. ANCEAUX, Wolio Dictionary-wolio-english-indonesia, (Foris Publication Holland: 1987), Hal. 51.

3

Dikutip dari catatan Hj. Siti Surah di kediamannya, Kaobula (Maret, 2013). Ia mencatat dari ungkapan almarhum saudaranya yang interview langsung sebelum beliau wafat.


(16)

lagi. Sebab, sudah mulai digeser oleh budaya-budaya modern seperti yang kita lihat saat ini.

Pada masa Kerajaan Islam Buton, keberdaan sastra lisan tidak begitu berkembang dalam lingkungan keraton. Umunya, sastra jenis ini dari segi sisinya hanya memuat tradisi lokal. Sastra tulisan buton identik dengan sastra islam. Sastra ini ditulis dalam aksara arab. Sastra tulisan ini ada yang berbentuk puisi dan ada yang berbentuk prosa. Sastra yang berbentuk puisi atau syair, masyarakat lokal lebih mengenalnya tiga istilah kabanti nazamu atau nazami.4

Muhammad Idrus Kaimuddin telah meninggalkan beberapa karya puisi dan nyanyian inspiratif bagi umat Islam khususnya di Buton. Contoh penggalan bait dari Syair Bula Malino;

Bismillahi kaasi karo-ku siy

Dengan nama Allah sayangnya diriku ini Alhamdu padaa-ka kumatemo

Segala puji tak lama lagi aku akan mati Ka-janjinamo Oputa mo-makaa-na Sudah janji Allah swt Yang Maha Kuasa A pekamate bari-baria batua

Akan mematikan kepada semua hamba.5

Namun, para praktisi kabanti seperti Ibu Suhurah mengakui bahwa kabanti wolio sudah ditelan masa. Beberapa faktor penyebab antara lain adalah:

1. Tidak ada moment tertentu sebagai sarana pelestarian Kabanti 2. Hilangnya rasa kepedulian dan kepahaman tentang KabantiWolio.

Walaupun pada tahun 2012 oleh Wali Kota Bau-Bau pernah menggelar lomba Kabanti antar Instansi Departemen Pendidikan. Namun, setelah itu belum

4

Supriyanto, Sejarah Kebduayaan Islam, Icv. SHADRA: 2009), Hal. 86.

5


(17)

terdengar lagi lantunan syair Buton tersebut dalam bentuk lomba maupun dalam aktifitas keseharian. Sementara itu, menurut Al-Muajzi, kandungan kabanti adalah ajaran dan ilmu spiritual yang cukup dahsyat. Pada bulan Mei 2013, Ibu Surah diminta Amirul Tamim, mantan Walikota Baubau, untuk melantunkan kabanti Momondona Taruamia (sebuah kebersamaan yang sah) di acara akad nikah putrinya.

Syair Bula Malino terdiri dari 382 suku kata. Lamrah, salah satu yang menerjemahkan syair tersebut, mengakui banyak kekurangan.6 Sebab, menurutnya, pembendaharaan bahasa Wolio yang sangat tidak menunjang atas dasar kosa kata dalam hukum intonasi. Sehingga, penulis ingin menerjemahkan kembali dan meneliti dengan model analisi naratif.

Alasan mengapa syair bisa relevan dengan analisis narasi adalah sebagaimana dikutib dalam buku Eriyanto, Aanalisis Naratif (2013: 9). Analisis naratif adalah analisis mengenai narasi, baik narasi fiksi (novel, puisi, cerita rakyat, dongeng, film, komik, musik, dan sebagainya) ataupun fakta-seperti berita. Menggunakan analisis naratif menempatkan teks sebagai sebuah cerita (narasi) sesuai dengan karakterisitiknya. Artinya, dalam syair ada sebuah narasi yang bercerita secara berurutan hingga menjelaskan makna utama dari syair.

Peneliti hanya akan mengkaji pesan dakwah pada baris 332-383. Tema tersbut telah menjadi kajian yang menarik seperti yang dipublikasikan melalui jurnal-jurnal online. Meskipun demikian, masih perlu adanya kritikan dan terjemahan mendalam tentang kitab ini. Peneliti akan membatasi pembahasan skripsi mengenai kitab ini hanya pada baris 332-383. Selain baris ini populer, juga

6


(18)

disebabkan adanya faktor lain berupa kekurangan bagi peneliti sendiri dalam hal waktu dan sebagainya untuk menyelesaikan skripsi ini.7

Berdasarkan beberapa hal di atas, penulis akan melakukan penelitian skripsi dengan judul Komunikasi Naratif Kitab Bula Malino dan Pesan Dakwah dalam Baris 332-383

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Untuk bahan analisis dalam penyusunan skripsi ini, peneliti membatasi permasalahan pada Syair Karya Muhammad Idrus Kaimuddin dengan judul Bula Malino (Purnama yang Cerah) Tema Terakhir mengenai Analogi Kematian dengan Tradisi Berlayar. Adapu rumusan masalah pada penelitian skripsi ini adalah:

1. Bagaimana narasi pada keseluruhan Syair Bula Malino menurut Aktan Algridas Julian Greimas pada baris 332-383?

2. Pesan-pesan dakwah apakah yang terkandung dalam baris 332-383 pada Syair Bula Malino tersebut?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, penelitian bertujuan untuk mencapai beberapa hal sebagai berikut:

1. Mengetahui tanda-tanda apa yang terkandung dalam baris 332-383 pada narasi Syair Bula Malino dilihat dari model aktan Greimas.

7

http://pusatstudiwakatobi.blogspot.com/2011/04/mengungkap-ketokohan-muhammad-idrus.html (diakses 25 September 2014). (Belum menunjukkan makna berimbang dari apa yang ditulis dalam blog tersebut, tidak jauh berbeda dengan tulisan La Niampe dalam Nasehat Muhammad Idrus Kaimuddin (Kendari, 2009).


(19)

2. Mengetahui pesan-pesan dakwah apa saja yang terkandung dalam baris 332-383 pada Syair Bula Malino.

D. Manfaat Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah:

1. Secara Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi kontribusi ilmiah dan dapat berguna bagi pengetahuan tentang dakwah bagi khazanah keilmuan Islam serta dapat menjadi referensi penelitian di masa yang akan datang.

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan motivasi juga sebagai kontribusi serta membawa wawasan bagi kalangan praktisi dakwah dan aktivis dakwah khususnya pada masyarakat Buton agar konsisten dalam memsperjuangkan nilai-nilai dakwah terutama pada kaum awam.

E. Metodologi Penelitian

1. Pendekatan Kualitatif

Pendekatan kualitatif yang penulis lakukan terfokus pada analisis wacana yang mengacu pada model Aktan Algirdas Greimas. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara, observasi, dokumentasi, dan instrument. Analisis naratif berfokus pada penelitian model aktan Greimas.


(20)

2. Paradigm Penelitian

Penelitian ini menggunakan paradigm kritis. Kritis adalah, representasi yang berperan dalam bentuk subjek tertentu, tema-tema dalam narasi, maupun strategi-strategi di dalamnya. Oleh karena itu, analisis naratif akan melahirkan interpretasi yang baik serta menemukan apa saja yang menjadi tanda aktan Greimas dalam narasi tersebut.

3. Metode Penelitian

Pada penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian analisis naratif, model Aktan Algirdas Greimas. Analisis linguistik adalah sebuah upaya (penguraian) untuk memberi penjelasan dari teks yang dikaji oleh seseorang atau kelompok untuk memperoleh apa yang diinginkan. Artinya, dalam sebuah konteks harus disadari akan adanya kekeliruan tulisan dan bahkan kesalahan interpretasi dari peneliti lainnya. Oleh karena itu, analisis yang terbentuk disadari telah dipengaruhi oleh si penulis dari berbagai faktor.

4. Subjek dan Objek Penelitian

Subyek penelitian ini adalah Kabanti Bula Malino (Syair Purnama yang Cerah). Sedangkan objek penelitiannya adalah bentuk dakwah dalam sarana (media) tertulis dalam syair Idrus Kaimuddin tersebut.

5. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data-data yang diperlukan, sesuai dengan metode penelitian yang akan digunakan yaitu:


(21)

a. Observasi: yaitu penulis mengumpulkan sejumlah tulisan Kabanti Bula Malino baik sudah berbentuk buku maupun tulisan tangan dari beberapa Tokoh Adat Buton serta menganalisis isi teks yang terdapat pada syair tersebut. Peneliti melakukan pengamatan mengenai tulisan sebanyak dua kali, langsung ke pulau buton. b. Wawancara: penulis melakukan wawancara dengan: Al-Mujazi:

Pemegang naskah, sekaligus mewarisi tulisan dan koleksi naskah Abdul Mulku Zahari (alm) Ayahnya “Kabanti Bula Malino”. Syafiuddin: selain mengajar di Universitas Dayanu Ihsanuddin, beliau juga seorang pemerhati Kabanti serta hal-hal yang menyangkut adat wolio. Lambalangi: ia merupakan Tokoh yang telah mengumpulkan dan mentrasliterasi sejumlah judul Kabanti termasuk Bula Malino. Beliau juga sebagai manta Kepala Kantor Departemen Agama Kecamatan Wolio Sulawesi Tenggara. Siti Suhura: ia salah satu pelantun syair kabanti yang profesional. c. Dokumentasi: dalam hal ini, penulis mengumpulkan dokumentasi

yang berbentuk gambar (foto) maupun naskah kabanti yang telah ditulis ulang oleh sejumlah Tokoh yang berkaitan dengan syair yang diteliti tersebut.

