Syair di Nusantara TINJAUAN TEORITIS

Jauh sebelum A. Teeuw mengemukakan kemungkinan Hamzah Fansuri sebagai pencipta syair Melayu yang pertama, P. Voorhoeve sudah membuat kesimpulan yang sama. Dalam sebuah ceramahnya kepada pelajar-pelajar bahasa Melayu di Paris, tahun 1952, P. Voorhoeve sudah mengatakan bahwa syair Melayu yang mula-mula mungkin ditulis oleh Hamzah Fansuri. Alasan yang dikemukakan hampir serupa dengan alasan yang dikemukakan oleh A. Teeuw, a. Tiada syair sebelum Hamzah Fansuri b. Tiada bentuk syair dalam bahasa-bahasa Nusantara kecuali sangir dalam bahasa jawa yang berasal dari syair melayu; dan c. Pada paruh pertama abad ke-17, puisi Hamzah Fansuri tidak dikenal sebagai syair melainkan ruba’i dan Valentijin dalam bukunya 1726 menyebutkan tentang Hamzah Fansuri yang terkenal dengan syairnya. Bukan itu saja. Ar-Raniri yang dalam hal agama, adalah saingan Hamzah Fansuri, juga pernah dipengaruhi oleh Hamzah dan menulis beberapa ruba’i dalam Bustanus Salatin P. Voorhoeve, 1968: 277- 278. Syed Naguib Al-Attas menyatakan pendapatnya dengan tegas. Dalam dua risalah Syed Naguib Al-Attas, 1968, 1971, menyerang A. Teeuw karena ketidak tegasannya dalam mengemukakakn bahwa Hamzah Fansuri sebgai pencipta syair Melayu yang pertama. Kesimpulannya ialah Hamzah Fansuri mendapat pengaruh atau bentuk asal puisinya dari puisi Arab, syi’r yang berbaris empat, seperti syi’r yang dikarang Ibnul Arabi dan Iraqi yang banyak dikutipnya Syed Naguib Al- Attas, 1968: 58. 3 Amin Sweeney, seorang sarjana yang pernah mengajar di Universitas Kebangsaan Malaysia, tidak setuju dengan pendapat ini. Menurutnya, syair Hamzah Fansuri mendapat pengaruh yang kuat dari nyanyian rakyat pantun seperti yang terdapat dalam Sejarah Melayu. Ia sampai kepada kesimpulan ini sesudah menyelidiki ciri-ciri syair, yaitu irama metre, sanjak akhir rhyme, pembagian kesatuan units dan pengelompokkan kesatuan. Irama syair adalah sama seperti irama pantun. Bukan saja pantun kadang- kadang muncul dalam syair, baris-baris syair juga kadang-kadang terdapat dalam panting. Doorenbos, seorang sarjana Belanda telah menunjukkan dalam disertasinya bahwa beberapa baris syair Hamzah Fansuri adalah sama seperti yang dipakai dalam pantun. Dalam sebaris pantun atau syair selalu ada semacam perhentian caesura ditengah-tengahnya, yaitu sesudah perkataan yang kedua dalam sebaris pantun atau syair yang mengundang empat perkataan itu. Sanjak akhir yang dipakai dalam syair Hamzah Fansuri adalah aaaa. Ini adalah pola sanjak yang terdapat dalam nyanyian-nyanyian dalam Sejarah Melayu. Seandainya Hamzah mencontoh puisi Arab, setiap bait Fansuri pasti hanya terdiri dari dua baris saja dan bukan empat baris. Bait yang berbaris empat tidak dikenal dalam puisi arab. Nyatalah yang menjadi contoh syair Hamzah bukan puisi arab melainkan nyanyian pantun empat baris yang terdapat dalam Sejarah Melayu R. Roolvink, 1966: 455-457. Tentang pengelompokkan kesatuan pula, 3 Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik, YOI: 2011, h. 564. kesatuan-kesatuan ini tidak berdiri sendiri melainkan bersambung untuk mengembangkan suatu tema atau cerita. Dalam puisi Arab, satu kesatuan bait yang dua baris itu merupakan satu keseluruhan Amin Sweeney, 1971: 58-66. Sebagai kesimpulan boleh dikatakan bahwa sungguhpun Hamza Fansuri menggunakan Istilah puisi Arab, bait, syair, ruba’i, syair Hamzah Fansuri bukanlah tiruan dari puisi Arab. Pengaruh nyanyian pantun pada syair Hamzah Fansuri jauh lebih besar dari puisi Arab. Syair Melayu, biarpun memakai istilah bahasa Arab adalah puisi Melayu asli juga C. Hooykas, 1947: 72. 