Experiential Hybrids Loyalitas Konsumen

perizinan, penempatan produk dalam film, kerjasama kampanye dan tipe lain dari pengaturan kerja sama. e. Lingkungan : mencakup bangunan, kantor, jarak pabrik, retail dan jarak publik, dan perdagangan. f. Website dan media elektronik g. Orang : mencakup sales people, perwakilan perusahaan, penyedia jasa, penyedia pelayanan pelanggan dan siapa saja yang terlibat dengan perusahaan atau merek. Dari Experiential Providers di atas dapat memberikan pemahaman baru tentang hubungan antara produk dan konsumennya. Demi mendekati, mendapatkan dan mempertahankan konsumen loyal, Experiential Providers dapat menghadirkan pengalaman yang unik, positif dan mengesankan. Pemasar harus dapat memutuskan Experience Providers mana yang akan digunakan untuk menciptakan SEMs tertentu agar dapat menemukan experiential image dari perusahaan atau brand secara tepat.

2.5. Experiential Hybrids

Pencapaian holistic experience sebagai tujuan dari experiential marketing dapat dilewati dengan melewati tahapan yang disebut experiential hybrids. Experiential hybrids adalah penggabungan dua atau lebih komponen SEMs guna menciptakan multi experiential campaign yang bermuara pada holistic experience. Secara umum SEMs dibagi lagi menjadi dua kategori, yaitu individual dan shared experience. Sense, feel, dan think mengacu pada individual experience, sedangkan act dan relate mengacu pada shared experience. Experiential hybrids berfungsi menggabungkan komponen­komponen tersebut menjadi kesatuan yang terintegrasi dan bertujuan menciptakan holistic experience. Sebagai alat bantu dapat digunakan kerangka dasar yang disebut experiential wheel, yaitu media pertemuan antara komponen­komponen SEMs yang kemudian terkait membentuk satu kesatuan yaitu experiential hybrids.

2.6. Penerjemahan Experiential Marketing ke dalam Model Sikap

Pada dasarnya, experiential marketing merupakan suatu pengembangan dari teori tradisional, maka tidak mengherankan bila ada komponen­komponen experiential marketing yang diadopsi dari teori ­ teori tradisional yang kemudian dikembangkan. Untuk mempermudah pengertian mengenai cara kerja dari experiential marketing, berikut ini akan digambarkan bagaimana experiential marketing dapat diterjemahkan ke dalam model sikap. Conation Affection Cognition Gambar 2 . Tricomponent Attitude Model Sumber : Schiffman dan Kanuk, 2000. Consumer Behaviour

2.6.1. Tricomponent Attitude Model

Salah satu dari berbagai model sikap attitude model yang paling sesuai dengan experiential marketing adalah tricomponent attitude model, attitude sikap terdiri dari 3 tiga komponen utama, yaitu cognition, affect dan conation Schiffman dan Kanuk, 2000. Seperti dapat dilihat pada model berikut :

1. The Cognitive Component

Terdiri dari kesadaran atau pengertian seseorang, yaitu pengetahuan dan persepsi yang ditimbulkan oleh kombinasi dari berbagai pengalaman langsung dengan objek dan informasi terkait dari berbagai sumber. Dalam experiential marketing, komponen cognition ini dapat disamakan dengan elemen think dalam strategic experience modules, dimana pemikiran dan pertimbangan yang dibuat oleh konsumen tentang suatu objek biasanya bersifat logis, sebagai hasil dari informasi dan pengetahuan yang dimilikinya tentang objek tersebut.

2. The Affective Component

Komponen afektif dari attitude berhubungan dengan emosi dan perasaan konsumen tentang produk atau merek tertentu. Pengalaman­pengalaman yang mengandung unsur affect biasanya dimanifestasikan dalam bentuk emotionally charged states, misalnya happines kebahagiaan, sadness kesedihan, shame rasa malu, disgust rasa muak, anger kemarahan, distress kecemasan, guilt rasa bersalah, atau surprise terkejut. Aspek affect memiliki kesamaan dengan aspek feel dalam experiential marketing, yaitu emosi atau perasaan yang timbul dalam diri konsumen setelah mendapatkan experience dengan produk tertentu.