6. Teknik Analisis Data

Berkenaan penelitiaan ini adalah analisis naratif kualitatif yang di mana hasil temuan dan fakta yang diperoleh dari proses wawancara, observasi, serta data-data pendukung lain melalui studi pustaka dan


(22)

dokumentasi akan dipetakan. Selanjutnya, penulis menghimpun untuk meninjau kembali agar analisis dilakukan dengan cara sistematis.

7. Waktu dan Tempat Penelitian

Penulis melakukan penelitian pada bulan Februari dan Maret 2014 dan merampungkan tulisan hingga setahun lamanya. Penelitian ini langsung dilakukan dengan cara interview secara langsung di pulau buton.

F. Tinjauan Pustaka

Buku berjudul Nasihat Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin yang diterbitkan oleh FKIP Unhalu (UHO), Kendari: 2009 karya La Niampe. Pada bukunya, ia menerjemahkan dan menafsirkan kitab Bula Malino tersebut, yang disertakan dengan pedoman Transliterasi dari buri (tulisan) wolio (buton) ke huruf latin. Bedanya dengan skripsi yang dibuat dengan peneliti pada penggunaan teori analisis. Kemudian, dalam menerjamahkan dan menerjemahkan menafsirkan tiap baris dari kitab tersebut perkata secara keseluruhan (tidak hanya menafsirkan secara umum saja seperti dalam buku di tersebut).

Membara di Api Tuhan, judul buku terbitan Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah tahun 1983 (cetakan 1961) karya La Ode Malim. Buku tersebut merupakan terjemahan dan penghayatan La Ode Malim atas Syair Bula Malino yang kemudian terangkai dalam sebuah buku. Peneliti sangat termotivasi dengan adanya buku yang mula-mula hanya bisa didapatkan di Alden Library Ohio University tersebut untuk meneliti dengan pendekatan metode penelitian berbeda serta kajian teori dakwah yang kiranya bisa diformulasikan dalam gerakan dakwah masa kini.


(23)

G. Sistematika Penulisan

Agar penelitian lebih produktif, maka peneliti membuat sistematika penelitian ke dalam lima bagian, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini, peneliti membagi lagi ke beberapa bagian, yaitu: Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian, Tinjauan Pustaka, dan Sistematika Penulisan.

BAB II TINJAUAN TEORITIS

Bagian ini merupakan kerangka berpikir dari peneliti yang meliputi tentang Sejarah Perkembangan Syair, Syair-syair yang Muncul di Buton, Syair sebagai Media Dakwah, Semiotik dalam Syair, Komunikasi Naratif dan Sastra, dan Analisis Naratif Model Aktan Algirdas Greimas.

BAB III KITAB KABANTI BULA MALINO

Pada bab ini peneliti menjelaskan objek penelitian, berupaya mengenali Syair Bula Malino, Penulis Syair Bula Malino, Bentuk Pengamalan Syair (Kabanti), dan Naskah-naskah Kabanti yang sudah diperoleh.

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS SYAIR

Bagian ini menyangkup pembahasan Analisis Narasi Model Aktan Greimas pada Baris 332-383 dan Pesan Dakwah dalam syair Bula Malino pada Baris 332-383.


(24)

BAB V PENUTUP

Pada bab terakhir ini, peneliti membaginya kepada kesimpulan dari penelitian dan hasil penelitian serta saran untuk berbagai pihak yang terkait dengan penelitian ini, daftar pustakam dan lampiran-lampiran.


(25)

12

TINJAUAN TEORITIS

A. Syair di Nusantara

Syair adalah jenis puisi lama. Syair terdiri dari empat baris, setiap baris mengandung empat kata yang sekurang-kurangnya terdiri dari sembilan sampai dua belas suku kata. Syair juga tidak mempunyai unsr-unsur sindiran di dalamnya. Aturan sanjak akhir ialah aaaa dan sanjak dalam (internal rhyme) (A. Teeuw, 1966b: 431-432) hampir-hampir tidak ada.1

1. Sejarah Perkembangan Syair

R. O. Winsted berpendapat bahwa syair pertama kali muncul dalam sastra Melayu pada abad ke-15 dalam Syair Ken Tambuhan. Bukti-bukti yang dikemukakannya ialah pemakaian kata-kata Kawi seperti lalangan (kebun), kata-kata Jawa seperti ngambara dan ngulurkan, perbendaharaan kata yang kaya, mitos Hindu dan satu gaya yang klasik (R. O. Winsted, 1958: 152).

A. Teeuw tidak setuju dengan pendapat ini. Ditunjukkannya bahwa Syair Ken Tambuhan baru ditulis pada abad ke-17 atau ke-18; unsur-usnur Jawa yang terdapat dalam Syair Ken Tambuhan belum tentu langsung berasal dari bahasa Jawa oleh penulisnya. Ia mungkin berasal dari cerita Panji dan wayang yang tersebar luas di alam Melayu sejak zaman dahulu kala; tambahan pula, kita juga tidak boleh menafsirkan adanya hubungan langsung dengan Jawa sesudah zaman Malaka, yaitu abad ke-15.

1


(26)

Menurut Teeuw, kemunculan syair dalam sastra melayu tidak mungkin lebih awal daripada abad ke-16. Sekitar tahun 1600, syair masih berarti puisi secara umum dan bukan sesuatu jenis puisi tertentu.. dalam Tajus Salatin yang tertulis pada tahun 1602/1603 tidak terdapat sekuntum pun puisi yang mirip dengan struktur syair sekarang. Syair sebagai jenis puisi yang berbaris empat dan bersanjak aaaa baru tersebar sesudah Hamzah Fansuri menamai puisi yang ditulisnya ruba’i (puisi yang berbaris empat). Tetapi ruba’i Hamzah Fansuri berbeda dengan ruba’i sejenis puisi Arab/Parsi. Ruba’i Hamzah Fansuri merupakan bagian dari sebuah puisi yang lebih panjang, sedangkan ruba’i sebagai puisi Arab/Parsi adalah sebuah puisi yang berdiri dengan sendirinya.2

Mula-mula puisi Hamzah itu terdiri atas beberapa kesatuan yang disebut ruba’i, kadang-kadang bait dan sekali-sekali syi’r atau sya’ir. Bila puisi-puisi jenis ini tersebar luas dan digemari orang, ia mendapat nama baru, yaitu syair. Penyair-penyair lain juga menulis puisi jenis ini (syair), tetapi tidak membatasi diri pada puisi tasawuf lagi. Semua perkara disyairkan dalam bentuk ini. Pengaruhnya juga kian meluas. Dalam sastra Jawa muncul sejenis puisi yang berasal dari syair, yaitu sangir. Pada tahun 1670, seorang Melayu di Makassar menggunakan bentuk ini untuk menulis sebuah sysair sejarah, yaitu Syair Perang Mengkasar. Lambat-laun, penulis-penulis di berbagai daerah menggunakan puisi jenis ini untuk menulis puisi romantik seperti Syair Ken Tambuhan.

Demikianlah kita melihat pada abad ke-17, syair-syair sudah bermunculan di Johor, Palembang, Riau, Banjarmasin, Batavia, (Jakarta), dan Ambon, bahkan di seluruh Nusantara. (A. Teeuw, 1966:446).

2


(27)

Jauh sebelum A. Teeuw mengemukakan kemungkinan Hamzah Fansuri sebagai pencipta syair Melayu yang pertama, P. Voorhoeve sudah membuat kesimpulan yang sama. Dalam sebuah ceramahnya kepada pelajar-pelajar bahasa Melayu di Paris, tahun 1952, P. Voorhoeve sudah mengatakan bahwa syair Melayu yang mula-mula mungkin ditulis oleh Hamzah Fansuri. Alasan yang dikemukakan hampir serupa dengan alasan yang dikemukakan oleh A. Teeuw,

a. Tiada syair sebelum Hamzah Fansuri

b. Tiada bentuk syair dalam bahasa-bahasa Nusantara kecuali sangir dalam bahasa jawa yang berasal dari syair melayu; dan

c. Pada paruh pertama abad ke-17, puisi Hamzah Fansuri tidak dikenal sebagai syair melainkan ruba’i dan Valentijin dalam bukunya (1726) menyebutkan tentang Hamzah Fansuri yang terkenal dengan syairnya. Bukan itu saja. Ar-Raniri yang dalam hal agama, adalah saingan Hamzah Fansuri, juga pernah dipengaruhi oleh Hamzah dan menulis beberapa ruba’i dalam Bustanus Salatin (P. Voorhoeve, 1968: 277-278).

Syed Naguib Al-Attas menyatakan pendapatnya dengan tegas. Dalam dua risalah (Syed Naguib Al-Attas, 1968, 1971), menyerang A. Teeuw karena ketidak tegasannya dalam mengemukakakn bahwa Hamzah Fansuri sebgai pencipta syair Melayu yang pertama. Kesimpulannya ialah Hamzah Fansuri mendapat pengaruh atau bentuk asal puisinya dari puisi Arab, syi’r yang berbaris empat, seperti syi’r


(28)

yang dikarang Ibnul Arabi dan Iraqi yang banyak dikutipnya (Syed Naguib Al-Attas, 1968: 58).3

Amin Sweeney, seorang sarjana yang pernah mengajar di Universitas Kebangsaan Malaysia, tidak setuju dengan pendapat ini. Menurutnya, syair Hamzah Fansuri mendapat pengaruh yang kuat dari nyanyian rakyat (pantun) seperti yang terdapat dalam Sejarah Melayu. Ia sampai kepada kesimpulan ini sesudah menyelidiki ciri-ciri syair, yaitu irama (metre), sanjak akhir (rhyme), pembagian kesatuan (units) dan pengelompokkan kesatuan.