4 Menurut isinya, syair dapat dibagi menjadi lima golongan berikut. a. Sayir Panji Syair panji sebagian besar adalah olahan dari bentuk prosanya, misalnya Syair Panji Semirang adalah olahan dari Hikayat Panji Semirang, Syair Angreni adalah saduran dari Panji Angreni. Sering hanya isinya saja yang diambil dan bukan judulnya. Satu lagi antara perbedaan hikayat Panji dan syair Panji ialah bahwa hikayat panji berbelit-belit plotnya, sedang syair Panji lebih sederhana plotnya. Biasanya satu syair hanya menceritakan satu cerita utama saja. Misalnya Syair Ken Tambuhan, hanya menceritakan percintaan dan perwakinan Raden Menteri dan Ken Tambuhan; Syair Undakan Agung Udaya hanya menceritakan kisah Panji tinggal di Daha dan memakai nama Undakan Agung Udaya. Contoh syair Panji adalah; Syair Ken Tambuhan, Syair Angreni, Syair Damar Wulan, Syair Undakan Agung Udaya, dan Cerita Wayang Kinudang. 5 4 Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik, YOI: 2011, h. 565. 5 Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik, YOI: 2011, h. 566. b. Syair Romantis Syair romantis adalah jenis syair yang paling digemari. Harun Mat Piah pernah mengkaji 150 buah syair untuk disertasinya di Universitas Kebangsaan Malaysia 1989 dan mendapati bahwa 70 buah 47 persen adalah syair romantis. Ini tidak mengherankan karena sebagian besar syair romantik menguraikan tema yang biasa terdapat di dalam cerita rakyat, penglipur lara dan hikayat. Contoh dari syair romantis adalah; Syair Bidasari, Syair Yatim Nestapa, Syair Abdul Muluk, Syair Sri Banian, Syair Sinyor Kosta, Syair Cinta Berahi, Syair Raja Mambang Jauhari, Syair Tajul Muluk, Syair Sultan Yahya, dan Syair Putri Akal. c. Syair Kiasan Syair kiasan atau simbolik adalah syair yang mengisahkan percintaan antara ikan, burung, bunga, atau buah-buahan. Hans Overbeck menemani syair jenis ini sebagai syair binatang dan bunga-bungaan Malay animals and fllower shers, 1934. Menurut Overbeck lagi, syair jenis ini biasanya mengandung kiasan atau sindiran terhadap peristiwa tertentu. Misalnya Syair Ikan Terubuk adalah syair yang menyindir peristiwa anak raja Malaka meminang putri Siak. Syair Burung Pungguk menyindir seorang pemuda yang ingin mempersunting seorang gadis yang lebih tinggi kedudukannya. Ada juga syair yang menyindir petualangan cinta saudagar pengembara atau memberi nasehat pada pendengarnya. Contoh judul syair kiasan adalah; Syair Burung Pungguk, Syair Kumbang dan Melati, Syair Nuri, Syair Bunga Air Mawar, Syair Nyamuk dan Lalat, Syair Kupu-kupu dengan Kembang dan Balang, dan Syair Buah-buahan. d. Syair Sejarah Syair sejarah adalah syair yang berdasarkan peristiwa sejarah. Di antara peristiwa sejarah yang paling penting ialah