Semiotik dalam Syair TINJAUAN TEORITIS
berusaha menjawab pertanyaan “Apa yang telah terjadi?” Ada narasi yang hanya bertujuan untuk memberi informasi kepada para pembaca, agar pengetahuannya
bertambah luas, yaitu narasi ekspositoris. Di samping itu, ada juga narasi yang disusun dan disajikan sekian macam, sehingga mampu menimbulkan daya khayal
para pembaca. Ia berusaha menyampaikan sebuah makna kepada para pembaca melalui daya khayal yang dimilikinya. Narasi semacam ini adalah narasi sugestif.
Di antara kedua ekstrim ini terjalinlah bermacam-macam narasi dengan tingkat informasi yang semakin berkurang menuju tingkat daya khayal yang semakin
bertambah. d.
Narasi Ekspositoris Narasi ekspositoris bertujuan untuk menggugah pikiran para pembaca
untuk mengetahui apa yang dikisahkan. Sasaran utamanya adalah rasio, yaitu berupa perluasan pengetahuan para pembaca sesudah membaca kisah
tersebut. Narasi menyampaikan informasi mengenai berlangsungnya suatu peristiwa. Narasi ekspositoris dapat bersifat khas atau khusus dan dapat
pula bersifat generalisasi. Narasi ekspositoris yang bersifat generalisasi adalah narasi yang
menyampaikan suatu proses yang umum, yang dapat dilakukan siapa saja, dan dapat pula dilakukan secara berulang-ulang. Sementara narasi yang
bersifat khusus adalah narasi yang berusaha menceritakan suatu peristiwa yang khas, yang hanya terjadi satu kali. Peristiwa yang khas adalah
peristiwa yang tidak dapat diulang kembali, karena ia merupakan pengalaman atau kejadian pada suatu waktu tertentu saja.
e. Narasi sugestif
Seperti halnya dengan narasi ekspositoris, narasi sugestif juga pertama- tama bertalian dengan tindakan atau perbuatan yang dirangkaikan dalam
suatu kejadian atau peristiwa. Seluruh rangkaian kejadian itu berlangsung dalam suatu kesatuan waktu. Tetapi tujuan atau sasaran utamanya bukan
memperluas pengetahuan seseorang, tetapi berusaha memberi makna atas peristiwa atau kejadian itu sebagai suatu pengalaman. Karena sasarannya
adalah makna peristiwa atau kejadian itu, maka narasi sugestif selalu melibatkan daya khayal imajinasi.
Narasi sugestif merupakan suatu rangkaian peristiwa yang disajikan sekian macam sehingga merangsang daya khayal para pembaca. Pembaca
menarik suatu makna baru di luar apa yang diungkapkan secara eksplisit. Narasi tidak bercerita atau memberikan komentar mengenai sebuah cerita,
tetapi ia justru mengisahkan suatu cerita atau kisah. Seluruh kejadian yang disajikan menyiapkan pembaca kepada suatu perasaan tertentu untuk
menghadapi peristiwa yang berada di depan matanya. Kesiapan mental itulah yang melibatkan para pembaca bersama perasaannya, bahkan
melibatkan simpati atau antipati mereka kepada kejadian itu sendiri. Supaya memudahkan dan lebih jelas perbedaannya, maka di table
berikut akan dikemukakan secara singkat perbedaan Narasi Ekspositoris dan Narasi Sugestif.
36
36
Gorys Keraf, Argumentasi dan Narasi Jakarta: PT. Gramedia, 1986, h. 135- 138.
Table 2.1 Perbedaan Narasi Ekspositoris dan Sugestif
Narasi Ekspositoris Narasi Sugestif
1. Memperluas pengetahuan.
2. Menyampaikan
informasi mengenai suatu kejadian.
3. Didasarkan pada penalaran
untuk mencapai kesepakatan rasional.
4. Bahasanya lebih condong ke
bahasa informative dengan titik berat pada penggunaan kata-
kata denotatif. 1.
Menyampaikan suatu makna atau suatu amanat yang tersirat.
2. Menimbulkan daya khayal
3. Penalaran
hanya berfungsi
sebagai alat untuk menyampaikan makna, sehingga kalau perlu
penalaran dapat dilanggar.