Irama syair adalah sama seperti irama pantun. Bukan saja pantun kadang-kadang muncul dalam syair, baris-baris syair juga kadang-kadang-kadang-kadang terdapat dalam panting. Doorenbos, seorang sarjana Belanda telah menunjukkan dalam disertasinya bahwa beberapa baris syair Hamzah Fansuri adalah sama seperti yang dipakai dalam pantun. Dalam sebaris pantun atau syair selalu ada semacam perhentian (caesura) ditengah-tengahnya, yaitu sesudah perkataan yang kedua dalam sebaris pantun atau syair yang mengundang empat perkataan itu. Sanjak akhir yang dipakai dalam syair Hamzah Fansuri adalah aaaa. Ini adalah pola sanjak yang terdapat dalam nyanyian-nyanyian dalam Sejarah Melayu.

Seandainya Hamzah mencontoh puisi Arab, setiap bait Fansuri pasti hanya terdiri dari dua baris saja dan bukan empat baris. Bait yang berbaris empat tidak dikenal dalam puisi arab. Nyatalah yang menjadi contoh syair Hamzah bukan puisi arab melainkan nyanyian (pantun) empat baris yang terdapat dalam Sejarah Melayu (R. Roolvink, 1966: 455-457). Tentang pengelompokkan kesatuan pula,

3


(29)

kesatuan-kesatuan ini tidak berdiri sendiri melainkan bersambung untuk mengembangkan suatu tema atau cerita. Dalam puisi Arab, satu kesatuan (bait) yang dua baris itu merupakan satu keseluruhan (Amin Sweeney, 1971: 58-66). Sebagai kesimpulan boleh dikatakan bahwa sungguhpun Hamza Fansuri menggunakan Istilah puisi Arab, bait, syair, ruba’i, syair Hamzah Fansuri bukanlah tiruan dari puisi Arab. Pengaruh nyanyian (pantun) pada syair Hamzah Fansuri jauh lebih besar dari puisi Arab. Syair Melayu, biarpun memakai istilah bahasa Arab adalah puisi Melayu asli juga (C. Hooykas, 1947: 72).4

Menurut isinya, syair dapat dibagi menjadi lima golongan berikut.

a. Sayir Panji

Syair panji sebagian besar adalah olahan dari bentuk prosanya, misalnya Syair Panji Semirang adalah olahan dari Hikayat Panji Semirang, Syair Angreni adalah saduran dari Panji Angreni. Sering hanya isinya saja yang diambil dan bukan judulnya. Satu lagi antara perbedaan hikayat Panji dan syair Panji ialah bahwa hikayat panji berbelit-belit plotnya, sedang syair Panji lebih sederhana plotnya. Biasanya satu syair hanya menceritakan satu cerita utama saja. Misalnya Syair Ken Tambuhan, hanya menceritakan percintaan dan perwakinan Raden Menteri dan Ken Tambuhan; Syair Undakan Agung Udaya hanya menceritakan kisah Panji tinggal di Daha dan memakai nama Undakan Agung Udaya. Contoh syair Panji adalah; Syair Ken Tambuhan, Syair Angreni, Syair Damar Wulan, Syair Undakan Agung Udaya, dan Cerita Wayang Kinudang.5

4

Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik, (YOI: 2011), h. 565. 5


(30)

b. Syair Romantis

Syair romantis adalah jenis syair yang paling digemari. Harun Mat Piah pernah mengkaji 150 buah syair untuk disertasinya di Universitas Kebangsaan Malaysia (1989) dan mendapati bahwa 70 buah (47 persen) adalah syair romantis. Ini tidak mengherankan karena sebagian besar syair romantik menguraikan tema yang biasa terdapat di dalam cerita rakyat, penglipur lara dan hikayat. Contoh dari syair romantis adalah; Syair Bidasari, Syair Yatim Nestapa, Syair Abdul Muluk, Syair Sri Banian, Syair Sinyor Kosta, Syair Cinta Berahi, Syair Raja Mambang Jauhari, Syair Tajul Muluk, Syair Sultan Yahya, dan Syair Putri Akal.

c. Syair Kiasan

Syair kiasan atau simbolik adalah syair yang mengisahkan percintaan antara ikan, burung, bunga, atau buah-buahan. Hans Overbeck menemani syair jenis ini sebagai syair binatang dan bunga-bungaan (Malay animals and fllower shers, 1934). Menurut Overbeck lagi, syair jenis ini biasanya mengandung kiasan atau sindiran terhadap peristiwa tertentu. Misalnya Syair Ikan Terubuk adalah syair yang menyindir peristiwa anak raja Malaka meminang putri Siak. Syair Burung Pungguk menyindir seorang pemuda yang ingin mempersunting seorang gadis yang lebih tinggi kedudukannya. Ada juga syair yang menyindir petualangan cinta saudagar pengembara atau memberi nasehat pada pendengarnya. Contoh judul syair kiasan adalah; Syair Burung Pungguk, Syair Kumbang dan Melati, Syair Nuri, Syair Bunga Air Mawar, Syair Nyamuk dan Lalat, Syair Kupu-kupu dengan Kembang dan Balang, dan Syair Buah-buahan.


(31)

d. Syair Sejarah

Syair sejarah adalah syair yang berdasarkan peristiwa sejarah. Di antara peristiwa sejarah yang paling penting ialah peperangan, dan karena itu, syair perang juga merupakan syair sejarah yang paling banyak dihasilkan. Peristiwa sejarah itu mungkin juga merupakan kisah raja yang memerintah atau residen Belanda. Syair Sultan Mahmud di Lingga, misalnya, menceritakan masa kehidupan Sultan Mahmud Syah beserta keluarganya, Syair Residen De Brau pula mengisahkan peranan yang dimainkan residen de Brau dalam pembuangan Perdana Menteri dari Palembang ke tanah Jawa. Contoh judul syair kiasan adalah; Syair Perang Mengkasar, Syair Kompeni Welanda Berperang dengan Cina, Syair Perang di Banjarmasin, Syair Raja Siak, Syair Sultan Ahmad Tajuddin, dan Syair Siti Zubaidah Perang Melawan Cina.

e. Syair Agama

Syair agama adalah golongan syair yang paling penting. Telah dijelaskan bahwa Hamzah Fansurilah orang pertama menulis puisi dalam bentuk syair yang kemudian diikuti oleh penyair-penyair lainnya di Aceh seperti Abdul Jamal, Hasan Fansuri dan beberapa orang penyair-penyair yang tidak bernama. Abdul Rauf sendiri juga pernah menulis sebuah syair yang berjudul Syair Makrifat (Van Ophuijsen, 78). Perkara yang disyairkan di dalam syair-syair semuanya bersifat keagamaan. Hanyalah kemudian dan dengan perlahan-lahan syair dipakai untuk menyairkan hal-hal yang tidak ada kaitan dengan agama.


(32)

Berdasarkan isinya, syair agama dapat dibagi pula kepada beberapa jenis.

1) Jenis pertama ialah syair sufi yang dikarang oleh Hamzah Fansuri dan penyair-penyair sezaman.

2) Jenis kedua adalah syair yang menerangkan ajaran Islam seperti Syair Ibadat, Syair Sifat Dua Puluh, Syair Rukun Haji, Syair Kiamat, Syair Cerita di dalam Kubur dan sebagainya.

3) Jenis ketiga ialah Syair Anbia, yaitu syair yang mengisahkan riwayat hidup para nabi, misalnya Syair Nabi Allah Ayub, Syair Nabi Allah dengan Firaun, Syair Yusuf, Syair Isa, dan lain-lain. 4) Jenis keempat ialah syair nasihat, yaitu syair yang bermaksud

memberi pengajaran dan nasihat kepada pendengar atau pembacanya, misalnya Syair Nasihat, Syair Naihat Bapak Kepada Anaknya, Syair Nasihat Laki-laki dan Perempuan dan sebagainya. Syair Takbir Mimpi dan Syair Raksi mungkin juga dapat digolongkan ke dalam jenis ini.

Contoh judul syair agama adalah; Syair Hamzah Fansuri, Syair Perahu, Syair Dagang, Bahr An-Nisa’, Syair Kiamat, Syair Takbir Mimpi, dan Syair Raksi.6

Ricklefs mengutip bahwa bahwa Hamzah Fansuri dan Syamsuddin menulis karya-karya mengenai ilmu tasawuf Islam. Kemudian, pada masa kekuasaan Ratu Taj ul-Alam (1641-75), Abdurrauf merupakan pengarang yang terpenting di istana, menulis karya-karya ilmu hukum Syafi’i dan juga ilmu

6


(33)

tasawuf. Tetapi, masih bertahannya cerita-cerita Hindu seperti Hikayat Seri Rama menggambarkan bahwa kesastraan Melayu tidak seluruhnya didominasi oleh karya-karya yang berilhamkan Islam.

Sajak macapat menggunakan bahasa Jawa yang sangat baik. Kesastraan yang berbahasa Jawa Kuno mencerminkan peranan penting yang dimainkan Bali dalam memelihara warisan kesastraan pra-Islam Jawa setelah Jawa menjadi Islam. beruhungan dengan kesastraan Bali terbaibagi menjadi tiga kelompok atas dasar bahasanya: Jawa Kuno, Jawa Pertengahan (Jawa-Bali/Bali-Jawa), dan Bali. Buku-buku yang berbahasa Jawa Kuno masih dapat ditemukan di Jawa, namun sebagian besar hanya dikenal dalam bentuk salinan-salinan dari Bali atau Pulau Lombok yang letaknya berseblahan. Ini berhubungan dengan penolakan Bali terhadap Islam dan tetap mempertahankan warisan kesastraan dan agama yang di Jawa telah berubah (namun tidak pernah terhapus sama sekali) sebagai akibat islamisasi.