peperangan, dan karena itu, syair perang juga merupakan syair sejarah yang paling banyak dihasilkan. Peristiwa sejarah itu mungkin juga merupakan kisah raja yang memerintah atau residen Belanda. Syair Sultan Mahmud di Lingga, misalnya, menceritakan masa kehidupan Sultan Mahmud Syah beserta keluarganya, Syair Residen De Brau pula mengisahkan peranan yang dimainkan residen de Brau dalam pembuangan Perdana Menteri dari Palembang ke tanah Jawa. Contoh judul syair kiasan adalah; Syair Perang Mengkasar, Syair Kompeni Welanda Berperang dengan Cina, Syair Perang di Banjarmasin, Syair Raja Siak, Syair Sultan Ahmad Tajuddin, dan Syair Siti Zubaidah Perang Melawan Cina. e. Syair Agama Syair agama adalah golongan syair yang paling penting. Telah dijelaskan bahwa Hamzah Fansurilah orang pertama menulis puisi dalam bentuk syair yang kemudian diikuti oleh penyair-penyair lainnya di Aceh seperti Abdul Jamal, Hasan Fansuri dan beberapa orang penyair-penyair yang tidak bernama. Abdul Rauf sendiri juga pernah menulis sebuah syair yang berjudul Syair Makrifat Van Ophuijsen, 78. Perkara yang disyairkan di dalam syair-syair semuanya bersifat keagamaan. Hanyalah kemudian dan dengan perlahan-lahan syair dipakai untuk menyairkan hal-hal yang tidak ada kaitan dengan agama. Berdasarkan isinya, syair agama dapat dibagi pula kepada beberapa jenis. 1 Jenis pertama ialah syair sufi yang dikarang oleh Hamzah Fansuri dan penyair-penyair sezaman. 2 Jenis kedua adalah syair yang menerangkan ajaran Islam seperti Syair Ibadat, Syair Sifat Dua Puluh, Syair Rukun Haji, Syair Kiamat, Syair Cerita di dalam Kubur dan sebagainya. 3 Jenis ketiga ialah Syair Anbia, yaitu syair yang mengisahkan riwayat hidup para nabi, misalnya Syair Nabi Allah Ayub, Syair Nabi Allah dengan Firaun, Syair Yusuf, Syair Isa, dan lain-lain. 4 Jenis keempat ialah syair nasihat, yaitu syair yang bermaksud memberi pengajaran dan nasihat kepada pendengar atau pembacanya, misalnya Syair Nasihat, Syair Naihat Bapak Kepada Anaknya, Syair Nasihat Laki-laki dan Perempuan dan sebagainya. Syair Takbir Mimpi dan Syair Raksi mungkin juga dapat digolongkan ke dalam jenis ini. Contoh judul syair agama adalah; Syair Hamzah Fansuri, Syair Perahu, Syair Dagang, Bahr An- Nisa’, Syair Kiamat, Syair Takbir Mimpi, dan Syair Raksi. 6 Ricklefs mengutip bahwa bahwa Hamzah Fansuri dan Syamsuddin menulis karya-karya mengenai ilmu tasawuf Islam. Kemudian, pada masa kekuasaan Ratu Taj ul-Alam 1641-75, Abdurrauf merupakan pengarang yang terpenting di istana, menulis karya- karya ilmu hukum Syafi’i dan juga ilmu 6 Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik, YOI: 2011, h. 611. tasawuf. Tetapi, masih bertahannya cerita-cerita Hindu seperti Hikayat Seri Rama menggambarkan bahwa kesastraan Melayu tidak seluruhnya didominasi oleh karya-karya yang berilhamkan Islam. Sajak macapat menggunakan bahasa Jawa yang sangat baik. Kesastraan yang berbahasa Jawa Kuno mencerminkan peranan penting yang dimainkan Bali dalam memelihara warisan kesastraan pra-Islam Jawa setelah Jawa menjadi Islam. beruhungan dengan kesastraan Bali terbaibagi menjadi tiga kelompok atas dasar bahasanya: Jawa Kuno, Jawa Pertengahan