4. Bahasanya lebih condong ke
bahasa figuratif dengan menitik- beratkan penggunaan kata-kata
konotatif.
Dalam papernya, Nasrullah mengutip bahwa, semiotika naratif bisa diartikan sebagai upaya penghitungan recounting atau pembacaan kembali
terhadap dua atau lebih situasi yang secara logikal terhubung, baik dari segi waktu maupun tempat, dan terkait dengan konsistensi sebuah subjek dari keseluruhan
teks atau pesan untuk melihat narasi atau perubahan cerita dari tanda; termasuk untuk mengungkap makna tersembunyi dari tanda lihat Stam, Burgoyne,
Flitterman-Lewis, 1992:70; Prince, 1987. Bagi Greimas 1965 semiotika naratif adalah “the orientation towards a goal, and therefore a sense of closure and
wholeness, as a crucial determinant of naarative ”.
37
Sobur juga menulis, bahwa dalam lapangan sastra, karya sastra dengan keutuhannya secara semiotik dapat dipandang sebagai sebuah tanda. Sebagai
suatu bentuk, karya sastra secara tulis akan memiliki sifat kerungan Santosa, 1993:36. Dimensi ruang dan waktu dalam sebuah cerita rekaan mengandung
tabiat tanda-menanda yang menyiratkan makna semiotika. Dari dua tataran level
37
Rulli Nasrullah, Jurnal Semiotika Naratif Graimas dalam Iklan Busana Muslim, www.kangarul.com, h. 3.
antara mimetik dan semiotik atau tataran kebahasaan dan mitis sebuah karya sastra menemukan keutuhannya untuk dipahami dan dihayati.
Wawasan semiotika dalam studi sastra memiliki tiga asumsi Aminuddin, 1997:77.
1 Karya sastra merupakan gejala komunikasi yang berkaitan dengan i
pengarang, ii wujud sastra sebagai sistem tanda, dan iii pembaca. 2
Karya sastra merupakan salah satu bentuk penggunaan sistem tanda system of sign yang memiliki struktur dalam tata tingkat tertentu.
3 Karya sastra merupakan fakta yang harus direkonstruksikan pembaca
sejalan dengan dunia pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya. Dalam literasi semiotics, karya sastra disikapi dengan literary discourse.
Sasaran kajian sastra secara ilmiah bukan pada maujud konkret wacananya, melainkan pada metadiscourse
atau bentuk dari ciri kewacanaan yang tidak teramati secara konkret.
Maka, menyikapi karya sastra sebagai literary discourse, berarti juga menyikapi karya sastra sebagai wacana ataupun sebagai gejala komunikasi.
Namun, berbeda dengan gejala komunikasi pada umumnya, komunikasi dalam wacana sastra ditujukan untuk membuahkan efek keindahan tertentu. Efek
keindahan tersebut bukan merujuk pada dunia di luar wacana sastranya, melainkan unsur-unsur yang secara potensial teremban dalam karya sastra itu
sendiri secara internal. Karena itulah komunikasi dalam wacana sastra juga dapat disebut sebagai bentuk komunikasi dalam wacana sastra juga dapat disebut
sebagai bentuk komunikasi puitik Aminuddin, 1997:71. Dalam bukunya
Language in Literature, Jakobson 1987:71 menggambarkan keberdaan karya sastra sebagai gejala komunikasi puitik melalui bagan sebagai berikut:
Gambar 2.1 Gejala Komunikasi Puitik
Pada dasarnya, penyusunan spesifikasi di atas didasarkan pada sistem komunikasi verbal yang mengandung komponen: i pembicara addreser, ii
konteks perututran, iii pesan, iv kontak, v kode sebagai wahana encoding, dan vi pendengar addressee. Dalam komunikasi tersebut, pembicara dan
pendengar berada dalam hubungan langsung. Dikaitkan dengan komponen- komponen komunikasi tersebut, bahasa sebagai wahana memiliki fungsi yang
berbeda-beda. Setelah dihubungkan dengan karakteristik komunikasi sastra, fungsi bahasa ditentukan meliputi fungsi Jakobson, 1987:71-76: i emotif, ii
referensial, iii puitik, iv fatis, v metalingual atau metabahasa, dan vi konatif.
38