Kesastraan yang berbahasa Jawa Pertengahan merupakan suatu subyek yang problematis. Sebagian besar dari naskah-naskah itu dinamakan kidung (nyanyian). Naskah-naskah tersebut terutama berisi legenda-legenda romantis mengenai zaman Majapahit di Jawa (Harsawijaya, Rangga Lawe, Sorandaka, Sunda). Orang-orang Bali juga menulis dalam bahasa mereka sendiri, terutama mengenai sejarah kerajaan-kerajaan mereka yang didapati dalam bentuk sajak. Begitupun Suku Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan, keduanya mempunyai kesastraan yang berkaitan erat, baik prosa maupun sajaknya. Kesastraan mereka menggunakan tulisan asli yang nyata-nyata berbeda dari tulisan Arab maupun Jawa, yang mempunyai kesamaan dengan tulisan tersebut adalah beberapa tulisan


(34)

Sumatera yang pada dasarnya berasal dari India. Selain itu, masih ada tradisi-tradisi kesastraan Indonesia lain di samping tradisi-tradisi-tradisi-tradisi kesastraan tersebut di atas.7

Nampaknya, relevan dengan Alifuddin yang mengatakan bahwa Yunus menyebut Buton terkena pengaruh ajaran-ajaran tasawuf Hamzah Fanshuri dan Syamsuddin Sumatrani sebagaimana yang berkembang di Aceh pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17. Lebih lanjut Yunus mengemukakan, bahwa ajaran yang tampak di Buton pada pertengahan abad ke-17 adalah ajaran Martabat Tujuh atau konsep manusia sempurna.8 Senada dengan Ricklefs, khususnya Syamsuddin, Abdurrauf, dan ar-Raniri semuanya menerapkan doktrin tasawuf tentang tujuh tahapan asal-usul (martabat), yang didalamnya Tuhan mewujudkan diri-Nya di dunia yang fana ini, yang mencapai puncaknya pada manusia sempurna/insan kamil (lihat Rifleks, 2011:78).

B. Syair-syair yang Muncul di Buton

Terdapat dua jenis tradisi sastra Buton yaitu sastra tulisan dan sastra lisan. Pada masa kerajaan Islam Buton, tampaknya keberdaan sastra lisan tidak begitu berkembang dalam lingkungan Keraton. Umumnya sastra jenis ini dari segi isinya hanya memuat tradisi lokal; pada masa kesultanan dibersihkan dari kehidupan dunia keraton. Sastra tulisan di Buton identik dengan sastra Islam. Selain isinya memperlihatkan pengaruh atau alam pemikiran islam, sastra ini juga ditulis dalam aksara Arab yang oleh masyarakat pendukungnya menyebutnya buri wolio. Sastra

7

M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Gajah Mada University Press, Cetakan kesepuluh: Yogyakarta, 2011), hal. 77-87.

8

M. Alifuddin, Islam Buton: Interaksi Islam dengan Budaya Lokal, (Badan Litbang dan Dilat Departemen Agama, 2007), hal. 148-149.


(35)

tulisan ini ada yang berbentuk, prosa, dan syair. Sastra dalam bentuk puisi atau syair masyarakat lokal lebih mengenalnya dengan istilah kabanti atau nazamu.

Sastra tulisan di Buton secara garis besar dapat dibagi menjadi dua golongan. Pertama, ialah karya-karya yang bersifat sufistik seperti karya-karya Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin, Syeikh Haji Abdul Ganiu (kenepulu bula), Abdul Hadi, Haji Abdul Rakhim, dan La Kobu. Mereka adalah para ulama lokal yang mendalam pengetahuannya tentang Islam dan mempunyai kecenderungan terhadap sufisme. Salah satu Kabanti (syair) yang cukup populer pada masanya adalah syair bula malino karya Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin.9

Sedangkan golongan yang kedua adalah karya-karya yang memperlihatkan sastra Islam dalam bahasa melayu atau karya-karya ciptaan baru yang memperlihatkan pengaruh agama atau peradaban islam terhadap penulisnya. Karya-karya yang memperlihatkan pengaruh sastra Islam secara langsung ialah karya-karya saduran (sastra terjemahan) seperti tula-tulana Nuru Muhammad, terjemahan dari hikayat Nur Muhammad, tula-tulana koburu terjemahan dari syair kubur, kitabi masaalah sarewu, terjemahan dari kitab seribu masalah.10

Kabanti merupakan nyanyian atau syair yang tersimpan dan terjaga oleh masyarakat Buton. Kabantai Wolio atau syair wolio/buton telah menjadi tradisi nyanyian daerah di kalangan masyarakat.11 Dalam kamus wolio (wolio dictionary)

9

La Ode Muh. Syukur, Sejarah Kebudayaan Islam Sulawesi Tenggara, (CV. Shadra: 2009), Hal. 86.

10

Ibid, h. 90.

11

Sebenarnya nama Buton hanya lazim digunakan orang luar untuk sebutan Kesultanan Buton. Penduduk setempat terbiasa menggunakan sebutan Wolio. Yunus, Menafsir Ulang Sejarah dan Budaya Buton, (2011: 379).


(36)

oleh J.C. Anceaux, kabanti bermakna puisi syair, nyanyian, sajak.12 Pada pertengahan abad ke-19, Haji Abdul Gani menulis naskah syair (kabanti). Di antaranya yang diterjemahkan oleh Abdul Mulku Zahari adalah Ajonga Yinda Malusa (Pakaian yang Tidak Kusut).13 Termaksud syair Kanturuna Mohelana (Lampu Orang yang Berlayar) anonym (Ikram, 2002: 2).14

Lambalangi, adalah seorang yang menulis ulang dan mengumpulkan beberapa kabanti wolio mengatakan bahwa pada 1824 di masa Diponegoro, karena pergaulan di Buton sudah jauh dari norma-norma agama. Sehingga, Muhammad Idrus Kaimuddin membuat kabanti pada saat itu. Kata para orang tua dulu ada 100 lebih judul kabanti yang tertulis. Namun, hingga saat ini sudah 21 tahun yang ditemukan baru 35 judul kabanti.15

Disamping menumbuhkan kesusastraan dalam bahasa asli, beberapa daerah telah pula menciptakan sastra dalam bahasa Melayu seperti Aceh, Minangkabau Sulawesi Selatan dan Tenggara, Bima, dan Maluku. Bahasa itu khususnya digunakan untuk menulis teks-teks yang mempunyai kepentingan kenegaraan, seperti Hikayat Aceh (Aceh), Bo’ Sangaji Kai (Bima), Hikayat Tanah Hitu (Ambon), Istiadat Tanah Negeri Butun (Buton). Di lingkungan bahasa Sunda

12

J. C. ANCEAUX, Wolio Dictionary-wolio-english-indonesia, (Foris Publication Holland: 1987), h. 51.

13

Achadiati Ikram, Katalok Naskah Buton: Koleksi Abdul Mulku Zahari, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia: 2002), Hal. 5.

14

Lihat juga Ikram (2002:2) Kanturuna Mohelana menjadi syair yang dianggap sebuah sejarah yang mengungkap latar belakang nama Buton.

15

Wawancara Pribadi dengan Lambalangi, Tanggal 25 Maret 2014 (dikediamannya, Tarafu, Baubau, Sulawesi Tenggara).


(37)

dan Jawa tetap dihasilkan sastra agama Islam dalam bahasa daerah dengan tata aksara Arab yang disesuaikan, yaitu pegon.16

C. Mengenal Aksara

Berkenaan dengan aksara arab pada tulisan kabanti, sebenarnya secara keseluruhan, aksara yang ditemukan dalam naskah tulisan tangan mempunyai dua sumber, yaitu India dan Arab, meliputi kurun waktu abad ke-9 sampai abad ke-20. Kedua sumber tersebut tersebar ke Sumatera, Jawa, Kalimantan, Madura, Bali, Sulawesi, dan Maluku. Hadirnya teknologi percetakan yang disebarluaskan dengan cara pendidikan formal bersama kedatangan bangsa Eropa dan terutama kekuasaan pemerintah kolonial memberi pukulan telak kepada kehidupan seni tulis tangan.17

Tradisi manuskrip lambat laun, tetapi pasti, ditinggalkan untuk suatu teknologi yang lebih mudah. Bukan hanya itu, aksara daerah akan terdesak oleh jenis tulisan yang sudah lazim dipakai di dunia para penguasa dari Eropa. Pertarungan yang tidak seimbang akhirnya menggeser aksara kea lam sejarah. Begitupun bahasa daerah untuk tulisan, kini dalam proses kepunahan. Walau masih ada juga masyarakat yang tetap memilih menggunakan dan memelihara

16

Achadiati Ikram dkk, Mukhlis PaEni:Editor Umum, Sejarah Kebudayaan Indonesia: Bahasa, Sastra, dan Aksara, (Rajawali Pers, Jakarta: 2009), h. 78-79.