Jawa-BaliBali-Jawa, dan Bali. Buku- buku yang berbahasa Jawa Kuno masih dapat ditemukan di Jawa, namun sebagian besar hanya dikenal dalam bentuk salinan-salinan dari Bali atau Pulau Lombok yang letaknya berseblahan. Ini berhubungan dengan penolakan Bali terhadap Islam dan tetap mempertahankan warisan kesastraan dan agama yang di Jawa telah berubah namun tidak pernah terhapus sama sekali sebagai akibat islamisasi. Kesastraan yang berbahasa Jawa Pertengahan merupakan suatu subyek yang problematis. Sebagian besar dari naskah-naskah itu dinamakan kidung nyanyian. Naskah-naskah tersebut terutama berisi legenda-legenda romantis mengenai zaman Majapahit di Jawa Harsawijaya, Rangga Lawe, Sorandaka, Sunda. Orang-orang Bali juga menulis dalam bahasa mereka sendiri, terutama mengenai sejarah kerajaan-kerajaan mereka yang didapati dalam bentuk sajak. Begitupun Suku Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan, keduanya mempunyai kesastraan yang berkaitan erat, baik prosa maupun sajaknya. Kesastraan mereka menggunakan tulisan asli yang nyata-nyata berbeda dari tulisan Arab maupun Jawa, yang mempunyai kesamaan dengan tulisan tersebut adalah beberapa tulisan Sumatera yang pada dasarnya berasal dari India. Selain itu, masih ada tradisi- tradisi kesastraan Indonesia lain di samping tradisi-tradisi kesastraan tersebut di atas. 7 Nampaknya, relevan dengan Alifuddin yang mengatakan bahwa Yunus menyebut Buton terkena pengaruh ajaran-ajaran tasawuf Hamzah Fanshuri dan Syamsuddin Sumatrani sebagaimana yang berkembang di Aceh pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17. Lebih lanjut Yunus mengemukakan, bahwa ajaran yang tampak di Buton pada pertengahan abad ke-17 adalah ajaran Martabat Tujuh atau konsep manusia sempurna. 8 Senada dengan Ricklefs, khususnya Syamsuddin, Abdurrauf, dan ar-Raniri semuanya menerapkan doktrin tasawuf tentang tujuh tahapan asal-usul martabat, yang didalamnya Tuhan mewujudkan diri-Nya di dunia yang fana ini, yang mencapai puncaknya pada manusia sempurnainsan kamil lihat Rifleks, 2011:78.

B. Syair-syair yang Muncul di Buton

Terdapat dua jenis tradisi sastra Buton yaitu sastra tulisan dan sastra lisan. Pada masa kerajaan Islam Buton, tampaknya keberdaan sastra lisan tidak begitu berkembang dalam lingkungan Keraton. Umumnya sastra jenis ini dari segi isinya hanya memuat tradisi lokal; pada masa kesultanan dibersihkan dari kehidupan dunia keraton. Sastra tulisan di Buton identik dengan sastra Islam. Selain isinya memperlihatkan pengaruh atau alam pemikiran islam, sastra ini juga ditulis dalam aksara Arab yang oleh masyarakat pendukungnya menyebutnya buri wolio. Sastra 7 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Gajah Mada University Press, Cetakan kesepuluh: Yogyakarta, 2011, hal. 77-87. 