3. The Conative Component

Komponen terakhir dari tricomponent attitude model ini berkaitan dengan kecenderungan individu untuk melakukan aksi atau berperilaku dengan cara tertentu sehubungan dengan objek sikap. Dalam riset pemasaran, komponen conative seringkali dianggap sebagai bentuk ekspresi dari intensitas pembelian yang dilakukan oleh konsumen. Skala intensitas pembelian konsumen digunakan untuk mengetahui kecenderungan konsumen untuk membeli produk atau berperilaku tertentu terhadap suatu produk. Aspek conation dapat disejajarkan dengan aspek act dalam experiential marketing, dimana ada perilaku aktual tertentu yang dilakukan oleh konsumen setelah use experience, misalnya repurchase behaviour, atau keadaan sebaliknya, konsumen berpaling kepada merek lain. Dalam experiential marketing, tricomponent attitude model ini ditambahkan dengan aspek sense dan relate. Keseluruhan proses experiential marketing dimulai dari sense, dimana stimulan­stimulan pada sense marketing akan mendorong terbentuknya cognition think, affection feel, dan conation act. Selanjutnya semua pengalaman dalam sense. feel, think, dan act akan berpengaruh terhadap pembentukan relate experience.

2.7. Loyalitas Konsumen

Memiliki konsumen yang loyal adalah tujuan akhir dari semua perusahaan. Tetapi kebanyakan dari perusahaan tidak mengetahui bahwa loyalitas konsumen dapat dibentuk melalui beberapa tahapan mulai dari mencari konsumen potensial sampai dengan advocate customers yang akan membawa keuntungan bagi perusahaan. Menurut Evans dan Berman 1982 bahwa loyalitas dinilai sebagai tulang punggung perusahaan dalam berhubungan dengan konsumen. Perusahaan yang mempunyai pelanggan yang loyal berarti sudah mencapai satu langkah lebih maju dalam hal pemuasan pelanggan. Konsumen yang loyal juga merupakan keuntungan tersendiri dan bila ditambah dengan pembinaan hubungan terus menerus, biaya melayani konsumen akan berkurang. Mempertahankan pelanggan lama akan lebih mudah daripada mencari pelanggan baru. Bahkan seiring dengan perjalanan waktu konsumen yang loyal menjadi pembangunan bisnis, membeli lebih banyak, membayar lebih tinggi dan membawa konsumen baru. Loyalitas dapat membuat konsumen melakukan pembelian secara konsisten terhadap pemilihan suatu merek. Konsumen akan berusaha untuk meminimumkan resiko, waktu dan proses pengambilan keputusan. Pengalaman juga penting karena berhubungan dengan kebiasaan dalam pengambilan keputusan. Pilihan baik dan pembelian yang tetap terhadap suatu merek pada suatu waktu akan berulang kembali karena adanya pengalaman yang baik pada tindakan sebelumnya Evans dan Berman, 1982. Sedangkan Griffin 1995, menyatakan bahwa loyalitas konsumen adalah suatu komitmen yang kuat dari konsumen sehingga bersedia melakukan pembelian ulang terhadap produk atau jasa yang disukai secara konsisten dan dalam jangka panjang, tanpa terpengaruh oleh situasi dan usaha­usaha marketing dari produk lain yang berusaha membuat mereka beralih untuk membeli produk lain tersebut. Jadi loyalitas konsumen adalah suatu sikap yang berkomitmen untuk tetap menggunakan produk atau pelayanan dari penyedia tertentu. Untuk menjadi konsumen yang loyal, seseorang harus melalui beberapa tahapan. Proses ini berlangsung lama, dengan penekanan dan perhatian yang berbeda untuk masing­masing tahap. Dengan memenuhi kebutuhan dari setiap tahap tersebut, maka perusahaan mempunyai peluang yang lebih besar untuk membentuk calon pembelinya menjadi konsumen yang loyal dan klien perusahaan Griffin, 1995. Menurut Griffin 1995, bahwa tingkatan konsumen yang loyal adalah : 1. Suspects tersangka, meliputi semua orang yang mungkin akan membeli barangjasa perusahaan. Kita menyebutnya sebagai suspects karena yakin bahwa mereka akan membeli tetapi belum mengetahui apapun mengenai perusahaan dan barangjasa yang ditawarkan. 2. Prospects yang diharapkan, adalah orang­orang yang memiliki kebutuhan akan barangjasa tertentu, dan mempunyai keyakinan untuk membelinya. Para prospects ini meskipun mereka belum melakukan pembelian, mereka telah mengetahui keberadaan perusahaan dan barangjasa yang ditawarkan, karena seseorang telah merekomendasikan barangjasa tersebut kepadanya. 3. Disqualified Prospects yang tidak berkemampuan, yaitu prospek yang telah mengetahui keberadaan barangjasa tertentu tetapi tidak mempunyai kemampuan untuk membeli barangjasa tersebut. 4. First Time Customers pembeli baru, yaitu konsumen yang membeli untuk pertama kalinya, mereka masih menjadi konsumen baru. 5. Repeat Customers pembeli berulang­ulang, yaitu konsumen yang telah melakukan pembelian suatu produk sebanyak dua kali atau lebih. 6. Clients pelanggan tetap, yaitu membeli semua barangjasa yang mereka butuhkan dan ditawarkan perusahaan, mereka membeli secara teratur. Hubungan dengan jenis konsumen ini sudah kuat dan berlangsung lama yang membuat mereka tidak terpengaruh oleh daya tarik produk perusahaan pesaing. 7. Advocates pelanggan tetap dan pendukung, yaitu seperti clients akan tetapi juga mengajak teman­teman mereka yang lain agar membeli barangjasa dari perusahaan yang bersangkutan.