17

Lihat Ikram, Sejarah Kebudayaan Indonesia: Bahasa, Sastra dan Aksara, (2009: 270). Tidak semua komunitas manusia memerlukan aksara atau tulisan, kata Ong, bahasa hakikatnya adalah lisani (oral). Itu terbukti dalam penelitian bahwa di antara puluhan ribu bahasa yang pernah digunakan di dunia hanya sekitar 106 yang memiliki sistem tulisan yang menghasilkan kepustakaan. Artinya, sebagian besar tidak mengenal tulisan (Ong, 1980:7). Kemduian, di antara kurang lebih 3000 bahasa yang kini hidup hanya kira-kira 78 yang mempunyai kesusastraan tertulis. Sehingga, dari tempat-tempat rekayasa sistem tulisan yang disebut di atas itulah, dan terutama dari Asia Minor kemudian pengenalan aksara menyebar sehingga banyak bangsa dapat mengambil alihnya dan mentransformasikannya tanpa perlu menciptakannya sendiri.


(38)

aksara daerah dan tulisan tangan untuk tujuan-tujuan tertentu (lihat Ikram, 2009: 279-280).

D. Syair Sebagai Media Dakwah

1. Dakwah dan Objek Kajiannya

Secara etimologi, kata Da’wah berasal dari bahasa Arab yang berarti: panggilan, seruan, atau ajakan. Bentuk perkataan tersebut dalam bahasa Arab disebut mashdar. Sedangkan bentuk kata kerja (fi’il)nya adalah memanggil, menyeru atau (Da’aa, Yad’uu, Da’watan).18

Secara terminologi, beberapa ahli mengemukakan pengertiannya sebagai berikut:

a. Pof. Thoha Yahya Umar, dakwah Islam adalah mengajak manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Tuhan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat.19

b. Menurut M. Quraish Shihab, dakwah adalah seruan atau ajakan kepada keinsyafan atau usaha mengubah situasi kepada situasi yang lebih baik dan sempurna, baik terhadap pribadi maupun masyarakat.20

c. Menurut M. Arifin, dakwah adalah suatu kegiatan ajakan dalam bentuk lisan, tulisan, tingkah laku, dan sebagainya yang dilakukan secara sadar dan terencana dalam usaha mempengaruhi orang lain secara

18

Drs. Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), Hal. 1.

19

Prof. H. M. Thoha Yahya Umar. MA, Imu Dakwah, (Jakarta: CV. Al-Hidayah, 2002), Hal. 7.

20

Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1992), Hal. 194.


(39)

individu maupun kelompok supaya timbul dalam dirinya suatu pengertian, kesadaran, sikap, penghayatan, serta pengamalan terhadap ajaran agama, message yang disampaikan kepadanya tanpa ada unsur pemaksaan.21

Dakwah menurut Sayyid Qutub memberi batasan dengan ”mengajak” atau “menyeru” kepada orang lain masuk ke dalam sabil (jalan) Allah SWT bukan untuk mengikuti da’i atau sekolompok orang. Ahmad Ghusuli menjelaskan bahwa dakwah merupakan pekerjaan atau ucapan untuk mempengaruhi manusia supaya mengikuti Islam. Abdul al Badi Shadar membagi dakwah membagi dua tataran yaitu dakwah fardiyah dan dakwah ummah. Sementara itu, Abu Zahroh menyatakan bahwa dakwah itu dapat dibagi menjadi dua hal; pelaksana dakwah, perseorangan, dan organisasi. Sedangkan Ismail al-Faruqi, mengungkapkan bahwa hakikat dakwah adalah kebebasan, universal, dan rasional. Kebebsan akan menunjukkan dakwah itu bersifat universal (berlaku untuk semua umat dan sepanjang masa).22

Pada intinya, menurut Ilaihi, pemahaman lebih luas dari pengertian dakwah yang telah didefinisikan oleh para ahli tersebut adalah: pertama, ajakan ke jalan Allah SWT. Kedua, dilaksanakan secara berorganisasi. Ketiga, kegiatan untuk mempengaruhi manusia agar masuk jalan Allah SWT. Keempat, sasaran bisa secara fardiyah atau jama’ah. Dalam konteks dakwah istilah amar ma’ruf nahi munkar secara lengkap dan populer dipakai adalah yang terekam dalam Al-Qur’an, Surah Ali-Imran, ayat 104:

21

M. Arifin, Paikologi Dakwah Suatu Pengantar Studi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000) Cet. Ke-5, Hal. 6.

22


(40)

               

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru pada kebajikan, menyuruh pada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar; mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Ciri khas materi dakwah menurut Anwar Arifin adalah al-khair, al-ma’ruf, dan al-munkar, sebagaimana ayat tersebut di atas. Meskipun demikian, dalam kenyataannya terdapat perbedaan penafsiran. Kemudian, materi dakwah yang lain secara umum adalah keyakinan dan pandangan hidup Islam yang bersifat universal dan sesuai dengan fitrah dan kehanifaan manusia. Semua pandangan itu termaktub dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul.23

Objek kajian dakwah ialah hubungan interaksional antara subjek dakwah dan subjek sasaran dakwah dengan menggunakan metode, media, dan materi dakwah tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Kutipan Ilaihi tersebut juga akhirnya dinyatakan secara proposional dalam ilmu proposisi yaitu:

a. Subjek dakwah tertenut berhubungan dengan religionitas subjek sasaran dakwah.

b. Media dakwah tertentu berhubungan dengan religionitas subjek sasaran dakwah.

c. Materi dakwah tertnetu berhubungan dengan religionitas subjek sasaran dakwah.

d. Situasi objektif subjek sasaran dakwah berhubungan dengan religionitas sendiri.

23

Anwar Arifin, Dakwah Kontemporer: Sebuah Studi Komunikasi, (Graha Ilmu, Yogyakarta: 2011), h.20-21.


(41)

Hampir seirama dengan pernyataan di atas, objek kajian ilmu dakwah menurut Cik Hasan Bisri adalah unsur substansial ilmu dakwah yang terdiri dari enam komponen yaitu: dai’i, mad’u, metode, materi, media, dan tujuan dakwah. Sedangkan objek forma ilmu dakwah adalah sudut pandang tertentu yang dikaji dalam disiplin utama ilmu dakwah yaitu disiplin Tbaligh, Pengembangan Masyarakat Islam, dan Manajemen Dakwah. Sedangkan objek materi ilmu dakawah adalah proses penyampaian umat manusia.24

2. Metode Dakwah

a. Pengertian Metode dakwah

Dari segi bahasa, metode berasal dari dua kata yaitu “meta” (melalui) dan “hodos” (jalan. Cara) (Arifm, 1991:61). Dengan demikian, dapat diartikan bahwa metode adalah cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan. Sumber yang lain menyebutkan bahwa metode berasal dari bahasa Jerman methodeicay artinya ajaran tentang metode. Dalam bahasa Yunani metode berasal dari kata methods artinya jalan “thariq” (bahasa Arab) (Hasanuddin, 1996:35). Metode berarti cara yang telah diatur dan melalui proses pemikiran untuk mencapai suatu maksud.

Sehingga, metode dakwah adalah cara-cara tertentu yang dilakukan oleh seorang da’i (komunikator) kepada mad’u untuk mencapai suatu tujuan atas dasar hikmah dan kasih sayang (Tasmara, 1997:43). Hal ini mengandung arti bahwa pendekatan dakwah harus bertumpuh pada suatu pandangan human oriented menempatkan penghargaan yang mulia untuk manusia.

24


(42)

b. Macam-macam Metode Dakwah

Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat di jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (QS Al-Nahl [16]: 125).

Dari ayat berikut dapat dipahami bahwa metode dakwah itu meliputi tiga cakupan, yaitu:

1) Bil-Hikmah

Kata “hikmah” dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak 20 kali baik dalam bentuk nakiroh maupun ma’rifat. Bentuk mashdarnya adalah “hukuman” yang diartikan secara makna aslinya adalah mencegah. Jika dikaitkan dengan hokum berarti mencegah dari kezaliman, dan jika dikaitkan dengan dakwah maka berarti menghindari hal-hal yang kurang relevan dalam melaksanakan tugas dakwah.

Ibnu Qoyim berpendapat bahwa pengertian hikmah yang paling tepat adalah seperti yang dikatakan oleh Mujahid dan Malik yang mendefinisikan bahwa hikmah adalah pengetahuan tentang kebenaran dan pengamalannya, ketepatan dalam perkataan dan pengamalannya. Hal ini akan tercapai dengan memahami Al-Qur’an dan mendalami Syariat Islam (Qoyyim: 226).

Sementara itu, menurut Imam Abdullah bin Ahmad Mahmud An-Nasafi, arti dakwah bil-hikmah adalah dakwah dengan menggunakan perkataan yang benar dan pasti, yaitu dalil yang menjelaskan kebenaran dan menghilangkan keraguan (Hasan Fadhullah: 44).


(43)

2) Al-Mau’idza Al-Hasanah

Menurut Imam Abdullah bin Ahmad an-Nasafi adalah perkataan-perkataan yang tidak tersembunyi bagi mereka, bahwa engkau memberikan nasihat dan menghendaki manfaat kepada mereka atau dengan Al-Qur’an (Hasanuddin, 1996:37). Sementara menurut Abdul Hamid al-Bilali, merupakan salah satu manhaj (metode) dalam dakwah untuk mengajak ke dalam dakwah untuk mengajak ke jalan Allah dengan memberikan nasihat atau bimbingan yang lemah lembut agar mereka mau berbuat baik (Al-Bilali, 1989).

Wahidin Saputra mengutip dan menklasifikasikan mau’idzah hasanah dalam beberapa bentuk yaitu, nasihat atau petuah, bimbingan (pengajaran dan pendidikan), kisah-kisah, kabar gembira dan peringatan, dan wasiat (pesan-pesan positif).