8 M. Alifuddin, Islam Buton: Interaksi Islam dengan Budaya Lokal, Badan Litbang dan Dilat Departemen Agama, 2007, hal. 148-149. tulisan ini ada yang berbentuk, prosa, dan syair. Sastra dalam bentuk puisi atau syair masyarakat lokal lebih mengenalnya dengan istilah kabanti atau nazamu. Sastra tulisan di Buton secara garis besar dapat dibagi menjadi dua golongan. Pertama, ialah karya-karya yang bersifat sufistik seperti karya-karya Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin, Syeikh Haji Abdul Ganiu kenepulu bula, Abdul Hadi, Haji Abdul Rakhim, dan La Kobu. Mereka adalah para ulama lokal yang mendalam pengetahuannya tentang Islam dan mempunyai kecenderungan terhadap sufisme. Salah satu Kabanti syair yang cukup populer pada masanya adalah syair bula malino karya Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin. 9 Sedangkan golongan yang kedua adalah karya-karya yang memperlihatkan sastra Islam dalam bahasa melayu atau karya-karya ciptaan baru yang memperlihatkan pengaruh agama atau peradaban islam terhadap penulisnya. Karya-karya yang memperlihatkan pengaruh sastra Islam secara langsung ialah karya-karya saduran sastra terjemahan seperti tula-tulana Nuru Muhammad, terjemahan dari hikayat Nur Muhammad, tula-tulana koburu terjemahan dari syair kubur, kitabi masaalah sarewu, terjemahan dari kitab seribu masalah. 10 Kabanti merupakan nyanyian atau syair yang tersimpan dan terjaga oleh masyarakat Buton. Kabantai Wolio atau syair woliobuton telah menjadi tradisi nyanyian daerah di kalangan masyarakat. 11 Dalam kamus wolio wolio dictionary 9 La Ode Muh. Syukur, Sejarah Kebudayaan Islam Sulawesi Tenggara, CV. Shadra: 2009, Hal. 86. 10 Ibid, h. 90. 11 Sebenarnya nama Buton hanya lazim digunakan orang luar untuk sebutan Kesultanan Buton. Penduduk setempat terbiasa menggunakan sebutan Wolio. Yunus, Menafsir Ulang Sejarah dan Budaya Buton, 2011: 379. oleh J.C. Anceaux, kabanti bermakna puisi syair, nyanyian, sajak. 12 Pada pertengahan abad ke-19, Haji Abdul Gani menulis naskah syair kabanti. Di antaranya yang diterjemahkan oleh Abdul Mulku Zahari adalah Ajonga Yinda Malusa Pakaian yang Tidak Kusut. 13 Termaksud syair Kanturuna Mohelana Lampu Orang yang Berlayar anonym Ikram, 2002: 2. 14 Lambalangi, adalah seorang yang menulis ulang dan mengumpulkan beberapa kabanti wolio mengatakan bahwa pada 1824 di masa Diponegoro, karena pergaulan di Buton sudah jauh dari norma-norma agama. Sehingga, Muhammad Idrus Kaimuddin membuat kabanti pada saat itu. Kata para orang tua dulu ada 100 lebih judul kabanti yang tertulis. Namun, hingga saat ini sudah 21 tahun yang ditemukan baru 35 judul kabanti. 15 Disamping menumbuhkan kesusastraan dalam bahasa asli, beberapa daerah telah pula menciptakan sastra dalam bahasa Melayu seperti Aceh, Minangkabau Sulawesi Selatan dan Tenggara, Bima, dan Maluku. Bahasa itu khususnya digunakan untuk menulis teks-teks yang mempunyai kepentingan kenegaraan, seperti Hikayat Aceh Aceh, Bo’ Sangaji Kai Bima, Hikayat Tanah Hitu Ambon, Istiadat Tanah Negeri Butun Buton. Di lingkungan bahasa Sunda 12 J. C. ANCEAUX, Wolio Dictionary-wolio-english-indonesia, Foris Publication Holland: 1987, h. 51. 13 Achadiati Ikram, Katalok Naskah Buton: Koleksi Abdul Mulku Zahari, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia: 2002, Hal. 5. 14 Lihat juga Ikram 2002:2 Kanturuna Mohelana menjadi syair yang dianggap sebuah sejarah yang mengungkap latar belakang nama Buton. 15 Wawancara Pribadi dengan Lambalangi, Tanggal 25 Maret 2014 dikediamannya, Tarafu, Baubau, Sulawesi Tenggara.