2.7.1. Manfaat Loyalitas Konsumen

Menurut Griffin 1995, dengan meningkatkan loyalitas konsumen maka akan memberikan manfaat bagi perusahaan, setidaknya dalam beberapa hal berikut : 1. Menurunkan biaya pemasaran, bahwa biaya untuk menarik pelanggan baru jauh lebih besar bila dibandingkan dengan mempertahankan pelanggan yang ada. 2. Menurunkan biaya transaksi, seperti biaya negosiasi kontrak, pemrosesan pesanan, pembuatan account baru, dan biaya lain­lain. 3. Menurunkan biaya turnover konsumen, karena tingkat kehilangan konsumen rendah. 4. Menaikkan penjualan yang akan memperbesar pangsa pasar perusahaan. 5. Word of mouth yang bertambah, dengan asumsi bahwa pelanggan yang setia berarti puas terhadap produk yang ditawarkan. 6. Menurunkan biaya kegagalan, seperti biaya penggantian atas produk yang rusak.

2.7.2. Pengukuran Loyalitas

Menurut Sutisna 2001, ada lima macam cara untuk mengukur loyalitas konsumen, yaitu 1. Pengukuran Perilaku Pengukuran ini termasuk pendekatan instrumental conditioning yang memandang bahwa pembelian konsisten sepanjang waktu dapat menunjukkan loyalitas merek. Loyalitas konsumen diukur berdasarkan pembelian yang dilakukan oleh konsumen. 2. Pengukuran Switching Cost Pengukuran ini merupakan indikasi loyalitas pelanggan terhadap suatu merek, sebab pada umumnya biaya untuk beralih merek sangat mahal dan beresiko besar, sehingga tingkat perpindahan konsumen akan rendah. 3. Pengukuran Kepuasan Walaupun kepuasan pelanggan tidak menjamin loyalitas, tetap ada kaitan penting antara kepuasan dan loyalitas. Bila ketidakpuasan pelanggan terhadap satu merek rendah, maka pada umumnya tidak cukup alasan konsumen beralih mengkonsumsi merek lain kecuali ada faktor­faktor penarik yang sangat kuat. 4. Pengukuran Kesukaan Terhadap Merek Pengukuran ini dilakukan dengan melihat kesukaan terhadap merek, kepercayaan, perasaan hormat atau bersahabat dengan merek yang membangkitkan kehangatan dalam perasaan pelanggan. Hal tersebut dapat menyulitkan pesaing dalam menarik pelanggan yang sudah mencintai merek pada tahap ini. Ukuran rasa kesukaan dapat tercermin melalui kemauan untuk membayar dengan harga yang lebih mahal untuk memperoleh merek tersebut. 5. Pengukuran Komitmen Merek yang mempunyai brand equity tinggi akan memiliki sejumlah besar pelanggan dengan komitmen tinggi pula. Pengukuan komitmen ini didasari oleh teori kognitif, dimana loyalitas konsumen merupakan komitmen merek yang mungkin tidak hanya direfleksikan oleh perilaku pembelian yang terus menerus.

2.8. Penelitian Terdahulu