Jubaedi mengatakan bahwa metode tersebut salah satunya merupakan nasihat agar umat Islam melaksanakan ajarannya sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits, seperti melaksanakan shalat limat waktu, anjuran agar umat Islam bersatu, tolong menolong antar sesama dan anjuran untuk berbuat baik.25

Sementara metode kisah dijadikan cara untuk menyampaikan pesan-pesan Islam oleh para Mubaligh, terutama ketika memperingati acara Maulid Nabi, Isra Mi’raj, dan pengajian-pengajian yang memerlukan ilustrai penjelasan dengan kisah (lihat Aripuddin, 2011: 100).

25

Acep Aripuddin, Pengembangan Metode Dakwah, (PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta: 2011), h. 84.


(44)

3) Al-Mujadalah

Menurut Al-Jarisyah, dalam kitabnya Adab al-Hiwar wa-almunadzarah, mengartikan bahwa “al-Jidal” secara bahasa dapat bermakna “datang untuk memilih kebenaran” dan apabila berbentuk ism “al-jadlu” maka berarti “pertentangan atau perseteruan yang tajam” (Al-Jarisyah, 1989:19).

Sementara menurut an-Nasafi, kata ini bermakna “berbantahan dengan baik yaitu dengan jalan yang sebaik-baiknya dalam bermujadalah, antara lain dengan perkataan yang lunak, lemah lembut, tidak dengan ucapan yang kasar atau dengan mempergunakan suatu perkataan yang bisa menyadarkan hati, membangunkan jiwa, dan menerangi akal pikiran, ini merupakan penolakan bagi orang yang enggan melakukan perdebatan dalam agama.

Wahidin Saputra berpendapat bahwa Al-Mujadalah merupakan tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis, yang tidak melahirkan permusuhan dengan tujuan agar lawan menerima pendapat yang diajukan dengan memberikan argumentasi dan bukti yang kuat. Antara satu dengan lainnya saling menghargai dan menghormati pendapat keduanya berpegang kepada kebenaran, mengakui kebenaran pihak lain dan ikhlas menerima hukuman kebenaran tersebut.26

26

Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 242-255.


(45)

3. Media Dakwah

Berbicara soal media, kata “media” merupakan jamak dari bahasa Latin yaitu medion, yang berarti alat perantara. Sedangkan secara istilah media berarti segala sesuatu yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan tertentu. Dengan demikian, dapat dirumuskan bahwa media dakwah berarti segala sesuatu yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan dakwah yang telah ditentukan (lihat Syukir, 1993:163). Seorang Da’i dalam menyampaikan ajaran Islam kepada umat manusia tidak akan lepas dari sarana atau media (wasilah) dakwah. Kepandaian untuk memilih media dakwah yang tepat merupakan salah satu unsur keberhasilan dakwah.

Bagi Tarmizi Taher, internet juga merupakan media dakwah Islam. Pada masa kini dakwah telah menggunakan medium bit, binary dan digital. Dakwah dalam bentuk tulisan di buku mendapatkan komplementernya berupa text dan hypertext di Internet. Meskipun jumlahnya masih sangat sedikit, kalangan umat Islam di Indonesia yang menggunakan Internet sebagai media dakwah jumlahnya kian hari kian bertambah. Fenomena dakwah digital tersebut berkembang seiring dengan berkembangnya teknologi informasi (TI) di dunia.27

Bagi Asmuni Syukur, media dakwah adalah segalah sesuatu yang dipergunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan dakwah yang telah ditentukan.

27

Nurul Badru Tamam, Dakwah Kolaboratif Tarmizi Taher, (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2005), h. 157-158.


(46)

Media dakwah ini dapat berupa barang (material), orang, tempat, kondisi tertentu dan sebagainya.28

Dr. Taufik al-Wa’iy menyebut beragama-macam sarana bertabligh atau berdakwah. Apalagi pada era teknologi, telah bermacam-macam dan beraneka ragam media atau sarana dakwah. Semuanya dapat dikelompokkan sebagaimana berikut ini:

a. Sarana sam’iyah (audio), seperti radio, seminar, khotbah, diskusi, pelajaran, dan lain-lain.

b. Sarana maqru’ah (bacaan), seperti Koran, majalah, buku, selebaran, dan lain-lain.

c. Sarana bashriyah (video), seperti televise, drama, bisokop, dan lain-lain.

d. Sarana syakhsiyah (profil), seperti pertemuan, dakwah fardiyah, percakapan, basa-basi, dan lain-lain.29

Beberapa media dakwah yang dikutip oleh Asmuni Syukur (Syukur: 168-180) adalah sebagai berikut:

a. Lembaga Pendidikan Formal

Lembaga pendidikan formal yang memiliki kurikulum, siswa sejajar kemampuannya, pertemuan rutin, dan sebagainya. Seperti Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan lain sebagainya. Dalam kurikulum yang dianutnya terdapat bidang studi agama apalagi

28

Asmuni Syukur, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam, (Surabaya, Al-Ikhlas), h. 163.

29

Taufik al-Wa’iy, “Da’wah Ilallah” Dakwah ke Jalan Allah: Muatan, Saran, dan Tujuan, (Jakarta: Robbani Press, 2010), h. 352.


(47)

lembaga pendidikan yang di bawah lingkungan Kementrian Agama. Dengan pendidikan agama tersebutlah menunnjukkan bahwa lembaga formal merupakan media dakwah. Sebab, pendidikan agama pada dasarnya menanamkan ajaran Islam kepada anak yang bertujuan melaksanakan perintah Allah (dakwah).

b. Lingkungan Keluarga

Keluarga adalah kesatuan sosial yang terdiri dari ayah, ibu dan anak atau kesatuan sosial yang terdiri dari beberapa keluarga yang masih ada hubungan darah. Keluarga memiliki kepala keluarga yang berkuasa atas segalanya di dalam keluarga dan juga sebagai sosok yang disegani.

Pada umumnya, di dalam keluarga terdapat kesamaan agama, tapi ada juga bermacam-macam agama yang dianutnya. Bagi kepala keluarga beragama Islam, kesempatan yang baik keluarganya dapat dijadikan media dakwah, seperti membiasakan anaknya shalat, puasa, dan sebagainya sebagaimana disabdakan Rasulullah saw:

Suruhlah anak-anakmu menjalankan ibadah shalat bila mana sudah berusia tujuh tahun, dan apabila telah berusia sepuluh tahun pukullah ia (bila tidak mau menjalankan shalat tersebut) dan pisahkan tempat tidurnya(Al-Hadits).

c. Organisasi-organisasi Islam

Oraganisasi Islam sudah tentu berasaskan ajaran Islam. Begitupun tujuan organisasinya, menyingguny ukhuwah islamiyah, dakwah


(48)

islamiah, dan sebagainya. Maka, organisasi Islam seperti ini dapat dikatakan sebagai media dakwah.

d. Hari-hari Besar Islam

Sebagai tradisi Umat Islam Inonesia, setiap peringatan hari besar secara seksama mengadakan upacara-upacara. Upacara peringatan hari besar Islam dilaksanakan di berbagai tempat, di istana Negara, kantor-kantor, sampai di daerha pelosok pedesaan. Di sinilah da’i memiliki kesempatan yang baik dalam menyampaikan misi dakwahnya. Baik bersifat pengajian umum maupun selamatan di surau-surau atau tempat lainnya. Kebaikan hari-hari besar memang biasa dijadikan sebagai media dakwah.

e. Media Massa

Media yang berupa radio, televisi, surat kabar/majalah, juga dipergunakan sebagai media dakwah. Baik melalui rubrik/acara khusus agama ataupun acara/rubrik yang berbentuk sandiwara, puisi, lagu-lagu, dan sebagainya.

f. Seni Budaya

Beberapa group kesenian dan juga kebudayaan menunjukkan perannya dalam usaha penyeruan dakwah Islam (amar ma’ruf nahi mungkar). Seperti group qosidah, dangdut, musik band, sandiwara, wayang kulit, dan sebagainya (Syukur:163).


(49)

4. Materi Dawkah

Materi dakwah adalah isi pesan yang disampaikan da’i kepada mad’u. Pada dasarnya, pesan dakwah itu adalah ajaran Islam itu sendiri. Secara umum dapat dibagi beberapa kelompok yaitu:

a. Pesan Akidah, meliputi Iman kepada Allah Swt, Iman kepada Malaikat-Nya, Iman kepada kitab-kitab-Nya, Iman kepada Rasul-rasul-Nya, Iman kepada Hari Akhir, dan Iman kepada Qadha-Qadar.

b. Pesan Syair’ah, meliputi ibadah thaharah, shalat, zakat, puasa, haji, serta mu’amalah.

 Hukum perdata meliputi: hukum niaga, hukum nikah, dan hukum waris,

 Hukum public meliputi: hukum pidana, hukum negara, hukum perang, dan damai.

c. Pesan Akhlak, meliputi akhlat terhadap Allah Swt, akhlak terhadap makhluk yaitu manusia, diri sendiri, tetangga, masyarakat, serta akhlak terhadap bukan manusia yaitu flora, fauna, dan sebagainya.30

Sampai dengan abad ke-8 H/14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Dalam pola perkembangan dakwah di Indonesia sebelum masa penjajahan, baru pada abad ke-9 H/14 M, penduduk pribumi memeluk islam secara massal. Menurut para pakar sejarah, bahwa masuk islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu,

30


(50)

ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam, seperti Kerjaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Buton, Cirebon, Ternate, dan lain-lainnya.

Dalam literatur yang beredar dan menjadi arus besar sejarah, masuknya Islam ke Indonesia selalu diidentikkan dengan penyebaran agama oleh orang Arab, Persia, ataupun Gujarat. Walaupun ada penemuan Slamet Mulyana bahwa Islam di Nusantara tidak hanya berasal dari wilayah India dan Timur Tengah, akan tetapi juga dari Cina, tepatnya Yunan. Setelah armada Tiongkok Dnasti Ming yang pertama kali masuk Nusantara melalui Palembang tahun 1407 M, kemudian Laksamana Ceng Ho membentuk Kerjaan Islam di Palembang yang dalam perkembangannya Kerjaan Islam Demaklah yang lebih dikenal.31

Sunan Bonang atau Maulana Makhdum Ibrahim adalah putra Sunan Ampel dan Nyai Ageng Malina. Pemilik julukan Prabu Nyokrokusumo itu adalah termasuk penyokong dari Kerjaan Demak dan ikut pula membantu pendirian Masjid Agung di kota Bintaro Demak. Selain mendirikan pendidikan dan dakwah Islam, salah satu program dakwah yang dikembangkannya adalah berinteraksi dengan masyarakat dan menciptakan gending-gending atau tembang-tembang jawa yang sarat dengan misi pendidikan dakwah Islam (Hefni, 2007: 177). Seperti halnya Idrus Kaimuddin membuat syair (kabanti) buton, tembang ciptaan Sunan Bonang juga membuat seperti Simon, Dandang Gulo, Pangkur, dan lain-lain.

Berkaitan dengan yang dilakukan Idrus, Sunan Bonang juga melakukan kodifikasi atau pembukuan dakwah yang diandili oleh murid-muridnya. Kitab itu ada yang berbentuk puisi maupun prosa yang sampai saat ini dikenal sebagai

31

Harjani Hefni, Lc, M.A, Pengantar Sejarah Dakwah (Kencana: Jakarta, 2007), h. 171-172.


(51)

Suluk Sunan Bonang (Hefni, 2007). Berkenaan dengan hal tersebut, syair yang dibuat dengan pendekatan tasawuf atau religionitas adalah juga merupakan saran dakwah Islam.

Yusuf Qardhawi dalam Retorika Islam mengatakan bahwa dakwah di jalan Allah SWT dapat dilakukan dengan menulis buku, membangun lembaga pendidikan, mempresentasikan ceramah-ceramah di pusat keilmuan, atau menyampaikan khutbah jum’at dan sebagainya. Ada pula yang melakukan dakwah dengan kalimat thayibah (baik), pergaulan yang baik dan keteladanan. Selain itu, ada lagi bentuk dakwah dengan menyediakan fasilitas-fasilitas material demi kemaslahatan dakwah, bahkan dakwah melalui seni, baik seni suara maupun seni musik.32

Menurut Esa Poetra, yang dikutip Aripudin, bahwa lagu-lagu dan puji-pujian pada masa penjajahan merupakan media yang bisa menumbuhkan ketenangan dan keberanian. Pada masa Nabi Muhammad saw, pernah suatu ketika dua kali pasukan tentara Islam dipukul tentara Quraisy, Rasulullah sempat meminta dikumpulkan penyanyi-penyanyi terbaik dengan meminta Hindun menjadi lead vocal-nya. Dengan segala ridha-Nya, perang ketiga akhirnya dimenangkan pasukan Islam (lihat Aripudin, 2012: 137-138).

Berdasarkan prisnsip al-hikmah dan biqadri „uquulihim, Wali Songo memanfaatkan seni budaya lokal (seni suara, seni karawitan, dan wayang) sebagai media dakwah. Sebagaimana Islam-Demak masyarakat umumnya menggunakan tembang gede, sebuah seni suara Jawa-Hindu. Karena tembang tersebut dirasa

32


(52)

kurang menarik dan kurang praktis, maka Sunan Kalijaga, Sunan Giri, dan Sunan Bonang (Wali Janget Tinelon/Tiga Serangkai) mengganti dengan tembang macapat dengan lagu-lagunya yang terkenal. Tembang macapat memiliki banyak lagu, di antaranya lagu Kinanti karya Sunan Kalijaga, isi syairnya sebagai berikut:

Bismillahi- sun pitutu (r) Pitutur laku basuki

Ing donya tum’keng delaha (n) Mung samungkem mring Ilahi Hasirik laku duraka

Asih tresno mring sasami Artinya:

Bismillahi aku memberi wejangan Wewejang merupakan laku selamat Di dunia sampai akhirat

Hanya taat kepada Tuhan

Pantang melakukan perbuatan durhaka Kasih sayang kepada sesama manusia33

Islam telah memberikan acuan moral (akhlak) bagi para penyair untuk membela agama, menonjolkan nilai-nilai yang baik, melawan musuh-musuh kaum muslimin dengan kata-kata dan membantah setiap tipu daya para pendusta. Al-Qur’an juga mencela cara-cara yang dilakukan para penyair sesat, yang membuat kalimat-kalimat tak berakhlak dan berisi khayalan, mimpi-mimpi dan tipu daya yang menjauhkan pembacanya dari hakikat kebenaran. Seperti firman Allah QS. Asy-Syu’ara: 224-227)

Bahkan, Rasulullah Saw mendukung syair-syair yang menyerukan pada keutamaan dan nilai-nilai yang terpuji. Sebuah riwayat yang menyebutkan: beliau bersabda, “Sesungguhnya dari syair itu terdapat hikmah” juga “Dengan syair itu,

33

Nawari Ismail, Filsafat Dakwah: Ilmu Dakwah dan Penerapannya, (PT. Bulan Bintang, Jakarta: 2004), h. 113-114.


(53)

kalian laksana melempar busur-busur panah ke mereka” (Bukhari, Al-Jami’ Ash-Shahih, juz 7, hal. 107).34

E. Semiotik dalam Syair

1. Semiotika

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang dipakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai dalam hal ini tidak dapat dicampur adukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Barthes, 1988:179; Kurniawan, 2001:53).

Sobur mengutip bahwa Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna ialah hubungan antara suatu objek atau ide dan suatu tanda (Littlejohn, 1996:64). Konsep dasar ini mengikat bersama seperangkat teori yang amat luas berurusan dengan simbol, bahasa, wacana, dan bentuk-bentuk nonverbal, teori-teori yang menjelaskan bagaimana tanda berhubungan dengan maknanya dan bagaimana tanda disusun. Secara umum, studi tentang tanda merujuk kepada semiotika. Chalrles Sanders Peirce (dalam Littlejohn, 1996:64)

34

Muhammad Amahzun, Manhaj Dakwah Rasulullah, (Qisthi Press, Jakarta: 2004), h.201-202.


(54)

mendefinisikan semiosis sebagai “a relationship among a sign, an object, and a meaning (suatu hubungan di antara tanda, objek, dan makna)”.

Kata “semiotika” itu sendiri berasal dari bahasa Yunani semeion yang berarti “tanda” (Sudjiman dan van Zoest, 1996: vii) atau seme, yang berarti “penafsir tanda” (Cobley dan Jansz, 1999:4). Semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika, dan poetika (Kurniawan, 2001:49). “Tanda” pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Contohnya, asap menandai adanya api.

Jika diterapkan pada tanda-tanda bahasa, maka huruf, kata, kalimat, tidak memiliki arti pada dirinya sendiri. Tanda-tanda itu hanya mengemban arti (significant) dalam kaitannya dengan pembaca. Pembaca itulah yang menghubungkan tanda dengan apa yang ditandakan (signifie) sesuai dengan konvensi dalam sistem bahasa yang bersangkutan. Dalam penelitian sastra, misalnya, kerap diperhatikan hubungan sintaksis antara tanda-tanda (strukturalisme) dan hubungan antara tanda dan apa yang ditandakan (semantik).

Sebuah teks, apakah itu surat cinta, makalah, iklan, cerpen, puisi, pidato presiden, poster politik, komik, kartun, dan semua hal yang mungkin menjadi “tanda” bisa dilihat dalam aktivitas penanda: yakni, suatu proses signifikasi yang menggunakan tanda yang menghubungkan objek dan interpretasi.35

2. Semiotika dalam Studi Sastra (Narasi)

Narasi adalah suatu bentuk wacana yang berusaha menggambarkan dengan sejelas-jelasnya kepada pembaca suatu peristiwa yang telah terjadi. Narasi

35


(55)

berusaha menjawab pertanyaan “Apa yang telah terjadi?” Ada narasi yang hanya bertujuan untuk memberi informasi kepada para pembaca, agar pengetahuannya bertambah luas, yaitu narasi ekspositoris. Di samping itu, ada juga narasi yang disusun dan disajikan sekian macam, sehingga mampu menimbulkan daya khayal para pembaca. Ia berusaha menyampaikan sebuah makna kepada para pembaca melalui daya khayal yang dimilikinya. Narasi semacam ini adalah narasi sugestif. Di antara kedua ekstrim ini terjalinlah bermacam-macam narasi dengan tingkat informasi yang semakin berkurang menuju tingkat daya khayal yang semakin bertambah.

d. Narasi Ekspositoris

Narasi ekspositoris bertujuan untuk menggugah pikiran para pembaca untuk mengetahui apa yang dikisahkan. Sasaran utamanya adalah rasio, yaitu berupa perluasan pengetahuan para pembaca sesudah membaca kisah tersebut. Narasi menyampaikan informasi mengenai berlangsungnya suatu peristiwa. Narasi ekspositoris dapat bersifat khas atau khusus dan dapat pula bersifat generalisasi.

Narasi ekspositoris yang bersifat generalisasi adalah narasi yang menyampaikan suatu proses yang umum, yang dapat dilakukan siapa saja, dan dapat pula dilakukan secara berulang-ulang. Sementara narasi yang bersifat khusus adalah narasi yang berusaha menceritakan suatu peristiwa yang khas, yang hanya terjadi satu kali. Peristiwa yang khas adalah peristiwa yang tidak dapat diulang kembali, karena ia merupakan pengalaman atau kejadian pada suatu waktu tertentu saja.


(56)

e. Narasi sugestif

Seperti halnya dengan narasi ekspositoris, narasi sugestif juga pertama-tama bertalian dengan tindakan atau perbuatan yang dirangkaikan dalam suatu kejadian atau peristiwa. Seluruh rangkaian kejadian itu berlangsung dalam suatu kesatuan waktu. Tetapi tujuan atau sasaran utamanya bukan memperluas pengetahuan seseorang, tetapi berusaha memberi makna atas peristiwa atau kejadian itu sebagai suatu pengalaman. Karena sasarannya adalah makna peristiwa atau kejadian itu, maka narasi sugestif selalu melibatkan daya khayal (imajinasi).

Narasi sugestif merupakan suatu rangkaian peristiwa yang disajikan sekian macam sehingga merangsang daya khayal para pembaca. Pembaca menarik suatu makna baru di luar apa yang diungkapkan secara eksplisit. Narasi tidak bercerita atau memberikan komentar mengenai sebuah cerita, tetapi ia justru mengisahkan suatu cerita atau kisah. Seluruh kejadian yang disajikan menyiapkan pembaca kepada suatu perasaan tertentu untuk menghadapi peristiwa yang berada di depan matanya. Kesiapan mental itulah yang melibatkan para pembaca bersama perasaannya, bahkan melibatkan simpati atau antipati mereka kepada kejadian itu sendiri.

Supaya memudahkan dan lebih jelas perbedaannya, maka di table berikut akan dikemukakan secara singkat perbedaan Narasi Ekspositoris dan Narasi Sugestif.36

36

Gorys Keraf, Argumentasi dan Narasi (Jakarta: PT. Gramedia, 1986), h. 135-138.


(57)

Table 2.1

Perbedaan Narasi Ekspositoris dan Sugestif

Narasi Ekspositoris Narasi Sugestif

1. Memperluas pengetahuan. 2. Menyampaikan informasi

mengenai suatu kejadian. 3. Didasarkan pada penalaran

untuk mencapai kesepakatan rasional.

4. Bahasanya lebih condong ke bahasa informative dengan titik berat pada penggunaan kata-kata denotatif.

1. Menyampaikan suatu makna atau suatu amanat yang tersirat.

2. Menimbulkan daya khayal

3. Penalaran hanya berfungsi sebagai alat untuk menyampaikan makna, sehingga kalau perlu penalaran dapat dilanggar.

4. Bahasanya lebih condong ke bahasa figuratif dengan menitik-beratkan penggunaan kata-kata konotatif.

Dalam papernya, Nasrullah mengutip bahwa, semiotika naratif bisa diartikan sebagai upaya penghitungan (recounting) atau pembacaan kembali terhadap dua atau lebih situasi yang secara logikal terhubung, baik dari segi waktu maupun tempat, dan terkait dengan konsistensi sebuah subjek dari keseluruhan teks atau pesan untuk melihat narasi atau perubahan cerita dari tanda; termasuk untuk mengungkap makna tersembunyi dari tanda (lihat Stam, Burgoyne, & Flitterman-Lewis, 1992:70; Prince, 1987). Bagi Greimas (1965) semiotika naratif adalah “the orientation towards a goal, and therefore a sense of closure and wholeness, as a crucial determinant of naarative”.37

Sobur juga menulis, bahwa dalam lapangan sastra, karya sastra dengan keutuhannya secara semiotik dapat dipandang sebagai sebuah tanda. Sebagai suatu bentuk, karya sastra secara tulis akan memiliki sifat kerungan (Santosa, 1993:36). Dimensi ruang dan waktu dalam sebuah cerita rekaan mengandung tabiat tanda-menanda yang menyiratkan makna semiotika. Dari dua tataran (level)

37

Rulli Nasrullah, Jurnal Semiotika Naratif Graimas dalam Iklan Busana Muslim, (www.kangarul.com), h. 3.


(1)

TRANSKIP WAWANCARA

Narasumber : Syafiuddin

Institusi : Universitas Dayanu Ikhsanuddin (Unidayan) Baubau Sulawesi Tenggara

Jabatan : Dosen aktif Unidayan Hari, Tanggal : Minggu, 23 Maret 2014

Alamat : Kelurahan Bataraguru, Baubau Sulawesi Tenggara

(T) Bagaimana metode pengajaran atau pengamalan kabanti di zaman dulu?

(J) “Narasi dari Kabanti Bula Malino adalah sistim pemahaman di dalam pelaksanaan tasawuf. Salah satu tarekat yang digemari oleh orang tua dahulu. Pemahaman narasi kabanti oleh guru, dalam arti mengajarkan langsung kepada murid atau memberikan petunjuk makna dari naskah oleh guru kepada murid. Begitulah sistim tata cara pelaksanaan pemahaman daripada narasi kabanti itu. Kabanti adalah sistim pengamalan tarekat. Kabanti Bula Malino ini adalah tarekat.

(T) Selain pemahaman tasawuf, apa lagi yang direpsentasikan kabanti?

(J) Bula Malino adalah etika Islam, yang mana ajarannya ini adalah ajaran tasawuf. Kabanti dipakai setiap kali oleh mereka di samping pengkajian, mereka langsung mengamalkan isi dari pada kabanti. Karena cerita dalam kabanti mengenai bagaimana Pengarang berupaya tidak berpisah dengan Penciptanya.”


(2)

(J) “Objek atau kunci akhir daripada kabanti ini adalah untuk betul-betul menjadi seorang insan kamil di hadapan Allah SWT. Pada waktu itu kabanti merupakan pendidikan informal yang tertuju kepada ketinggian tauhid seseorang.”

Mengetahui,


(3)

TRANSKIP WAWANCARA

Narasumber : Lambalangi

Pekerjaan : Tokoh dan Praktisi Kabanti (menyalin dan menulis kabanti) Jabatan : Mantan Kepala Kantor Departemen Agama Kecamatan Wolio Hari, Tanggal : Selasa, 25 Maret 2014

Waktu : 19.45- 20.30 WITA

Alamat : Kelurahan Tarafu, Kecamatan Betomabari, Kota Babau Sulwesi Tenggara

(T) Bgaimana gerakan kabanti yang dilakukan oleh masyarakat saat ini dan apa yang telah Anda lakukan?

(J) “Salah satu penyebab mengapa kabanti sudah tidak dilestarikan lagi adalah berkurangnya orang Wolio asli. “Orang Wolio sudah berkurang tapi Orang di Wolio sudah semakin banyak”. Karena memang masyarakat Buton sekarang sudah kurang mengerti berbahasa Wolio. Oleh karena itu, setelah beberapa lama pensiun, pada tahun 1992 saya berpikir apa yang harus saya kerjakan? Pada saat yang sama saya dibayang-bayangi akan makin punahnya bahasa wolio. Sehingga, saya menyalin dan menyetak beberapa kabanti. Semua kabanti yang saya cetak ini ada tujuh buku, ada yang bertuliskan Wolio dan ada juga yang latin.”

(T) Ada berapa jumlah “judul” kabanti?

(T) “Kata para orang tua dulu ada 100 lebih judul kabanti yang tertulis. Namun, hingga saat ini sudah 21 tahun yang ditemukan baru 35 judul kabanti.


(4)

Apa latar belakang ditulisnya kabanti wolio?”

(T) Bagaimana fungsi kabanti pada masa kesultanan?

(J) “Pada 1824 di masa Diponegoro, karena pergaulan di Buton sudah jauh dari norma-norma agama sehingga Muhammad Idrus Kaimuddin membuat kabanti pada saat itu. Kabanti yang dibuat kadang dinyanyikan pada waktu masyarakat lagi meminum khamar dan berjudi serta aktivitas yang menyimpang lainnya. Aktivis kabanti saat itu tidak menegur secara langsung orang-orang yang telah menyimpang dari norma-norma agama. Akan tetapi justru mereka menyanyikan kabanti agama di saat aktivitas mereka.”

(T) Bagaimana masyarakat menggunakan kabanti saat ini?

(J) “Saat ini sudah longgar akidah, jadi cukup berhati-hati. Akhirnya kabanti akan menjadi hal yang tidak penting lagi. Masyarakat sudah tidak peduli lagi dengan peninggalan budaya Islam ini. Seperti halnya, banyak manusia yang ingin belajar ilmu renang tapi melupakan Ilmu menyelam. Saati ini sudah banyak lagu dangdut dan itu sangat diminati daripada senandung kabanti.”

Mengetahui,


(5)

Bersama Bapak Al-Mujazi

Praktisi Kabanti sekaligus salah satu pemegang manuskrip karya Muhammad Idrus Kaimuddin. Sejumlah manuskrip yang dimilikinya adalah warisan dari Ayahnya, Abdul Mulku Zahari (lihat Bab III, h. 60).

Museum Kebudayaan Wolio, Baadhia, Baubau Sulawesi Tenggara.

Bersama Al-Mujazi, usai wawancara (di kediamannya)


(6)

Bersama Bapak Lambalangi (Mantan Kepala Kantor Departemen Agama Kecamatan Wolio)

Beliau aktif menyalin dan mengoleksi naskah-naskah Buton. Kelurahan Tarafu, Baubau Sulawesi Tenggara.